Terlupakan

Manda berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Jam pelajaran telah usai. Dia berharap bisa menemukan Arlan di antara kerumunan siswa yang akan pulang. Tadi pagi, Manda melihat Arlan masuk ke dalam mobilnya dengan seragam sekolah. Manda sangat yakin bahwa hari ini Arlan akhirnya masuk sekolah.

Dia tersenyum senang sewaktu melihat sosok Arlan keluar dari pintu gedung utama sekolah. Manda berlari kecil menghampiri Arlan. "Lo nggak apa-apa, Lan?" tanya Manda.

Manda bertanya demikian, bukan tanpa sebab. Ketika dia bertemu dengan Arlan di gerbang sekolah, Arlan tampak seperti sayuran layu. Kantong matanya terlihat jelas. Bahkan, sinar mata yang penuh semangat dari Arlan, menghilang.

Manda kembali mengingat terakhir kali dia bertemu dengan Arlan. Sudah tujuh hari berlalu sejak Nanda menceritakan apa yang dia lihat di masa lalu Dimas. Kala itu, Arlan menolak diantar pulang dan ingin sendirian. Manda secara diam-diam mengikutinya hingga sampai di depan rumah. Manda harus memastikan bahwa Arlan tiba di rumahnya dengan selamat. Saat ini, rumah itulah satu-satunya tempat teraman untuk Arlan.

Dia sempat menghubungi Arlan keesokan harinya, namun nomor telepon Arlan tidak aktif. Manda juga datang pagi-pagi buta ke rumah Arlan, tetapi Arlan tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Meski harus berangkat sekolah terlambat, Manda memastikan bahwa Arlan tidak masuk sekolah dalam empat hari ke belakang.

"Sudah berapa lama lo nggak tidur?"

Arlan mengusap wajahnya. Tangannya terlihat lemas ketika bergerak. "Tiga hari?" jawabnya dengan nada tidak begitu yakin.

Kening Manda mengernyit. "Lo mimpi terus?" tanyanya.

"Bukan cuma itu. Gue mikirin Dimas," jawabnya.

Manda tidak bisa berkomentar. Siapapun akan syok jika tahu bahwa sahabat yang selama ini dipercayai malah menjadi musuh dalam selimut.

"Lan," Manda menyentuh bahu Arlan. Manda sendiri kaget karena mendapati bahu itu menjadi kurus hanya dalam beberapa hari. "Lan, kita makan dulu, yuk?"

Arlan tersenyum getir. "Lo aja," jawabnya lemas.

Manda menghela nafas panjang. "Tumben sopir lo telat jemputnya."

Arlan mendongak. Mendapati dirinya sudah ada di gerbang sekolah. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari Pak Imam. "Mungkin macet."

"Sini!" Tanpa banyak bicara, Manda menarik tangan Arlan dan menyeretnya kembali ke dalam sekolah. Manda membawa Arlan ke depan ruang guru, di mana ada bangku yang bisa digunakan Arlan untuk istirahat. "Duduk!" perintah Manda sembari mendorong Arlan hingga jatuh terduduk.

"Ada apa?" tanya Arlan, bingung.

Manda ikut duduk di sebelah Arlan, lalu menepuk bahunya. "Sini, sandaran!"

"Hah!?" Arlan cengak. Wajahnya langsung memerah. "Sa-sandaran buat apa?"

"Buat tidur," Manda menjawab dengan cepat. "Lo nggak usah malu. Gue sendiri merasa terganggu sama kantong mata lo yang lebih tebal daripada isi dompet gue!"

"Ta-tapi..." Arlan menyadari beberapa pasang mata yang mulai menaruh perhatian pada mereka.

"Nggak usah dipikirin! Tidur sebentar!" Manda menarik kepala Arlan hingga bersandar di bahunya. "Sampai sopir lo datang aja."

Arlan akhirnya menyerah dan menurut saja apa kata Manda. Lagipula, tidak ada ruginya bagi dia. Arlan merasa bahwa dia tidak akan bisa tidur karena jantungnya berdegup sangat cepat saat ini. Bagaimana mungkin dia terlelap, sementara ada kekasih hatinya meminjamkan bahu untuknya.

"Lan... Gue bakal bantu lo."

Meski hanya sayup-sayup, Arlan cukup jelas mendengar apa yang Manda katakan. Arlan tersenyum tipis sebagai jawaban. Dia terlalu lelah untuk bersuara. Ajaibnya, setelah mendengar kalimat itu, Arlan tidak ingat apapun lagi. Tubuhnya terasa ringan. Pikirannya kosong. Hanya ada rasa nyaman menyelimuti dirinya.

***

Manda berakhir mengikuti Arlan sampai ke rumahnya. Tadi, ketika akhirnya Pak Imam datang menjemput Arlan, dia menjadi tidak tega dengan Arlan yang tertidur lelap. Jadilah Arlan dipapah Manda hingga ke mobil, berhubung Arlan sangat mengantuk dan setengah sadar.

"Mbak Manda mau minum apa?" tanya Pak Imam. "Biar saya buatkan sambil nunggu Mas Arlannya bangun."

Manda menggeleng canggung. Sebisa mungkin, dia tidak mau meminum apapun yang berasal dari rumah itu. Sejak masuk ke dalam rumah, Manda sudah merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Hal ini selalu dia rasakan ketika ada di rumah Arlan. Tubuhnya menjadi kepanasan, namun telapak tangannya sedingin es.

"Kalau begitu, saya tunggu di luar, ya, Mbak," Pak Imam mengundurkan diri. Dia sendiri merasa malu melihat tuan mudanya tidur nyenyak di pangkuan seorang gadis. "Mmm... Tapi... Jangan lama-lama, Mbak. Takut Nyonya Lili pulang."

Manda tersenyum simpul. "Tergantung Arlannya."

Pak Imam hanya bisa garuk-garuk kepala menghadapi situasi seperti ini. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk beranjak saja dari tempatnya daripada menonton adegan mesra di depannya.

Manda yang melihat Pak Imam menghilang di balik pintu ruang tamu, menunduk untuk memastikan Arlan dalam kondisi baik-baik saja. 'Dia tidak bisa tidur selama tiga hari, dan sekarang dia tidur seperti orang mati,' batin Manda, sebal. Sementara Arlan terlelap, telinga dan mata Manda dipaksa untuk tetap awas, menghadapi jeritan dan aura tidak menyenangkan dari seluruh penjuru rumah.

Manda melihat ke arah asal suara-suara teriakan minta tolong itu muncul. Tidak hanya dua atau tiga orang. Jelas sekali terdengar itu lebih dari sepuluh orang. Mereka saling bersahut-sahutan, memohon untuk diselamatkan.

"Lo dengar apa?"

Manda hampir lompat dari tempat duduk, saking kagetnya. Dia menunduk, mendapati mata Arlan masih terpejam. "Lo bangun?" tanya Manda memastikan.

"Hm."

"Lan, ayo temui hantu anak kecil itu lagi!" desis Manda.

Arlan membuka matanya perlahan. Dia mengangkat tangannya dan meraih rambut Manda yang menggelitik pipinya. Arlan menoleh. "Rambut lo lembut banget."

Manda buru-buru menyibak rambutnya ke belakang. Pipinya terasa panas dan rasa itu menjalar hingga ke telinganya. "Lo dilarang kayak gitu!"

"Kenapa?"

"Gue nggak nyaman!"

Arlan tersenyum samar. Dia menutup matanya lagi. "Gue nggak janji," goda Arlan. Lalu, dia bangkit dari tidurnya. Arlan menyempatkan diri untuk meregangkan tubuhnya sebelum berdiri. "Ayo! Kita selidiki siapa hantu kecil itu!" ajaknya.

Manda ikut berdiri. Dia merasa sedikit lega ketika melihat sinar mata Arlan kembali seperti biasanya. "Lo nggak boleh jauh-jauh dari gue!" Manda memperingatkan.

Arlan terdiam. Matanya memandang Manda lekat-lekat. Manda yang saat itu merasa canggung, hanya bisa mematung dengan mulut terkatup rapat. Arlan sedikit membungkuk untuk menjajarkan pandangannya dengan Manda. "Kalau... Kalau nanti gue nggak mati... Lo mau kencan sama gue?"

Mata Manda langsung membulat sempurna. Awalnya, dia berpikir bahwa ini hanyalah candaan dari Nanda. Tapi, begitu Arlan menjadi jujur seperti sekarang, Manda tidak tahu apa yang dia rasakan.

"Jangan ngoceh yang aneh-aneh! Saat ini, kita harus fokus buat nyelamatin hidup lo!" Manda berjalan melewati Arlan.

Arlan hanya bisa menghela nafas panjang. Tentu saja dia tidak berharap bahwa Manda akan menganggap serius perkataannya. Sejak awal, niat Manda hanyalah membantunya. Itupun karena dia yang memelas pada Manda.

"Lan," Manda berhenti di depan pintu gudang. "Lo mau lihat anak itu juga?"

"Ya!" Arlan menjawab dengan Mantap.

Perlahan, tangan Manda bergerak untuk membuka pintu gudang. Arlan menutup matanya untuk beberapa detik karena angin dingin tiba-tiba berhembus dari dalam ruangan.

"Kakak!"

Arlan mengerjap. Dia yakin mendengar suara anak kecil. "Siapa--"

Manda menoleh pada Arlan. Dia mundur satu langkah, membiarkan pandangan Arlan masuk tanpa halangan ke dalam gudang. Arlan dapat melihat seorang anak kecil dengan gaun tidur berwarna putih bersih, tengah berdiri di dekat tempat tidur bayi. Tidak lama kemudian, barulah Arlan sadar bahwa anak itu bukan manusia.

"Kakak!" anak itu berseru lagi.

Arlan mengernyit. Kepalanya tiba-tiba terasa berdenyut sakit sekali. Wajah anak itu tidak asing bagi Arlan. Dia mengenalnya. Arlan menutup mata karena rasa sakit semakin keras dia rasakan.

"Lan!" Manda buru-buru menangkap Arlan saat dia menunduk sambil memegangi kepala. "Lan, masih kuat?"

Arlan mengangguk, namun kedua tangannya masih memegangi kepala. "Siapa?" geram Arlan.

"Kakak lupa?" anak itu bertanya.

Arlan jatuh terduduk. Lututnya membentur lantai yang dingin dengan keras, membuat Manda kaget. "Astaga!" seru Arlan tiba-tiba. Dia mendongak, kembali melihat hantu anak kecil yang berdiri tidak jauh darinya. "Indah?"

Hantu itu tersenyum. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia menguap bersama udara di dalam gudang. Seketika, keadaan di dalam gudang itu, berubah drastis. Udara yang awalnya terasa dingin, kini berubah hangat. Bau kapur barus tercium dari segala arah. Pojok yang awalnya kelam, sekarang diterangi sinar matahari.

"Dia hilang?" gumam Manda, hampir tidak bisa didengar oleh Arlan.

"Indah!" Arlan berseru. Dia tidak menyangka bahwa hantu itu akan menghilang begitu saja. "INDAH!"

***

Terpopuler

Comments

Maylea mayliawati

Maylea mayliawati

bagus banget keren cerita dan alurnya thor ..

2023-04-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!