Terbongkar

Arlan membuka matanya. Rasa sakit yang tiba-tiba muncul ketika dia sadar, membuatnya teringat apa yang sudah terjadi. Dia mengusap belakang kepalanya, menyadari kalau dia tidak sedang tertidur di lantai rumahnya. Arlan mencoba duduk, memperhatikan sekelilingnya. Tirai putih bersih yang mengelilingi ranjangnya, jelas menjelaskan bahwa Arlan berada di rumah sakit.

Arlan menunduk ke sebelah kanannya, sempat kaget karena ada kepala di atas ranjangnya. Tapi, rasa kaget itu langsung berubah menjadi rasa senang, begitu menyadari bahwa itu adalah Manda. Arlan memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk memperhatikan garis rahang Manda yang indah. Tanpa sadar, tangannya membelai rambut hitam Manda yang menutupi pipi.

Tidak butuh waktu lama bagi Arlan menyadari bahwa Manda memang memberikan ketenangan dan kenyamanan yang belum pernah dia rasakan. Tiba-tiba Arlan terkesiap. Dia menyadari satu hal penting, yaitu tidak adanya mimpi buruk yang hadir ketika dia terlelap.

"Ehem!"

Suara deham yang tiba-tiba muncul dari balik tirai, membuat Arlan buru-buru menarik tangannya dari rambut Manda. "H-hai, Nan!" sapanya kaku.

"Apa kita ada dalam keadaan di mana bisa saling sapa dengan santai?" sindir Nanda. Dia jelas kesal karena memergoki Arlan membelai saudaranya.

"Maaf, maaf. Gue cuma--"

"Nggak ada cuma-cuma!" bentak Nanda.

"Nnngghh!" Manda mengerang, terbangun dari tidurnya. Jelas saja tidak ada yang bisa tidur, jika ada dua orang sedang baradu mulut di dekatnya. "Kalian ngomongin apa?" tanya Manda seraya menguap lebar.

"Tadi si Ar--"

"Ngomongin siapa yang bawa gue ke sini!" Arlan memotong pembicaraan dengan cepat. Dia melemparkan pandangan memohon pada Nanda yang berkacak pinggang. Nanda hanya menjawabnya dengan memutar bola mata.

"Kita berdua langsung meluncur ke rumah lo waktu telepon terputus," jawab Manda. "Waktu sampai, satpam di rumah lo sempet ikutan panik juga karena lo nggak sadarkan diri."

"Gue cuma ingat kalau gue terpental," kata Arlan.

Nanda menoleh pada Manda, seolah meminta izin untuk menceritakan apa yang terjadi dalam waktu singkat itu. "Kita ketemu hantu cilik itu," Nanda memulai ceritanya.

"Hantu yang kalian bilang waktu gue masuk gudang?" Arlan memastikan.

Nanda mengangguk sekali. "Waktu kita sampai, dia masih ada di gudang itu. Hantu itu manggil-manggil ke arah lo dengan sebutan 'kakak'."

"Kenapa?"

"Mana gue tahu," cibir Nanda. "Lo punya adik, kali?"

Arlan berpikir hingga keningnya berkerut. Ingatannya tidak mungkin salah. Dia tidak pernah punya adik sebelumnya. Foto-foto yang terpampang di dinding rumahnya pun, hanyalah foto orangtua dan dirinya. Beberapa memang ada foto kakek, nenek, beserta keluarga besar. Jika benar dia mempunyai adik, harusnya ada jejak di antara foto-foto itu.

"Kayaknya hantu itu terbelenggu di dalam gudang. Atau dia punya wadah untuk menjaga eksistensinya di sana," tambah Manda. "Identitasnya belum jelas, karena lo sendiri nggak mengenalinya."

"Apa nggak ada petunjuk?"

Nanda dan Manda menggeleng bersamaan. "Dia cuma manggil-manggil dari dalam gudang," jawab Manda. "Ah! Iya! Jin itu!"

"Oh, iya! Jinnya!"

"Kenapa dengan jinnya?" Arlan tidak mengerti, melihat kedua orang di depannya menjadi antusias.

"Hilang!" jawab Manda dan Nanda bersamaan.

"Maksudnya, nggak nempelin gue lagi?" tanya Arlan. Dia menoleh ke belakangnya, meski itu sia-sia.

"Iya, Lan! Jin itu nggak ada di tempatnya lagi!" Manda menegaskan. "Sepertinya hilang waktu lo terpental tadi."

"Dengan kata lain, hantu cilik di gudang itu bantu lo untuk lepas dari si jin," sambung Nanda. "Kalau lo nanya ke gue 'untuk apa', gue juga nggak tahu alasannya. Yang jelas, dia bantu lo," tambah Nanda, melihat Arlan membuka mulutnya untuk bertanya. "Kalau lo mau tahu, ayo temui hantu itu lagi!"

"Nggak dalam waktu dekat," tolak Manda. "Bukannya sebentar lagi akan ada masalah yang lebih penting?"

"Ah! Iya!" Nanda menepuk dahinya. "Pemilik jin itu bakalan sadar kalau jinnya kalah. Pasti bakalan heboh, karena tumbal yang diberikan, susahnya bukan main untuk didapatkan."

Arlan menahan nafas ketika mendengar ucapan Nanda. Dalam hati kecilnya, dia memohon agar pemilik jin itu bukanlah Lili. Namun, di sisi lain, akalnya juga ikut menganalisis dan yakin bahwa jin itu milik Lili.

***

"Arlan! Arlan!"

Seruan Lili menggema di dalam rumah yang luas itu. Dia berlari ke segala arah untuk menemukan anak sematawayangnya. Matanya sembab, pipinya basah karena air mata. Jantungnya semakin menggebu ketika mendapati Arlan tidak ada di rumah.

"PAK IMAAAAMMM!!!" serunya lantang.

"I-iya, Nyonya?" Pak Imam datang menghampiri Lili yang berdiri di ruang tengah. "Sa-saya tidak menemukan Mas Arlan di halaman belakang."

"MANA SATPAM YANG JAGA RUMAH INI!? KENAPA SEMUANYA HILANG!?" Lili semakin murka. Wajahnya memerah karena amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.

Tepat sebelum Lili menghancurkan rumahnya sendiri karena Arlan menghilang, suara pintu gerbang yang dibuka menarik perhatiannya. Lili berlari ke arah gerbang depan diikuti Pak Imam.

"Arlan!" Lili berlari menghambur ke arah Arlan yang baru saja keluar dari mobil Nanda. "Nak, kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit? Kamu terluka?"

Arlan meneliti wajah ibunya yang khawatir, namun merasa aneh dengan pertanyaan Lili yang tiba-tiba. "Kenapa Mama bertanya begitu?" Arlan balik bertanya.

"Ah... Itu... Waktu Mama balik, nggak ada siapa di rumah. Mama... jadi khawatir," Lili terdengar mencari alasan.

Arlan melirik ke arah Nanda yang ikut keluar dari mobil, diikuti kedua satpam yang tadi membantu menggotong tubuhnya untuk dibawa ke rumah sakit.

Lili kaget melihat kedua satpam yang dia pekerjakan, malah keluar dari dalam mobil. "KALIAN BERDUA! APA YANG KALIAN LAKUKAN!? KALIAN HARUSNYA MEMBERI KABAR PADAKU KALAU ADA SESUATU YANG TERJADI!" pekik Lili geram.

Kedua satpam yang berdiri tidak jauh dari Arlan, hanya menunduk dan tidak berani membuka mulut mereka. Arlan tahu, mereka tidak mungkin mengatakan bahwa Arlan ditemukan tidak sadarkan diri di dalam rumahnya sendiri. Bahkan, yang menemukan Arlan bukanlah orang rumah, melainkan dua temannya yang tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam.

"Ma, nggak usah berlebihan," Arlan menengahi. "Nggak ada yang terjadi."

Lily menatapnya dengan wajah tidak percaya. Tentu saja Lili tidak mempercayai jawaban Arlan, karena jika memang tidak terjadi apa-apa, mana mungkin dua satpamnya malah turun dari dalam mobil.

"Aku capek. Boleh aku masuk ke dalam sama teman-temanku?" pamit Arlan. Melihat Lili yang mematung di depannya, Arlan langsung berbalik dan mempersilakan Manda dan Nanda untuk mengikutinya ke dalam.

Ketika melewati Lili, Manda meraih lengan Nanda. Nanda yang menyadari bahwa saudaranya tengah ketakutan, langsung mendekapnya ke dalam pelukan. "Tenang saja," bisik Nanda. Arlan membawa mereka ke ruang tengah. Dia menunggu sesaat, memastikan bahwa keadaan sedang aman.

Arlan melihat Manda yang duduk di sampingnya, berwajah pucat. Dia merasa bersalah karena menyeret Manda ke dalam masalah ini. "Benar nyokap gue?" tanya Arlan.

Manda mengangguk pelan. "Tapi..." Manda mendongak, membalas pandangan Arlan. "...kenapa di rumah lo berisik banget?"

"Berisik?" ulang Arlan. Seketika dia mengerti bahwa maksud Manda adalah berisik dalam artian hal yang tidak terlihat. "Apa saja yang lo dengar?"

"Teriakan dan beberapanya minta tolong."

"Dari arah mana?" desak Arlan.

"Sa--"

"Arlan," Lili tiba-tiba masuk ke ruang tengah, memotong pembicaraan. "Apa teman-temanmu bisa pulang dulu sekarang?"

"Kenapa?" suara Arlan meninggi, jelas merasa tersinggung karena Lili seolah mengusir Manda dan Nanda.

"Mama mau bicara."

"Mama mau bertanya, bagaimana caranya jin itu menghilang?" sambar Arlan, membuat Nanda dan Manda menoleh kaget.

"A-apa? Jin apa?" Lili tampak kaget dan gelisah.

"Mama bisa jujur sama aku. Jin itu punya Mama, kan?" desak Arlan. "Jin itu kalah sama hantu anak kecil yang ada di gudang."

Manda memekik kecil. Dia kaget karena Arlan dengan gamlangnya membicarakan masalah ini pada ibunya. Nanda memasang badannya di depan Manda. Dia merasa bahwa diskusi ini akan berjalan alot.

"Arlan! Ini bukan hal yang bisa dibicarakan di depan teman-temanmu!" Lili menjawab dengan tegas.

"Ya, benar," Nanda menengahi. "Lebih baik kami pulang dulu, Lan. Kapan-kapan kita main bareng lagi," pamit Nanda. Sebelum dia dan Manda beranjak, Nanda mendekatkan diri pada Arlan dan membisikkan agar Arlan mengingat ilmu kebal yang dia miliki dan juga hantu anak kecil yang ingin menjaganya.

***

Terpopuler

Comments

Wisell Rahayu

Wisell Rahayu

semkn tegang thor aku baru mampir soalny ceritny seruuu..aku suka yg berbau horor

2023-10-05

0

Niswah

Niswah

lanjuut seru

2023-05-31

1

Heraherawati

Heraherawati

knp gk ada yg koment ya

2023-02-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!