Bekas Luka

"Cepat ceritakan!" Arlan menuntut haknya mendengarkan penjelasan dari Dimas. Dimas yang tadinya ingin bercerita sambil makan, dihentikan oleh Arlan karena makanan di mulut Dimas malah berhamburan ke sana-sini.

Mereka berjalan beriringan untuk kembali ke kelas. Bel tanda berakhirnya jam istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Tidak masalah bagi mereka untuk telat sedikit, karena mereka berdua sudah langganan menerima hukuman.

"Cerita dari mana?" Dimas malah cengengesan.

"Lu gue piting, nih!" Arlan sudah siap dengan kedua lengannya yang berotot.

"Ampun, Bos!" ujar Dimas sambil nyengir seperti kuda. "Jadi, singkatnya, Manda pernah dekat sama tiga orang anak cewek waktu masa orientasi siswa. Tapi, ketiga cewek itu malah celaka. Kabarnya, sih, mereka jadi tumbalnya Manda."

"Tumbal apa?" tanya Arlan.

Dimas mengangkat bahunya. "Katanya supaya Manda tetap cantik?"

Arlan menghela nafas panjang. "Dari tadi lo bilang 'kabarnya' atau 'katanya'. Apa nggak ada fakta?"

"Tauk, deh," Dimas menjawab sekedarnya. "Gue sendiri nggak pernah ngomong langsung sama Manda. Lagian, nggak ada perlu juga. Mending nggak usah dekat-dekat dia."

Mendengar apa yang Dimas katakan, membuat Arlan ragu. Semua itu hanya opini belaka dan membuat Arlan semakin penasaran. Manda yang tadi dia lihat sama sekali tidak menyeramkan seperti apa yang Dimas ceritakan. Kesejukan yang dia tebar, dapat Arlan rasakan sepenuhnya. Manda memang berbeda, namun dalam artian positif.

"Gue pengen ngobrol sama Manda lagi," gumam Arlan.

Dimas menoleh cepat, kaget dengan perkataan sahabatnya itu. "Lo bukannya menghindar, tapi malah mau ketemu dia lagi?" tanya Dimas memastikan. "Lan, nyebut, Lan!"

"Apa, sih!" Arlan meninju lengan Dimas. "Woi, Pak Hendri, tuh! Gas! Gas!" Arlan berlari mendahului Dimas, ketika matanya menangkap guru mata pelajaran kimia sudah hampir tiba di kelas mereka.

Selama sisa jam pelajaran, Arlan tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya melayang kepada Manda. Wajah cantik Manda tidak mau hilang dari kedipan matanya. Semakin ingin menyingkirkan wajah Manda, semakin baik Arlan mengingat detail wajah perempuan itu.

Arlan tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dia tahu bahwa rasa ini lebih dari sekedar perasaan kagum. Ada yang membuatnya tertarik dengan Manda. Bukan hanya parasnya yang cantik, namun ketentraman yang dia berikan.

Arlan mengusap dagunya, mulai memikirkan perkataan Dimas beberapa jam yang lalu. Manda penyebab tiga kecelakaan temannya? Arlan tidak mau percaya akan hal itu. Dia harus membuktikannya sendiri.

Jam istirahat kedua yang sisa beberapa menit lagi, membuat Arlan merasa gila. Dia terus-menerus melihat ke luar jendela ketika ada siswa yang lewat, berharap bisa melihat Manda lagi.

Arlan menoleh ke belakang. Dimas yang merasa, langsung membalas pandangan Arlan. Dimas melemparkan pandangan tanya tanpa suara. Arlan bertanya di mana kelas Manda, juga tanpa suara. Dimas menjawab dengan cibiran, membuat Arlan kesal.

Arlan kembali duduk tenang di bangkunya. Dia menulis pertanyaan yang sama untuk teman sebangkunya di atas secarik kertas. Dito--teman sebangku Arlan--menoleh kaget setelah membaca pertanyaan Arlan. Mata Dito membelalak, seolah berharap apa yang dia baca adalah suatu kesalahan.

Namun tekad Arlan sudah bulat. Dia harus menemui Manda. Hati kecilnya menyuruhnya seperti itu.

1-A

Begitu balasan dari Dito. Arlan meremas kertas kecil di tangannya, kemudian memasukkannya ke saku kemeja. Dia akan menemui Manda saat pulang sekolah nanti.

***

"Duluan!" Arlan melambai kecil pada Dimas begitu bel pulang sekolah berdering. Arlan bahkan tidak repot-repot menunggu Dimas yang memanggilnya berkali-kali. Matanya sibuk mencari sosok Manda di antara anak-anak yang keluar kelas.

"Ketemu!" ujar Arlan girang, saat melihat sosok Manda yang muncul dari pintu kelas Satu-A. Rambut hitam Manda yang panjang berkilau, sesaat membuat Arlan termenung. Dia ingin sekali membelai rambut itu.

Saat mereka bertemu pandang, barulah Arlan sadar dari lamunannya. Namun, Manda yang melihatnya malah ketakutan dan bersiap untuk kabur.

"Manda! Manda!" Arlan buru-buru mengejar Manda dan meraih tangannya. "Jangan pergi!" pinta Arlan.

Mereka langsung menjadi pusat perhatian. Manda yang tidak berani didekati siapapun, tiba-tiba saja dikejar oleh Arlan. Tentu saja Manda menyadari hal itu. Pandangan curiga dan menghakimi datang dari segala arah. Manda langsung menepis tangan Arlan. Dia menunduk dengan wajah pucat.

"Ja-jangan dekat-dekat," gumam Manda.

Arlan maju selangkah dan sedikit menunduk, mendekatkan wajahnya pada Manda. "Apa?" tanyanya. "Kalau lo ngomong sepelan itu, gue nggak bisa dengar."

Manda reflek mundur beberapa langkah karena kaget. Tapi pandangannya tetap tertuju pada sepatunya sendiri. "Pergi! Gue nggak ada urusan sama lo!"

Kening Arlan berkerut. "Apa lo kayak gini, karena apa yang menimpa teman-teman lo enam bulan lalu?" tanya Arlan. "Gue mau tahu ceritanya."

Manda mendongak, makin kaget dengan apa yang Arlan katakan. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Manda kembali membuang wajahnya. "Tanya saja sama yang lain. Gue nggak ada niat buat cerita."

"Tapi gue maunya nanya sama lo," Arlan berkeras.

"Tanya sama yang lain!" Manda ikut keras kepala.

Arlan menggeleng. "Gue maunya dengar langsung versi lo."

"Gue nggak mau cerita."

"Sedikit aja."

Bisik-bisik mulai terdengar di sekitar mereka. Kerumunan menjadi lebih banyak daripada sebelumnya. Manda menjadi panik sendiri. Dia melirik Arlan yang masih anteng berdiri di depannya. Manda tahu, Arlan tidak akan mudah disingkirkan.

"Ikut gue!" desis Manda. Dia sebenarnya kesal dan tidak suka menghadapi laki-laki macam Arlan. Arlan tampak tidak terganggu dengan kerumunan yang memperhatikan mereka, dan tetap ngotot bertanya padanya.

Arlan sedikit kaget karena mengira Manda akan membawanya ke tempat sepi agar mereka bisa bicara dengan leluasa. Kenyataannya, Manda membawa Arlan ke dekat lapangan basket, di mana sebagian besar siswa tengah berkumpul untuk menyaksikan pertandingan basket antaranak populer di kelas sebelas.

"Mau tahu bagian mana?" tanya Manda.

"Kenapa lo nggak balas pandangan gue?"

Manda menoleh, kesal. "Tadi pertanyaan lo nggak kayak gini!" bentaknya.

Arlan tersenyum lebar. "Lo malu?"

"Malu buat apa?" Manda balik bertanya. Dia menunduk lagi. Alisnya masih berkerut. "Jangan tanya yang aneh-aneh! Bicara ke intinya saja!"

Arlan menimbang sejenak, apa mau terus menggoda Manda?

"Apa yang terjadi dengan ketiga teman lo?" Arlan memutuskan untuk berhenti bercanda.

Manda memandang ke arah lapangan basket. Sorak-sorai para suporter menggelegar di sekitar lapangan. "Winda kecelakaan, Anggi jatuh dari tangga, Cecilia ditabrak mobil."

"Bisa lebih jelas?"

Manda mendengus. "Lo nggak akan percaya."

"Coba saja cerita ke gue," tantang Arlan.

Manda melirik Arlan untuk sekian detik. "Lo mimpi buruk?"

Arlan mengerjap. Hanya beberapa detik Manda menatapnya, namun ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Arlan meremang. Bola mata Manda yang sehitam langit malam, seakan menyedot kesadaran Arlan. "Hah?" hanya itu yang bisa keluar dari mulut Arlan.

"Mimpi seorang wanita tua," Manda bergumam. "Tapi, wanita itu berbeda dengan yang ada di belakang lo."

Arlan reflek menoleh ke belakang. Dia hanya menemukan udara kosong. Dia kembali pada Manda yang masih enggan membalas pandangan matanya. "Kenapa lo bisa tahu soal mimpi gue?"

"Terlihat. Di mata lo."

Seketika Arlan sadar, kenapa Manda tidak mau melihat matanya dan menghindar terus. "Apa lo punya kemampuan khusus?"

Manda terkekeh. "Kemampuan khusus, ya? Ini pertama kalinya ada yang bertanya begitu. Biasanya mereka menyebut ini ilmu hitam."

"Apa lo yang menyebabkan hal buruk yang menimpa mereka bertiga?" tanya Arlan.

Manda menggeleng lesu. "Gue dekati mereka, karena mereka diikuti sesuatu yang berbahaya."

"Apa?"

"Jin," Manda menjawab dengan nada pelan. "Gue berusaha mencegah hal buruk terjadi, tapi ternyata nggak bisa sepenuhnya."

"Kenapa sampai ada gosip kalau lo penyebab mereka celaka?" tanya Arlan, masih tidak mengerti.

"Karena gue ada di sana. Gue ada di detik-detik mereka celaka. Gue yang berusaha menolong, malah dituduh mencelakai." Manda masih mengingat bagaimana dia berusaha melindungi ketiga siswa yang menurutnya ada di ambang kematian. Manda berharap dengan kemampuannya, dia bisa menolong orang. Sayang sekali, keadaan berbalik. Manda yang mampu menyelamatkan nyawa ketiga siswa itu, dianggap membawa bencana karena ada di sekitar mereka.

"Lalu, tentang mimpi itu..." Arlan melanjutkan.

"Jangan bicara di sini," sahut Manda. Manda bergerak gusar. Dia menoleh ke sana-sini. "Gue nggak bisa bantu. Pokoknya, itu masalah yang lo harus pecahkan sendiri. Gue nggak bisa apa-apa."

"Tapi--"

Manda menggeleng keras, kemudian berlari meninggalkan Arlan yang termenung sendirian. Sorakan suporter di pinggir lapangan, terdengar jauh di telinganya. Karena Manda mengungkit, dia jadi teringat kembali mengenai mimpi semalam. Mimpi yang membuatnya terbangun dan tidak bisa tidur kembali.

***

Terpopuler

Comments

Vickyp

Vickyp

hallo... aku pembaca baru nih, baru sampe eps 2. ceritanya udah seru banget

2023-04-14

1

Sasqiyah Rahmah

Sasqiyah Rahmah

seruuu

2023-03-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!