Siasat

Dimas celingukan ke sana-sini, heran dengan ajakan Arlan yang tiba-tiba. Sepulang sekolah hari ini, Arlan berinisiatif mengajak Dimas pergi ke pusat perbelanjaan untuk membantunya memilih beberapa baju.

"Lo bukannya bulan lalu baru beli baju, ya?" tanya Dimas.

"Pengen aja," jawab Arlan singkat. Tangannya sibuk menyusuri susunan baju yang berjejer rapi di rak. "Warna ini kayaknya cocok sama gue," gumamnya, sambil meraih satu kemeja berwarna abu-abu.

"Hmmm, gue tahu, nih," kata DImas tiba-tiba.

Arlan sempat kaget saat Dimas berkata demikian, takut dia mengetahui rencananya dan Nanda. Arlan memang terlihat aneh karena tiba-tiba mengajaknya membeli baju. Padahal, Arlan dikenal sebagai pribadi yang cuek dan membeli barang jika perlu saja. Arlan bahkan masih memakai bajunya dari lima tahun terakhir, asalkan baju itu masih muat dan tidak robek.

Nanda memang menyarankan agar Arlan membawa Dimas ke tempat yang ramai. Selain lebih mudah berpura-pura berpapasan, aura Nanda tidak akan terasa jelas di tengah keramaian. Jadi, Dimas tidak akan waspada di tempat ramai begitu.

"Ta-tahu apa?" Arlan memberanikan diri untuk bertanya.

"Kemarin lancar, ya?"

"Lancar? Lancar apanya?"

Dimas tersenyum sinis. "Nonton sama Manda."

"Oh!" Arlan mengerti sekarang. "Ya, bisa dibilang begitu," dia cengengesan. "Jadi, sekarang lo mau tampil rapi di depan dia? Jijik banget lo!"

"Itu namanya kasmaran, Dim," Arlan mengoreksi. "Siapa, sih, yang nggak mau tampil keren di depan gebetan?"

"Masih gebetan? Gue kira kemarin lo langsung nembak dia."

"Yeeee, mana mungkinlah!" sanggah Arlan, walau sebenarnya Nanda sudah keceplosan soal perasaannya. "Ada satpamnya. Mana berani gue macem-macem."

"Gue emang nggak ada hak buat ikut campur sama perasaan lo, Lan. Tapi, kalau Manda... Bukannya itu agak..."

"Menurut gue, nggak ada yang salah sama Manda," sahut Arlan. "Kita sudah diskusi ini berkali-kali. Jawaban gue tetap sama. Lo nggak bosan dengarnya?"

"Lo sahabat gue. Tugas seorang sahabat mengingatkan kalau ada yang salah jalan," ujar Dimas.

Arlan menatap Dimas lumayan lama. "Benarkah?" tanya Arlan, yang membuat kening Dimas berkerut.

"Hai!"

Sapaan itu membuat suasana tegang yang Arlan ciptakan, langsung menghilang. Nanda berjalan mendekati mereka. Gerakannya alami dan senyuman simpulnya terpasang dengan baik di wajah tampannya.

"Ck."

Arlan melirik ketika mendengar Dimas berdecak, walau sangat pelan. Dia tahu bahwa Dimas tidak menyukai kehadiran Nanda, sebesar dia tidak menyukai Manda. "Nan, apa kabar?" Arlan mencoba tidak kaku.

Nanda tertawa pelan. "Hahaha, lo baru ketemu gue kemarin, dan sekarang lo malah nanya kabar gue?" ejeknya.

"Gue emang nggak bisa suka sama lo," cibir Arlan sebal.

Nanda berpaling pada Dimas. "Kemarin kita nggak kenalan dengan baik," Nanda membuka percakapan. Dimas agak mendongak ketika Nanda mendekat. Nanda beberapa senti lebih tinggi daripada Dimas dengan perawakan tegap dan mengintimidasi. "Gue Nanda," Nanda mengulurkan tangannya pada Dimas. Pandangan matanya lurus, mencoba menerobos pertahanan Dimas yang menutup diri. Jelas sekali sikap Nanda memaksa Dimas agar tidak menolak uluran tangannya.

"Dimas," Dimas meraih tangan Nanda.

***

"Sial! Sial! Sial!" geram Arlan. Peluhnya sudah membasahi kening dan kaos yang dia kenakan. Arlan bisa merasakan adrenalin memenuhi kepalanya, membuat dirinya terasa seperti terbakar. Kedua tangannya saling bertumpu di atas dada Nanda yang tergeletak tidak sadarkan diri di lantai mall. "Nanda! Bangun!" pintanya sambil terus melakukan pijat jantung-paru.

Kepala Arlan terasa kosong. Dia mencoba mengingat apa yang Manda ajarkan kemarin, tapi semua itu seolah menguap dari memori di kepalanya. Warna kulit wajah Nanda yang semakin pucat, membuatnya panik bukan main. Arlan mendongak, mencari sosok Manda yang belum juga datang.

"Pak!" serunya pada seorang laki-laki bertubuh tambun yang berdiri tidak jauh darinya. "Panggil ambulans! Cepetan!"

"I-iya, Dik!" orang itu mengeluarkan handphone-nya dan menghubungi rumah sakit sesuai perintah Arlan.

"Manda, Manda, Manda," bisik Arlan sambil terus menggenjot dada Nanda. Dia memang sudah diperingatkan tentang hal ini. Tapi, menyaksikannya di depan mata membuat Arlan merasa sangat ketakutan.

Arlan menoleh pada Dimas. Keadaan Dimas tidak lebih buruk dari Nanda. Dia hanya pingsan. Arlan dapat melihat gerakan dadanya yang naik-turun dengan teratur. Dia akan mengurus Dimas nanti saja.

"Arlan!"

Arlan mendongak, mendengar suara Manda. "Man, tolong!" rintihnya. Dia hampir menangis.

Manda buru-buru bersimpuh di hadapan Arlan. Lututnya membentur lantai dengan keras, bahkan Arlan sampai bisa mendengarnya. Dengan sigap, Manda menggantikan Arlan untuk memberikan pijat jantung-paru.

Arlan jatuh terduduk ke belakang dengan nafas memburu. Dadanya terasa sakit karena kekurangan oksigen. Arlan menelan ludah dengan susah payah, mencoba membuat tenggorokannya tidak kering lagi. Dia mencoba duduk, sadar akan gerakan Manda yang teratur. Manda pastinya sudah sering mempelajari hal ini karena Nanda.

"Lan, buka tas itu!" perintah Manda sembari memandang tas berbentuk koper kecil di sebelah kakinya.

Arlan membuka tas itu secepat yang dia bisa, tapi dia tidak mengerti dengan isinya begitu melihat ke dalam.

"Ada instruksinya," Manda berkata cepat, mencocokkan pola nafas dengan suaranya, agar tidak kehabisan nafas. "Pasang di dada Nanda!"

Arlan bolak-balik menoleh antara alat bertuliskan 'defibrilator' dan kabel-kabel yang ada di tangannya. Tepat ketika Arlan akan membuka tempelan pada pads defibrilator, tangan seseorang meraih lengannya.

"Nanda!" pekik Manda.

Arlan menoleh ke arah Nanda. Mata Nanda yang sudah terbuka membuat rasa lega mengalir di dalam dirinya. "Nanda!" hanya itu yang keluar dari mulutnya.

"Gue nggak apa-apa," jawab Nanda seraya mencoba bangkit.

Manda segera menekan kepala Nanda agar dia kembali ke posisinya. "Lan, sudah panggil ambulans?"

Arlan mengangguk cepat. "De-dengerin kata Manda, ya, Nan," Arlan memperingatkan, takut melihat wajah Manda yang tertekuk masam. Sambil memperhatikan sekitarnya sekali lagi, Arlan mengatur nafasnya yang masih terputus-putus. Dimas masih tidak sadarkan diri. "Apa Dimas nggak apa-apa?" tanya Arlan memastikan.

Manda mengangguk sekali.

"Apa dia bakal ingat apa yang terjadi?"

Kali ini Nanda menggeleng. "Dia bakalan ingat kalau dia pingsan habis salaman sama gue."

Arlan memandang Nanda lumayan lama. Dia menimbang apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya masalah masa lalu Dimas. Rasa penasaran menguasai dirinya. Namun, melihat Nanda yang baru lepas dari maut, serta saudara kembarnya yang memasang wajah ingin memangsa seseorang karena kesal, membuat Arlan menutup mulutnya rapat-rapat.

'Akan tiba waktunya,' pikir Arlan di dalam hati.

Tidak lama kemudian, Arlan dapat mendengar sayup-sayup suara sirine ambulans. Bantuan medis sudah datang. Arlan dapat bernafas lega kembali, karena merasa aman dengan datangnya dua orang berseragam rumah sakit.

"Lo pulang aja dulu, Lan," usul Manda.

"Apa? Nggak mungkin gue selonjoran kaki di rumah, kan?" tolak Arlan. "Gue ikut. Setidaknya, kalau nggak bisa nemenin Nanda, gue harus ada buat Dimas. Bagaimanapun, dia nggak punya siapa-siapa lagi buat jagain dia."

Manda menoleh pada Nanda yang berbaring santai di lantai. "Nggak apa. Saat ini nggak berbahaya," ujar Nanda pada Manda.

"Oke," jawab Manda. "Tapi lo nggak boleh jauh-jauh dari gue," Manda memperingatkan Arlan.

Arlan tersenyum sumringah ketika mendengar hal itu. Meski dia tahu maksud Manda bukan ke arah hal yang romantis, tapi Arlan berfantasi seperti itu.

***

Terpopuler

Comments

Heraherawati

Heraherawati

mantaap Thor

2023-02-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!