Kejujuran

Arlan tidak bergerak dari duduknya. Wajahnya tegang, sekaligus marah. Dia tidak mau percaya bahwa ibunyalah yang memiliki jin itu. Sementara Arlan tidak membuka mulutnya, Lili meminta Pak Imam mengawasi pintu depan, agar tidak ada siapapun yang masuk.

"Arlan..." Lili memulai. "Apa yang kamu tahu, Nak?" suaranya melembut.

"Tidak banyak, kalau Mama tidak mau bercerita apa-apa," Arlan menjawab ketus.

Kedua tangan Lili saling terpaut di depan dadanya. Ini adalah pertama kalinya Arlan melihat Lili ciut seperti itu. Sosok Lili yang dikenal anggun dan berwibawa, sirna begitu saja. "Dari mana kamu tahu tetang jin itu?" tanya Lili.

"Orang di jalan," jawab Arlan asal. Dia masih tidak mau Lili tahu bahwa Mandalah orang yang mengungkap keberadaan jin itu. Arlan merasa, dia tidak lagi mengenal wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapannya. Dia tidak mau kalau sampai kejujurannya malah membahayakan Manda.

"Tapi... bagaimana mungkin jin itu menghilang? Mama yakin, jin itu adalah jin yang kuat."

"Mama!" Arlan murka, hingga berdiri dari duduknya. "Aku benar-benar nggak habis pikir! Mama harusnya menjelaskan kenapa Mama sampai memiliki makhluk sesat begitu! Bukannya malah khawatir kenapa jin itu menghilang!"

Lili yang melihat anaknya marah, langsung bungkam. Dia tidak mungkin menghindari pertanyaan Arlan saat ini. "Mama..." Lili tampak tidak yakin. Dia menimbang apa yang harus dikatakan.

"Mama masih tidak mau cerita!?" pekik Arlan. Amarahnya sudah sampai di ujung kepala. Sedikit lagi, dia bisa saja menghancurkan apa yang ada di dekatnya, karena saking kesal dengan ibunya yang tidak kunjung membuka mulut.

Lily menghela nafas, mencoba menata pikirannya. "Ini... Ini semua... Ini semua salah papamu," bisik Lili. Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.

"Salah Papa? Apa hubungannya dengan Papa?"

Lili bergerak untuk duduk di sofa yang ada di dekatnya. "Mama terpaksa mengikat kontrak dengan jin itu, untuk melindungi kamu dari Larasati."

"Siapa Larasati?"

"Dia perempuan yang di--"

"Lili!"

Suara bariton yang tiba-tiba memenuhi ruang tengah, membuat Lili berhenti bicara. Arlan menoleh ke arah ruang tamu dan melihat ayahnya melenggang memasuki rumah.

"Lili!" panggil Fahmi lagi.

Lili buru-buru bangun, lalu mengusap air matanya. "Ya, Pa?" jawabnya, kemudian berlari kecil menghampiri sumber suara.

"Apa yang kamu lakukan di rumah!?" bentak Fahmi. "Kenapa kamu meninggalkan rapat dengan pemegang saham!? Apa kamu gila!? Itu adalah rapat yang sangat penting!"

"Ah, maaf... Aku harus pulang untuk bertemu dengan Arlan," jawab Lili.

Fahmi menoleh pada Arlan. Beliau menyelidiki ekspresi anaknya untuk beberapa detik. "Ada apa? Kamu buat masalah?"

"Bukan, Pa," Lili langsung menjawab. "Hanya ada urusan mendesak masalah sekolahnya," dusta Lili. "Aku akan kembali ke kantor. Ayo, kita pergi bersama!"

Fahmi tidak bergerak dari tempatnya. Dia masih tetap memandang Arlan yang diam seribu bahasa. "Jika sampai ada masalah, cepat bereskan!"

"Aku akan urus semuanya," Lili menjawab. Lili segera mengamit lengan suaminya, agar mereka pergi ke kantor saja ketimbang membahas masalah Arlan yang sebenarnya tidak pernah ada.

Arlan melemparkan diri ke atas sofa, begitu suara deru mobil ayahnya mulai bergerak menjauh. Dia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa sambil memejamkan mata. Kepalanya masih berdenyut menyakitkan. Dia tidak bisa banyak berfikir untuk saat ini.

Arlan mengeluarkan handphone dari saku celana dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. Betapa kagetnya dia, saat melihat ajakan Dipta untuk bertemu. Tanpa pikir panjang, Arlan langsung mengiyakan ajakan itu. Dia tidak peduli dengan sakit kepalanya.

"Apa perlu ajak Manda?" gumamnya. "Ah, tidak usah! Manda dan Nanda baru pulang untuk beristirahat. Nggak baik ganggu mereka terus." Arlan memutuskan untuk pergi sendiri. Arlan tidak membuang-buang waktu lagi dan langsung bergegas menuju tempat yang telah disepakati dengan Dipta.

***

Arlan mengedarkan pandangan ke sekeliling, sesampainya dia di jembatan gantung yang ada di dekat rumahnya. Di seberang jembatan, seorang laki-laki bertubuh besar tengah berdiri sambil duduk di pembatas jalan. Tangan kanannya sibuk bermain handphone. Meski dari jauh, Arlan langsung tahu bahwa orang itu adalah Dipta.

"Dipta!" sapa Arlan begitu sudah berjarak tiga meter dari Dipta.

Dipta menoleh saat namanya disebut. "Kak Arlan?" sapanya balik.

Arlan mengulurkan tangannya. "Salam kenal!"

Dipta menyambut uluran tangan itu. "Akhirnya kita bertemu, ya!"

"Jadi, kita langsung ke intinya saja, ya?"

Dipta mengangguk setuju. "Sebenarnya gue ke sini tanpa sepengetahuan orangtua gue dan jarak tempuh ke sini juga hampir satu jam. Jadi, gue nggak akan banyak basa-basi."

Arlan memandang Dipta tidak percaya. Andai saja dia tidak menyetujui permintaan Dipta untuk bertemu, Dipta harus kembali dengan tangan kosong. "Apa yang mau lo ceritakan?"

"Kak Arlan tahu kalau kita akan meninggal saat umur kita tujuh belas tahun?" tanya Dipta.

"Gue tahunya dari lo."

Dipta mengusap punggung tangannya. "Kenapa orangtua Kak Arlan nggak ngasih tahu Kak Arlan masalah penting kayak gini, ya?"

Arlan tidak bisa menjawab. Dia bahkan takut untuk menerka kenapa orangtuanya bungkam. Kenyataan bahwa Lily bersekutu dengan jin saja, sudah membuat Arlan ketakutan. "Bisa lo ceritakan bagian pentingnya?"

Dipta mengangguk sekali. "Kita dikutuk sama setan bernama Larasati. Larasati punya dendam kesumat sama keluarga kita, terutama sama Kakek Pareng."

"Kakek Pareng?" ulang Arlan. "Kakek Pareng terlibat?"

"Kakeklah alasan kita harus mengalami kejadian ini," Dipta menekankan.

"Oke... Tolong ceritakan apapun yang lo tahu."

"Kak Arlan tahu, kan, kalau Kakek sangat kaya pada zamannya?" tanya Dipta, yang dijawab dengan anggukan yakin dari Arlan. Karena bagaimanapun, dia menikmati kemakmuran itu juga. "Di saat masa jaya Kakek, dia adalah orang sombong dan angkuh. Kakek melakukan apapun sesuka hatinya. Bahkan, dia secara terang-terangan bermain wanita di depan Nenek."

'Gue nggak tahu hal itu,' batin Arlan. Selama ini, dia tidak mendengar ada masalah antara kakek dan neneknya. Neneknya bahkan tampak sangat bahagia dan seperti tidak memiliki beban apapun di pundak kurusnya.

"Dulu, orangtua kita punya pengasuh. Seorang anak perempuan yang umurnya nggak beda jauh dari orangtua kita. Kebetulan, pengasuh itu adalah anak dari salah satu pembantu di rumah Kakek. Suatu hari, Kakek memanggil pengasuh itu karena dianggap sudah menggoda Oom Fahmi. Bukannya memecat pengasuh itu, Kakek malah--" Dipta terhenti. Dia menelan ludahnya dengan susah payah.

"Apa, Dip?"

"Malah... memerkosa pengasuh itu," Dipta menjawab pelan.

Arlan merasa tenggorokannya tercekat. Dia tidak bisa membayangkan bahwa orang yang selama ini ada di dekatnya, melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu. "Pengasuh itu... namanya... Larasati?"

Dipta mengangguk lagi. "Tidak cuma sekali. Kakek memerkosa Larasati hingga dia hamil. Bahkan, Kakek mengusir Larasati dengan menuduh Larasati telah menjual diri di luar sana. Orangtua Larasati yang sakit hati anaknya difitnah, langsung mengakhiri hidup mereka. Sementara Larasati sendiri, hilang bak ditelan bumi."

"Kapan kutukan ini terjadi?"

"Sejak Tante Merry punya anak."

Arlan mencoba mengingat kembali sosok kedua anak Merry yang dinyatakan meninggal dulu. Arlan tidak pernah mendengar cerita lengkapnya, tapi Arlan yakin bahwa mereka meninggal secara tidak wajar.

"Kak Yudi, Kak Clara, Kak Purna, Kak Winda, Kak Candra, bahkan kakak gue sendiri, juga meninggal."

"Karena dendam Larasati?" Arlan meyakinkan.

Pandangan Dipta menerawang jauh. "Iya. Semuanya meninggal karena Larasati."

"Tahun ini, giliran gue?"

"Iya, Kak... Tahun depan, giliran gue."

Arlan menelan ludah dengan susah payah. Jujur saja, siapa yang tidak takut, ketika tahu akan mati sebentar lagi? "Apa tidak ada cara untuk menghentikan kutukan ini?" tanya Arlan.

Dipta mengangkat bahunya. "Gue nggak tahu. Tapi, segala cara sudah dicoba. Mulai dari meminta bantuan para pemuka agama sampai para dukun. Banyak juga yang sudah dikorbankan demi menyelamatkan nyawa penerus keluarga kita. Tapi, hasilnya nihil."

Arlan menjadi lemas. Kakinya bergetar. Sekarang saja, dia merasa bahwa nyawanya sudah hilang sebagian. "Gue akan diskusikan ini dengan orangtua gue," jawab Arlan. "Makasi sudah cerita ke gue, Dip."

***

Terpopuler

Comments

wulanzahira

wulanzahira

bukan dimas kan anakny larasati...

2023-03-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!