Diskusi

Arlan diam di tempat duduknya sambil memandang kosong ke luar jendela. Sekarang masih dalam jam pelajaran mandiri, di mana kelasnya memiliki dua jam pelajaran untuk mempelajari apapun yang mereka suka, termasuk pergi ke perpustakaan.

"Lan, lo kenapa?" Dimas yang melihat sahabatnya tidak seperti biasa, menjadi penasaran.

Arlan menoleh pada Dimas yang ternyata sudah duduk di sebelahnya. "Kapan lo duduk di sini?" tanya Arlan.

Dimas menghela nafas. "Apa, sih, yang ada di kepala lo? Belakangan, lo sering bengong."

"Cuma banyak pikiran aja," jawab Arlan sekedarnya. "Ngomong-ngomong, gue masih kepikiran sama perempuan yang mirip sama lo."

"Yaelah, dibahas, nih?" keluh Dimas.

Arlan mengerjap. Meski tidak jelas, entah kenapa Arlan menangkap ekspresi ketakutan di wajah Dimas walau hanya sekilas. Sejak saat itu, Arlan memutuskan ada yang tidak beres dengan Dimas, dan mengurungkan niatnya untuk menceritakan apa yang dia dan Manda bahas semalam.

"Habisnya, mirip banget sama lo. Kirain perempuan itu versi cewek dari lo, atau mungkin nenek lo?"

"Bukannya lo sudah pernah ketemu nenek gue?" sangkal Dimas. "Lagian, mana mungkin gue ada di foto zaman dulu. Imajinasi lo keterlaluan!"

"Hehehe, iya, deh, iya..." Arlan menutup pembicaraan. "Nanti lo mau ikut gue ketemu sama Manda?"

"What!? No!" tolak Dimas cepat. "Lo ketemuan sama Manda lagi? Kenapa jadi makin sering?"

"Namanya juga lagi jatuh cinta," dusta Arlan.

"Pepet teroooosss!" Dimas geleng-geleng. "Tadi pagi juga, lo datang ke sekolah bareng dia."

Arlan mengusap-usap kepalanya sambil terkekeh geli. "Lo lihat, ya?"

"Ya iyalah gue lihat! Mobil lo yang super mewah itu berhenti di depan sekolah dan lo turun sama dia! Nggak cuma gue, tapi semua anak juga lihat!"

"Baguslah... Jadi gue nggak akan punya saingan di sekolah."

"Sejak awal lo deketin Manda, lo emang nggak punya saingan, Lan!" ketus Dimas. "Nanti lo mau pulang sekolah sama Manda lagi?"

"Boleh?" Arlan seolah meminta izin.

Dimas mengangkat bahu. "Hhh, lo nggak bakal dengar apapun yang gue bilang, kan? Lo lagi jatuh cinta."

Arlan hanya tersenyum lebar mendengar perkataan Dimas. Biarlah Dimas menganggap seperti itu, sampai masalahnya terpecahkan. Percakapan mereka selanjutnya hanyalah percakapan ringan. Arlan berhati-hati dalam berbicara, agar Dimas tidak sampai menanyakan perihal mimpi buruknya, ataupun kecelakaan yang dia alami.

Sampai akhirnya istirahat pertama tiba, Arlan langsung melesat menemui Manda. Beberapa orang masih heboh dengan kelakuan Arlan, namun beberapa sudah mulai tidak memedulikan mereka.

Manda tidak serta merta membiarkan Arlan mengoceh ini-itu di dalam kelasnya. Mereka perlu ruang pribadi untuk membicarakan hal ini. Apalagi, Manda memiliki pengalaman buruk ketika tidak memperdulikan Arlan dulu.

Sampailah mereka di taman yang letaknya tidak jauh dari lapangan sekolah. Suasana di sekitar sana tidak begitu ramai. Istirahat pertama biasa dihabiskan anak-anak dengan makan di kantin.

"Ayo mulai ceritanya," ajak Manda.

Arlan meletakkan tas yang sedari tadi dia jinjing di sebelah Manda. Kemudian, Arlan mengeluarkan sebuah kotak nasi berwarna hijau. Sebenarnya sudah agak lama semenjak dia menggunakan kotak nasi ke sekolah. Rasanya agak malu juga. Namun, demi Manda yang sudah meluangkan waktu untuknya, Arlan rela menanggung malu.

"Pppft!" Manda menahan tawanya. "Apa ini? Lo bawa kotak nasi gambar beruang imut begini? Ternyata lo tipe yang kayak gini, ya?"

"Bukan! Bukan!" Arlan langsung menyangkal. "I-ini kotak nasi gue waktu kecil. Gue nggak pernah bawa kotak nasi lagi. Tapi cuma ini yang ada, jadi... Jadi... Yah... Gitu..." Arlan menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus.

"Lo mau cerita sambil makan?" tanya Manda.

Arlan membuka kotak nasi dan menyodorkannya ke pangkuan Manda. "Buat lo."

"Lha? Kenapa gue?"

"Gue nggak suka nasi uduk."

Alis Manda berkerut. "Kalau nggak suka, kenapa bawa bekal? Makan aja bakso seperti biasanya."

"Duh, makan aja!" Arlan memaksa. "Sambil lo makan, gue mulai ceritanya, ya?"

Manda mengangkat bahu. Dia biarkan saja apa mau Arlan. Lagipula, ini seperti rezeki nomplok untuknya. Dia jadi bisa hemat uang jajan.

"Kemarin, gue ketemu album foto keluarga bokap gue. Tapi, yang mengganjal di kepala gue adalah foto perempuan yang sebaya sama nyokap gue."

"Perempuan yang lo bilang mirip sama sahabat lo?" Manda memastikan.

Arlan mengangguk. "Ada yang mengganjal. Tapi, Dimas bilang kalau dia nggak kenal sama perempuan itu."

"Kenapa lo nggak percaya sama temen lo sendiri?" tanya Manda. Dia mulai menyantap makanan yang Arlan berikan.

Arlan memandang ke langit. "Gue udah sama dia sejak kecil. Bahkan, dia menghabiskan waktu lebih banyak sama gue, dibandingkan orangtua gue. Mungkin, karena itu, tanpa sadar gue tahu kalau dia nggak jujur."

"Maksud lo, temen lo nggak jujur masalah perempuan yang ada di album foto?"

Arlan mengangguk. Dia sendiri kaget. Entah sejak kapan dia mulai tidak mengatakan segalanya pada Dimas. "Lo mau ketemu sama Dimas?" tawar Arlan.

Manda mengangguk saja. Tidak ada ruginya bertemu dengan Dimas. Dia juga ingin tahu seberapa mirip kedua orang itu, sampai Arlan memutuskan tidak percaya pada sahabatnya sendiri.

"Enak?"

Manda berhenti mengunyah. Dia baru sadar kalau pipinya menggembung, terisi penuh oleh makanan yang Arlan bawa. "Hm," jawabnya singkat, malu sendiri.

"Besok mau gue bawakan lagi?" Arlan nyengir.

"Ng-nggak!"

"Besok lo nggak usah bawa bekal. Nanti kita ketemu di sini saja waktu istirahat pertama. Kalau lo mau, istirahat kedua juga kita ketemu di sini lagi," Arlan nyerocos.

Manda mau menolak perkataan Arlan, tapi dia juga merasa sayang jika menolak makanan lezat di depannya. "Kenapa lo selalu ngubah topik pembicaraan, sih?" protes Manda.

"Hehehe," Arlan cengengesan dengan telinga memerah. "Ngomong-ngomong, apa yang Nanda katakan kemarin, itu semua benar?"

"Nanda nggak pernah bohong."

"Dia memang blak-blakan," Arlan memperkuat pernyataan Manda. "Kalau benar apa yang Nanda katakan, artinya ada yang menumbalkan manusia untuk membuat perlindungan di rumah gue." Arlan menunduk, memandang jari-jari tangannya yang saling bertaut. "Buat apa?"

"Mungkin untuk lo?" terka Manda. "Lo jadi nanya ke orangtua lo?"

Arlan menggeleng lemah. "Gue ketiduran. Waktu bangun, orangtua gue sudah nggak ada di rumah." Arlan melirik Manda yang masih sibuk dengan makanannya. "Kenapa lo mikir kalau perlindungan itu buat gue?"

Manda buru-buru menelan makanan di mulutnya sebelum menjawab. "Kemarin, gue lihat ada kabut hitam yang tebal mengelilingi bagian atas rumah lo. Kabut itu sama seperti kabut yang kakek lo bawa. Kabut itu yang buat suara dentuman besar kemarin. Kabut itu mencoba menembus perlindungan rumah lo."

"Hah?" otak Arlan tidak bisa mencerna apa yang Manda katakan secara tiba-tiba. "Tu-tunggu! Tunggu, Manda! Lo ngomong apa?"

"Lo tiba-tiba budeg, ya?" sindir Manda.

"Lo ngomongnya kecepetan, Man!" cicit Arlan.

Manda menghela nafas. "Suara yang lo dengar kemarin, itu berasal dari kabut tebal yang berusaha masuk ke rumah lo. Tapi terhalangi sama perlindungan yang menyelimuti rumah lo. Kabut itu sama seperti yang kakek lo bawa," Manda mengulang dengan sabar.

"Kabut bisa buat suara sekeras itu?" tanya Arlan, heran.

"Kita ngomongin masalah dunia hitam, ya. Bukan kabut biasa," Manda memperingatkan.

Arlan menatap Manda yang memasukkan makanan ke mulutnya untuk kesekian kalinya. Kotak makanan itu sudah habis lebih dari setengahnya. "Apa mungkin kakek gue yang mencoba masuk?" tanya Arlan.

"Sebelum kakek lo menghilang, apa ada kejadian kakek lo dan orangtua lo bertengkar? Mungkin karena itu kakek lo kabur dari rumah?"

Arlan menggeleng. Seingatnya, tidak ada kejadian apapun selama ini. Kakeknya hanya tiba-tiba saja menghilang dan tidak bisa ditemukan. "Apa yang kabut itu mau?"

Manda mengangkat bahu sambil menghela nafas. "Kita simpan pertanyaan itu untuk lain waktu. Kita bahas masalah keluarga lo yang bilang, kalau sekarang giliran lo yang mati."

"Nah, itu juga," Arlan memijit keningnya. "Apa salah gue sampai gue harus mati?"

"Nggak ada kejelasan sama sekali?"

Arlan menggeleng lesu. "Nggak ada yang menjelaskan secara rinci. Mungkin, mereka perlu waktu untuk bicara supaya gue nggak kaget."

Manda melahap suap terakhirnya. Dia mengunyah secepat yang dia bisa. "Besar kemungkinan ini ada kaitannya dengan mimpi buruk lo setiap malam."

"Mimpi tentang wanita buruk rupa yang tubuhnya nggak lengkap itu?" Arlan bergidik ngeri. "Apa mungkin dia mencari gue untuk dibunuh?"

"Wah! Nggak habis pikir! Ternyata lebih rumit dari yang Nanda perkirakan," celetuk Manda.

"Nanda memperkirakan apa?" tanya Arlan.

"Lo main aja ke rumah gue. Mungkin Nanda bisa ngasih lo masukan. Dia banyak menyelidiki masalah semacam ini," tawar Manda tiba-tiba. Belum saja Arlan menyetujuinya, wajah Manda langsung berubah serius. "Tapi," nada suara Manda merendah. "Jangan lo sentuh tangannya, tanpa izin dari Nanda."

"Kenapa? Nanda suka kebersihan?"

Manda tidak menjawab. Dia hanya merapikan kotak makanan yang ada di pangkuannya, kembali ke dalam tas. "Gue cuci ini dulu, baru gue balikin."

***

Terpopuler

Comments

wulanzahira

wulanzahira

apa mungkin nanda sudah mati🤔

2023-03-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!