Bantuan

"Kamu yakin?" tanya Lili. Dia masih menggenggam tangan Arlan, sementara mereka sudah ada di depan gerbang sekolah Arlan. Beberapa anak mulai memperhatikan mereka dan membuat Arlan malu setengah mati.

"Ma, aku baik-baik saja," tukas Arlan. Dia berusaha melepas genggaman tangan ibunya. "Mama berangkat kerja aja. Nanti telat!" Arlan mendorong Lili masuk kembali ke dalam mobil.

"Pulang sekolah nanti, Pak Imam akan jemput kamu," tambah Lili sebelum masuk ke dalam mobil. "Pak Imam, ingat jemput Arlan jam tiga nanti," Lili heboh sendiri.

Pak Imam yang duduk di kursi kemudi mengangguk mengerti. Setelah pamit pada Arlan, mobil Lili pun kembali melaju. Arlan menghela nafas lega melihat Lili menjauh.

"Kayaknya nyokap lo bakalan nempel terus untuk beberapa waktu."

Arlan menoleh kaget ke arah belakang, kaget dengan suara Dimas yang tiba-tiba muncul. "Sejak kapan lo ada di sini?"

"Sejak nyokap lo masuk mobil," jawab Dimas. "Yuk, gas!" Dimas berjalan duluan masuk ke sekolah.

"Lo lihat Manda?" Arlan membuka percakapan seraya menjajarkan langkahnya dengan Dimas.

"Astaga, Lan! Kemarin itu lo kecelakaan karena dia!"

"Bukan!" tegas Arlan.

Dimas menoleh, tidak percaya dengan jawaban sahabatnya yang terdengar yakin. "Segitunya percaya sama Manda?"

Arlan mengangguk. "Habis ini gue mau nyari dia lagi. Lo mau ikut?" tawar Arlan.

"Nggak! Maaf, gue nggak sesetiakawan itu!" Dimas langsung menolak. "Lo berani banget deketin Manda. Nggak takut kena sial lagi?"

Arlan mendengus mendengar pernyataan Dimas. Ternyata, cap yang sudah menempel di diri Manda sangatlah buruk. Dalam hati, Arlan ingin mematahkan pemikiran itu. Dia bisa merasakan bahwa Manda adalah gadis baik-baik.

"Daripada minta bantuan Manda, gue ada kenal sama orang pintar lainnya. Lo mau?" tawar Dimas.

Arlan mengusap dagunya. "Sehebat apa?" tanya Arlan.

Dimas mengangkat bahunya. "Gue cuma dengar-dengar cerita aja. Gue nggak pernah mengalami hal kayak gini." Dimas menoleh, melihat Arlan tampak berpikir. "Mending lo nggak usah dekat-dekat Manda."

"Bukan Manda yang menyebabkan hal ini," jawab Arlan. "Gimana kalau lo ubah jalan pikir lo? Manda mau nolong gue, jadi dia mengawasi dari jauh."

Dimas menghela nafas. "Capek gue ngomong sama orang bucin," Dimas berkomentar.

"Hehehe," Arlan malah cengengesan, bukannya menyangkal perkataan Dimas. "Tapi, bener, deh! Gue ngerasa Manda itu berbeda. Dia adem kayak kolam renang di musim panas."

Dimas bergidik mendengar perumpamaan dari Arlan. "Nggak usah sesumbar kalau lo lagi jatuh cinta. Nanti Kak Karin cemburu."

Arlan mencibir ketika mendengar nama Karin disebut. Pasalnya, seniornya satu itu seenaknya menyebut Arlan adalah miliknya. Padahal, Arlan sama sekali tidak menyukai Karin.

"Daripada Manda yang punya nama buruk, kenapa lo nggak coba sama Kak Karin aja? Kak Karin juga cantik dan modis."

Arlan menggeleng. "Gue nggak suka cewek yang tubuhnya gampang dinikmati sama semua orang," bisik Arlan. "Kak Karin juga nggak bisa lihat hantu kayak Manda."

"Jadi, fetish lo itu cewek yang bisa lihat hantu? Bukan main..." Dimas geleng-geleng seraya bertepuk tangan.

"Nggak gitu juga, bro!" Arlan menyikut rusuk Dimas, gemas dengan sahabatnya satu itu.

"Ngomong-ngomong, Kakek Pareng sudah ketemu?" Dimas mengganti topik pembicaraan.

Arlan geleng-geleng menjawab pertanyaan Dimas. Orangtuanya sudah mengerahkan berbagai cara, namun belum ada yang berhasil. Arlan sering mendengar laporan kemajuan pencarian dari sopir Lili belakangan ini.

"Aneh, ya? Kakek itu sudah delapan puluh tahun, kan? Masa bisa hilang kayak ditelan bumi begitu?" Dimas berkomentar, tidak percaya.

"Gue juga merasa begitu," jawab Arlan. "Tapi orangtua gue nggak ngasih gue ikutan nyari Kakek. Gue memang nggak bakal bisa banyak bantu, sih. Tapi, setidaknya gue harus ikut campur. Dia, kan, kakek gue."

"Gue kenal orangtua lo, Lan. Pastinya mereka punya pertimbangan lain."

Arlan manggut-manggut saja. Dia sendiri tahu, orangtuanya adalah tipe yang tidak akan melibatkannya dalam hal apapun. Ayah dan ibunya lebih suka jika Arlan melakukan aktifitas seperti anak sekolah lainnya. Mereka hanya meminta satu hal, Arlan tidak boleh melakukan kesalahan apapun.

***

Arlan sudah berdiri di dekat pintu kelas Manda begitu bel istirahat berbunyi. Kelas Manda yang terkenal dengan kelas unggulan, belum bubar walau sudah lewat lima belas menit. Arlan mencuri pandang ke dalam kelas. Manda masih di tempat duduknya. Ketika mereka bertemu pandang, Arlan melemparkan senyuman semanis mungkin. Tentu saja Manda membalasnya dengan membuang muka.

Bersabar sebentar lagi bukanlah hal yang susah bagi Arlan. Dia merelakan jam istirahatnya yang berharga demi bertemu Manda. Cacing di perutnya yang meronta-ronta bahkan tidak membuatnya gentar dan berlari menuju kantin.

"Nunggu siapa, Dik?" Pak Nugraha tiba-tiba muncul dari balik pintu kelas Manda. "Nunggu pacar, ya?" goda Pak Nugraha. Guru satu ini memang terkenal suka guyon dengan murid-muridnya.

"Nunggu Manda, Pak," jawab Arlan sambil nyengir.

"Dah, sana!" Pak Nugraha menepuk bahu Arlan sebelum berlalu.

Tanpa basa-basi, Arlan langsung masuk ke kelas Manda. Dia melihat Manda tengah mengemas bukunya dengan terburu-buru. Arlan yang merupakan anak kelas lain yang tiba-tiba nongol di depan kelas, tentunya menjadi pusat perhatian.

"Nyari siapa, Lan?"

Salah satu anak di kelas ternyata mengenal Arlan. Dia adalah Riko, teman satu kelompok waktu MOS dulu.

"Manda," jawab Arlan cepat.

Suara tercekat dapat Arlan dengar dari beberapa sudut. Arlan berusaha tidak memperdulikannya. Dia tidak mau Manda kabur dan usahanya menunggu jadi sia-sia.

"Kenapa lo ke sini?" desis Manda begitu Arlan sampai di depannya, tepat ketika Manda meletakkan kembali tasnya.

"Kita perlu bicara," Arlan menjawab sambil memandang lurus-lurus.

"Bicara apa lagi, Lan?" Manda masih berbisik. Dia tidak mau pembicaraan mereka terdengar jelas oleh orang lain. "Berapa kalipun lo minta, gue nggak bisa bantu."

"Lo tega biarin gue tanpa kepastian kayak gini?" cicit Arlan.

Mendengar Arlan yang tiba-tiba meninggikan nada suara, Manda langsung kelabakan dan berdiri. "Jangan ngomong sembarangan!"

"Habisnya, lo nggak ngasih gue jawaban pasti. Gue nggak bisa digantung begini."

Manda reflek menutup mulut Arlan dengan kedua tangannya. Arlan yang melihat gerakan mendadak dari Manda, menjadi berdebar sungguhan. Jarak wajah mereka yang hanya beberapa jengkal, membuat telinganya sampai memerah.

"Lo ngomong apa, sih?" Manda hampir menangis saking kesalnya. "Ikut gue!" Akhirnya Manda memutuskan menyeret Arlan menjauh dari kelasnya. Sudah pasti gosip aneh akan muncul di antara mereka.

Manda membawa Arlan menuju lapangan basket lagi. Kali ini, tidak ada orang di sana. Manda mengedarkan pandangan ke segala penjuru, sebelum memulai percakapan.

"Lan, gue minta lo jangan ngomong yang aneh-aneh, deh!" protesnya. "Lo tahu bakal jadi kayak apa setelah lo ngomong kayak tadi, kan?"

"Ya tinggal diluruskan," jawab Arlan enteng.

Manda mendengus kesal. "Orang-orang tidak peduli dengan kebenaran. Mereka percaya dengan apa yang mereka ingin percaya. Percuma lo kasih penjelasan."

"Kalau gitu, biarkan saja"

Manda terdiam mendengar jawaban Arlan. Dia tidak berkedip sama sekali. Arlan bukanlah anak kecil. Tentunya dia tahu konsekuensi apa yang akan dia dapat dari ucapannya itu.

"Lo tahu siapa gue, kan?" Manda memastikan.

Arlan mengangguk yakin. "Lo orang yang bisa bantu gue," dia menjawab dengan tegas.

Manda memijit kepalanya yang berdenyut. "Kayaknya lo nggak akan pergi, bagaimanapun gue nolak, ya?"

"Hehehe," Arlan cengengesan. "Gue cuma minta sedikit penjelasan aja, Man. Soalnya lo tiba-tiba mengungkit masalah mimpi gue. Mimpi itu datang berkali-kali."

"Kakek lo sudah ketemu?" Manda mengubah topik pembicaraan.

Arlan menggeleng. "Nggak ada kabar apapun."

Manda memejamkan mata sejenak, lalu ganti memandang Arlan. Beberapa detik berlalu dalam sunyi, membuat Arlan mati-matian meredam detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. Bukan tanpa sebab, Arlan sangat menyukai mata Manda.

"Lo jangan berharap banyak. Gue bukan orang sakti ataupun dukun."

"Artinya lo mau bantu gue?" Arlan sumringah.

Manda menghela nafas panjang. "Nggak ada jalan lain. Lo pasti ngintilin gue terus kayak anak bebek yang ributnya minta ampun."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!