Hantu Kecil

"Gue rasa, itu nyokap gue," Arlan memulai pembicaraan.

Nanda dan Manda yang duduk di depannya langsung berhenti menyantap nasi goreng yang sepuluh menit lalu mereka pesan. Mereka bertiga tengah duduk di warung kaki lima yang ada di depan sekolah. Arlan memutuskan tidak pergi ke rumah Manda untuk beberapa saat, karena Pak Imam menolak untuk membiarkannya pergi lagi. Jadi, Nanda yang menghampirinya kali ini.

Arlan melirik Pak Imam yang duduk di dekat mobilnya. Pak Imam memperhatikan mereka sambil menikmati es kelapa mudanya. Salah satunya memegang handphone. Pasti, Pak Imam mengambil beberapa gambar dan memberikan laporan pada Lili mengenai kegiatan anaknya.

"Kenapa nyokap lo?" tanya Manda.

"Jin itu..." Arlan mendongak ke atas, meski tidak bisa melihat apa yang Manda dan Nanda lihat, "adalah punya nyokap gue."

"Kenapa lo bisa bilang begitu?" tanya Manda lagi.

"Kemarin gue mancing nyokap gue, dengan bilang kalau ada yang bisa lihat jin itu," aku Arlan. "Nyokap gue berlebihan waktu jawabnya. Nyokap gue nggak pernah kayak gitu dulunya. Bahkan, Beliau yang minta gue jangan dekat-dekat Kakek, tanpa ngasih tahu apa alasannya. Nyokap gue biasanya nggak ambil pusing tentang dunia gaib, jadi jawabnya pasti seadanya saja. Tapi, kemarin... Beliau nggak kayak gitu."

"Hahaha, dengan alasan seperti itu, lo nuduh nyokap lo punya jin?" Nanda tertawa.

"Gue cuma menduga, Nan," sahut Arlan sebal.

Nanda menyilangkan tangannya di atas meja. "Masalah ini sensitif kalau sudah menyangkut keluarga. Lebih baik, lo pastikan kecurigaan lo itu."

"Apa ada cara mudah untuk memastikan?" tanya Manda. Nasi goreng di depannya sudah tidak menarik lagi.

Nanda berpikir sejenak, namun akhirnya dia menggeleng. "Nggak ada cara mudah. Tapi gue punya beberapa cara. Pertama, kita usik jinnya sampai dia marah. Misal kayak nyembunyiin Arlan gitu. Lalu--"

"Nah, itu dia!" Arlan tiba-tiba menimpali. "Kemarin, nyokap gue tiba-tiba pulang dan bertanya apa gue baik-baik saja!"

"Apa salahnya kalau nyokap lo nanya begitu sama anaknya sendiri?" Manda tidak mengerti.

"Nyokap gue tiba-tiba balik ke rumah cuma buat nanya hal itu. Nggak masuk akal," jawab Arlan sambil menggeleng. "Nyokap gue nggak akan meninggalkan pekerjaannya hanya untuk hal itu. Beliau pasti datang untuk memastikan tidak ada yang terjadi, karena jinnya murka."

Nanda dan Manda terdiam. Kemudian mereka saling melempar pandangan. "Bisa begitu?" tanya Manda.

"Dari awal gue sudah bilang, kalau cara yang paling cepat untuk tahu siapa dalangnya, adalah nyembunyiin Arlan dari jin itu, kan?" kata Nanda.

"Konsekuensinya?" Manda tahu, apa yang akan mereka lakukan pastinya memiliki konsekuensi yang setimpal.

"Pertempuran," Nanda tersenyum miring sambil menatap jin di belakang Arlan.

Plak!

Manda memukul kepala Nanda, kesal dengan sikap saudara kembarnya yang suka sekali mencari keributan. "Nggak boleh! Lo masih bocah dan nggak pernah secara khusus belajar bertarung sama hal-hal kayak begini. Kita harus hindari hal-hal yang berbau adu kekuatan!" tolak Manda.

"Gue punya ilmu kebal, kan?" timpal Arlan.

"Lo yang punya, bukan Nanda!" Manda masih menolak.

"Apa ilmu itu nggak bisa dikasih ke orang lain? Atau setidaknya dipinjamkan?"

Manda menoleh pada Nanda. Nanda memang banyak membaca perihal ilmu-ilmu gaib dan menyaksikan banyak hal tentang hal itu. Namun, dia tidak menemukan apapun di kepalanya mengenai cara memindahkan kekuatan secara suka rela.

"Kalau ilmu hitam yang diturunkan, gue pernah baca beberapa," kata Nanda. "Tapi, merebut ilmu orang lain, bisa didapatkan dengan cara dibunuh, kemudian kekuatannya di-'makan'."

"A-apa ilmu kebal termasuk ilmu hitam?" tanya Arlan.

Nanda mengangkat bahunya. "Semuanya tergantung yang pakai, kan?"

Arlan menghela nafas panjang. "Ngomong-ngomong, kita ngobrolin ini, apa jinnya nggak bisa dengar?"

"Bisa," Nanda menjawab dengan entengnya.

"Nggak apa-apa?"

"Dia cuma bertugas jaga lo dari serangan ilmu hitam. Bukan dari manusia," Nanda kembali melahap makanan di depannya. Kemudian Manda mengikuti.

"Lalu, cara kedua untuk tahu siapa yang punya jinnya, apa, Nan?" Arlan teringat pembicaraan mereka sebelumnya.

"Cari dalangnya dengan meminta bantuan orang pintar lainnya," jawab Nanda sambil mengunyah nasi goreng.

"Konsekuensinya?" tanya Manda.

"Orang yang kita sewa dan jin itu kemungkinan akan bersinggungan, lalu adu otot. Yang kalah, bakalan sakit. Tapi bukan sakit biasa."

"Gue nggak mau cara itu," tolak Arlan. "Gue nggak mau ada yang sakit."

"Lo nggak bisa selamanya jadi tuan muda yang baik hati, Lan," Nanda memperingatkan. "Cara ketiga, buat kesepakatan baru sama si jin. Mungkin lo bisa mempersembahkan hal yang jin itu mau untuk pergi dari sisi lo. Tapi, dia bakalan ingat hal ini dan kemungkinan dia bakalan nyamperin lo lagi untuk minta hal yang sama."

"Kira-kira, dia bakalan minta apa?"

"Hal yang paling disukai makhluk dunia hitam yang dikasih ngelunjak, adalah tumbal manusia. Apalagi bayi baru lahir, beuh, makhluk macam itu suka banget sama yang murni dan masih nggak ada dosa begitu."

Bulu kuduk Arlan langsung meremang begitu mendengar jawaban dari Nanda. Tentu saja cara ketiga langsung dia buang jauh-jauh. Dia tidak mungkin menumbalkan seorang manusia hanya untuk membuatnya lepas dari jin yang datang entah dari mana.

Nanda tersenyum melihat ekspresi bingung Arlan. "Gimana? Cara pertama paling cepat dan praktis, kan?"

Plak!

Manda memukul kepala Nanda lagi. "Praktis kepala lo peyang!" tolak Manda.

"Aaarghh! Jangan mukul kepala gue terus! Nanti gue jadi goblok!" protes Nanda.

"Lo emang udah goblok! Taunya adu otot mulu!" sanggah Manda.

***

Arlan tidak bisa menyingkirkan kecurigaan yang dia rasakan terhadap ibunya sendiri sampai dia tiba di rumah. Dia bersantai di ruang tengah dengan televisi yang menyala. Jarinya beberapa kali menekan tombol untuk mengganti saluran, namun sepertinya dia tidak berniat menonton acara apapun. Meski dia tampak sedang selonjoran di sofa ruang tengah, sebenarnya otaknya tengah berpikir keras.

Dia yakin, bahwa jin yang menempel pada dirinya adalah milik ibunya sendiri. Namun, dia harus membuktikan bahwa itu benar.

"Lalu apa? Setelah membuktikan bahwa itu benar, artinya gue juga harus cari tahu, apa yang ibu tumbalkan untuk jin ini, kan?" gumam Arlan, hampir tidak terdengar. "Kenapa tiba-tiba semuanya jadi ribet begini?"

Tiba-tiba saja Arlan teringat akan bunyi dentuman keras tempo hari. Sebenarnya, sudah tiga hari dia tidak mendengarnya lagi. Menurut Nanda, kemungkinan besar makhluk yang mencoba masuk tengah menyimpan kekuatannya untuk serangan yang lebih besar. Makhluk itu jelas memiliki akal.

Arlan melirik jam dinding yang bertengger manis di atas televisi. Jam menunjukkan pukul enam lewat lima menit. Jika makhluk itu datang, harusnya Arlan bisa mendengar bunyi dentuman dua puluh lima menit lagi. Arlan meraih handphone yang dia letakkan di atas meja kayu jati yang menghiasi bagian tengah ruang keluarganya. Dia menghubungi Manda.

"Ya?" Manda menerima panggilan video dari Arlan.

"Man, lagi senggang, nggak?" tanya Arlan.

Manda terlihat berjalan dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Ketika dia duduk, latar belakangnya memperlihatkan kamar Manda yang Arlan lihat tempo hari. "Baru habis makan malam. Ada apa?"

"Manda, siapa itu?"

Belum sempat Arlan menjawab pertanyaan Manda, sebuah suara berat muncul dari arah pintu kamarnya. Arlan melihat seorang laki-laki paruh baya dengan perut tambun, menyenderkan bahunya di ambang pintu. "Selamat malam, Oom!" sapa Arlan. Arlan langsung menarik kesimpulan bahwa laki-laki itu adalah ayah Manda, karena bentuk wajah mereka yang mirip.

"Dia Arlan, Yah. Teman Manda di sekolah. Kayaknya mau konsultasi sama Manda," jawab Manda.

Ayah Manda mengintip ke layar handphone anaknya, kemudian mengangguk. "Jangan macam-macam, ya! Jangan tutup pintu kamar selama teleponan!" pesan ayahnya sebelum berlalu.

"Sorry, iklan lewat," Manda berbalik kembali ke layar. "Tadi lo mau ngomong apa?"

"Ah, itu... Tempo hari, lo pernah lihat keadaan rumah gue dan notice waktu lewat kamar orangtua gue, kan?"

Manda mengangguk. "Tapi, nggak sopan masuk ke kamar orangtua lo tanpa permisi. Terutama gue, yang merupakan orang asing."

Arlan menggaruk dagunya. "Apa nggak ada jalan lain supaya tahu siapa pemilik jin ini?" Arlan berbasa-basi, meski dia tidak berharap banyak.

Manda diam. Dia memandang layar handphone-nya lekat-lekat. Matanya tidak berkedip sedikitpun. "Televisi lo hidup?" tanya Manda tiba-tiba.

"Iya," Arlan menjawab singkat. Meski Manda tidak meneruskan alasan pertanyaannya, Arlan dapat menangkap bahwa sebenarnya ada yang mengganjal di kepala Manda. "Mengganggu, ya? Apa perlu gue matikan?" tawar Arlan.

"Coba matikan," sahut Manda.

Arlan langsung menekan tombol power untuk mematikan televisi di depannya. Kemudian, hening menghampiri. Arlan bisa mendengar suara-suara yang tadinya tertutup suara televisi, seperti bunyi detik jam, deru rendah dari kulkasnya di dapur, dan gemericik air pancuran kolam ikan milik ayahnya.

"Lo sendirian?"

Pertanyaan selanjutnya dari Manda, membuat Arlan menegang. Dia tahu bahwa Manda tidak mendengarkan keheningan seperti yang dia dengar. "Apa yang lo dengar?"

"Teriakan," bisik Manda.

Arlan mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Dari arah mana?" Arlan bangkit dari duduknya, lalu mengaktifkan kamera belakangnya. Dia memutar handphone-nya secara perlahan.

"Ke kanan!" Manda mengarahkan.

Arlan berjalan perlahan ke arah yang Manda maksud. Arah yang Manda sebutkan adalah arah menuju kamar penghuni rumah. "Apa dari kamar orangtua gue lagi?" Arlan mengarahkan kamera ke pintu kamar orangtuanya.

"Bukan, bukan. Bukan dari pintu itu. Ke kanan lagi!" pinta Manda.

Arlan menyorot arah kanannya. "Itu ke arah gudang samping," jelas Arlan.

"Apa isinya?"

"Mmm, gue nggak pernah ke gudang." Arlan menyusuri lorong kecil sejauh satu meter, kemudian berhenti di depan pintu kayu. Selama tinggal di sana, Arlan tidak pernah memasuki gudang ini, ataupun gudang belakang. Alasannya simple, karena dia tidak membutuhkan gudang. Barang-barangnya terlalu sedikit untuk masuk ke dalam gudang.

"Suaranya jelas dari sana," kata Manda. "Tunggu, tunggu! Gue panggil Nanda dulu!" Manda bangkit dari duduknya. Dia berjalan cepat untuk memanggil Nanda. Kamera handphone-nya bergoyang ke sana kemari ketika dia berjalan. "Nan, gue masuk, ya?" dia berseru setelah mengetuk pintu.

"Kenapa, Man?" terdengar suara Nanda.

Manda membuka pintu kamar Nanda, dan langsung menghambur ke dalam. "Lo dengar suara ini, nggak?" Manda menyodorkan handphone-nya, sampai layar handphone Arlan hanya menampilkan lubang hidung Nanda. "Suara teriakan itu!"

"Ya, gue dengar. Hape lo jauhin dikit, dong!" Nanda mendorong handphone Manda agar menjauh dari wajahnya. "Keras banget. Apa dari balik pintu itu?"

"Iya. Arah suaranya dari sana," jawab Manda setengah berbisik. "Buka, nggak?" dia meminta saran pada Nanda.

Alis Nanda berkerut, untuk beberapa detik menimbang apakah mau membuka pintu atau tidak. Sementara Arlan berdiri mematung dengan segala ketidaktahuan. Dia tidak bisa mendengar apa yang Manda dan Nanda dengar. Di telinga Arlan, rumahnya sunyi senyap saat ini.

"Lo punya adik?" Nanda bertanya tiba-tiba.

"Hah? Nggak. Gue anak tunggal," jawab Arlan. "Kenapa lo tanya itu tiba-tiba?"

"Soalnya teriakan yang gue dengar manggil 'Kakak'." Ucapan Nanda membuat Arlan semakin tidak mengerti. "Buka," kata Nanda pada akhirnya. "Pelan-pelan," dia menambahkan.

Arlan mengikuti instruksi Nanda. Tangannya meraih gagang pintu, lalu memutar gagang itu perlahan. Arlan mendorong daun pintu yang tidak terkunci ke arah dalam. Angin dingin berhembus melewati lehernya dalam waktu singkat, lalu berganti pada udara lembab dan bau jamur.

"Siapa itu!?"

"Di depanmu, Lan!"

"Lan, diem, Lan! Jangan lari!"

"Hei, kamu siapa!?"

Arlan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru gudang. Gudang itu tidak begitu luas, namun jauh dari kata sempit. Di salah satu pojoknya, terdapat piano tua yang ditutupi kain hitam besar. Arlan tidak pernah mengingat bahwa orangtuanya memainkan alat musik. Lalu, ada banyak barang yang sudah tua, termasuk tempat tidur ayun untuk bayi. Tempat tidur itu sangat cantik, berhiaskan pita berwarna merah muda dan kelambu putih yang sudah ternoda debu.

"Kalian ngomongin apa, sih? Nggak ada apapun di sini," sahut Arlan.

"Lan, ada anak kecil di dekat jendela. Dia kelihatan marah, tapi dia nggak bergerak," jelas Nanda.

Arlan mengalihkan perhatiannya dari layar handphone ke arah jendela yang tertutup tirai. Tidak ada apapun di sana, seperti yang Nanda katakan. "Terus, gue harus gimana?"

"Tunggu sebentar!" jawab Nanda cepat.

"Apa Arlan nggak bakal kenapa-kenapa?" bisik Manda.

"Gue nggak tahu. Tergantung si anak kecil itu," Nanda balas berbisik.

Arlan pun hanya berdiam diri di posisinya. Sesekali dia terbatuk karena menghirup udara lembab di dalam ruangan. Namun, karena kedua bersaudara yang terpampang di layar handphone-nya memasang wajah tegang, Arlan tidak berani bersuara.

"SIAL!" tiba-tiba Nanda berseru.

"KEL--" suara Manda terputus.

Arlan terpental begitu saja ke belakang. Dia terjengkang sejauh lima meter. Kepalanya terbentur tembok, hingga dia kehilangan kesadaran.

***

Terpopuler

Comments

Titin Rahmawati

Titin Rahmawati

seruu thorr asliii

2022-11-15

2

Sulasih Ni Putu

Sulasih Ni Putu

Lah itu demit bocil baru juga ditengokin malah langsung ngamok 🤕 keknya itu adeknya Arlan deh ditumbalin. Semangat up nya kak, kutungguin tiap hari!!

2022-11-14

12

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!