Perlindungan

"Kakek Pareng, Nenek Arum, Tante Merry, Oom Ari, Oom Dira, Oom Oki, Oom Herman, Papa," Arlan mengabsen orang-orang yang ada di foto tersebut. Kakek Pareng dan Nenek Arum duduk di sebuah kursi kayu yang terbuat dari kayu jati berukuran besar. Kursi tersebut memiliki ukiran naga di kedua sisinya, tampak sangat megah. Sementar keenam anak mereka berdiri di belakang dengan pakaian terbaik mereka waktu itu.

"Semua tampak muda," Arlan nyengir. Waktu foto itu diambil, Fahmi masih berumur lima belas tahun. Dibandingkan dengan keempat saudara laki-lakinya, Fahmi tampak paling serius dan keras kepala. Dia sangat mirip dengan Kakek Pareng. Sementara saudaranya yang lain sangat mirip dengan Nenek Arum. Neneknya memiliki aura kasih sayang yang luar biasa besar. Kecantikannya bahkan tidak tertandingi.

Kesan yang melekat pada neneknya, berbanding terbalik dengan kakeknya. Sama seperti Fahmi, tabiat Kakek Pareng adalah pribadi yang keras. Air mukanya tidak banyak berubah dari waktu ke waktu.

Arlan membalik lembar kedua. Ada banyak foto dari zaman dahulu. Beberapa bayi juga tertangkap kamera, namun Arlan tidak tahu siapa saja itu. Dia bahkan tidak tahu foto ayahnya saat masih bayi. Foto-foto berikutnya, banyak yang Arlan tidak tahu. Dalam pikiran Arlan, dia bisa menyimpulkan bahwa keluarganya adalah orang penting dan banyak mendapatkan tamu. Ada beberapa pejabat dengan bintang di pundak mereka yang ikut bersuafoto.

"Wah... Siapa orang ini?" gumam Arlan, saat matanya terpaut pada seorang perempuan berparas molek yang mengenakan kebaya lusuh. Perempuan itu tidak sengaja tertangkap kamera di waktu menjaga Merry dan Fahmi bermain bersama.

"Rasanya... Dia mirip sama seseorang," Arlan mengusap-usap dagunya. "Hmm... Raut wajah ini... Kok rasanya mirip Dimas, ya?"

Arlan meraih handphone-nya dan langsung menghubungi DImas. "Halo, Dim?" sapa Arlan, begitu nada tunggu berhenti di dering kelima.

"Kenapa, Lan?" suara Dimas terdengar serak. Sepertinya dia terbangun dari tidurnya.

"Lo tidur?"

"Iyalah! Kenapa?" protes Dimas dari seberang.

"Bisa kirimin foto nyokap lo?" Arlan langsung ke pokok masalah.

Dimas tidak langsung menjawab. Bagi Dimas, tentunya ini adalah hal yang aneh. Mungkin juga dia belum sadar dengan apa yang terjadi. Namun, Arlan sangat penasaran dengan wajah ibunya Dimas. Meski dikatakan mereka telah berteman sejak kecil, sekalipun Arlan tidak pernah melihat foto orangtua Dimas. Dimas adalah anak yatim piatu yang dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Sementara orangtua Dimas dikatakan telah meninggal karena kecelakaan.

Karena hal itu juga, Arlan merasa iba dan meminta ayahnya membantu Dimas dalam urusan keuangan, berhubung keluarga Arlan tidak memiliki kekurangan jika menyangkut masalah uang. Dimas pun bersekolah dan bisa bekerja di perusahaan ayahnya Arlan ketika besar nanti.

"Foto siapa?" tanya Dimas lagi. Suaranya sudah kembali normal.

"Nyokap lo, Dim," sahut Arlan.

"Buat apa?"

"Gue nemu foto orang yang mirip banget kayak lo."

Dimas tidak menjawab lagi. Arlan jadi merasa keterlaluan meminta hal itu secara tiba-tiba. Bisa saja Dimas tersinggung saat ini. "Oke. Gue kirim sekarang. Lo juga kirim foto orang yang mirip sama gue, ya!" jawab Dimas pada akhirnya.

Arlan menunggu dengan perasaan tidak sabar, padahal Dimas langsung mengiriminya pesan dalam beberapa detik.

"Wah, gue kira dia nggak punya foto orangtuanya," ujar Arlan. Kemudian dia membandingkan wajah foto yang ada di album dan foto yang Dimas kirim. Ternyata, dilihat dari sisi manapun, mereka adalah orang yang berbeda. Sesuai janji, Arlan juga mengirimkan foto yang menurut dia mirip dengan Dimas.

Arlan meregangkan tubuhnya setelah melewati saat yang menegangkan. Bahunya perlu rileks untuk sejenak. Ketika bayangan wajah Manda terlintas di kepalanya, Arlan segera menghubungi Manda.

"Ya?" sapa Manda dari seberang telepon.

"Hai, Manda!" Arlan berbasa-basi.

"Nggak usah banyak pembukaan. Langsung aja ke pokok masalah."

Arlan mengusap dadanya. Jantungnya tidak bisa diajak kerja sama. "Nggak ada masalah," jawabnya kalem.

"Terus, kenapa lo telepon?"

"Mmm, kangen?" Arlan berniat menggoda Manda. Tapi, jawaban yang dia dapatkan adalah suara telepon terputus. "Hhh, ini anak nggak bisa diajak bercanda."

Manda menolak telepon dari Arlan setelah itu. Jadi, Arlan memutuskan untuk bicara lewat pesan singkat saja. Dia juga mengirimkan beberapa foto dan menjelaskan silsilah keluarganya pada Manda.

Manda tidak langsung membalas pesannya, hanya ada tanda bahwa Manda telah membacanya. Arlan kembali tenggelam ke dalam album foto lama itu. Beberapa kali perempuan yang mirip dengan Dimas itu tertangkap kamera. Dari sana, Arlan dapat menyimpulkan bahwa perempuan itu adalah pengasuh anak-anak Kakek Pareng.

Arlan memotret kembali foto-foto yang ada di album lama itu. Dia tidak berniat menyimpan album itu terlalu lama. Jika bisa, dia mau mengembalikan album itu sebelum orangtuanya kembali, meski dia tidak yakin kenapa dia bertindak seperti maling begini.

***

Arlan duduk sendirian di meja makan. Bi Enja telah menyajikan makan malam sebelum pulang tadi. Baru saja mulai menyantap hidangan di depan matanya, Arlan mendapatkan pesan dari Lili, mengatakan bahwa Pak Tomas telah sadarkan diri, walau belum pulih sepenuhnya.

"Syukurlah..." Arlan berkata sambil mengelus dadanya. Dia merasa bersalah karena Pak Tomas jadi seperti itu karena dirinya. Arlan kembali menyantap makan malamnya sambil melihat-lihat foto dari album yang dia ambil tadi siang.

Matanya masih tidak bisa lepas dari perempuan yang sangat mirip dengan Dimas. Bahkan, jika Dimas memakai wig rambut panjang, Dimas akan menjadi perempuan itu. "Hahahaha! Masa Dimas datang dari masa lalu?" Arlan bercanda sendiri. Mendapati pikirannya sudah kemana-mana, Arlan memutuskan untuk mengirim pesan pada Manda. Bukan hal penting, hanya mengajak Manda berangkat sekolah bersama besok. Arlan tetap mengirim pesan itu, walau tahu Manda akan menolaknya.

"Hah? Apa?" Arlan tidak percaya dengan apa yang matanya lihat, ketika membuka balasan pesan dari Manda. "Asyik! Berangkat sekolah bareng!" Arlan menjadi girang sambil meninju-ninju udara di atas kepalanya.

BUM!!!

Seketika Arlan terdiam. Dia kaget bukan main mendengar suara dentuman keras barusan. Dia dapat melihat lampu gantung yang ada di ruang tengah bergoyang karena suara tadi. "Jelas ini bukan ilusi," gumamnya. "Memang ada suara keras."

Hal yang dia lakukan berikutnya, adalah menghubungi Manda. Saat ini, dia tidak bersama siapapun di rumah.

"Ada apa?" sambar Manda dari seberang.

"Ada suara dentuman keras di rumah gue," bisik Arlan.

"Ubah ke mode video!" perintah Manda.

Arlan buru-buru menuruti perkataan Manda. Betapa kagetnya Arlan ketika melihat keadaan Manda di layar handphone-nya. Manda mengenakan kaos oblong longgar. Rambutnya masih basah, menandakan dia baru saja selesai membersihkan diri. Kulit putih Manda semakin bersinar dan Arlan menyukai hal itu.

Arlan menggeleng keras, berusaha membuang pikiran mesum yang sempat terlintas di kepalanya. Ada hal yang lebih penting yang harus dia pikirkan saat ini. "Apa lo lihat sesuatu?" tanya Arlan.

Dengan tampang sebal, Manda menjawab, "Ya, muka lo!" ketusnya. "Pakai kamera belakang, Lan! Gue mau lihat kondisi rumah lo, bukan kondisi muka lo!"

"Hehehe, iya, iya," Arlan mengganti ke kamera belakang, kemudian menyoroti bagian rumahnya satu demi satu.

BUM!!!

"Lo dengar!?" cicit Arlan ketika suara itu muncul lagi.

"Ya, gue dengar," jawab Manda kalem. "Terus jalankan kamera lo!" Manda memandang ke layar handphone-nya tanpa berkedip. Dia tidak mau melewatkan satu detikpun. "Ruangan apa itu?" tanya Manda tiba-tiba, saat Arlan menyoroti kamar orangtuanya.

"Kamar bokap-nyokap gue."

Manda mengusap matanya berkali-kali. Alisnya berkerut. Arlan yang melihat ekspresi Manda, jelas mengetahui bahwa ada yang tidak beres. "Lo lihat sesuatu?"

"Ya. Gue akan ceritakan detailnya di sekolah besok. Sekarang, pergi ke luar rumah!"

Arlan manggut-manggut saja dan menuruti perintah Manda. Dia bergegas melewati ruang tamu untuk pergi ke luar rumah lewat pintu depan.

BUM!!!

Suara itu kembali terdengar ketika Arlan menarik gagang pintu depan. Arlan sampai menunduk, karena mengira suara itu ada di atas kepalanya. "Gila! Keras banget!" kata Arlan.

"Lan! Hadapkan kamera ke atas rumah lo!"

"Hah? Oh, oke!" Arlan langsung mengangkat handphone di tangannya, mengarah ke atap rumah.

"Astaga!" pekik Manda. "Astaga! Apa itu!?"

"Apa? Lo lihat apa, Man?" Arlan tidak mengerti. Arlan hanya melihat langit yang sudah menjadi hitam, diselimuti awan kelabu tebal. Bulan pun tidak menampakkan dirinya.

"Kenapa, Manda?" tiba-tiba suara Nanda terdengar. Arlan melihat Nanda masuk ke kamar Manda. Mungkin Nanda mendengar Manda yang memekik barusan, jadi dia tertarik untuk tahu apa yang terjadi.

"Lihat!" Manda menarik Nanda hingga duduk di sebelahnya, lalu membagi layar handphone dengan Nanda.

Nanda melotot, sama seperti Manda ketika melihat apa yang Manda lihat. "Rumah siapa ini?" tanya Nanda.

"Arlan," jawab Manda.

"Wah... Ini, sih, kasus besar," Nanda berkomentar. "Bro, apa nggak panas tinggal di rumah seperti itu?"

"Panas kenapa? Gue pakai AC," jawab Arlan.

"Dia punya jin itu, Nan," Manda memperingatkan.

"Bukan gue yang punya, gue ditempeli," Arlan mengoreksi. Dia tidak mau sampai dianggap memelihara jin.

"Lebih baik lo pergi dari rumah itu," gumam Nanda.

"Tapi, Nan, rumah itu yang paling aman. Lo lihat ada lingkaran cahaya di sana, kan? Ada yang melindungi rumah itu."

"Ya, cahaya merah. Artinya perlindungan itu didapat dari tumbal manusia," lanjut Nanda.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!