Terseret

"Apa? Lo bilang apa, Man?" Nanda berhenti berjalan dan memandang kepada saudara kembarnya dengan tatapan heran. "Lo sendiri yang menolak mentah-mentah kalau kita adu otot sama makhluk itu. Lalu, sekarang apa?"

"Hhh, iya... Gue sebenarnya nggak mau berurusan sama makhluk begitu. Tapi..."

"Jangan-jangan, lo suka sama Arlan, ya?"

"Idih! Apaan, sih!" sanggah Manda dengan pipi memerah. "Gue cuma kesal, Nan! Habisnya, orangtua Arlan itu bebal banget! Sudah ketahuan ini-itu, masih nggak mau jujur sama Arlan. Padahal, bisa saja Arlan adalah jalan keluar dari kutukan itu!"

"Kenapa lo bisa ngomong kalau Arlan adalah jalan keluarnya?" tanya Nanda.

"Yaaa karena dia punya ilmu kebal murni, kan?"

Nanda tersenyum penuh arti. Dari sana, barulah Manda sadar kenapa sejak awal, Nanda menyarankan untuk adu kekuatan. Nanda bukannya tidak sabaran, tapi dia tahu bahwa Arlan akan menang melawan makhluk itu.

"Tapi..." Manda masih sangsi. "Arlan nggak bisa lihat makhluk itu. Lagipula, Arlan nggak pernah berurusan sama hal-hal semacam itu. Gimana caranya Arlan melawan mereka?"

Nanda lanjut berjalan menyusuri lorong mall, diikuti Manda. "Karena lo sudah berniat untuk bantu Arlan, gue juga akan turun tangan. Gue akan hubungi Oom Kristan untuk bantu kita."

"Oom Kristan? Lo yakin?"

"Dia yang terkuat diantara kita."

Manda mengusap punggung tangannya. "Tapi, Ibu nggak akan suka kalau kita berhubungan sama Oom Kristan. Kayaknya Ibu masih belum maafin Oom Kristan, deh," kata Manda.

"Lo mau Ibu yang turun tangan?"

"Nggak!" Manda menjawab dengan cepat. "Ibu nggak akan kuat."

"Makanya kita minta bantuan Oom Kristan," jelas Nanda. "Lo percaya aja sama insting gue. Gue nggak pernah salah."

"Iya, Nan. Gue ikut apa ka--" Manda berhenti. Bulu kuduknya meremang seketika. Dia berbalik, mencari orang yang baru saja melewatinya.

"Kenapa, Manda?" Nanda ikut berhenti. Karena Manda tidak menjawab, Nanda mengikuti arah pandangan mata Manda dan menemukan Arlan tengah berjalan bersama seorang laki-laki. Nanda kembali melihat Manda. Dia memasang tampang ketakutan. Nanda meraih lengan Manda untuk menyadarkannya. "Manda, apa ada yang salah?"

Manda tersentak, kembali sadar. "Orang itu..."

"Yang di sebelah Arlan?" Nanda memastikan.

Manda mengangguk. "Orang itu... auranya... rasanya..."

"Apa berbahaya?" tembak Nanda.

"Iya. Sangat berbahaya."

Nanda bergegas menghampiri Arlan yang berjalan lurus bersama laki-laki di sebelahnya. Nanda sedikit tidak percaya kalau Arlan tidak melihat Manda ketika mereka berpapasan tadi. "Arlan!" panggil Nanda.

Arlan tidak memberikan respon.

Kening Nanda berkerut. "Arlan!!" panggil Nanda lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras.

Arlan tetap berjalan menjauhi Nanda.

Nanda menghirup nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Arlan..." Nanda bersuara pelan, namun menggunakan suara perutnya.

Arlan berhenti tiba-tiba. Dia menengok ke kanan dan kirinya, seolah kaget dan tidak sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Detik itu juga, Nanda tahu bahwa orang di sebelah Arlan adalah sebuah ancaman.

"Arlan!" Manda ikut memanggil.

Arlan menoleh ke belakangnya. "Manda!" wajahnya kembali cerah ketika mendapati Manda. "Lho? Ada Nanda juga? Hai, Nan!"

"Mau ke mana?" Manda mencoba bersikap senatural mungkin, tidak mau orang di sebelah Arlan merasa curiga.

"Oh... iya... Mmm," Arlan tampak bingung. "Tadi seingat gue, mau nonton bioskop. Tapi... Kenapa jadi ke sini, ya?"

"Wah, kebetulan kita juga mau nonton. Bareng aja, gimana?" ajak Nanda. Tentu saja Arlan tidak mungkin menolak ajakan Nanda, walau sebenarnya tujuan Nanda ke mall adalah untuk membeli makan malam dengan Manda, berhubung orangtua mereka tengah sibuk saat ini.

"Waaah! Boleh banget!" Arlan menjawab cepat sambil melirik Manda. 'Rezeki nomplok!' batinnya dalam hati. "Ayok, Dim! Bareng mereka aja," Arlan mengajak laki-laki di sebelahnya.

Walau hanya sedetik, Manda dapat melihat raut jengkel dari wajah Dimas. Dia pasti merasa terganggu karena Manda dan Nanda muncul secara tiba-tiba dan merusak apapun rencananya beberapa saat lalu.

"Nggak usah," berbeda dengan Arlan, Dimas menolak ajakan Nanda. "Gue masih ada urusan lain. Kalian nonton bareng aja. Gue duluan, ya?" Dimas buru-buru kabur, tanpa repot-repot menunggu jawaban dari Arlan, ataupun berusaha beramah-tamah dengan teman satu sekolahnya.

Arlan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sorry," katanya, merasa tidak enak karena sahabatnya sangat terlihat jelas menghindari Manda. "Dimas nggak biasanya begitu. Tapi..." Arlan memandang Manda.

Manda tersenyum. "Nggak usah dijadikan masalah," jawab Manda. "Dia bukan orang pertama yang takut sama gue karena dengar gosip ini-itu."

"Orang-orang kayak mereka nggak akan ada habisnya," gerutu Nanda.

"Kalau kita mikirin mereka juga, nggak akan ada habisnya, kan? Anggap angin lalu saja," timpal Manda. "Kita jadi nonton?"

"Makan dulu, yuk?" pinta Nanda seraya mengusap-usap perutnya.

***

"Lo tadi sempat nggak sadar waktu digiring sama Dimas," Nanda membuka percakapan sambil menunggu pesanan mereka datang.

"Nggak sadar?" ulang Arlan. Arlan menunduk, mencoba mengingat apa yang terjadi tadi. "Waktu gue tiba-tiba muncul di hadapan kalian?"

Manda dan Nanda mengangguk bersamaan. "Gue bahkan manggil lo beberapa kali, tapi lo acuh."

"Gue... kenapa?"

"Bukan lo yang kenapa-kenapa, Lan," jawab Manda. "Tapi, seperti yang lo duga, Dimas memang aneh. Dia menyembunyikan sesuatu."

"Selama ini, kalau gue ajak dia ketemu lo, dia selalu menolak. Gue kira, karena dia takut sama lo," ungkap Arlan. Sepertinya dia mulai mengerti kenapa Dimas sebegitu tidak sukanya jika dia bertemu dengan Manda.

"Aura Dimas itu..." Manda mengusap punggung tangannya, merasa gusar. "Gue bisa rasakan ada yang sama."

"Maksudnya?" tanya Arlan.

"Ingat waktu kita pertama kali ketemu?" Manda balik bertanya, yang langsung dijawab dengan anggukan dari Arlan. "Waktu gue lihat mata lo, ada aura hitam aneh walau nggak jelas. Aura yang tersisa dari mimpi lo setiap malam. Aura dari makhluk tidak kasat mata penuh dendam yang buat gue takut."

Arlan menelan ludah. "Apa... aura Dimas juga seperti itu?" tanyanya lambat-lambat.

Manda mengangguk sekali. "Gue yakin."

"Tapi, setahu gue, Dimas nggak ada hubungannya dengan ini. Gue kenal kakek dan nenek Dimas. Orangtua Dimas juga meninggal waktu Dimas masih kecil. Gue pernah ketemu mereka dulu sekali," papar Arlan.

Manda menoleh pada Nanda. "Kita bisa tahu kalau Nanda masuk ke dalam masa lalu Dimas," suara Manda berubah pelan.

Nanda tersenyum miring mendengar pengakuan saudara kembarnya. "Boleh gue pakai, nih?" dia memastikan, berhubung selama ini Manda sangat menentang jika Nanda memakai kemampuan melihat masa lalu yang dia miliki.

"Tapi harus ada gue di samping lo!" jawab Manda tegas. "Gue nggak mau kalau sampai terjadi apa-apa sama lo!"

"Lo tahu sendiri, Dimas menghindari lo, Man," Nanda mengingatkan. "Lo nggak bisa muncul begitu saja di hadapannya. Yang ada, dia malah kabur."

"Gue bisa sembunyi di dekat lo."

"Lo lupa siapa yang kita hadapi?" tanya Nanda. "Waktu kita mau lewat saja, dia mampu membuat Arlan tidak 'melihat' kita, padahal jelas-jelas Arlan naksir sama lo."

"Hah!?" Manda cengak.

"Eh? Nan!" Arlan mengingatkan. Jantung Arlan hampir copot karena Nanda tiba-tiba mengungkit masalah itu. "Fokus, Nan!" Arlan memohon. Dia tidak akan bisa mengontrol ekspresi wajahnya kalau sekali lagi Nanda keceplosan.

"Terus, gue benar-benar harus jaga jarak?" tanya Manda, buru-buru mengubah topik.

Nanda mengangguk. "Lo bisa ajari Arlan tentang bantuan hidup dasar. Anak ini pastinya ada di sekitar Dimas. Dia bisa jadi penolong pertama nantinya."

"Bantuan hidup dasar?" Arlan tidak mengerti dengan apa yang Manda takutkan. "Bantuan hidup dasar itu seperti resusitasi jantung-paru, kan? Untuk orang yang mengalami henti jantung? Buat apa gue belajar begitu?"

"Gue bisa mati waktu masuk ke masa lalu orang lain," Nanda menjawab dengan enteng.

"Apa? Mati? Mati gimana?"

"Ya... mati. Jantung gue berhenti. Nggak nafas."

Arlan menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering. Mendengar kata 'mati' membuat Arlan pusing. "Mending lo nggak usah lihat masa lalu, kalau begitu," usul Arlan.

"Kalau nggak begitu, masalah ini nggak akan ada akhirnya," jawab Nanda. "Manda sendiri setuju, melihat masa lalu Dimas akan mempercepat kita menemukan jawaban."

"Gue cuma menduga," sela Manda. Manda menatap jauh ke luar jendela restoran di mana mereka duduk untuk menunggu pesanan mereka datang. "Gue rasa ini takdir. Gue dan Nanda yang punya kekuatan khusus, pasti ditakdirkan untuk membantu seseorang. Dan itu lo, Lan."

***

Terpopuler

Comments

Dinda Syafira

Dinda Syafira

apa Dimas punya kakak?

2023-12-30

0

wulanzahira

wulanzahira

fix itu anakny larasati...kalau itu anakny kakek pareng berati adikny fahmi dong...pamanya arlan😅😅

2023-03-06

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!