Ilmu Turun-temurun

Arlan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Bagaimana mungkin hal itu keluar dari mulut Nanda. Arlan ingin tertawa, namun baginya itu bukan hal yang lucu.

"Nggak percaya, ya?" Nanda tersenyum kecil.

"Mana bisa gue percaya sama hal yang mustahil kayak gitu?" cerca Arlan. "Kalau benar gue punya ilmu kebal, kenapa gue ditempeli jin pelindung? Kenapa gue nggak bisa melindungi diri gue sendiri?"

Nanda mengusap dagunya lagi. Matanya masih melekat pada Arlan. "Gue juga nggak ngerti, kenapa lo nggak bisa pakai ilmu kebal yang lo punya."

"Nan!" Manda tiba-tiba berseru. "Gue ingat sesuatu!" Manda tampak antusias.

"Apa?"

"Waktu Arlan kecelakaan mobil, gue lihat ada ledakan dari dalam mobil Arlan. Itu bukan berasal dari kabut hitam yang melesat tiba-tiba, mendekati mobilnya. Tapi, berasal dari sesuatu yang lain."

"Rasanya bagaimana?" tanya Nanda.

Manda terdiam sejenak. Keningnya berkerut. Dia mencoba kembali ke kejadian yang Arlan alami dulu. "Aman," jawab Manda pada akhirnya.

Nanda menghela nafas panjang. "Namanya juga ilmu kebal. Ya, pasti amanlah!" cibir Nanda, yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Manda.

"Apa itu semacam bawaan dari lahir, atau diturunkan waktu gue besar?"

"Bisa keduanya. Kakek lo punya kekuatan supranatural. Besar kemungkinan lo juga punya." Nanda menegakkan tubuhnya di sofa. "Ayo tanya orangtua lo masalah ini!"

"Sekarang orangtua gue nggak di rumah. Nanti malam juga, gue nggak yakin bisa ketemu mereka."

Manda mendongak ke arah luar. "Lo harus keluar sekarang, Lan! Jinnya mau ngamuk!" Manda menarik tangan Arlan dan segera menyeretnya ke luar rumah. Sementara Nanda mengikuti dari belakang.

"Gue antar pakai mobil. Kalian tunggu aja di luar," pesan Nanda.

Manda dan Arlan berjalan berdampingan menuju luar gerbang. Tanpa sadar, Manda masih memegang tangan Arlan. Dia hanya peduli dengan jin yang mulai marah di depan gerbang rumahnya.

Berbeda dengan Manda, Arlan hampir tidak bisa menahan rasa senangnya. Wajahnya berseri dengan senyuman tersungging lebar. Pipinya sama merahnya dengan langit sore itu. Sejenak, dia melupakan apa yang penting. Kepalanya dipenuhi dengan Manda.

"Ayo!" Manda menarik Arlan masuk ke dalam mobil yang baru saja keluar dari garasi rumahnya. "Aman, aman. Jinnya sudah nempel lagi," kata Manda ketika masuk.

Nanda melirik dari spion, dia menyadari Arlan yang sedang kesem-sem pada saudara kembarnya. "Lan, lo harus fokus sama masalah ini," Nanda memperingatkan. "Ini menyangkut nyawa lo sendiri."

"Ehem!" Arlan berdeham, malu sendiri karena sudah lupa diri.

"Ngomong-ngomong, selama lo sama Manda, makhluk dunia hitam nggak akan bisa mendekat. Tapi, itu bukan berarti lo bisa santai dan nggak awas sama sekitar. Manda juga bisa terluka," tambah Nanda. "Manda, apa gue perlu pindah ke sekolah lo?"

"Gila, lo!" sindir Manda. "Targetnya bukan gue, jadi gue bisa jaga diri."

"Kalau ada sesuatu yang nggak beres atau mengancam nyawa, lo harus langsung kabur!"

Manda mencibir. "Peringatan itu harusnya lo tujukan buat diri lo sendiri, Nan! Jangan sembarangan pegang tangan orang lain, terus lo lihat masa lalu orang lain cuma karena kepo!"

Nanda cuma nyengir di bangku kemudi. Dia kembali fokus ke arah jalanan. Namun, telinganya tetap waspada dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Nanda melihat jin yang menempel pada Arlan masih gusar dan marah, perihal Arlan menghilang beberapa saat lalu dari pengawasannya.

"Punggung gue berasa dingin lagi," gumam Arlan. Sebenarnya, sejak beberapa bulan yang lalu, punggungnya terus terasa dingin. Tapi, karena tidak menimbulkan masalah kesehatan dan tidak mengganggu aktifitasnya, Arlan mengabaikan hal itu. "Apa itu karena jin ini? Tadi, di rumah lo, semuanya nggak terasa lagi."

Manda mengangguk. "Betah juga lo ketempelan."

Dalam perjalanan, jarang ada yang membuka mulut. Nanda dan Arlan lebih memperhatikan sekitar. Nanda memang mengatakan kalau Arlan aman selama bersama Manda, namun tidak menutup kemungkinan akan ada yang terjadi.

Manda diam-diam melirik jin yang menempel pada Arlan. Jin putih itu berpendar seperti uap nasi hangat yang dia makan tadi pagi. Jin itu tidak melepas pengawasannya dari Arlan. "Kayaknya bakalan sulit untuk lo ke rumah gue lagi. Jin ini semakin waspada," ujar Manda, membuka kembali percakapan, karena dia tidak suka keheningan yang dirasa berat itu.

Nanda mengangguk setuju. "Sebenarnya kita bisa mancing orang yang masang jin itu."

"Gimana caranya?" sambar Arlan.

"Lo sembunyi di rumah gue," Nanda memberi usul.

"Nanda! Jangan macam-macam, deh! Jin yang ngamuk itu bisa membahayakan!" sanggah Manda.

"Ya, itu kalau dia pengen tahu, siapa yang masang jin itu," tambah Nanda. "Yang pasti, orang itu pastinya adalah orang yang dia kenal."

"Logika aja. Orang yang mau melindungi dia adalah orang yang sayang sama dia dan nggak mau dia mati," sambung Manda. "Daripada itu, gimana kalau kita diskusi tentang kemungkinan pertanyaan yang akan muncul sesampainya Arlan di rumahnya?"

"Nggak akan ada yang tanya. Kita cuma akan dapat wajah lega Pak Imam yang lihat gue sudah ada di rumah," jawab Arlan.

***

Arlan merebahkan dirinya di atas tempat tidur yang sebenarnya muat untuk enam orang dewasa. Dia memandang langit-langit rumahnya dengan tatapan kosong. Dia mencoba menata kembali tentang apa yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini.

"Mimpi buruk... Hantu wanita yang mau bunuh gue... Jin nempel entah sejak kapan... Kabut hitam yang coba masuk rumah... Perlindungan di rumah..." Arlan terdiam sejenak. Dia menutup matanya. "Ilmu kebal," bisik Arlan.

Badannya terasa lelah. Arlan berniat tidur sejenak untuk melepas penat. Dia akan memeriksa balasan pesan dari keluarganya nanti malam. Masih ada waktu sekitar dua jam sampai jam makan malam tiba.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan yang berasal dari pintu kamar Arlan membuatnya kembali terjaga. Kantuk beberapa detik lalu, menguap bersama hembusan nafasnya. "Siapa?" tanya Arlan.

"Ini Mama, Nak," suara Lili terdengar dari balik pintu. "Mama masuk, ya?"

"Masuk aja, Ma," jawab Arlan.

Lili langsung masuk ke dalam kamar Arlan, begitu Arlan mempersilakan. Arlan melihat Lili gusar dan wajahnya pucat. Lili tampak terburu-buru. "Kamu nggak apa-apa?" sambar Lili.

Arlan bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur. "Aku baik-baik saja. Ada apa, Ma?" Arlan balik bertanya. "Tumben Mama sudah pulang jam segini. Apa lagi senggang?"

Lili tidak langsung menjawab. Matanya sibuk meneliti Arlan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah memastikan bahwa anaknya baik-baik saja, barulah Lili menjawab. "Apa kamu pergi ke suatu tempat?"

Arlan tersenyum malu. "Tadi jalan-jalan sebentar sama teman, Ma," jawabnya, meski sedikit berbohong. Dia tidak mau ibunya tahu bahwa dia pergi ke rumah Manda tadi.

"Ke mana?" tanya Lili.

"Cuma di dekat sekolah. Beli minum sambil ngobrol. Lalu pulang. Ada apa, Ma? Apa aku juga nggak boleh jalan-jalan sebentar? Dulu Mama nggak protektif kayak gini. Apa Mama masih trauma masalah kecelakaan waktu itu?"

Lili menggigit bibir bawahnya. Entah dari mana, Arlan mendapatkan firasat aneh mengenai tingkah laku ibunya. "Kamu boleh pergi, tapi harus ditemani Pak Imam," ujar Lili. "Kalau begitu, Mama balik ke kantor, ya!" Lili bergegas keluar kamar Arlan.

Arlan buru-buru mengikuti Lili ke luar kamar. "Ma, nggak makan malam bareng dulu?" tawar Arlan.

Lili menggeleng. "Masih banyak yang harus Mama kerjakan," Lili menolak tanpa melambatkan langkahnya.

"Ma," Arlan memanggil sebelum Lili mencapai anak tangga pertama. "Waktu beli minum tadi, ada yang ngomong aneh sama aku."

"Maksudnya, ngomong aneh seperti apa?"

Arlan menatap Lili lekat-lekat. Dia tidak berkedip sedikitpun untuk melihat reaksi ibunya. "Aku ketempelan jin."

Mata Lili membulat. Dia menjerit tertahan. Jelas sekali bahwa Lili kaget karena Arlan tiba-tiba berkata seperti itu. "A-apa maksudnya? Mana mungkin kamu ketempelan jin? Itu cuma omongan asal dari orang asing! Kamu nggak usah percaya yang seperti itu!"

Arlan tersenyum kecil. "Iya, Ma. Aku cuma ngerasa aneh aja, karena ada orang ngomong ngawur begitu."

"Iya, iya! Itu cuma omongan ngawur! Kamu lebih baik belajar saja!" Lili langsung melambai dan pergi menuruni tangga.

Arlan tidak bergerak dari tempatnya. Tangannya memegang pagar pinggiran balkon dengan erat. Arlan tidak mudah merasa curiga sebelumnya. Namun, jika dia merasa ada yang aneh, hal itu akan terus membekas di kepalanya.

"Apa mungkin itu Mama?" gumamnya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!