Manda

Arlan duduk di kursi belakang mobilnya yang menuju ke sekolah. Jalanan masih agak sepi, membuat laju mobilnya lumayan cepat. Pak Tomas yang duduk di bangku kemudi, hanya diam saja sejak mereka berangkat, karena biasanya Arlan akan tidur kembali di mobil dan enggan untuk bicara.

Tidak perlu waktu lama, Arlan sudah mulai mengantuk kembali. Dia menempelkan keningnya di jendela mobil yang dingin. Tentu saja dia merasa mengantuk, karena tidurnya tidak nyenyak semalam.

"Pak," panggil Arlan dari belakang.

Pak Tomas menengok sekilas. "Ya, Mas?" tanya Pak Tomas. "Tumben belum tidur?"

Arlan mengusap matanya. "Tadi Pak Tomas dengar ada suara keras, nggak?"

Pak Tomas tidak langsung menjawab, melainkan berpikir sejenak maksud dari pertanyaan majikannya. "Kapan, Mas?" Pak Tomas kembali bertanya. Dia merasa tidak mendengar suara keras apapun.

"Di rumah tadi pagi."

"Tidak ada, Mas. Saya sudah di rumah sejak jam enam dan tidak ada suara apapun yang mengganggu," jawab Pak Tomas.

"Bapak yakin?" Arlan memastikan.

"Ya, saya yakin."

Suara Pak Tomas yang terdengar tegas, membuat Arlan percaya bahwa Pak Tomas berkata jujur. Jadi, suara debam keras tadi pagi hanya di dengar olehnya. Perasaan aneh muncul dari dalam dirinya.

Arlan menutup mata kembali. Keningnya masih menempel di kaca jendela. Rasa dingin sudah menyebar di kepalanya. Deru kendaraan yang teredam membuat Arlan semakin mengantuk. Dia sudah hampir terlena di alam mimpi.

BRAK!!!

Arlan membuka mata. Sebuah kejadian yang berlangsung sangat cepat, melintas begitu saja di depan matanya. Mobilnya berputar. Arlan kembali menutup matanya. Sedetik kemudian, Arlan tidak tahu apa yang terjadi. Dia dapat merasakan tubuhnya terbentur beberapa kali sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.

"Arlan!"

Suara panggilan itu terdengar jauh. Suara manis yang entah kenapa membuatnya rindu.

"Arlan!!"

Panggilan itu semakin kencang. Arlan mengingat suara itu. Suara perempuan yang baru beberapa hari ini dia temui.

"Arlan!!!"

Kaget, Arlan membuka matanya.

Plak! Plak! Plak!

Tamparan sebanyak tiga kali membuatnya benar-benar terjaga. Hal pertama yang Arlan lihat adalah kaca depan mobilnya yang hancur dan ringsek. Kepala Pak Tomas terkulai di bangku depan.

"Arlan!"

Arlan menoleh ke sumber suara. Wajah Manda muncul dari jendela mobil yang pecah. Rasa dingin di keningnya berubah menjadi rasa hangat. Sesuatu mengalir dari pelipisnya.

"Arlan, lo dengar gue?" Manda bicara lagi.

"Manda?" Arlan memastikan. "Ada apa ini?"

"Keluar dulu!" Manda mencoba membuka pintu mobil yang macet. Setelah mencoba menarik pintu sebanyak lima kali namun tidak berhasil membuka pintu, Manda berteriak pada orang-orang di belakangnya yang terdiam. Mereka sama kagetnya dengan Arlan.

Manda dan tiga orang lainnya membuka paksa pintu mobil. Sementara lima orang laki-laki mencoba membuka pintu kemudi. Tidak lama kemudian, Arlan ditarik ke luar dari mobil. Melihat Manda dan yang lainnya menyeretnya sekuat tenaga, Arlan menguatkan kakinya untuk menapak. Tubuhnya limbung dan kepalanya terasa berdenyut menyakitkan.

Arlan direbahkan di sebuah emperan toko. Orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Arlan masih mencerna apa yang terjadi. Manda mengeluarkan saputangan dari dalam tasnya, kemudian menekan kening Arlan.

"Ada apa?" tanya Arlan.

Manda tidak menjawab. Dia mendongak ke arah mobil. "Jauhi mobil itu! Bensinnya bocor!" seru Manda. Beberapa orang langsung berteriak memberi peringatan pada orang-orang yang berada di dekat mobil.

Arlan meraih tangan Manda, mencoba mendapatkan perhatiannya. "Manda..." panggilnya lirih.

Manda menunduk, membalas pandangan Arlan. "Kita ke rumah sakit dulu," jawab Manda.

***

Bau obat memenuhi paru-paru Arlan. Lampu putih yang sangat terang menyala di atas kepalanya. Tirai hijau mengelilingi tempat tidurnya. Arlan sadar, dalam waktu yang singkat itu, dia sudah berada di rumah sakit. Pelan-pelan, Arlan merangkai apa yang terjadi.

Kecelakaan.

Hanya itu yang terlintas di kepalanya. Dia hendak tertidur sebelum benturan keras itu terdengar. Kemudian, mobilnya terguling dan dia kehilangan kesadaran.

Arlan mendengar Manda tengah berbicara dengan seseorang--mungkin dokter. Mereka membicarakan tentang kejadian itu dan juga polisi yang akan datang. Tidak lama kemudian, Manda menyingkap tirai hijau dan menghampiri Arlan.

Arlan tidak membuka percakapan. Dia memilih untuk menunggu Manda bicara sendiri. Wajah Manda tampak tegang. Rambut hitam panjangnya diikat sembarang, tampak agak berantakan.

"Lo kecelakaan," ujar Manda. "Mobil lo ditabrak truk dari belakang."

"Pak Tomas?" sambar Arlan, mengingat bahwa dia melihat Pak Tomas tidak bergerak di kursi depan.

"Dia akan segera dipindahkan ke ICU. Keadaannya kritis," jawab Manda. "Gue sudah menghubungi orangtua lo. Mereka akan datang sebentar lagi."

Arlan tidak berkomentar. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi beberapa menit lalu. "Lo lihat kejadiannya?" tanya Arlan.

Manda bimbang sejenak sebelum menjawab. "Iya," aku Manda pada akhirnya sambil membuang muka.

Melihat air muka Manda yang berubah pucat dan aneh, Arlan seakan bisa menangkap sinyalnya. "Apa ada hubungannya dengan wanita di mimpi gue?" tanya Arlan.

"Gue nggak tahu," suara Manda menjadi pelan.

"Lo lihat sesuatu yang nggak bisa dilihat sama orang lain, kan?" tembak Arlan.

Manda tidak mau menatap Arlan berlama-lama. "Cari kakek lo," kata Manda. Suaranya sangat pelan, hingga hampir tidak bisa Arlan dengar.

"Kakek gue?" Arlan memastikan.

Manda melirik ke atas Arlan, kemudian memalingkan wajahnya. "Gue nggak bisa ikut campur lebih jauh. Lo cari kakek lo sampai ketemu."

Manda baru akan beranjak dari tempatnya, sebelum tiba-tiba Arlan menangkap tangannya. "Gimana lo bisa tahu kalau kakek gue hilang?" selidik Arlan. "Bahkan, hilangnya kakek gue belum sampai dua puluh empat jam. Tapi, kenapa lo bisa tahu? Gue yakin, orangtua gue juga belum melaporkan kejadian ini pada polisi."

Manda mencoba melepaskan genggaman tangan Arlan, tetapi gagal. "Gue nggak bisa ikut campur," desis Manda.

"Apa lo bakalan biarin gue kayak gini terus tanpa tahu apapun?" desak Arlan. "Mungkin gue terlalu berlebihan, tapi pasti ada sesuatu yang harusnya gue tahu, kan?"

Manda menepis tangan Arlan lebih keras. "Gue nggak bisa bantu!" bentaknya. Manda langsung berbalik dan pergi dari hadapan Arlan.

Arlan terdiam di tempat tidurnya. Sebenarnya, dia tidak bisa mencerna apa yang terjadi secara gamlang. Andai saja dia tidak bertemu Manda, mungkin dia sudah berpikir bahwa ini hanyalah kecelakaan biasa, dan mimpi buruk itu hanyalah bunga tidur.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Manda membuka tabir bahwa yang terjadi adalah perbuatan makhluk yang tidak kasat mata. Arlan bukan ahlinya dalam hal ini.

"Arlan!" Lili menyingkap tirai tempat tidur Arlan. "Kamu baik-baik saja, Nak?" Lili langsung menghambur masuk dan memeluk Arlan.

"Ya, Ma," jawab Arlan singkat.

Seorang laki-laki jangkung dengan badan tegap diam di belakang Lili. Ayahnya memang bukan tipe orang yang mengungkap perasaannya. Tapi, Arlan dapat melihat rasa khawatir di mata ayahnya.

"Aku tidak apa-apa, Ma," ulang Arlan karena ibunya mulai menangis. "Pak Tomas lebih parah, Ma. Aku belum lihat kondisi Pak Tomas."

"Papa akan mengurusnya," sahut Fahmi dari belakang Lili.

Lili mengusap kepala Arlan penuh sayang. "Kamu akan baik-baik saja, Nak. Mama akan pastikan kamu aman," kata Lili.

Arlan mengangguk mengerti. Keadaannya memang tidak terlalu buruk. Dahinya hanya perlu lima jaritan. Selain itu, kondisinya sempurna. Arlan sendiri heran, dalam kecelakaan itu dia hanya sedikit terluka. Padahal Pak Tomas sampai harus masuk ICU.

"Papa akan lihat kondisi Pak Tomas," pamit Fahmi.

Lili mengangguk saja. Lalu dia duduk di sebelah Arlan. "Kamu tidak perlu sekolah untuk sementara waktu."

"Apa?" Pernyataan ibunya yang tiba-tiba membuat Arlan sangsi. "Tidak perlu sampai segitunya, Ma," tolak Arlan.

"Kamu lebih baik diam di rumah saja," Lili bersikeras.

"Aku baik-baik saja. Mama lihat sendiri, kan? Ini nggak akan mengganggu aktifitasku di sekolah."

Lili menggeleng. "Mama mau memastikan kamu aman."

Alis Arlan berkerut mendengar apa yang Lili katakan. "Aman dari apa? Memangnya ada yang mau aku celaka?" tanya Arlan.

"Bu-bukan itu maksud Mama," sanggah Lili.

"Kalau begitu, tidak ada alasan Mama mengurungku di rumah."

"Mama bukan bermaksud untuk mengurungmu, Nak," Lili mencoba membela diri. Namun, akhirnya dia diam karena tidak bisa mengatakan apapun. "Mama akan antar kamu pulang."

Arlan mengangguk sekali. Lili keluar dari bilik Arlan untuk menyelesaikan administrasi. Arlan mengusap wajahnya. Matanya terasa berat. Tubuhnya kelelahan. Tidak ada yang melintas di pikirannya selain tempat tidur. Dia ingin tidur lebih lama hari ini.

***

Terpopuler

Comments

wulanzahira

wulanzahira

kok q merasa salah satu keluarga arlan mungkin melakukan pesugihan

2023-03-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!