Album Foto

Manda mengikuti Arlan pergi ke arah kantin sekolah tanpa banyak bertanya. Dari air muka Arlan, Manda tahu bahwa anak itu sedang dalam kesulitan. Bahkan, setelah bertemu kemarin pun, Manda sudah tahu Arlan tidak baik-baik saja. Di mata Manda, Arlan diikuti oleh sesuatu. Ada sisa kabut hitam yang Manda tidak tahu datang dari mana.

Manda mendongak, melihat jin yang menempel pada Arlan. Warnanya putih, tetapi tidak bersinar. Menurut pengalaman Manda, menyewa kekuatan jin untuk menjaga nyawa seseorang bukanlah perkara mudah. Tidak mungkin jin ini hanya ingin tumbal ayam atau kambing. Pasti makhluk sesat ini meminta hal yang lebih besar.

Dia mencoba tidak mengindahkan pandangan penuh tanya yang diterima dari semua siswa. Memang, berjalan dengannya adalah suatu hal yang dihindari oleh semua orang. Entah sejak kapan setiap anak di sekolah mempercayai bahwa dia membawa sial.

"Lan," panggil Manda.

Arlan menengok ke belakang, namun tidak menghentikan langkahnya. Jadi Manda juga terpaksa terus mengikutinya. "Ada apa?" tanya Arlan.

"Lo bukan ngajak gue ke kantin, kan?" Manda memastikan. Tidak mungkin seorang Arlan mengajaknya ke kantin untuk makan. Tapi, arah mereka pergi sekarang adalah arah kantin sekolah mereka yang ada di bagian belakang gedung sekolah.

"Iya," Arlan menjawab enteng. "Gue laper. Sekalian aja kita makan berdua. Lo belum makan siang juga, kan?"

Manda membuka mulutnya untuk protes. "Lo udah gila? Belakangan, karena lo ngobrol sama gue, banyak berita negatif yang beredar. Ditambah lo ngomong sembarangan di kelas gue. Sekarang, lo malah ngajak gue makan?"

Arlan cuma nyengir menanggapi perkataan Manda, kemudian lanjut berjalan menghadap ke depan. Manda hanya bisa menghela nafas. Mereka sampai di kantin, tidak lama setelahnya. Arlan langsung memesan makanan andalannya.

"Kalau lo, mau pesan apa?" tanya Arlan, karena melihat Manda masih menatap menu kantin yang tertera di papan spanduk.

"Apa, ya?" gumam Manda pada dirinya sendiri.

"Biasanya lo makan apa?"

Manda menarik pandangannya ke arah Arlan. "Gue nggak makan siang di kantin. Gue bawa bekal roti."

"Rotinya bisa kita makan sama-sama sepulang sekolah nanti," potong Arlan.

Manda menganga kaget. "Apa lo bilang? Pulang sekolah?" Manda tidak mengerti dengan jalan pikiran Arlan. "Apa sekarang saja nggak cukup untuk menceritakan apa yang kamu mau ceritakan?"

Arlan mengangkat bahu. "Gue suka ngobrol sama lo."

Rahang Manda semakin terbuka lebar. "Habis kecelakaan, kayaknya kepala lo kebentur terlalu keras, sampai otak lo geser, deh."

"Apa nggak ada yang bilang begitu?" tanya Arlan. "Lo orangnya terbuka dan supel. Aura lo juga sejuk. Gue suka sama lo."

Seketika, seluruh pandangan yang tadinya sudah cuek saja dengan keberadaan Manda di kantin, langsung kembali tertuju pada Manda dan Arlan. Kantin menjadi sunyi senyap. Bahkan suara air mancur yang letaknya lima meter dari kantin, terdengar jelas.

"H-hah!?" Manda ikutan kaget. Dia bahkan tidak bisa mengontrol ekspresinya.

Arlan yang menyadari perkataannya yang frontal, langsung berdeham. Dia sendiri jadi salah tingkah. "Ma-maksud gue, gue suka aja kalau ngobrol sama lo, Man," dia mengoreksi.

Sejak awal pertama melihat Manda, dia memang merasa bahwa Manda berbeda. Keberadaannya yang menenangkan membuat Arlan betah jika berada di sekitarnya. Namun, bukan berarti dia akan mengakui ketertarikannya secepat ini. Bagaimanapun, Manda belum mengenalnya dengan baik dan mereka baru saja mulai bicara satu sama lain.

"Ehem!" Manda berdeham. "Gue mau pesan makanan dulu," Manda mengalihkan pembicaraan.

Arlan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya memerah karena malu. Dia berharap, perasaannya tidak terlalu kentara saat ini. Dia juga tidak mau menyangkal perkataannya tadi, karena tidak mau Manda salah paham.

Suasana kantin kembali mencair setelah beberapa menit. Tentu saja Arlan dan Manda menjadi pusat perhatian di sana. Dari sudut mata Manda dan Arlan, mereka tahu bahwa banyak siswa yang mencuri perhatian pada mereka.

"Lo yakin mau cerita di sini?" tanya Manda.

"Iya. Nggak apa, kan?" Arlan menyuap sesendok bakso ke dalam mulutnya.

"Gue, sih, nggak masalah," dusta Manda, meski sebenarnya dia keberatan diperhatikan banyak orang. Manda tidak mengira akan bertemu dengan orang dengan mulut ringan seperti Arlan.

"Kemarin, gue ngobrol sama beberapa keluarga gue," Arlan memulai. "Mereka mengatakan hal aneh yang diluar nalar dan logika."

"Seperti apa?" Manda juga memulai makan siangnya. Dalam hati, Manda mengakui bahwa nasi goreng pesanannya sangat enak. Dia menyesal tidak pernah ke kantin selama enam bulan dia memulai masa sekolahnya.

"Enak, ya?" Arlan nyengir, memperhatikan air muka Manda yang cerah saat mengunyah nasi gorengnya.

"Apa, sih! Lanjut ceritanya!" protes Manda.

Arlan tersenyum simpul melihat Manda yang salah tingkah. "Jadi, mereka bilang kalau sekarang giliran gue buat mati."

Manda menelan ludah dengan susah payah. Sebenarnya, dari sekian skenario yang sudah Manda siapkan, pilihan bahwa Arlan akan meninggal juga ada di dalamnya. Entah kenapa, dia merasa ada yang janggal dengan keadaan Arlan. Manda tidak bisa melepas perhatiannya pada jin yang terus menempel pada Arlan.

"Lalu?" tanya Manda, karena Arlan tidak kunjung melanjutkan ceritanya.

"Gue punya beberapa sepupu, yang sepertinya lebih tua beberapa tahun dari gue. Tapi..." mata Arlan menerawang jauh, "...semuanya meninggal."

"Penyebabnya apa?"

Arlan menggeleng pelan. "Nggak tahu. Mereka jawabnya nggak jelas. Sampai sekarang, gue nggak bisa menarik kesimpulan apapun," aku Arlan.

"Bisa gue lihat isi percakapannya?" Manda meminta izin, berhubung ini berarti dia melihat pesan masuk di media sosial Arlan.

Arlan menyodorkan handphone-nya tanpa ragu. Sementara Manda membaca pesan yang Arlan maksud, dengan santainya Arlan melanjutkan makannya. Manda sendiri sampai heran, kenapa Arlan bisa setenang itu, padahal ada bahaya di depan matanya.

"Kabar sopir lo gimana, Lan?" sela Manda. Matanya masih tertuju pada layar handphone Arlan.

"Pulang sekolah nanti gue mau nengok ke rumah sakit. Kata nyokap gue, sudah membaik. Nafasnya sudah nggak pakai alat lagi."

Manda mengangguk mengerti. Rasa iba mengalir di dirinya, mengingat sopir Arlan yang terkena imbas dari hal yang ditujukan pada Arlan. "Gue masih penasaran sama ledakan cahaya tempo hari."

Arlan diam beberapa detik, kemudian ber-oh ria begitu mengerti maksud Manda. "Waktu gue kecelakaan? Yang lo bilang ada ledakan dari dalam mobil?"

Manda mengangguk lagi. "Apa lo nggak punya ilmu apapun?"

"Gue tahu ilmu kimia sama ilmu sejarah."

Tak!

Manda menjitak kepala Arlan saking gemasnya. "Gue serius!" cicit Manda.

"Ya, jelas nggaklah! Gue nggak tertarik belajar ilmu-ilmu gaib begitu. Kenapa, Man? Ledakan itu rasanya berbahaya, ya?"

Kali ini Manda menggeleng. "Malah sebaliknya. Gue merasa nyaman waktu merasakan hembusan dari ledakan itu. Waktu itu, terasa tenaga yang sangat kuat, sekaligus sangat lembut. Seperti rasa aman yang diberikan lewat pelukan."

"Lo mau coba meluk gue?" tawar Arlan, yang disambut dengan kepalan tangan dari Manda. Arlan hanya tertawa pelan melihat Manda marah. "Waktu itu, gue ketiduran di mobil. Gue nggak merasa melakukan apapun yang khusus. Apa mungkin ledakan itu berasal dari jin yang nempel sama gue?"

Manda menggeleng. "Jin itu makhluk sesat," Manda mengingatkan. "Perlindungan yang diberikan adalah kompensasi dari tumbal yang dia dapat. Hasilnya akan negatif jika bukan berasal dari Tuhan."

Arlan mengangguk-angguk, setuju dengan apa yang Manda katakan. Bagaimanapun, dia adalah orang yang taat dengan agamanya.

"Lo mau coba tanya orangtua lo masalah ini?" Manda memberi saran.

Arlan menunjuk ke arah handphone-nya yang masih di tangan Manda. "Simpan nomor lo, dong!" pintanya.

Manda menimbang sejenak, tapi akhirnya setuju untuk memberikan nomor teleponnya pada Arlan. "Jangan hubungi untuk urusan yang nggak penting!" Manda memperingatkan.

Arlan mengangguk saja sambil lalu. "Masalah orangtua gue, apa mereka mau cerita, ya?"

Manda mengangkat bahunya. "Coba aja."

***

Arlan mengedarkan pandangannya ke seluruh area lantai satu rumahnya. Kosong. Tentu saja tidak akan ada siapapun di sana sampai lewat jam makan malam tiba. Itupun kalau ayahnya tidak lembur.

Arlan melemparkan dirinya ke atas sofa di ruang tengah. Sofa itu begitu besar dan empuk, memang dipesan khusus oleh ayahnya agar seluruh keluarga bisa menikmati waktu bersantai bersama.

"Heh!" Arlan mendengus saat mengingat ayahnya dengan bangga membawa sofa itu pulang ke rumah. Namun, kenyataannya, kedua orangtuanya sibuk saat ini.

Drak!

Suara derak yang cukup keras, mencuri perhatian Arlan. Arlan langsung duduk tegak di tempatnya. Dia yakin kalau dia mendengar sesuatu beberapa detik lalu.

Drak!

Derak itu kembali memperdengarkan dirinya. Arlan yang telah menajamkan telinga, mendapati asal suara itu dari arah kamar orangtuanya. Mata Arlan terpancang pada pintu kayu berpelitur emas dengan gagang besi kokoh di pinggirnya. Arlan kembali menunggu suara itu muncul, seolah berharap ada alasan untuk masuk ke dalam sana.

Drak!

Arlan bangkit, segera berjalan ke arah kamar orangtuanya. Dia berhenti sejenak di depan pintu. "Ma?" panggilnya. Hening menjawab. "Pa?" Arlan memanggil lagi, namun tidak ada yang menimpalinya.

Arlan menahan nafas ketika memutar gagang pintu. Dia membuka daun pintu kamar orangtuanya dengan perlahan. Memang tidak ada siapapun di sana. Luas kamar orangtuanya tidak berbeda jauh dengan kamar miliknya. Tetapi, kamar itu tampak kosong. Hanya ada tempat tidur di tengah ruangan, meja rias di dekat pintu kamar mandi, dan sebuah rak setinggi langit-langit kamar.

Arlan terdiam di ambang pintu, menunggu kembali. Dia tahu kalau suara itu berasal dari kamar ini, namun tidak tahu persis sumbernya. 'Yah, kalau ada maling, gue tinggal kabur,' batinnya dalam hati.

Lama menunggu, suara itu tidak terdengar kembali. Arlan merasa bersalah jika berlama-lama ada di kamar orangtuanya tanpa izin. Tepat ketika Arlan berbalik hendak pergi dari sana, tiba-tiba saja sebuah album foto yang sangat tebal jatuh dari rak dinding.

Arlan hampir mengumpat karena kaget, namun cepat dia telan mentah-mentah. Arlan celingukan melihat sekitar, sebelum meraih album foto itu. Dia langsung melesat ke dalam kamarnya begitu pintu di belakangnya tertutup.

Jantung Arlan masih berdegup kencang ketika dia tiba di kamarnya sendiri. Nafasnya memburu karena gugup. Tapi, dia sangat ingin melihat album itu perlahan-lahan.

"Waduh, kenapa gue jadi kayak maling begini?" ejeknya pada diri sendiri, kemudian tertawa kecil. "Papa sama Mama nggak akan sadar kalau bukunya hilang satu, kan?" Arlan merasa was-was. Buku di rak dinding itu memang sangat banyak, tidak heran kalau orangtuanya tidak sadar jika ada yang hilang. Namun, album foto di tangan Arlan sangatlah besar. Bisa saja orangtuanya akan sadar kalau ada yang janggal di rak itu.

Arlan membuka lembar pertama dari album itu. Di sana, ada foto keluarga lengkap dari Kakek Pareng. Bahkan, Arlan mengenali neneknya yang sudah wafat sepuluh tahun lalu.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!