Sekuat Mentari

Sekuat Mentari

Pertemuan

Deru suara senapan begitu memekakkan telinga, hilir mudik helikopter dan pesawat tempur menjadi pemandangan biasa di langit kota tua selama satu bulan ini.

"Aleena.. Jangan terlalu lama di luar, cepat masuk ke ruang bawah tanah."

Teriakkan keras seorang pria yang tidak lagi muda tersebut membuyarkan lamunan Aleena yang masih ingin menikmati indahnya langit sore ini, meskipun masih terdengar deru heli yang sesekali berpatroli.

Sebelum peperangan kembali pecah, setiap kali terdengar suara deru helikopter, Aleena akan berlari ke tempat yang luas dan melambaikan tangannya ke atas. Berharap yang ada di dalam heli tersebut adalah Noha, kakak lelakinya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan kakak lelakinya tiga bulan yang lalu, ia selalu melakukan hal itu.

Sebelum kakak lelakinya kembali ke tempatnya bertugas, mereka sempat berbincang tentang dirinya yang kini sudah berada di dalam kesatuan pasukan patroli udara. Dan bahkan saat ini kakak lelakinya itu mulai ikut berlatih bersama pasukan khusus.

Aleena bergegas kembali masuk ke dalam ruang yang sedikit gelap dan pengap seraya menuntun sang ayah yang kini hanya bisa berjalan dengan dibantu tongkat penyangga.

Jabar, pria yang berusia lebih dari setengah abad tersebut kehilangan sebelah kakinya saat harus mengikuti program wajib militer darurat yang diberlakukan oleh pemerintah pusat beberapa tahun yang lalu.

Pada saat itu, pihak pemerintah mewajibkan bagi setiap keluarga untuk mengirim satu anggota keluarganya guna membantu pertempuran yang seolah tiada pernah ada habisnya.

Jabar hanya memiliki seorang putri yang masih kecil dan seorang putra yang belum dewasa. Sementara sang istri sudah meninggalkannya menghadap sang pencipta saat melahirkan putrinya.

Jabar tidak tega jika Noha yang masih remaja, harus ikut berjuang di medan perang kala itu. Akhirnya pria tua itu meminta putranya untuk tetap di rumah dan menjaga adik perempuannya.

Namun naas, sebuah roket yang meluncur entah dari mana menyerang tepat ke titik pertahanan mereka. Tidak sedikit rekannya yang kehilangan nyawa, Jabar beruntung hanya kehilangan sebelah kakinya.

Setelah pertempuran itu usai, semua kembali seperti biasanya. Jabar pun kembali kepada keluarganya walaupun harus menjadi manusia cacat seumur hidup.

Selang beberapa tahun kemudian, kehidupan terasa damai tanpa ada pertempuran. Namun Noha tetap berusaha melatih tubuhnya. Sebagai seorang lelaki, ia berharap bisa melindungi ayahnya yang sudah tua dan cacat serta adik perempuannya.

Menurut cerita dari ayah dan juga para orang tua pendahulunya, bahwa pertempuran di tanah merah tersebut sudah sering terjadi berulang kali. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa perang akan kembali terjadi. Perebutan wilayah hanyalah salah satu alasan dari sekian banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh seluruh penduduk tanah merah.

Dahulu kala, Aleena kecil hanya berharap bisa menghabiskan satu lollipop dengan duduk tenang di atas ayunannya tanpa ada suara tembakan. Namun ketakutan selalu saja hadir setiap saat, walaupun sang ayah sudah mengajarkan kepadanya untuk selalu berserah diri kepada sang pencipta selain berusaha untuk tetap hidup.

Daratan tanah merah adalah daerah yang di penuhi dengan limpahan minyak dan bahan tambang. Selain itu juga terdapat banyak pegunungan yang indah, lahan pertanian yang subur serta sungai yang senantiasa mengalir bening. Sungguh tanah surga yang menjanjikan.

Namun semua itu membuat seluruh rakyatnya hidup menderita karena keegoisan pihak tertentu. Hingga mereka harus terus bersiap untuk serangan nuklir yang setiap saat bisa saja terjadi.

"Sekalipun aku mati hari ini ataupun esok hari. Aku akan tetap bersujud kepadamu seraya memohon Rahmat dan lindungan mu. Aku hanya berharap mati saat aku bersujud di hadapan mu."

Doa dan harapan yang sama, selalu dipanjatkan Aleena pada setiap sujud nya.

Karena keterbatasan gerak tubuhnya, Jabar hanya duduk di atas tangga menuju ruang bawah tanah tempat putri cantiknya Aleena bersembunyi seraya mengawasi keadaan di sekitar rumahnya.

"Aleena, ada kabar yang aku terima dari tentara yang berpatroli tadi pagi."

"Kabar apa ayah?"

"Pemerintah Indonesia kembali mengirimkan bantuan logistik dalam jumlah yang banyak dan sudah di bagikan ke beberapa kamp tentara. Jika kau mau, aku akan mendampingi mu ke kamp terdekat untuk mendapatkan beberapa makanan."

"Bukankah kamp terdekat ada di hulu sungai?"

"Benar. Jaraknya sedikit jauh dari tempat kita ini. Itulah sebabnya aku khawatir jika kau harus pergi seorang diri."

"Ayah tetap di sini. Aku akan pergi bersama gadis desa yang lain. Tentunya akan ada orang lain yang pergi untuk mengambil beberapa makanan juga."

"Baiklah, besok pergilah. Namun tetaplah berhati-hati, jauhi tempat terbuka. Aku juga mendengar bahwa ada kapal yang mengapung di sungai kecil itu. Kabarnya kapal itu tidak memiliki satupun nahkoda yang hidup. Semuanya telah dibantai oleh pasukan musuh yang sudah menyusup. Beberapa orang mencoba menarik kapal itu ke tepian karena berharap masih ada beberapa makanan di dalamnya. Ingatlah untuk menjauhi bahaya sekecil apapun, karena aku tahu yang kau pikirkan saat ini."

Aleena hanya mengangguk mengerti dan sedikit tersenyum karena sang ayah selalu tahu apa yang ada di dalam pikirannya.

Pagi tadi pada saat tentara patroli berhenti sejenak untuk menyampaikan kabar tersebut. Aleena sempat menguping semua pembicaraan ayahnya, dan sepertinya hal itu diketahui oleh sang ayah.

Sekalipun Aleena hanya seorang gadis, namun Jabar tidak pernah membedakan keduanya anaknya saat melatih mereka. Noha dan Aleena sama-sama melatih fisik mereka bagaikan seorang tentara. Karena tubuh Aleena yang kecil, porsi latihannya pun dimulai dari beban yang kecil dan semakin bertambah.

Jabar hanya berharap kedua anaknya bisa membela diri mereka sendiri saat terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan. Apalagi Aleena yang kini tumbuh menjadi gadis cantik berkulit seputih salju, dengan tinggi badan yang ideal semakin membuatnya terlihat mempesona.

Aleena yang hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang kini jauh darinya serta seorang ayah yang sudah cacat, membuatnya harus bisa bertahan dalam kondisi apapun. Jabar tidak ingin putri cantiknya menjadi sasaran para tentara musuh yang terkadang sering berbuat amoral kepada para gadis tawanan.

Malam semakin larut, Aleena pun kini terbuai dalam mimpi indahnya. Walaupun sesekali harus terbangun karena suara bising helikopter yang berpatroli. Jabar pun sesekali mencoba mengistirahatkan tubuhnya di atas papan kayu yang sudah ia siapkan di atas tangga ruang bawah tanah tersebut.

Suasana mencekam sudah mereka alami selama hampir satu bulan ini. Namun beruntung masih ada beberapa negara yang peduli dengan keadaan mereka, walaupun mereka sesama muslim ataupun tidak.

Kebanyakan penduduk tanah merah ini adalah seorang muslim. Meskipun ada juga mereka yang berasal dari luar daerah yang memiliki keyakinan yang berbeda, namun mereka tetap saling menghormati.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu... Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu."

Aleena mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah cantiknya, setelah selesai melakukan kewajibannya bersujud kepada yang khaliq. Dialah yang telah memberikan hidup dan rahmatnya kepada seluruh mahkluk ciptaannya.

Aleena, seorang gadis berparas cantik, berhidung mancung dan beralis tebal. Sungguh ciptaan tuhan yang sempurna. Tidak ada seorangpun yang akan memalingkan pandangannya saat melihat paras ayu gadis kecil Jabar yang sudah mulai tumbuh dewasa. Namun setiap kali keluar dari rumahnya, Aleena selalu menutupi sebagian wajahnya dengan sehelai kain maupun masker kecil.

Meskipun ia tumbuh di kota kecil, namun tidak sekalipun Aleena melewatkan waktunya dengan sia-sia. Membaca buku adalah hal yang selalu ia lakukan ketika ia harus duduk diam untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya.

Tumbuh di kota kecil yang sesekali diwarnai dengan berbagai suara senjata, tidak membuat nyalinya ciut. Semua pembunuhan yang pernah dilihatnya, semakin membuatnya giat melatih diri untuk tetap bisa bertahan ditempat terburuk sekalipun.

Aleena mencium punggung tangan sang ayah, setelah beliau menyelesaikan doanya.

"Satu hari kembali berlalu Aleena. Dan hari ini adalah hari baru lagi bagi kita yang wajib kita perjuangkan. Jangan lupa untuk selalu menyandarkan doa harapan mu kepada sang pencipta. Ingat putri ku jangan terlalu menyesali apa yang sudah terjadi, semua yang ada di muka bumi ini hanyalah titipan. Termasuk dirimu dan juga ayah mu ini."

Jabar mengusap lembut pucuk kepala putrinya. Aleena hanya mengangguk perlahan meskipun hal itu adalah ucapan yang sama, yang selalu didengarnya setiap pagi.

Ia tahu bahwa ayahnya hanya mengingatkan bahwa dirinya dan semua hal yang ada di bumi ini bisa hilang atau pergi begitu saja. Apalagi di tempat mereka saat ini masih dalam masa peperangan.

"Kau yakin mau pergi ke kamp terdekat Aleena?"

"Iya ayah. Kita perlu makanan tambahan jika perang ini masih terus berlanjut."

"Berhati-hatilah. Persiapkan semuanya, aku tidak ingin kau terluka. Seharusnya aku yang pergi ke tempat itu."

"Tenanglah ayah."

Aleena tersenyum kecil saat melihat raut wajah tua yang sudah mulai keriput itu diliputi kecemasan.

"Jangan mencari kakak mu jika memang kau mendengar tentangnya, cepatlah kembali jika sudah mendapatkan makanan."

"Pasti ayah. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Aleena bergegas pergi setelah menyambar tas kecil dan melilitkannya di pinggang. Sebuah tongkat kayu pun kini ada di dalam genggamannya. Dengan perlahan ia mulai melangkah menyusuri jalan kecil yang masih belum begitu terlihat, karena matahari masih belum sepenuhnya keluar dari peraduannya.

Terlihat juga beberapa gadis, ibu-ibu ataupun pria tua mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Mereka berjalan beriringan meskipun saling menjaga jarak untuk saling menjaga keselamatan masing-masing. Saling bergantian berjalan di bawah rimbunnya pepohonan, untuk berjaga dari tembakan pasukan udara musuh yang mungkin saja melintasi tempat tersebut.

Tubuh seorang pria kecil dan juga seorang gadis terlihat berjalan cepat mendekati Aleena yang berjalan seorang diri.

"Ssstt... Belum ada yang berani mendekati kapal itu meskipun mereka sudah berhasil menariknya ke tepian."

"Memangnya kenapa?"

Aleena pun hanya berucap perlahan saat mendengar suara dari seseorang yang mendekatinya.

"Terdengar suara hewan buas dari dalam kapal itu."

"Hewan apa?"

"Entahlah, ada yang bilang mungkin itu harimau."

"Menarik."

Aleena terlihat menaikan kedua alisnya, meskipun senyum kecil di wajahnya tidak terlihat karena tertutup oleh masker yang dipakainya.

"Jangan coba-coba Aleena."

Sebuah cengkraman erat kini melekat di pergelangan tangan Aleena.

"Tenanglah, aku akan mundur jika itu berbahaya."

"Mereka juga bilang jika melihat beberapa karung gandum di dekat pintu ruangan di kapal tersebut, namun tidak berani mengambilnya karena suara itu."

"Penakut."

"Gadis bodoh. Akan aku adukan kepada paman Jabar jika kau berani mendekati kapal itu."

"Tidak, tenanglah Aiza."

Mereka berdua berhenti berbicara dan bergegas masuk ke rimbunnya pepohonan saat terdengar suara deru helikopter mendekat.

"Ayo cepat sebelum matahari benar-benar terbit."

Aleena bergegas kembali melangkah setelah deru helikopter mulai menjauh. Beberapa tenda mulai terlihat di kejauhan. Sekelompok orang pun mulai terlihat berdatangan dari berbagai tempat.

Seorang pria muda bertubuh besar mulai mengatur antrian. Pasukan bersenjata pun sudah disiagakan. Tanpa banyak bicara, Aleena bersama dengan orang-orang yang sudah berdatangan mulai membuat beberapa barisan.

Beberapa karung gandum, beras, kue kering, minuman dan bahkan beberapa buah mulai dibagikan. Petugas medis pun siap membagikan beberapa obat sesuai dengan keluhan pasien.

Setelah menerima semua bahan makanan yang menjadi haknya, Aleena mulai mendekati tenda petugas medis untuk meminta beberapa obat untuk sang ayah.

Belum sempat gadis itu mengutarakan permintaannya, seorang pria bertubuh besar mendekatinya dan menyerahkan beberapa buntalan kain besar.

"Kakak mu menitipkan ini. Ia juga ingin tahu kabar mu dan juga ayah kalian."

"Alhamdulillah ka Yasin, ayah baik-baik saja begitupun aku."

Aleena menerima buntalan kain tersebut.

"Kakak mu bertugas di sisi barat, tidak jauh dari tempat ini. Namun dia tidak bisa menyapa mu. Dia pemimpin pasukan berjaga saat ini, jadi harus selalu siaga."

"Terimakasih kak."

"Berhati-hatilah. Daerah ini sangat rawan serangan."

"Hm.."

Aleena hanya mengangguk dan mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut.

"Sungai... Aku harus berjalan di tepi sungai. Matahari sudah mulai tinggi, hanya tempat itu yang memiliki pepohonan yang lebih rimbun untuk berlindung."

Aleena mulai beralih berjalan diantara pepohonan yang lebih rimbun. Suara gemericik air sungai mulai terdengar. Beberapa orang yang kembali dari kamp tersebut juga ada yang memilih berjalan menyusuri tepian sungai bersama dengannya. Begitupun dengan temannya Aiza.

"Aiza kalian pergilah lebih dulu, cepat ada suara."

Aleena berusaha memperingatkan temannya dan segera bersembunyi di dalam semak. Mereka berjalan dengan saling menjaga jarak demi keamanan mereka sendiri. Akan sangat menyita perhatian jika mereka berkumpul terlalu banyak.

Sebuah kapal yang tidak begitu besar terlihat begitu menarik perhatian Aleena. Gadis cantik itu meletakkan beberapa buntalan yang di panggulnya di dalam semak-semak dan mulai berjalan perlahan mendekati kapal tersebut.

Dengan cekatan Aleena melompat ke atas kapal yang sedikit berguncang karena angin dan juga arus sungai yang cukup deras. Terlihat beberapa karung gandum di dalam sebuah ruangan yang sedikit gelap.

Aleena memegang erat tongkatnya dan sebelah tangannya yang lain memegang sebuah batu putih yang tidak begitu besar. Setelah melewati pintu, batu yang ada ditangan Aleena mulai menyinari sekitarnya.

Kini tampaklah beberapa karung gandum, beras serta beberapa bahan makanan yang lain.

Gerrrrrrr...

Belum lagi usai Aleena melihat seluruh isi di dalam ruangan tersebut. Terdengar geraman yang membuat seluruh bulu di tubuh gadis itu berdiri. Aleena mulai mengarahkan batu bercahayanya untuk mencari asal suara.

Gleek..

Aleena hanya bisa menelan ludahnya dan berusaha menutupi keterkejutannya, saat kedua matanya melihat seekor leopard terduduk di atas lantai kapal.

Pandangan Aleena tertuju pada pergelangan kaki depan kucing besar tersebut yang terlihat masih mengeluarkan darah. Sementara ada sebuah rantai besi yang mengikat kaki belakangnya.

"Aku akan mengobati lukamu, asalkan kau berjanji untuk tidak menyerang ku."

Aleena berucap perlahan, seolah ia menganggap ucapannya dimengerti oleh kucing besar tersebut.

"Bodohnya aku."

Aleena menepuk pelan keningnya.

"Mana ada seekor leopard mengerti bahasa manusia."

Aleena kembali melihat sekelilingnya dan terlihat beberapa burung indah berada di dalam kurungan.

Kapal pemburu.

Dua kata yang kini ada di dalam pikiran gadis cantik tersebut. Aleena mulai membuka satu persatu pintu kurungan yang hanya diberi pengait tanpa dikunci dengan benar. Berbagai burung mulai terbang keluar dari dalam tempat tersebut.

"Terbang lah kalian bebas."

Batin Aleena saat membuka pintu kurungan yang terakhir. Kini matanya kembali menatap ke sisi lain ruangan itu, seekor kucing besar yang terluka terduduk diam di sudut ruangan.

"Diam dan aku akan mengobati lukamu."

Aleena kembali berucap.

"Diam .. Diam... Diamlah Oby."

Suara burung beo begitu mengejutkan Aleena. Seekor burung hijau yang cukup besar, kini bertengger di atas karung gandum.

"Jadi nama kucing besar itu Oby?"

Mata Aleena menatap burung beo yang cukup besar itu.

"Dia Oby.. Dan aku Green... Aku Green."

"Baiklah Green, nama ku Aleena. A l e e n a."

Aleena mengucapkan namanya dengan perlahan.

"Hai Aleena."

"Hai Green. Minta teman mu Oby diam dan aku akan mengobati lukanya."

Aleena menunjuk kaki depan Oby yang terluka.

"Oby diam. Oby diam."

Setelah memastikan kucing besar tersebut diam. Aleena mulai mendekat dan membersihkan luka pada kaki depan leopard tersebut kemudian menutupnya dengan kain bersih.

Green terlihat melayang dan mengambil sesuatu yang tergantung di dinding kapal, kemudian menjatuhkannya tepat dihadapan Aleena. Sehingga gadis itu bisa menyahutnya dengan cepat.

"Kau ingin aku membuka rantai pengikat pada kucing besar itu?"

"Oby.. Oby."

"Iya... Oby. Namun apakah dia tidak akan menyerang ku?"

"Tidak... Tidak... Oby baik.. Oby baik."

"Ya Allah lindungilah hamba mu ini. Aku takut, namun aku tidak tega jika membiarkannya terikat dan mati karena lapar."

Aleena terus berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak takut terhadap kucing besar yang kini tertunduk diam di hadapannya. Dengan perlahan Aleena mendekati kaki Oby yang masih terikat rantai besi dan mencoba membukanya.

Kraaak.

Setelah rantai terlepas, Aleena bergegas berlari menjauhi kucing besar tersebut. Aleena mulai berjalan mundur perlahan, setelah menyadari Oby hanya diam dan tidak mengejarnya.

Green terlihat mengambil sebuah tas kecil yang tergeletak di atas lantai dengan paruh bengkoknya, kemudian membawanya tepat ke hadapan Aleena. Sementara Oby terlihat mulai berdiri dan berjalan perlahan menuju ke sebuah ember besar berisi beberapa ikan yang sudah mati.

"Masukkan semua makanan itu ke dalam tas ini."

Suara khas seekor burung beo, mulai biasa terdengar di telinga Aleena.

"Bagaimana bisa, tas sekecil ini mampu menampung semua barang yang ada di tempat ini."

Aleena menerima tas kecil itu dan hanya bisa bergumam tak percaya.

"Itu adalah tas kuno dari pedalaman Afrika. Cepat masukkan Semuanya. Kapal bisa tenggelam kapan saja. Cepat.. Cepat."

"Tas kuno bagaimana."

Aleena masih belum mengerti. Namun kini ada beberapa hal yang terlintas di dalam pikirannya saat kembali mencerna ucapan burung beo tersebut.

"Kantong ajaib."

Dua kata yang menurut Aleena sungguh tidak mungkin. Barang seperti itu hanya ada di dalam dongeng maupun novel. Namun ia tetap mencoba mendekatkan tas kecil itu ke beberapa karung beras. Dan dalam sekejap karung beras tersebut menghilang.

Aleena berulang kali mengusap wajahnya serta melihat ke sana kemari, untuk memastikan apakah karung itu berpindah tempat. Namun tetap tidak dilihatnya.

Dengan rasa yang tidak percaya akan semua itu, kini ia mencoba memasukkan tangannya ke dalam tas kecil tersebut dan memikirkan karung beras yang tadi dilihatnya. Seperti halnya yang telah ia baca di dalam cerita dongeng tempo dulu.

Buuuk.

Dentuman keras terdengar di lantai kapal, setelah gadis itu mengeluarkan tangannya dari dalam tas kecil tersebut.

"Tidak mungkin."

Sebuah karung beras kini terjatuh di hadapannya saat ini.

"Cepat... Cepat Aleena. Kapal tenggelam."

Suara khas Green kembali terdengar.

Gerrrrr.

Geraman Oby pun terdengar di sisi luar kapal.

"Baiklah... Baiklah. Sebentar."

Aleena mulai tersadar dari keterkejutannya. Ia mulai berlari memasukkan seluruh barang di tempat tersebut ke dalam tas kecil barunya.

Terpopuler

Comments

Ratna Fitriyani

Ratna Fitriyani

penasaran ...harus baca sampai ending nih..

2024-06-29

0

abdan syakura

abdan syakura

salken Kak Vie....😊

2023-01-11

1

𝐕𝐢𝐞 𝐢𝐬𝐭𝐲

𝐕𝐢𝐞 𝐢𝐬𝐭𝐲

terimakasih sudah membaca.. jangan lupa tinggalkan jejak mu ☺️

2022-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!