Beberapa tenda mulai terlihat di bawah rimbunnya pepohonan. Noha mulai memerintahkan anak buahnya untuk mengatur para pengungsi serta membagi tenda masing-masing. Mereka memisahkan antara pria dan wanita.
Walaupun untuk sejenak, mereka semua bergiliran untuk beristirahat. Bagaimanapun juga mereka semua hanyalah manusia biasa yang juga harus menidurkan tubuhnya walau sesaat.
Aleena terus berjalan untuk mencari tempat yang pastinya akan membuat mereka semua aman dari rasa ketakutannya akan kucing besar yang senantiasa bersama dengannya.
"Pohon ini cukup besar dan tinggi. Kita beristirahat di sini saja."
Aleena menghentikan langkahnya setelah sedikit jauh dari tenda para pengungsi. Gadis kecil itu mulai memanjat pohon besar yang ada di hadapannya saat ini. Ia mulai melihat beberapa tempat dari atas pohon besar tersebut.
"Tunggu Oby, kau harus menjaga ku sebentar." Aleena kembali turun dari atas pohon dan membawa leopard besar itu ke suatu tempat.
"Aku melihat ada aliran anak sungai di sebelah sana. Aku ingin membersihkan tubuh serta berwudhu sebelum hari benar-benar gelap. Kau harus berjaga-jaga di sini, aku akan masuk di antara bebatuan itu. Kalian berdua tolong pastikan tidak ada seorangpun yang mendekat."
Green dan Oby hanya mengangguk dan mulai berjaga. Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Aleena pun mengganti pakaiannya dengan pakaian yang di dapatnya dari para tentara yang sebelumnya sudah membagikan beberapa kebutuhan mereka termasuk selimut dan juga pakaian bersih.
Sebuah celana panjang seragam seorang tentara serta kaos polos yang cukup besar untuk ukuran tubuh Aleena yang kecil. Tak lupa ia juga mengenakan kemeja tentara yang juga cukup besar untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya udara malam. Setelah selesai ia pun masih sempat mencuci pakaian yang tadi ia kenakan, kemudian membawanya kembali naik ke atas pohon besar yang ia temukan sebelumnya. Oby dan Green mengikuti kemanapun langkah gadis kecil itu.
Aleena hendak menjemur pakaian yang tadi dicucinya ke beberapa cabang pohon, namun suara Green menghentikannya.
"Simpan semua barang mu ke dalam tas kecil itu Aleena."
"Tapi ini hanyalah pakaian yang masih basah."
"Duduklah dengan benar dan ikuti semua petunjuk dariku tentang tas kecil itu."
"Baiklah profesor Green."
Aleena mulai memilih untuk duduk di atas batang pohon yang terbesar dan mulai menyiapkan tas kecilnya.
"Kau bisa selalu menggunakan tas kecil itu tanpa harus melepasnya saat kau ingin menggunakan beberapa benda yang ada di dalamnya. Aku akan memberikan beberapa proyeksi tentang isi di dalam tas kecil itu."
Muncul sebuah sinar redup dari sebelah bola mata Green. Sinar itu menampilkan beberapa gambar benda.
"Tas kecil itu ibarat sebuah ruangan yang menyimpan berbagai benda. Semuanya ada beberapa sisi. Kau lihat di sisi kiri terdapat banyak benda yang berhubungan dengan tempat tidur, selimut serta pakaian. Di sebelah kanan adalah peralatan dapur serta beberapa bahan makanan dan juga ruangan pendingin yang cukup besar. Di sisi yang lain ada berbagai jenis senjata yang nantinya bisa kau pelajari secara perlahan. Kau lihat beberapa karung gandum serta semua barang yang kau masukkan, berada pada sisi ruangan yang berbeda serta cukup besar. Pelajarilah satu persatu nanti. Sekarang kau bisa menjemur pakaian mu di dalam tas kecil itu, kau sudah tahu tempatnya bukan, ada beberapa jemuran yang bisa kau gunakan."
"Aku akan mempelajarinya nanti, setelah aku beribadah."
Aleena kembali menutup tas kecilnya. Kemudian turun dari atas pohon untuk melakukan kewajibannya, bersujud kepada sang pencipta. Dengan setia, Oby berdiri tidak jauh dari Aleena untuk memastikan keselamatannya.
Setelah Aleena menyelesaikan ibadahnya, terlihat seorang pria berjalan mendekati tempat mereka.
"Walaupun sedikit terlalu besar, namun tetap saja adik ku terlihat cantik dengan pakaian itu."
Noha tersenyum kecil saat melihat penampilan Aleena saat ini.
"Ada beberapa bahan makanan yang bisa kami bawa, namun dapur umum akan didirikan besok pagi. Jadi untuk saat ini hanya ada beberapa buah-buahan. Lalu apa yang bisa di makan oleh kucing besar itu?"
Noha melihat Oby yang hanya terdiam di tempatnya.
"Tenanglah kak. Oby sudah menerkam beberapa ikan di sungai, saat ia menemani ku membersihkan tubuh dan masih tersisa beberapa. Kita bisa memanggangnya."
Aleena mulai memungut beberapa ranting kering di sekitarnya dan mulai membuat perapian.
"Kenapa kau memilih tempat yang terlalu jauh dari mereka?"
Noha mulai memanggang satu persatu ikan yang ada.
"Keberadaan Oby hanya akan membuat mereka ketakutan."
Aleena menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari beberapa ikan yang sudah mulai matang. Noha hanya mengangguk mengerti. Keduanya mulai memakan beberapa ikan yang sudah mulai matang.
"Hm.. Kenapa rasa ikan ini enak sekali, apa kau memberikan beberapa bumbu?"
"Sudahlah, yang penting enak di makan. Jangan terlalu banyak bertanya."
Aleena juga memberikan beberapa ikan tersebut kepada Oby. Kucing besar itu memakannya hingga tak bersisa. Pandangan Aleena beralih mencari keberadaan Green. Burung beo itu terlihat diam di atas batang pohon. Aleena berpikir bahwa burung itu sudah tidur.
"Aku akan mematikan perapian ini, supaya keberadaan kita tidak terlihat oleh pesawat patroli udara. Sekarang pergilah ke atas dan tidurlah. Pakai beberapa pakaian jika kau merasa kedinginan."
Noha beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut setelah melihat anggukan kepala dari adik perempuannya.
Aleena kembali memanjat ke atas batang pohon yang terbesar, diikuti oleh Oby. Kucing besar itu dengan mudah memanjat pohon besar tersebut dengan bantuan kukunya yang tajam.
Aleena kembali membuka tas kecilnya dan mulai mempelajari semua barang yang ada di dalamnya. Sejenak ia melihat Green yang hanya terdiam serta menutup matanya.
"Apa kau sudah tidur Green?"
"Aku tidak tidur Aleena. Aku hanya diam untuk menghemat daya baterai penggerak tubuh ku. Malam hari tidak ada panas matahari, sedangkan tubuh ku harus terus memasok energi panas tersebut untuk tetap membuat tubuh ku bisa bergerak layaknya seekor burung ataupun makhluk hidup lainnya."
"Jadi kau digerakkan oleh panel surya?"
"Benar Aleena. Begitupun dengan tas kecil itu. Namun tenanglah, aku memiliki banyak sekali cadangan panas matahari yang selalu terisi di dalam tubuh dan juga tas kecil itu. Aku hanya tidak ingin terlihat aneh jika selalu saja berkicau sepanjang malam. Kau bisa memasang ayunan tambang diantara kedua cabang pohon itu, supaya kau lebih nyaman beristirahat."
Aleena kembali melihat isi di dalam tas kecilnya, kemudian mengambil ayunan gantung dan mengikatnya diantara dua cabang pohon yang cukup kuat.
"Beristirahatlah Oby, biar profesor Green mengaktifkan mode siaganya. Kau harus cukup bertenaga jika terjadi pertarungan kembali."
Aleena mulai menidurkan tubuhnya di dalam ayunan gantung serta menambahkan selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Malam semakin larut, udara pun terasa semakin dingin.
Oby terbangun dari tidurnya saat merasakan banyak gerakan dari ayunan gantung tempat Aleena tertidur. Green pun membuka sebelah matanya.
"Kau ini seorang gadis, kenapa tidur saja tidak bisa tenang dan selalu bergerak. Rasakan sendiri sakitnya jika kau jatuh dari dalam ayunan itu."
Green menggerutu perlahan kemudian kembali menutup matanya. Sementara Oby beralih mendekati tubuh Aleena. Leopard besar itu menidurkan tubuhnya tepat di bawah ayunan gantung Aleena, kemudian ia melilitkan ekor panjangnya ke tubuh Aleena yang berada di dalam ayunan tersebut.
"Lihatlah kau begitu perhatian terhadap gadis itu, padahal baru kemarin kau mengenalnya. Bahkan terhadap tuan profesor pun kau tidak pernah terlalu perhatian seperti itu."
Green kembali bergumam perlahan saat melihat tingkah laku Oby.
"Haah... Aku pun mengerti dengan apa yang kau rasakan terhadap gadis itu. Dia lebih perhatian kepada kita. Aleena memberikan perhatian yang disertai dengan kasih sayang. Bahkan tuan profesor pun tidak pernah membelai tubuh dan kepala kita. Namun gadis itu, dia memperlakukan kita seolah kita adalah saudaranya. Sekalipun aku hanya terbuat dari serpihan besi, namun sejak aku hidup bersama manusia dan semua mahkluk hidup. Aku bisa merasakan apa itu kasih sayang. Bahkan kau yang seekor hewan buas pun bisa merasakannya."
Green menghela nafas panjang.
Geerrrr.
Terdengar geraman kecil dari mulut Oby, setelah Green menyelesaikan ucapannya. leopard besar itu mulai memejamkan matanya.
matahari belum terbit sepenuhnya, namun Aleena sudah terbangun dari tidurnya. Gadis kecil itu menggeliat di dalam ayunannya, membuat Oby pun ikut terbangun.
"Maaf Oby, aku membuat mu harus menjaga ku saat tidur. Lain kali aku akan mencari tempat yang lebih aman, terimakasih."
Aleena menyadari ekor Oby yang masih melilit pada ayunan gantung nya. Gadis itu mulai bergerak berpindah tempat, kemudian membereskan semua peralatannya.
"Oby diamlah dan tetap di atas."
Aleena menunjuk sekumpulan anak-anak yang berjalan perlahan di bawah pepohonan. Beberapa orang tentara pun terlihat mengawasi mereka. Aleena merasa sedikit iba karena ada diantara anak-anak itu yang menangis.
"Kak Yasin, kenapa mereka menangis?"
Aleena turun dan menyapa seseorang yang ia kenali.
"Mereka masih terlalu kecil jika harus dipaksa bertahan hidup sendirian di tempat yang kejam ini. Hanya mereka yang selamat dari serangan kemarin, itupun karena orang tua mereka telah mengorbankan segalanya termasuk selembar nyawa mereka."
"Lalu, kenapa mereka semua menuju ke sungai?"
"Namanya anak kecil yang masih terbiasa manja dengan ayah dan ibunya, hanya untuk buang air saja mereka semua menangis."
"Tenanglah kak, aku akan membantu kalian."
Aleena tersenyum kecil seraya menepuk pelan pundak rekan kakaknya.
"Hai adik-adik tampan dan cantik ayo berbaris, siapa yang mau duluan masuk ke sungai.. Atau mau barengan?"
Aleena berusaha sebaik mungkin untuk membuat anak-anak itu tenang serta berhenti menangis.
"Kakak, pakaian ku kotor. Aku mau mandi."
Seorang anak laki-laki mendekati Aleena seraya menghapus air mata yang masih tersisa di wajahnya.
"Iya tampan, ayo kemarilah. Kita akan bermain air. Ada yang mau ikutan."
Aleena terus tersenyum semanis mungkin.
"Oh lihat, ternyata ada bagian sungai yang tidak terlalu dalam. Bagaimana kalau kita berendam sambil membersihkan tubuh."
Aleena masih memasang senyum termanis yang dimilikinya seraya memasukkan kedua kakinya ke bagian sungai yang dangkal.
"Iya aku mau."
Berawal dari seorang anak, hingga saat ini semua anak-anak itu sibuk bermain air bersama.
"Ayo cepat naik dan keringkan tubuh kalian. Kalau kedinginan nanti bisa sakit."
Aleena mulai mengusap tubuh setiap anak dengan menggunakan handuk, kemudian memakaikan mereka pakaian yang bersih.
"Sekarang kalian semua sudah bersih, cantik-cantik dan juga tampan. Berbaris yang rapi dan ikuti om om ganteng ini untuk kembali ke tenda kalian oke."
Aleena kembali tersenyum manis serta mengedipkan sebelah matanya.
"Oke ka. Tapi kakak juga harus ikut."
Seorang anak laki-laki tersenyum kecil seraya memegang tangan Aleena.
"Iya, aku akan menyusul kalian setelah aku mandi dan berganti pakaian. Kalian bermain hingga membuat seluruh pakaian ku basah, jadi aku juga harus mengganti pakaian supaya tidak sakit."
"Tapi kakak harus berjanji untuk menyusul kami ya."
Seorang anak yang lain berucap seraya menunjukkan jari kelingkingnya.
"Insyaallah, kakak akan segera menyusul kalian."
Aleena tersenyum seraya mengaitkan jari kelingkingnya, hingga kedua jari kelingking tersebut kini saling berkait.
"Ayo semua kita kembali lebih dulu. Kakak Aleena akan membuatkan makanan untuk kita semua nanti."
Yasin bersama beberapa rekannya mulai menggiring anak-anak itu untuk kembali ke tenda mereka. Sementara Aleena mulai masuk di antara bebatuan untuk mengganti pakaiannya.
Usai bersujud kepada sang pencipta, Aleena termenung sejenak. Dia berpikir alangkah beruntungnya dirinya karena pada saat ayahnya meninggal, usianya sudah cukup dewasa. Sehingga mampu untuk mengurus diri sendiri. Sementara anak-anak itu ditinggal mati oleh ayah dan ibunya saat usia mereka masih begitu muda dan bahkan masih sangat kecil.
Tekad Aleena semakin besar untuk membantu dan membela setiap orang sesuai dengan kemampuannya. Aleena berdiri dan mulai bersiap menuju ke tenda pengungsian.
Beberapa orang mulai terlihat sibuk memasak air, menanak nasi serta membuat adonan terigu. Ada juga yang sibuk berbenah, memasukkan segala macam umbi-umbian dan buah ke dalam beberapa karung besar. Hal itu membuat Aleena sedikit heran.
"Kakak kenapa seluruh bahan makanan itu kembali di kemas?"
Aleena berjalan mendekati Noha dan juga Yasin yang masih berbincang.
"Anak-anak itu tidak bisa selamanya hidup di pengungsian yang setiap saat bisa saja diserang oleh musuh. Jadi kami memutuskan untuk mengirim mereka semua ke tempat yang lebih aman."
Noha mulai memberikan sedikit penjelasan.
"Namun kami masih belum bisa membuat mereka semua menuruti setiap perintah kami."
Yasin sedikit menambahkan.
"Aku mengerti kesulitan kalian. Aku akan mencoba membantu."
Aleena mengajukan dirinya untuk membantu.
"Apa kau yakin? ini sangat berbahaya Aleena."
Noha memandang wajah cantik Aleena yang telah tertutup oleh masker kain.
"Kita harus mencobanya, lagi pula tidak ada lagi orang yang bisa mengurus mereka di tempat ini. Kemana mereka semua harus di antar?"
"Perbatasan kota. Tempat itu telah di lindungi oleh pihak perdamaian dunia. Namun seorang tentara seperti kami tidak di perbolehkan untuk memasuki wilayah tersebut supaya konflik ini tidak menyebar."
Noha kembali memberikan pengertian.
"Jadi hanya warga sipil yang diperoleh untuk meminta perlindungan."
Yasin ikut menambahkan.
"Kakak, bisakah kau buatkan segelas susu untuk ku."
Pembicaraan mereka terhenti, saat seorang anak kecil berlari mendekati Aleena.
"Tentu saja cantik. Ayo kita buat susu yang banyak, supaya semua teman mu juga ikut meminumnya."
Aleena membawa anak kecil itu menjauh, kemudian ia mulai menyiapkan beberapa gelas, susu bubuk dan juga air hangat. Aleena juga menyiapkan beberapa roti yang sudah selesai di buat oleh beberapa tentara yang sedari tadi berkutat dengan terigu.
Aleena mengeluarkan beberapa selai buah dari dalam tas kecilnya, untuk menambah senyum keceriaan di wajah para malaikat kecil yang tidak berdosa itu.
"Ayo semuanya duduk dengan benar dan tenang. Kakak Aleena akan mengolesi roti kalian sesuai dengan rasa yang kalian inginkan, bagaimana?"
Aleena memasang senyum termanisnya. Semua anak-anak itu ikut tersenyum, namun tidak ada yang berani mengeluarkan suaranya. Saat Aleena menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya.
Aleena mulai menghampiri satu persatu anak-anak tersebut untuk mengoleskan selai buah yang mereka inginkan. Dengan wajah yang dipenuhi senyuman, semua anak-anak itu memakan sarapan pagi mereka.
Beberapa pengungsi lain yang menyaksikan hal itu pun meneteskan air mata. Mereka merasa berterima kasih karena masih ada yang mau mengurus anak-anak tersebut.
Setelah Aleena menghabiskan makanannya bersama dengan pengungsi yang lain, gadis itu kembali berjalan mendekati kakak lelakinya.
"Kapan kita akan memindahkan mereka semua kak?"
"Secepatnya lebih baik Aleena. Karena kita tidak tahu kapan musuh akan kembali menyerang."
"Lalu bagaimana caranya. Mereka hanya anak-anak, mereka tidak akan tahan jika harus berjalan terlalu lama."
"Saat membawa mereka ke tempat ini, aku menaikan mereka ke dalam beberapa kereta kecil dan mendorongnya perlahan. Masalahnya adalah sangat sulit untuk membuat mereka tetap diam, apalagi jika mereka ketakutan dan menangis. Sementara kau tahu sendiri, hanya dengan satu suara saja. Seluruh rombongan akan musnah oleh tembakan."
Yasin kembali berucap.
"Aleena, misi ini benar-benar berbahaya. Aku tidak ingin kau..."
Noha tidak melanjutkan kembali ucapannya, karena terpotong oleh suara Aleena yang penuh ketegasan.
"Ini adalah misi pertama ku. Aku pasti berhasil."
Aleena berusaha meyakinkan kakak lelakinya.
"Kau cobalah dulu untuk menarik perhatian mereka. Buat anak-anak itu untuk selalu mengikuti setiap ucapan mu dan perbuatan mu."
Aleena tersenyum kecil, seraya kembali berjalan mendekati tempat anak-anak itu berkumpul. Ia mulai melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian anak-anak serta mulai meminta mereka untuk mematuhi semua ucapannya layaknya seorang guru.
"Jadi, apakah kalian akan mengikuti semua ucapan ku untuk tetap diam selama perjalanan kita menuju ke tempat yang lebih baik?"
Aleena sedikit menegaskan ucapannya serta menatap satu persatu wajah anak-anak yang ada di hadapannya saat ini.
"Kakak Aleena, aku akan berusaha untuk tetap diam dan tidak akan menangis selama perjalanan kita nanti. Aku sangat ingin sekali bermain dan bersekolah dengan tenang di tempat yang lain."
Seorang anak laki-laki berdiri dari duduknya kemudian mulai berbicara dengan jelas meskipun sedikit pelan.
"Aku juga kakak."
"Kami akan berusaha untuk tetap diam apapun yang terjadi."
"Dan kami hanya berteriak keras saat meminta pertolongan, sesuai dengan yang kakak Aleena ajarkan."
Satu persatu anak-anak kecil tersebut berdiri dan meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa mengikuti semua ucapan Aleena.
"Bagus, kalian pintar. Kita akan pergi untuk mencari tempat yang lebih baik tanpa adanya suara tembakan."
Aleena mengusap lembut satu persatu kepala anak-anak kecil tersebut kemudian memeluk erat tubuh mereka sesaat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments