"Kami harus kembali berburu mereka yang telah berani menapakkan kakinya di tanah merah kita tercinta ini, hanya untuk merebut hak yang tidak seharusnya tidak mereka miliki. Hanya lima orang saja yang akan pergi bersama dengan mu, itupun mereka hanya bisa mengantar hingga ke batas hutan ini. Selebihnya kau harus bisa pergi seorang diri Aleena."
Aleena hanya mengangguk setelah mendengar semua penjelasan Noha.
"Kakak mu adalah seorang pemimpin batalion, dia harus bertanggung jawab atas anak buahnya yang lain. Aku yang akan mengantarkan kalian hingga ke batas hutan. Kami akan mempersiapkan semuanya terlebih dahulu. Jika sinar rembulan tampak, mungkin nanti malam kita mulai bergerak."
Yasin mulai memperbaiki roda kereta yang sempat mereka temukan di dalam pemukiman warga sebelumnya.
"Hei.. Bagaimana dengan wanita bercadar yang pernah kita lihat sebelumnya?"
Pertanyaan salah seorang rekannya mengingatkan Yasin tentang seorang wanita yang kabarnya selalu membantu mereka membawa warga yang ingin ke perbatasan.
"Pada saat penyerangan sebelumnya, aku mendengar kabar bahwa mereka semua habis tertembak. Begitupun dengan wanita itu. Namun tidak ada kabar yang pasti mengenai keberadaan wanita itu, karena tubuhnya pun tidak diketemukan. Kemungkinan besar dia masih hidup, karena tidak ada jejak hewan buas di tempat tersebut."
Perbincangan Yasin bersama beberapa rekannya kembali berlanjut.
"Seandainya wanita itu masih ada, mungkin dia bisa membantu Aleena."
"Siapa yang kalian bicarakan?"
Aleena bertanya saat mulai mengerti arah pembicaraan mereka.
"Seorang wanita muda yang kabarnya selalu membantu para warga yang ingin pergi ke perbatasan. Dia juga selalu menutupi sebagian wajahnya seperti dirimu Aleena."
Noha ikut menambahkan.
"Jika tidak salah, ada yang memanggilnya dengan sebutan Nadeen. Dia sebenarnya seorang warga asing yang sangat bersimpati dengan keadaan di tempat kita ini."
"Mungkin usianya seumuran dengan mu Aleena."
"Kabar terakhir yang kami dapatkan, dia beserta seluruh warga dan juga beberapa prajurit yang masih berada di dalam hutan ini mati tertembak."
"Namun setelah pasukan pembersih mencari keberadaan mereka, tubuh wanita itu tidak ada di tempat kejadian. Hanya beberapa tubuh prajurit dan juga warga pengungsi."
Aleena mendengar semua penjelasan dari seluruh rekan kakaknya tersebut.
"Dia seorang Wonder woman. Pasti dia masih hidup."
Aleena berucap dengan pasti.
"Ya seperti itulah beberapa rekan serta warga yang berhasil ia selamatkan menyebut wanita itu. Terkadang dia berbahasa Inggris, namun tak jarang dia juga berucap seperti kita."
"Ada juga yang pernah mendengar dia berucap dengan bahasa Indonesia. Karena terkadang dia juga berbicara dengan tentara Indonesia dan beberapa negara lain yang mengirimkan bantuan logistik. Entahlah dari mana sebenarnya wanita itu."
Aleena hanya mengangguk setelah mendengar semua penjelasan itu.
"Dengan berjalan perlahan serta harus mendorong kereta, kemungkinan kalian akan memerlukan beberapa hari untuk sampai ke batas hutan. Siapkan semua bahan makanan serta beberapa obat yang diperlukan."
Noha kembali memberikan perintah.
"Bagaimana dengan warga yang lain, apa mereka tidak bersedia ikut?"
Aleena menoleh ke arah beberapa warga yang masih tinggal di dalam tenda pengungsian.
"Itu terserah saja kepada mereka semua, kita tidak bisa memaksa. Mereka bisa tinggal di tempat ini jika mau, namun kami pun tidak bisa memastikan keselamatan mereka. Karena kami masih harus melakukan tugas yang lain."
"Jika mereka ikut bersama dengan mu, perjalanan kalian akan semakin lambat."
Noha melihat sejenak beberapa orang dewasa serta beberapa orang tua yang berada di dalam tenda.
"Aku akan bertanya kepada mereka, apakah mereka bersedia untuk ikut serta. Tentu saja dengan semua resikonya."
Aleena mulai berjalan mendekati tenda mereka. Dengan sangat hati-hati gadis cantik bermasker tersebut mulai menjelaskan perihal perjalanan mereka nanti.
"Jika kita tetap di tempat ini pun belum tentu aman dari pasukan musuh. Maka kami akan berusaha untuk ikut pergi bersama dengan mu, walaupun dengan berbagai kesulitan yang harus di hadapi."
Beberapa orang mulai mengambil keputusan masing-masing.
"Setidaknya kita sudah berusaha untuk tetap hidup dan tidak membiarkan diri kita teraniaya hingga mati. Kita akan berjuang bersama."
"Mereka yang masih anak-anak pun menginginkan kehidupan yang lebih baik, kenapa kita tidak ikut berusaha juga."
Berbagai ucapan mulai terlontar dari bibir masing-masing, hingga mereka semua sepakat untuk ikut pergi bersama dengan Aleena.
"Baiklah, ayo bersiap."
Aleena tersenyum kecil dari balik masker yang dipakainya.
Sebelum matahari benar-benar terbenam, rombongan itu sudah berjalan semakin jauh ke dalam hutan. Dua kereta yang selalu di dorong perlahan terlihat tertutup banyak dedaunan di atasnya.
Para tentara sudah membuat dua kereta ini tertutup oleh beberapa lembar kain tenda di keseluruhannya. Kemudian di atasnya di tambahkan banyak dedaunan untuk menyamarkan bentuknya. Semua anak-anak duduk diam di dalam satu kereta, sementara kereta yang lain hanya mengangkut perbekalan mereka.
Sekian lama bersama, semua pengungsi dan lima tentara tersebut mulai terbiasa dengan kucing besar yang selalu berjalan mengikuti Aleena. Tak lupa Aleena juga menyiapkan minuman dan beberapa makanan ringan untuk dibawa sendiri oleh setiap anak yang menginginkannya.
Saat malam mulai merayap, Aleena dan rombongannya masih berjalan perlahan-lahan. Beberapa orang tua yang memang sudah lanjut usia, terlihat mulai memaksakan kedua kalinya untuk terus melangkah. Rasa lelah sudah terlihat jelas di wajah mereka. Yasin pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Aleena menyadari bahwa orang yang sudah lanjut usia tersebut akan merasa sangat kepayahan dalam perjalanan ini. Akhirnya gadis itu membongkar kereta yang memuat beberapa persediaan mereka.
"Kenapa kau mengeluarkan semua persediaannya kita?"
Yasin menegur tindakan gadis kecil tersebut.
"Tolong percayakan semua persediaan ini kepada ku. Beberapa orang tua itu bisa bergantian duduk di dalam kereta ini, sehingga mereka tidak terlalu kecapekan. Kasian jika mereka harus terus memaksa tubuh tuanya untuk tetap bertahan."
Yasin hanya mengangguk setelah mendengar ucapan Aleena.
"Kita akan beristirahat sejenak di sini. Kalian bisa tidur sesaat, kami akan mencoba untuk tetap terjaga."
Yasin mulai memberikan perintah.
"Kakek dan nenek sekarang semuanya bisa saling bergantian untuk beristirahat di dalam kereta jika lelah nantinya. Kalian tidak harus memaksakan tubuh kalian untuk tetap berjalan."
Aleena mulai membagikan beberapa ubi rebus yang sebelumnya sudah mereka persiapkan.
"Maafkan para orang tua ini anak muda. Kami hanya menghambat langkah kalian."
Seorang wanita tua berkata dengan lembut saat ia menerima makanan dari tangan halus Aleena.
"Tidak nenek, kami akan berusaha untuk membawa serta kalian apapun yang terjadi."
Aleena mengusap perlahan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput tersebut.
"Sekarang nenek dan kakek tidurlah sambil bersandar di dalam kereta. Kami akan mendorongnya perlahan saat berangkat nanti."
Enam orang tua yang sudah lanjut usia mulai masuk ke dalam kereta dan mencoba mengistirahatkan tubuhnya dengan bersandar pada dinding kereta. Beberapa orang lainnya serta semua tentara yang mengawal kepergian mereka pun kini meluruskan tubuh mereka di atas rerumputan.
Aleena pun membagikan beberapa makanan kepada semua anak. Beberapa di antara anak-anak itu pun ada yang meminta untuk sekedar buang air. Dengan sabar Aleena menuntun mereka masuk di antara semak-semak.
"Ingat kalian jangan berisik, tidurlah jika memang kalian mengantuk. Perjalanan kita masih jauh jadi tetaplah diam apapun yang terjadi."
Semua anak-anak itu mengangguk serentak dan mulai kembali memasuki kereta mereka.
"Kak Yasin minta semua rekan mu untuk tidur sesaat. Oby dan juga Green bisa menggantikan tugas kalian sejenak."
Aleena kembali mendekati Yasin dan juga rekannya. Oby sudah mulai memanjat sebuah pohon untuk melakukan pengawasan, begitu pula dengan Green. Burung beo itu bertengger di atas cabang pohon yang cukup tinggi untuk memastikan keadaan.
"Kita tidak bisa membuat perapian, jadi tetap jaga kehangatan tubuh kalian. Bawa selalu selimut ini bersama dengan kalian."
Aleena kembali membagikan beberapa selimut kepada mereka yang belum memilikinya. Sementara Yasin masih sedikit terbengong karena tidak lagi melihat seluruh barang persediaan mereka. Pria itu hanya bisa bertanya di dalam hati, di mana gadis kecil itu meletakkan semua barang tersebut. Karena lelah pada tubuhnya yang telah menumpuk, Yasin pun tertidur di atas rerumputan bersama rekannya yang lain.
Geerrrr.
Geraman kecil Oby melenyapkan mimpi Yasin bersama seluruh rekannya. Sikap siaga mulai mereka ambil. Perlahan dari kejauhan terdengar suara deru mesin helikopter.
Pandangan Yasin mulai melihat ke seluruh pengungsi untuk memastikan posisi mereka aman saat ini.
"Diam. Jangan ada pergerakan atau suara sekecil apapun, tetap merunduk."
Dengan sedikit berbisik, Yasin memperingatkan mereka yang juga ikut terbangun.
Setelah suara deru mesin helikopter tersebut menjauh, Yasin kembali meminta Semuanya untuk kembali bergerak.
"Kita akan sering berhenti saat matahari menampakkan sinarnya nanti. Karena hanya dalam gelap kita bisa bergerak dengan leluasa."
Beberapa orang tentara mulai mendorong gerobak mereka. Hanya dengan berbekal senter kecil, Yasin menerangi jalan yang akan mereka lalui.
Geerrrr.
Suara geraman hewan buas terdengar dari rimbunnya pepohonan.
"Oby."
Aleena sedikit berteriak, saat telinganya juga mendengar geraman halus tersebut.
Geerrrr.
Oby yang sedari tadi berjalan di belakang, kini sedikit berlari dan melompat ke depan seraya mengeluarkan geraman yang tak kalah mengerikan.
Suara rerumputan kering yang terinjak terdengar di antara kesunyian malam. Beberapa langkah kaki mulai terdengar menjauh.
Setelah keadaan kembali sunyi senyap, Yasin mulai kembali melangkah diikuti oleh seluruh rombongannya.
"Syukurlah, kau bisa berguna juga kucing besar. Kami hanya bisa menembak mereka jika terpaksa. Namun satu suara tembakan saja bisa memusnahkan kita semua nantinya."
Yasin mengusap pelan kepala besar leopard tersebut seraya kembali menerangi jalan.
Sekian lama berjalan, rasa lelah kembali menyerang. Suara Kokok ayam hutan terdengar sayup dari kejauhan. Yasin melihat sejenak ke arah arloji kusam yang selalu melingkar di pergelangan tangannya.
"Sudah subuh, kita berhenti sejenak."
Yasin menghentikan rombongannya.
Aleena mulai mengusapkan kedua telapak tangannya pada sebuah dahan pohon, kemudian ia mengusap wajah serta kedua tangannya. Hal itu dilakukan juga oleh beberapa pengungsi yang lain.
Usai melakukan tayamum, mereka mulai membuat barisan dan mulai bersujud kepada rob mereka.
"Tempat ini terlalu terbuka, ayo berjalan sedikit lagi untuk mencari tempat yang lebih rimbun."
Yasin kembali membuat mereka melangkah untuk mencari tempat yang sekiranya terlindung dari sinar matahari yang akan membuat mereka menjadi sasaran empuk pasukan musuh.
Hingga tibalah mereka di tepi sungai yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan tinggi. Yasin mulai membersihkan satu tempat di bawah rimbunnya pepohonan. Pria itu memastikan tidak ada hewan buas maupun binatang melata di sekitar tempat tersebut.
"Kita akan beristirahat sejenak, seraya menghindari patroli pagi yang biasa mereka lakukan. Anak-anak itu bisa sejenak keluar dari dalam kereta, asalkan mereka tidak berbuat semaunya."
Yasin membuka tenda penutup kereta dan berusaha tersenyum manis kepada setiap wajah anak-anak kecil yang kini memandang dirinya.
"Jangan berlarian ke mana-mana, cukup duduk manis untuk sekedar menghirup udara segar. Kalian mengerti anak manis."
Semua anak-anak kecil tersebut mengangguk serempak. Satu persatu mereka keluar dari dalam kereta dengan di bantu oleh Yasin.
"Kemari anak-anak, ayo bersihkan wajah dan tangan kalian."
Aleena meminta anak-anak tersebut untuk mendekati dirinya yang sudah berdiri di tepi sungai. Setibanya anak-anak itu di tempat Aleena, kini mereka semua berdiri mematung saat melihat Oby yang sudah berdiri di antara bebatuan di tengah sungai. Kucing besar itu nampak lahap memakan beberapa ikan yang telah berhasil di tangkapnya.
"Kakak, kau memanggil kucing besar itu dengan sebutan Oby bukan?"
Seorang anak kecil menarik ujung pakaian Aleena. Sementara Aleena hanya mengangguk.
"Oby baik, bagaimana kalau kau membagi sedikit ikan itu untuk kami."
Seorang anak lainnya berucap sedikit keras seraya memandang kucing besar itu dengan penuh harap. Kedua tangannya pun terjulur ke depan, seolah ia berupaya untuk meminta dengan baik.
Oby mengerti isyarat tangan kecil tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, kaki depan Oby mulai menyepak satu persatu ikan yang cukup besar hingga mendarat di tanah, tidak jauh dari tempat Aleena dan juga anak-anak itu berdiri.
Dengan cepat Aleena mengeluarkan sebuah ember dari dalam ruang penyimpanannya. Ia bergegas memunguti ikan tersebut dan menaruhnya di dalam ember. Anak-anak kecil itu tersenyum senang, serta ikut berlomba mengambil ikan yang telah menggelepar di atas permukaan tanah.
"Ssstt..."
Aleena menempelkan ujung telunjuknya pada bibirnya. Anak-anak tersebut mengerti dan berusaha untuk tidak tertawa lepas. Oby pun menghentikan aksinya setelah tidak ada lagi ikan disekitarnya. Leopard besar itu kembali melompati batu demi batu hingga tiba di tepi sungai.
Yasin bersama beberapa rekannya membantu Aleena membersihkan ikan tersebut, sementara yang lainnya membuat perapian kecil untuk memanggang ikan yang telah mereka kumpulkan.
Aleena sendiri kini sibuk mengeringkan tubuh anak-anak kecil tersebut, serta mengganti pakaian mereka yang telah basah terkena cipratan air.
Usai melakukan semua itu, Aleena bergegas mencari beberapa bumbu di dalam dapur penyimpanannya untuk memberikan sedikit rasa enak pada ikan yang akan mereka panggang.
Ikan bakar sudah selesai, namun ikan yang tersisa masih banyak di dalam ember. Gadis itu memotong beberapa daun pisang yang tumbuh di antara semak belukar. Kemudian ia mulai membungkus satu persatu ikan tersebut di dalam daun pisang dan tak lupa memberinya bumbu.
Aleena mengeluarkan beberapa ubi jalar dari dalam kantong persediaan makanan mereka kemudian menguburnya dengan menggunakan sisa arang pembakaran ikan. Sementara ikan yang sudah dia bungkus dengan daun pisang, ia letakkan di atasnya sembari terus ia bolak balik hingga tercium aroma yang khas.
Aleena menatap Oby seraya menggerakkan bibirnya untuk sekedar memperingatkan kucing besar itu agar ia sebisa mungkin menjaga sikap di hadapan para anak-anak tersebut, supaya mereka tidak ketakutan akan keberadaan dirinya. Semua itu dimengerti oleh Oby sang leopard besar. Ia tetap saja diam saat semua anak-anak kecil itu duduk mengelilingi dirinya, usai mereka memakan ikan bakar masakan Aleena.
Yasin bersama seluruh rekannya terlihat mengistirahatkan tubuh mereka setelah begitu kenyang memakan beberapa ikan bakar. Begitupun dengan anak-anak dan para orang tua. Namun pemandangan yang sedikit aneh kini terlihat antara anak-anak, Green dan juga Oby. Beberapa obrolan pun terdengar di antara mereka.
"Dulu aku juga memiliki seekor kucing di rumah, namun tubuhnya tidak sebesar tubuhmu Oby."
Seorang anak yang berumur kurang lebih lima tahun tersebut terlihat membelai tubuh besar Oby yang terbaring di atas rerumputan.
"Kucing yang aku miliki berbulu kecoklatan dan tidak memiliki titik hitam seperti ini."
"Yang aku miliki berbulu putih."
"Tapi bagaimana tubuh Oby bisa sebesar ini, sementara kucing yang ku miliki mungkin hanya sebesar kaki Oby."
Anak yang lain pun berkata.
"Oby.. Sebaiknya kau mengurangi porsi makanan mu. Supaya tubuh mu tidak terlalu besar dan gemuk seperti ini."
"Iya benar. Jangan terlalu banyak makan Oby."
Terlihat anak yang lain pun mengangguk menyetujuinya. Sementara Aleena, Yasin dan juga rekannya yang lain hanya terus memegangi perut mereka masing-masing, serta mengunci rapat mulut mereka supaya tidak tertawa lepas saat mendengar perbincangan di antara para balita tersebut.
"Oby rakus... Oby rakus.."
Suara Green terdengar membeo berulang kali. Hal itu semakin membuat Yasin berguling di tanah karena hampir tidak sanggup lagi menahan tawa.
Aleena sendiri yang masih menahan tawa, kini air matanya menetes membasahi penutup wajah yang ia kenakan karena tidak sanggup lagi menahan tawa yang seharusnya meledak.
"Sungguh polos. Anak-anak itu menganggap Oby adalah seekor kucing rumahan seperti yang pernah mereka miliki."
Aleena hanya bergumam dalam hati. Ia mulai membersihkan perapian yang telah mereka gunakan, kemudian menyimpan semua makanan yang telah ia buat untuk perbekalan nanti.
"Ayo kak Yasin, kita lanjutkan perjalanan dengan perlahan. Sepertinya hutan di depan terlihat lebih rimbun."
Aleena mulai meminta anak-anak itu untuk kembali masuk ke dalam kereta. Tak lupa ia juga memberikan beberapa minuman serta kue kering kepada mereka yang berusia sedikit lebih dewasa dari pada para balita tersebut.
Yasin kembali memanggul senjatanya dan mulai membuat jalur untuk kereta tersebut. Sementara rekannya yang lain bersiap mendorong kereta itu perlahan.
Yasin terus memperhatikan jalur yang akan dilewati oleh kereta tersebut. Ia memastikan jalurnya aman dan juga muat untuk ukuran kereta kecil tersebut. Mengingat saat ini mereka berjalan di dalam hutan yang ditumbuhi banyak pohon, sehingga tidak ada jalan aspal yang mulus. Yang terpenting keempat roda kereta tersebut tidak terperosok ke dalam lumpur ataupun tergelincir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments