Aleena sudah kembali berdiri di bawah pohon besar tidak jauh dari semak-semak tempat ia meletakkan semua barang miliknya. Seekor leopard berbulu putih keemasan serta penuh dengan titik-titik hitam berdiri di sampingnya bersama dengan seekor burung hijau yang ujung kedua sayapnya berwarna biru cerah.
"Ini tidak benar. Percaya pada suatu benda yang memiliki kekuatan gaib adalah dosa besar."
Aleena melempar tas kecil yang baru saja ia dapatkan dari dalam kapal ke atas tanah.
"Kalian jangan menipuku lagi. Katakan yang sebenarnya."
Aleena memegang erat tongkat kayu miliknya dengan kedua tangannya.
Oby menghembuskan nafas kasar serta sedikit menggelengkan kepalanya. Aleena bisa melihat itu dengan jelas, kini ia semakin menyiapkan tubuhnya untuk bertarung. Kedua kakinya mulai bergeser sedikit menjauh dan bersiap untuk menahan serangan.
"Maaf. Maaf Aleena. Green berbohong."
Suara khas seekor burung beo kembali terdengar.
"Katakan."
Aleena semakin mempertegas ucapannya.
"Tas kecil itu hanyalah kamuflase. Untuk mengetahui bentuk aslinya, kau bisa menekan batu kecil yang ada ditengah."
Bukan lagi suara khas seekor burung beo yang kini di dengar oleh Aleena, melainkan suara robot yang sedikit tersendat. Aleena masih tetap diam di tempatnya, ia semakin mengeratkan genggaman pada tongkat kayunya.
"Siapa kalian sebenarnya?"
Suara Aleena sedikit tercekat, gadis cantik itu merasa sedikit takut.
"Aku adalah robot pengintai yang dibuat oleh tuan kami yang sudah di bunuh oleh para tentara itu. Tas itu pun hanyalah salah satu benda ciptaannya. Tuan ku memasukan banyak informasi yang ia dapatkan ke dalam diriku, sehingga aku bisa berucap apapun tentang barang hasil ciptaannya. Tidak ada yang gaib dalam setiap benda ciptaan tuan kami, jadi nona Aleena tidak perlu khawatir. Semuanya adalah maha karya dari seorang yang jenius."
Green yang masih bersuara seperti robot melayang dan mengambil kembali tas kecil yang tergeletak di atas tanah itu dengan kakinya dan menggantungnya pada ujung tongkat kayu Aleena.
"Bagaimana dengan kucing besar itu?"
"Oby adalah leopard yang terlatih untuk berburu maupun berperang. Sebelum terjadi penembakan pada kapal kami, tuan kami menyuntikkan obat ke dalam tubuhnya untuk menetralisir racun duri jarum ungu yang sempat masuk ke dalam tubuhnya saat kami masih berada di kedalaman Afrika. Sehingga tuan terpaksa harus merantai kakinya untuk sekedar berjaga-jaga jika dia kehilangan kewarasannya."
"Jadi dia tetaplah hewan liar."
"Benar Aleena. Namun di dalam tubuhnya tersimpan satu chip yang selalu terhubung dengan ku ataupun peralatan canggih milik tuan kami. Termasuk dengan tas kecil itu."
Aleena masih terus memperhatikan Green, Oby dan juga tas kecil yang kini tergantung pada ujung tongkat kayunya.
"Tenanglah Aleena. Meskipun aku robot, namun tuan ku sudah tiada. Dan dia bukanlah orang yang suka memperalat. Aku diprogram untuk bebas mengenali setiap orang. Jadi aku bebas menentukan siapa tuanku berikutnya, setelah beliau pergi meninggalkan kami. Kau telah mengobati luka pada kaki Oby, hal itu membuat kami yakin bahwa kau adalah gadis yang baik dan pemberani. Jadi kami memutuskan bahwa kau lah tuan kami berikutnya."
"Apakah ucapan mu bisa dipercaya?"
"Aku sudah menjelaskan semuanya. Penilaian itu tergantung kepada mu."
Aleena hanya mengangguk perlahan setelah mendengar semua ucapan burung beo yang berada dihadapannya saat ini. Gadis cantik itu bergegas masuk ke dalam semak-semak saat terdengar suara deru helikopter dari kejauhan begitupun Oby dan Green.
Wajah Aleena kini diliputi dengan kecemasan. Bukan pesawat patroli udara yang dilihatnya saat ini, melainkan beberapa pesawat tempur yang kini sudah menjatuhkan beberapa meriam ke berbagai tempat. Beberapa tentara berseragam aneh pun mulai meluncur turun dari dalam pesawat.
"Perkampungan."
"Ayah."
Aleena bergumam perlahan.
Darah Aleena seolah berdesir hebat, setelah terdengar ledakan berulang kali dari kejauhan. Gadis itu mulai bergerak cepat dari satu pohon ke pohon yang lain, setelah ia memasukkan seluruh barang yang ia dapatkan dari kamp tentara ke dalam tas kecilnya. Green dan Oby terus mengikuti pergerakan gadis cantik itu.
Degup jantung Aleena seakan berhenti saat ia mulai melihat beberapa bangunan yang telah rata dengan tanah. Api amarah di dadanya kini semakin membara, tatkala ia melihat beberapa orang tentara musuh yang sedang menyiksa beberapa penduduk.
"Bedebah... Bangsat kalian semua. Kenapa hanya berani menyerang kami para penduduk yang hanya tersisa orang tua dan kaum perempuan."
Suara gemeretak terdengar dari kepalan tangan Aleena.
"Ayah."
Aleena kembali bergumam perlahan seraya terus bergerak melewati puing-puing bangunan rumah penduduk yang sudah hancur.
"Hai cantik mau ke mana kau?"
Sebuah suara menghentikan langkah Aleena. Kini ia kembali menggenggam erat tongkat kayunya.
"Dari alis, mata dan juga garis wajah mu. Kau terlihat cantik. Aku sudah kesepian terlalu lama, ayolah temani aku bermain sebentar."
Seorang pria bertubuh tegap, berseragam lengkap serta menggenggam sebuah senapan panjang, siap membantai habis tubuh kecil Aleena. Saat ini pria tersebut berdiri tidak begitu jauh di belakang Aleena. Ujung senapannya terarah tepat ke tubuh gadis cantik itu.
Bruuk
Sebelum Aleena menoleh ke belakang, sudah terdengar bunyi hantaman keras hingga membuatnya begitu terkejut. Oby menerkam pria yang telah mengarahkan senjatanya kepada Aleena. Tanpa mampu berteriak sedikitpun, Oby menerkam dan langsung mematahkan leher pria tersebut.
Tanpa banyak menunggu lagi, Aleena kembali melangkah. Kini Green bertengger di bahu kiri gadis cantik itu.
"Ambil senapan itu Aleena."
Masih dengan suara robot, Green berucap sangat pelan.
"Aku memang bisa membidik, namun aku belum mahir memakai senapan karena sama sekali belum pernah berlatih menggunakannya. Hanya pisau, pedang, tongkat, tombak dan panah."
Meskipun tidak tahu bagaimana menggunakannya, namun Aleena tetap mengambil senapan dari tubuh pria yang kini sudah terbujur kaku tersebut. Gadis cantik itu terus melangkah seraya mengawasi sekitarnya.
Duaaarrr.
Suara ledakan kembali menggelegar. Beberapa bangunan kembali terlihat rubuh hingga rata dengan tanah. Puluhan orang berlarian menyelamatkan diri, hanya untuk sekedar menghindar dari reruntuhan.
Namun naas, peluru panas meluncur cepat membidik satu persatu tubuh mereka. Tanpa bisa melawan sedikitpun, tubuh mereka telah terbujur kaku di tanah.
Duaaarrr.. Duaaarrr.
Letusan timah panas terdengar kembali mencari mangsa. Aleena yang berlindung di antara pohon dan reruntuhan melihat beberapa pasukan lawan mulai tumbang satu persatu.
"Pembela negara ini sudah tiba."
Aleena bergumam pelan.
"Ayah bertahanlah. Ku mohon keluarlah dari dalam rumah."
Aleena terus berdoa dalam hati.
"Letakkan tangan kiri mu di bagian bawah badan senapan, untuk tetap membuat senapan mu stabil. Incar lawan mu dan tarik pelatuknya dengan tangan kanan mu."
Green memberikan sedikit arahan kepada Aleena. Gadis cantik itu mulai mempraktekkan setiap ucapan burung beo tersebut.
"Akan ada sedikit guncangan pada saat kau melepaskan peluru. Pertahankan kekuatan tangan dan tubuh mu."
Aleena hanya mengangguk mengerti. Kini ia mulai membidik satu persatu lawannya.
"Bagus pertahankan cantik. Getaran yang dihasilkan setiap senapan berbeda-beda. Semua tergantung besarnya senapan dan juga daya ledaknya."
Aleena kembali mengangguk dan mulai kembali melangkah.
Duaaarrr.
Aleena kembali membidikkan senapannya ke arah pasukan lawan dengan tubuh berdiri tegap.
"Kau semakin mahir Aleena."
Geerrrr.
Aleena menoleh saat mendengar geraman Oby. Kucing besar itu kembali menerkam tubuh seseorang, kaki depannya menyepak sebuah senapan yang lebih besar hingga meluncur mendekati tubuh Aleena. Gadis itu bergegas mengambilnya dan mulai bersiap menggunakannya sambil terus melangkah.
Jantung Aleena serasa bergemuruh hebat, saat melihat beberapa rumah penduduk yang berada jauh di hadapannya rata dengan tanah tanpa ada satupun yang tersisa.
"Ayah."
Aleena semakin mempercepat langkahnya.
"Allahu Akbar."
Gema takbir terdengar beberapa kali sebelum disusul dengan suara tembakan beruntun. Aleena berlari semakin cepat, hingga samar-samar mulai tampak beberapa orang yang dikenalnya telah terbaring di tanah setelah dihujani tembakan timah panas.
Terlihat seorang pria berjongkok sambil terus memegang lengannya yang masih terus mengeluarkan darah. Meskipun sedikit jauh, keduanya kini saling menatap, hingga pria tersebut memberikan isyarat kepadanya untuk segera pergi menjauh.
Air mata mulai mengalir dan tak terbendung lagi dari ke dua mata indah Aleena. Gadis cantik itu saat ini menyaksikan sang ayah yang begitu mencintai dirinya kini bermandikan darah.
Ke dua tangannya menggenggam erat senapan besar yang kini ada padanya. Perlahan namun pasti, ke dua kakinya mulai melangkah tanpa sedikitpun rasa takut.
Duaaarrr.. Duaaarrr..
Aleena terus menarik pelatuk senapan seraya terus membidik setiap lawannya tanpa pernah menghentikan langkahnya. Satu persatu pasukan lawan yang tadinya membantai habis seluruh orang yang dikenalnya, kini tumbang tak bernyawa.
Seulas senyum terukir di sudut bibir Jabar, saat ke dua matanya melihat semua yang dilakukan oleh putrinya hingga tubuhnya benar-benar tumbang karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang sudah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.
Ada rasa bangga di dalam dirinya saat melihat satu persatu pasukan lawan meregang nyawa karena terkena tembakan gadis kecilnya.
"Ayaaaaah."
Aleena meletakkan senapan yang sedari tadi dipegangnya setelah memastikan semua musuhnya tewas. Gadis cantik itu berlari mendekati tubuh sang ayah yang sudah terkapar di atas tanah.
"Ayaaaaah."
Aleena terus memanggil pria tua yang kini kepalanya berada di atas pangkuannya.
"Katakan sesuatu ayah."
Aleena mencoba mengusap darah yang melekat di wajah sang ayah. Masih terlihat senyum kecil di sudut bibir pria tua itu.
"Allahu Akbar... Laila ha illallah."
Aleena mendengar kalimat terakhir yang terucap dari mulut sang ayah. Teriakkan serta tangis pilu keluar dari bibir gadis cantik tersebut. Aleena memeluk erat tubuh sang ayah yang sudah tak bernyawa lagi.
Teriakkan Aleena yang semakin menjadi-jadi, terdengar oleh beberapa tentara yang mulai mengambil alih keamanan di tempat tersebut.
"Aleena."
Seorang pria gagah berlari secepatnya mendekati gadis itu, setelah ia memastikan suara yang begitu dikenalnya.
Aleena yang masih menangis tersedu-sedu tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini duduk bersimpuh di sampingnya.
"Ayah."
Noha mencoba untuk tetap tegar, meskipun satu tetes air mata sempat lolos dari sudut matanya. Perlahan ia mencoba melepaskan pelukan tangan Aleena dari tubuh pria tua yang dipeluknya.
"Kuatkan dirimu Aleena."
Aleena mulai menyadari kehadiran seseorang yang dikenalnya.
"Kakak."
Noha memeluk erat tubuh adik perempuannya yang masih terisak.
"Ayo Aleena kita harus mencari tempat yang lebih aman, masih banyak musuh yang berkeliaran. Setelah keadaan benar-benar aman, baru kita akan mengubur jenazah ayah."
Noha kembali mencoba menenangkan Aleena dan mengajaknya untuk segera berdiri.
"Aku masih kuat kak. Tolong kau angkat tubuh ayah, aku tidak ingin meninggalkannya di tempat ini."
Noha hanya mengangguk dan bergegas mengangkat tubuh sang ayah dan meletakkannya di teras rumah yang masih tersisa.
"Aleena, aku masih harus melakukan pembersihan."
Noha mengusap pelan pucuk kepala adik perempuannya.
"Iya kak. Aku akan di sini, mereka akan menemani ku."
Aleena menunjuk Oby yang masih selalu mengikutinya.
"Kau yakin?"
"Iya kak. Pergilah."
Noha kembali memanggul senjatanya dan melangkah pergi. Ia bersama rekannya menyisir setiap tempat untuk memastikan tidak ada pasukan musuh yang masih tersisa.
Sementara Aleena mencoba menggali tanah untuk mengubur jenazah ayahnya di bantu oleh Oby. Beberapa tentara yang ditugaskan untuk mencari para korban pun ikut membantu membuat beberapa lubang besar, karena tidak sedikit para penduduk yang telah mati menjadi korban keganasan perang.
Aleena mencoba mencari kain ataupun selimut miliknya diantara reruntuhan rumah, untuk menutupi tubuh sang ayah setelah ia selesai membuat lubang. Kini gadis cantik itu hanya bersimpuh di samping jasad sang ayah.
"Aku bisa membantumu mengangkat jenasah ayahmu, jika kau tidak ingin terlalu lama menunggu kedatangan kapten Noha."
Seorang pria muda mendekati Aleena dan mencoba memberikan bantuan.
"Terimakasih. Aku bisa menunggu beberapa saat lagi. Kakak pasti akan datang untuk memakamkan sendiri tubuh ayah."
Aleena menolak dengan halus bantuan dari rekan kakaknya tersebut. Tanpa menunggu lama, Noha terlihat berlari kecil mendekati Aleena yang masih duduk bersimpuh seraya memanjatkan doa di sisi ayah mereka.
Noha mulai mengangkat tubuh ayahnya dengan dibantu dua rekannya, setelah selesai mengucapkan doa. Aleena hanya mengikuti mereka dari belakang.
Dengan penuh rasa keterpaksaan, Aleena beranjak dari gundukan tanah yang masih basah tersebut. Tanah yang telah mengubur tubuh sang ayah yang begitu mencintai dirinya.
"Ayo Aleena kita harus mencari tempat yang lebih aman."
Aleena mulai melangkah bersama beberapa pria gagah berseragam serta bersenjata lengkap.
"Oby tetaplah di sampingku dan jangan berulah. Atau aku akan merantai tubuh mu."
Mata sendu Aleena menatap tajam kucing besar yang masih selalu mengikutinya bersama dengan seekor burung.
Noha hanya melihat sekilas saat adik perempuannya mengusap pelan kepala kucing besar tersebut. Meskipun banyak pertanyaan yang ada di dalam kepala pria muda itu saat ini, namun tidak satupun yang ia utarakan. Karena ia masih harus memikirkan hal yang lebih penting, yaitu keselamatan adik dan seluruh rekannya saat ini.
"Tidak ada yang tersisa di tempat ini kapten. Kita tidak perlu mendirikan posko medis di sini. Beberapa orang yang selamat bersedia berjalan ke kamp terdekat."
"Baiklah. Kawal mereka semua."
Noha mulai memimpin seluruh rekannya untuk mengantar warga yang selamat ke kamp pengungsian terdekat. Mereka mulai berjalan berkelompok bersama seluruh pasukan bersenjata yang tersisa.
Tidak ada seorangpun yang mau berjalan bersama dengan Aleena. Mereka semua sedikit menjaga jarak dengan gadis cantik itu, karena ada seekor kucing besar yang berjalan bersama dengannya. Hanya Noha yang senantiasa dekat dengan adik perempuannya itu.
"Bagaimana leopard itu bisa patuh kepada mu?"
Noha tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Aku sempat menyelamatkannya dan mengobati lukanya."
"Kau memanggilnya Oby?"
"Benar kak. Oby kenalkan dia kakak ku Noha."
Aleena kembali mengusap lembut kepala Oby.
Geerrrr.
Geraman kecil terdengar dari mulut Oby. Meskipun leopard itu mencoba untuk tersenyum, namun yang terlihat tetaplah seringai yang mengerikan.
"Aku Green. Aku Green."
Terdengar suara khas seekor burung beo.
"Tidak ada yang bertanya kepada mu. Diamlah."
Aleena menepuk pelan kepala Green yang masih bertengger di bahu kirinya.
"Kau harus menjaga Aleena dengan baik Green."
Noha tersenyum kecil melihat tingkah Green yang begitu penurut.
"Pasti."
Aleena melemparkan sebuah biskuit kering yang mampu ditangkap dengan baik oleh sayap Green.
"Ternyata kau hanya diam jika makan."
Aleena tersenyum kecil.
"Aku tidak makan kue kering Aleena."
Green melayang dan memberikan kue kering itu kepada seorang anak kecil yang ada dalam gendongan seorang tentara, kemudian kembali lagi ke pundak Aleena.
"Untuk sementara kau tinggal di kamp pengungsi. Akan aku bangunkan tenda khusus untuk mu nanti."
"Hm.."
Aleena hanya mengangguk.
"Berlindung."
Seketika terdengar suara peringatan dari seorang tentara yang berada di barisan terdepan. Seluruh pasukan tentara membawa semua pengungsi bersembunyi di bawah pohon maupun masuk ke semak-semak. Deru mesin pesawat kembali terdengar memecah keheningan. Terdengar beberapa kali tembakan yang mengenai tanah kosong.
"Elang satu."
Noha mulai memberikan komando. Beberapa orang penembak jitu mulai mengidentifikasi pesawat siapakah yang sedang melintas, dengan menggunakan ujung senapan jarak jauh mereka.
"Kadal besar di buntuti musang."
Terlihat dua pesawat melayang di udara dengan jarak yang cukup jauh. Kedua pesawat itupun berbeda lambang dan juga warnanya. Sebagai pasukan yang sudah terlatih tentu saja mengenali siapa lawan dan siapa kawan mereka.
"Hancurkan."
Sebuah senapan panjang dan juga cukup besar mulai disiapkan.
Duaaarrr... Duaaarrr.. Buaaamm.
Terdengar beberapa kali tembakan ke atas, hingga akhirnya sebuah pesawat tempur yang jauh di belakang meledak di udara.
"Hubungi markas terdekat, lakukan pencarian."
Noha kembali memberikan perintah. Ia melihat beberapa orang berseragam melayang turun dari atas ketinggian. Seorang pria yang membawa sebuah tas besar di punggungnya mulai memutar beberapa tombol hingga terdengar beberapa suara.
"Selesai kapten."
"Baik. Lanjutkan perjalanan, kita bawa mereka semua ke pengungsian terdekat."
Rombongan kembali berjalan perlahan, karena tidak sedikit orang tua yang sudah lanjut usia ataupun anak-anak, beberapa pasukan pun rela menggendong tubuh mereka yang sudah lelah berjalan.
"Kakak bukankah jalur ini menuju ke hutan?"
"Benar, kamp kami sebelumnya sudah mereka hancurkan. Jadi kami membuat kamp pengungsian di dalam hutan. Pepohonan sedikit bisa menghalangi pandangi patroli udara musuh."
Noha memberikan sedikit penjelasan.
"Kapten, logistik yang tersisa sudah mulai di pindahkan ke tempat baru."
Seorang pria yang sedari tadi berkutik dengan alat tranmisi mereka mulai memberikan laporan.
"Baguslah, ayo bergegas dan tetap waspada."
"Kapten, ada rombongan lain yang datang dari sisi barat."
"Yasin."
"Benar, kapten Yasin membawa serta penduduk yang selamat."
"Sebaiknya kita bergerak lebih dulu, mereka akan menyusul."
Seluruh rombongan mulai memasuki kawasan hutan. Terlihat banyak tentara berjaga di mana-mana, bahkan juga di atas pohon. Aleena semakin mendekatkan tubuhnya kepada Oby, karena takut jika para tentara itu menjadikannya target sasaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments