Deru suara senapan begitu memekakkan telinga, hilir mudik helikopter dan pesawat tempur menjadi pemandangan biasa di langit kota tua selama satu bulan ini.
"Aleena.. Jangan terlalu lama di luar, cepat masuk ke ruang bawah tanah."
Teriakkan keras seorang pria yang tidak lagi muda tersebut membuyarkan lamunan Aleena yang masih ingin menikmati indahnya langit sore ini, meskipun masih terdengar deru heli yang sesekali berpatroli.
Sebelum peperangan kembali pecah, setiap kali terdengar suara deru helikopter, Aleena akan berlari ke tempat yang luas dan melambaikan tangannya ke atas. Berharap yang ada di dalam heli tersebut adalah Noha, kakak lelakinya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan kakak lelakinya tiga bulan yang lalu, ia selalu melakukan hal itu.
Sebelum kakak lelakinya kembali ke tempatnya bertugas, mereka sempat berbincang tentang dirinya yang kini sudah berada di dalam kesatuan pasukan patroli udara. Dan bahkan saat ini kakak lelakinya itu mulai ikut berlatih bersama pasukan khusus.
Aleena bergegas kembali masuk ke dalam ruang yang sedikit gelap dan pengap seraya menuntun sang ayah yang kini hanya bisa berjalan dengan dibantu tongkat penyangga.
Jabar, pria yang berusia lebih dari setengah abad tersebut kehilangan sebelah kakinya saat harus mengikuti program wajib militer darurat yang diberlakukan oleh pemerintah pusat beberapa tahun yang lalu.
Pada saat itu, pihak pemerintah mewajibkan bagi setiap keluarga untuk mengirim satu anggota keluarganya guna membantu pertempuran yang seolah tiada pernah ada habisnya.
Jabar hanya memiliki seorang putri yang masih kecil dan seorang putra yang belum dewasa. Sementara sang istri sudah meninggalkannya menghadap sang pencipta saat melahirkan putrinya.
Jabar tidak tega jika Noha yang masih remaja, harus ikut berjuang di medan perang kala itu. Akhirnya pria tua itu meminta putranya untuk tetap di rumah dan menjaga adik perempuannya.
Namun naas, sebuah roket yang meluncur entah dari mana menyerang tepat ke titik pertahanan mereka. Tidak sedikit rekannya yang kehilangan nyawa, Jabar beruntung hanya kehilangan sebelah kakinya.
Setelah pertempuran itu usai, semua kembali seperti biasanya. Jabar pun kembali kepada keluarganya walaupun harus menjadi manusia cacat seumur hidup.
Selang beberapa tahun kemudian, kehidupan terasa damai tanpa ada pertempuran. Namun Noha tetap berusaha melatih tubuhnya. Sebagai seorang lelaki, ia berharap bisa melindungi ayahnya yang sudah tua dan cacat serta adik perempuannya.
Menurut cerita dari ayah dan juga para orang tua pendahulunya, bahwa pertempuran di tanah merah tersebut sudah sering terjadi berulang kali. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa perang akan kembali terjadi. Perebutan wilayah hanyalah salah satu alasan dari sekian banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh seluruh penduduk tanah merah.
Dahulu kala, Aleena kecil hanya berharap bisa menghabiskan satu lollipop dengan duduk tenang di atas ayunannya tanpa ada suara tembakan. Namun ketakutan selalu saja hadir setiap saat, walaupun sang ayah sudah mengajarkan kepadanya untuk selalu berserah diri kepada sang pencipta selain berusaha untuk tetap hidup.
Daratan tanah merah adalah daerah yang di penuhi dengan limpahan minyak dan bahan tambang. Selain itu juga terdapat banyak pegunungan yang indah, lahan pertanian yang subur serta sungai yang senantiasa mengalir bening. Sungguh tanah surga yang menjanjikan.
Namun semua itu membuat seluruh rakyatnya hidup menderita karena keegoisan pihak tertentu. Hingga mereka harus terus bersiap untuk serangan nuklir yang setiap saat bisa saja terjadi.
"Sekalipun aku mati hari ini ataupun esok hari. Aku akan tetap bersujud kepadamu seraya memohon Rahmat dan lindungan mu. Aku hanya berharap mati saat aku bersujud di hadapan mu."
Doa dan harapan yang sama, selalu dipanjatkan Aleena pada setiap sujud nya.
Karena keterbatasan gerak tubuhnya, Jabar hanya duduk di atas tangga menuju ruang bawah tanah tempat putri cantiknya Aleena bersembunyi seraya mengawasi keadaan di sekitar rumahnya.
"Aleena, ada kabar yang aku terima dari tentara yang berpatroli tadi pagi."
"Kabar apa ayah?"
"Pemerintah Indonesia kembali mengirimkan bantuan logistik dalam jumlah yang banyak dan sudah di bagikan ke beberapa kamp tentara. Jika kau mau, aku akan mendampingi mu ke kamp terdekat untuk mendapatkan beberapa makanan."
"Bukankah kamp terdekat ada di hulu sungai?"
"Benar. Jaraknya sedikit jauh dari tempat kita ini. Itulah sebabnya aku khawatir jika kau harus pergi seorang diri."
"Ayah tetap di sini. Aku akan pergi bersama gadis desa yang lain. Tentunya akan ada orang lain yang pergi untuk mengambil beberapa makanan juga."
"Baiklah, besok pergilah. Namun tetaplah berhati-hati, jauhi tempat terbuka. Aku juga mendengar bahwa ada kapal yang mengapung di sungai kecil itu. Kabarnya kapal itu tidak memiliki satupun nahkoda yang hidup. Semuanya telah dibantai oleh pasukan musuh yang sudah menyusup. Beberapa orang mencoba menarik kapal itu ke tepian karena berharap masih ada beberapa makanan di dalamnya. Ingatlah untuk menjauhi bahaya sekecil apapun, karena aku tahu yang kau pikirkan saat ini."
Aleena hanya mengangguk mengerti dan sedikit tersenyum karena sang ayah selalu tahu apa yang ada di dalam pikirannya.
Pagi tadi pada saat tentara patroli berhenti sejenak untuk menyampaikan kabar tersebut. Aleena sempat menguping semua pembicaraan ayahnya, dan sepertinya hal itu diketahui oleh sang ayah.
Sekalipun Aleena hanya seorang gadis, namun Jabar tidak pernah membedakan keduanya anaknya saat melatih mereka. Noha dan Aleena sama-sama melatih fisik mereka bagaikan seorang tentara. Karena tubuh Aleena yang kecil, porsi latihannya pun dimulai dari beban yang kecil dan semakin bertambah.
Jabar hanya berharap kedua anaknya bisa membela diri mereka sendiri saat terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan. Apalagi Aleena yang kini tumbuh menjadi gadis cantik berkulit seputih salju, dengan tinggi badan yang ideal semakin membuatnya terlihat mempesona.
Aleena yang hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang kini jauh darinya serta seorang ayah yang sudah cacat, membuatnya harus bisa bertahan dalam kondisi apapun. Jabar tidak ingin putri cantiknya menjadi sasaran para tentara musuh yang terkadang sering berbuat amoral kepada para gadis tawanan.
Malam semakin larut, Aleena pun kini terbuai dalam mimpi indahnya. Walaupun sesekali harus terbangun karena suara bising helikopter yang berpatroli. Jabar pun sesekali mencoba mengistirahatkan tubuhnya di atas papan kayu yang sudah ia siapkan di atas tangga ruang bawah tanah tersebut.
Suasana mencekam sudah mereka alami selama hampir satu bulan ini. Namun beruntung masih ada beberapa negara yang peduli dengan keadaan mereka, walaupun mereka sesama muslim ataupun tidak.
Kebanyakan penduduk tanah merah ini adalah seorang muslim. Meskipun ada juga mereka yang berasal dari luar daerah yang memiliki keyakinan yang berbeda, namun mereka tetap saling menghormati.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu... Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu."
Aleena mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah cantiknya, setelah selesai melakukan kewajibannya bersujud kepada yang khaliq. Dialah yang telah memberikan hidup dan rahmatnya kepada seluruh mahkluk ciptaannya.
Aleena, seorang gadis berparas cantik, berhidung mancung dan beralis tebal. Sungguh ciptaan tuhan yang sempurna. Tidak ada seorangpun yang akan memalingkan pandangannya saat melihat paras ayu gadis kecil Jabar yang sudah mulai tumbuh dewasa. Namun setiap kali keluar dari rumahnya, Aleena selalu menutupi sebagian wajahnya dengan sehelai kain maupun masker kecil.
Meskipun ia tumbuh di kota kecil, namun tidak sekalipun Aleena melewatkan waktunya dengan sia-sia. Membaca buku adalah hal yang selalu ia lakukan ketika ia harus duduk diam untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya.
Tumbuh di kota kecil yang sesekali diwarnai dengan berbagai suara senjata, tidak membuat nyalinya ciut. Semua pembunuhan yang pernah dilihatnya, semakin membuatnya giat melatih diri untuk tetap bisa bertahan ditempat terburuk sekalipun.
Aleena mencium punggung tangan sang ayah, setelah beliau menyelesaikan doanya.
"Satu hari kembali berlalu Aleena. Dan hari ini adalah hari baru lagi bagi kita yang wajib kita perjuangkan. Jangan lupa untuk selalu menyandarkan doa harapan mu kepada sang pencipta. Ingat putri ku jangan terlalu menyesali apa yang sudah terjadi, semua yang ada di muka bumi ini hanyalah titipan. Termasuk dirimu dan juga ayah mu ini."
Jabar mengusap lembut pucuk kepala putrinya. Aleena hanya mengangguk perlahan meskipun hal itu adalah ucapan yang sama, yang selalu didengarnya setiap pagi.
Ia tahu bahwa ayahnya hanya mengingatkan bahwa dirinya dan semua hal yang ada di bumi ini bisa hilang atau pergi begitu saja. Apalagi di tempat mereka saat ini masih dalam masa peperangan.
"Kau yakin mau pergi ke kamp terdekat Aleena?"
"Iya ayah. Kita perlu makanan tambahan jika perang ini masih terus berlanjut."
"Berhati-hatilah. Persiapkan semuanya, aku tidak ingin kau terluka. Seharusnya aku yang pergi ke tempat itu."
"Tenanglah ayah."
Aleena tersenyum kecil saat melihat raut wajah tua yang sudah mulai keriput itu diliputi kecemasan.
"Jangan mencari kakak mu jika memang kau mendengar tentangnya, cepatlah kembali jika sudah mendapatkan makanan."
"Pasti ayah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Aleena bergegas pergi setelah menyambar tas kecil dan melilitkannya di pinggang. Sebuah tongkat kayu pun kini ada di dalam genggamannya. Dengan perlahan ia mulai melangkah menyusuri jalan kecil yang masih belum begitu terlihat, karena matahari masih belum sepenuhnya keluar dari peraduannya.
Terlihat juga beberapa gadis, ibu-ibu ataupun pria tua mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Mereka berjalan beriringan meskipun saling menjaga jarak untuk saling menjaga keselamatan masing-masing. Saling bergantian berjalan di bawah rimbunnya pepohonan, untuk berjaga dari tembakan pasukan udara musuh yang mungkin saja melintasi tempat tersebut.
Tubuh seorang pria kecil dan juga seorang gadis terlihat berjalan cepat mendekati Aleena yang berjalan seorang diri.
"Ssstt... Belum ada yang berani mendekati kapal itu meskipun mereka sudah berhasil menariknya ke tepian."
"Memangnya kenapa?"
Aleena pun hanya berucap perlahan saat mendengar suara dari seseorang yang mendekatinya.
"Terdengar suara hewan buas dari dalam kapal itu."
"Hewan apa?"
"Entahlah, ada yang bilang mungkin itu harimau."
"Menarik."
Aleena terlihat menaikan kedua alisnya, meskipun senyum kecil di wajahnya tidak terlihat karena tertutup oleh masker yang dipakainya.
"Jangan coba-coba Aleena."
Sebuah cengkraman erat kini melekat di pergelangan tangan Aleena.
"Tenanglah, aku akan mundur jika itu berbahaya."
"Mereka juga bilang jika melihat beberapa karung gandum di dekat pintu ruangan di kapal tersebut, namun tidak berani mengambilnya karena suara itu."
"Penakut."
"Gadis bodoh. Akan aku adukan kepada paman Jabar jika kau berani mendekati kapal itu."
"Tidak, tenanglah Aiza."
Mereka berdua berhenti berbicara dan bergegas masuk ke rimbunnya pepohonan saat terdengar suara deru helikopter mendekat.
"Ayo cepat sebelum matahari benar-benar terbit."
Aleena bergegas kembali melangkah setelah deru helikopter mulai menjauh. Beberapa tenda mulai terlihat di kejauhan. Sekelompok orang pun mulai terlihat berdatangan dari berbagai tempat.
Seorang pria muda bertubuh besar mulai mengatur antrian. Pasukan bersenjata pun sudah disiagakan. Tanpa banyak bicara, Aleena bersama dengan orang-orang yang sudah berdatangan mulai membuat beberapa barisan.
Beberapa karung gandum, beras, kue kering, minuman dan bahkan beberapa buah mulai dibagikan. Petugas medis pun siap membagikan beberapa obat sesuai dengan keluhan pasien.
Setelah menerima semua bahan makanan yang menjadi haknya, Aleena mulai mendekati tenda petugas medis untuk meminta beberapa obat untuk sang ayah.
Belum sempat gadis itu mengutarakan permintaannya, seorang pria bertubuh besar mendekatinya dan menyerahkan beberapa buntalan kain besar.
"Kakak mu menitipkan ini. Ia juga ingin tahu kabar mu dan juga ayah kalian."
"Alhamdulillah ka Yasin, ayah baik-baik saja begitupun aku."
Aleena menerima buntalan kain tersebut.
"Kakak mu bertugas di sisi barat, tidak jauh dari tempat ini. Namun dia tidak bisa menyapa mu. Dia pemimpin pasukan berjaga saat ini, jadi harus selalu siaga."
"Terimakasih kak."
"Berhati-hatilah. Daerah ini sangat rawan serangan."
"Hm.."
Aleena hanya mengangguk dan mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut.
"Sungai... Aku harus berjalan di tepi sungai. Matahari sudah mulai tinggi, hanya tempat itu yang memiliki pepohonan yang lebih rimbun untuk berlindung."
Aleena mulai beralih berjalan diantara pepohonan yang lebih rimbun. Suara gemericik air sungai mulai terdengar. Beberapa orang yang kembali dari kamp tersebut juga ada yang memilih berjalan menyusuri tepian sungai bersama dengannya. Begitupun dengan temannya Aiza.
"Aiza kalian pergilah lebih dulu, cepat ada suara."
Aleena berusaha memperingatkan temannya dan segera bersembunyi di dalam semak. Mereka berjalan dengan saling menjaga jarak demi keamanan mereka sendiri. Akan sangat menyita perhatian jika mereka berkumpul terlalu banyak.
Sebuah kapal yang tidak begitu besar terlihat begitu menarik perhatian Aleena. Gadis cantik itu meletakkan beberapa buntalan yang di panggulnya di dalam semak-semak dan mulai berjalan perlahan mendekati kapal tersebut.
Dengan cekatan Aleena melompat ke atas kapal yang sedikit berguncang karena angin dan juga arus sungai yang cukup deras. Terlihat beberapa karung gandum di dalam sebuah ruangan yang sedikit gelap.
Aleena memegang erat tongkatnya dan sebelah tangannya yang lain memegang sebuah batu putih yang tidak begitu besar. Setelah melewati pintu, batu yang ada ditangan Aleena mulai menyinari sekitarnya.
Kini tampaklah beberapa karung gandum, beras serta beberapa bahan makanan yang lain.
Gerrrrrrr...
Belum lagi usai Aleena melihat seluruh isi di dalam ruangan tersebut. Terdengar geraman yang membuat seluruh bulu di tubuh gadis itu berdiri. Aleena mulai mengarahkan batu bercahayanya untuk mencari asal suara.
Gleek..
Aleena hanya bisa menelan ludahnya dan berusaha menutupi keterkejutannya, saat kedua matanya melihat seekor leopard terduduk di atas lantai kapal.
Pandangan Aleena tertuju pada pergelangan kaki depan kucing besar tersebut yang terlihat masih mengeluarkan darah. Sementara ada sebuah rantai besi yang mengikat kaki belakangnya.
"Aku akan mengobati lukamu, asalkan kau berjanji untuk tidak menyerang ku."
Aleena berucap perlahan, seolah ia menganggap ucapannya dimengerti oleh kucing besar tersebut.
"Bodohnya aku."
Aleena menepuk pelan keningnya.
"Mana ada seekor leopard mengerti bahasa manusia."
Aleena kembali melihat sekelilingnya dan terlihat beberapa burung indah berada di dalam kurungan.
Kapal pemburu.
Dua kata yang kini ada di dalam pikiran gadis cantik tersebut. Aleena mulai membuka satu persatu pintu kurungan yang hanya diberi pengait tanpa dikunci dengan benar. Berbagai burung mulai terbang keluar dari dalam tempat tersebut.
"Terbang lah kalian bebas."
Batin Aleena saat membuka pintu kurungan yang terakhir. Kini matanya kembali menatap ke sisi lain ruangan itu, seekor kucing besar yang terluka terduduk diam di sudut ruangan.
"Diam dan aku akan mengobati lukamu."
Aleena kembali berucap.
"Diam .. Diam... Diamlah Oby."
Suara burung beo begitu mengejutkan Aleena. Seekor burung hijau yang cukup besar, kini bertengger di atas karung gandum.
"Jadi nama kucing besar itu Oby?"
Mata Aleena menatap burung beo yang cukup besar itu.
"Dia Oby.. Dan aku Green... Aku Green."
"Baiklah Green, nama ku Aleena. A l e e n a."
Aleena mengucapkan namanya dengan perlahan.
"Hai Aleena."
"Hai Green. Minta teman mu Oby diam dan aku akan mengobati lukanya."
Aleena menunjuk kaki depan Oby yang terluka.
"Oby diam. Oby diam."
Setelah memastikan kucing besar tersebut diam. Aleena mulai mendekat dan membersihkan luka pada kaki depan leopard tersebut kemudian menutupnya dengan kain bersih.
Green terlihat melayang dan mengambil sesuatu yang tergantung di dinding kapal, kemudian menjatuhkannya tepat dihadapan Aleena. Sehingga gadis itu bisa menyahutnya dengan cepat.
"Kau ingin aku membuka rantai pengikat pada kucing besar itu?"
"Oby.. Oby."
"Iya... Oby. Namun apakah dia tidak akan menyerang ku?"
"Tidak... Tidak... Oby baik.. Oby baik."
"Ya Allah lindungilah hamba mu ini. Aku takut, namun aku tidak tega jika membiarkannya terikat dan mati karena lapar."
Aleena terus berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak takut terhadap kucing besar yang kini tertunduk diam di hadapannya. Dengan perlahan Aleena mendekati kaki Oby yang masih terikat rantai besi dan mencoba membukanya.
Kraaak.
Setelah rantai terlepas, Aleena bergegas berlari menjauhi kucing besar tersebut. Aleena mulai berjalan mundur perlahan, setelah menyadari Oby hanya diam dan tidak mengejarnya.
Green terlihat mengambil sebuah tas kecil yang tergeletak di atas lantai dengan paruh bengkoknya, kemudian membawanya tepat ke hadapan Aleena. Sementara Oby terlihat mulai berdiri dan berjalan perlahan menuju ke sebuah ember besar berisi beberapa ikan yang sudah mati.
"Masukkan semua makanan itu ke dalam tas ini."
Suara khas seekor burung beo, mulai biasa terdengar di telinga Aleena.
"Bagaimana bisa, tas sekecil ini mampu menampung semua barang yang ada di tempat ini."
Aleena menerima tas kecil itu dan hanya bisa bergumam tak percaya.
"Itu adalah tas kuno dari pedalaman Afrika. Cepat masukkan Semuanya. Kapal bisa tenggelam kapan saja. Cepat.. Cepat."
"Tas kuno bagaimana."
Aleena masih belum mengerti. Namun kini ada beberapa hal yang terlintas di dalam pikirannya saat kembali mencerna ucapan burung beo tersebut.
"Kantong ajaib."
Dua kata yang menurut Aleena sungguh tidak mungkin. Barang seperti itu hanya ada di dalam dongeng maupun novel. Namun ia tetap mencoba mendekatkan tas kecil itu ke beberapa karung beras. Dan dalam sekejap karung beras tersebut menghilang.
Aleena berulang kali mengusap wajahnya serta melihat ke sana kemari, untuk memastikan apakah karung itu berpindah tempat. Namun tetap tidak dilihatnya.
Dengan rasa yang tidak percaya akan semua itu, kini ia mencoba memasukkan tangannya ke dalam tas kecil tersebut dan memikirkan karung beras yang tadi dilihatnya. Seperti halnya yang telah ia baca di dalam cerita dongeng tempo dulu.
Buuuk.
Dentuman keras terdengar di lantai kapal, setelah gadis itu mengeluarkan tangannya dari dalam tas kecil tersebut.
"Tidak mungkin."
Sebuah karung beras kini terjatuh di hadapannya saat ini.
"Cepat... Cepat Aleena. Kapal tenggelam."
Suara khas Green kembali terdengar.
Gerrrrr.
Geraman Oby pun terdengar di sisi luar kapal.
"Baiklah... Baiklah. Sebentar."
Aleena mulai tersadar dari keterkejutannya. Ia mulai berlari memasukkan seluruh barang di tempat tersebut ke dalam tas kecil barunya.
Aleena sudah kembali berdiri di bawah pohon besar tidak jauh dari semak-semak tempat ia meletakkan semua barang miliknya. Seekor leopard berbulu putih keemasan serta penuh dengan titik-titik hitam berdiri di sampingnya bersama dengan seekor burung hijau yang ujung kedua sayapnya berwarna biru cerah.
"Ini tidak benar. Percaya pada suatu benda yang memiliki kekuatan gaib adalah dosa besar."
Aleena melempar tas kecil yang baru saja ia dapatkan dari dalam kapal ke atas tanah.
"Kalian jangan menipuku lagi. Katakan yang sebenarnya."
Aleena memegang erat tongkat kayu miliknya dengan kedua tangannya.
Oby menghembuskan nafas kasar serta sedikit menggelengkan kepalanya. Aleena bisa melihat itu dengan jelas, kini ia semakin menyiapkan tubuhnya untuk bertarung. Kedua kakinya mulai bergeser sedikit menjauh dan bersiap untuk menahan serangan.
"Maaf. Maaf Aleena. Green berbohong."
Suara khas seekor burung beo kembali terdengar.
"Katakan."
Aleena semakin mempertegas ucapannya.
"Tas kecil itu hanyalah kamuflase. Untuk mengetahui bentuk aslinya, kau bisa menekan batu kecil yang ada ditengah."
Bukan lagi suara khas seekor burung beo yang kini di dengar oleh Aleena, melainkan suara robot yang sedikit tersendat. Aleena masih tetap diam di tempatnya, ia semakin mengeratkan genggaman pada tongkat kayunya.
"Siapa kalian sebenarnya?"
Suara Aleena sedikit tercekat, gadis cantik itu merasa sedikit takut.
"Aku adalah robot pengintai yang dibuat oleh tuan kami yang sudah di bunuh oleh para tentara itu. Tas itu pun hanyalah salah satu benda ciptaannya. Tuan ku memasukan banyak informasi yang ia dapatkan ke dalam diriku, sehingga aku bisa berucap apapun tentang barang hasil ciptaannya. Tidak ada yang gaib dalam setiap benda ciptaan tuan kami, jadi nona Aleena tidak perlu khawatir. Semuanya adalah maha karya dari seorang yang jenius."
Green yang masih bersuara seperti robot melayang dan mengambil kembali tas kecil yang tergeletak di atas tanah itu dengan kakinya dan menggantungnya pada ujung tongkat kayu Aleena.
"Bagaimana dengan kucing besar itu?"
"Oby adalah leopard yang terlatih untuk berburu maupun berperang. Sebelum terjadi penembakan pada kapal kami, tuan kami menyuntikkan obat ke dalam tubuhnya untuk menetralisir racun duri jarum ungu yang sempat masuk ke dalam tubuhnya saat kami masih berada di kedalaman Afrika. Sehingga tuan terpaksa harus merantai kakinya untuk sekedar berjaga-jaga jika dia kehilangan kewarasannya."
"Jadi dia tetaplah hewan liar."
"Benar Aleena. Namun di dalam tubuhnya tersimpan satu chip yang selalu terhubung dengan ku ataupun peralatan canggih milik tuan kami. Termasuk dengan tas kecil itu."
Aleena masih terus memperhatikan Green, Oby dan juga tas kecil yang kini tergantung pada ujung tongkat kayunya.
"Tenanglah Aleena. Meskipun aku robot, namun tuan ku sudah tiada. Dan dia bukanlah orang yang suka memperalat. Aku diprogram untuk bebas mengenali setiap orang. Jadi aku bebas menentukan siapa tuanku berikutnya, setelah beliau pergi meninggalkan kami. Kau telah mengobati luka pada kaki Oby, hal itu membuat kami yakin bahwa kau adalah gadis yang baik dan pemberani. Jadi kami memutuskan bahwa kau lah tuan kami berikutnya."
"Apakah ucapan mu bisa dipercaya?"
"Aku sudah menjelaskan semuanya. Penilaian itu tergantung kepada mu."
Aleena hanya mengangguk perlahan setelah mendengar semua ucapan burung beo yang berada dihadapannya saat ini. Gadis cantik itu bergegas masuk ke dalam semak-semak saat terdengar suara deru helikopter dari kejauhan begitupun Oby dan Green.
Wajah Aleena kini diliputi dengan kecemasan. Bukan pesawat patroli udara yang dilihatnya saat ini, melainkan beberapa pesawat tempur yang kini sudah menjatuhkan beberapa meriam ke berbagai tempat. Beberapa tentara berseragam aneh pun mulai meluncur turun dari dalam pesawat.
"Perkampungan."
"Ayah."
Aleena bergumam perlahan.
Darah Aleena seolah berdesir hebat, setelah terdengar ledakan berulang kali dari kejauhan. Gadis itu mulai bergerak cepat dari satu pohon ke pohon yang lain, setelah ia memasukkan seluruh barang yang ia dapatkan dari kamp tentara ke dalam tas kecilnya. Green dan Oby terus mengikuti pergerakan gadis cantik itu.
Degup jantung Aleena seakan berhenti saat ia mulai melihat beberapa bangunan yang telah rata dengan tanah. Api amarah di dadanya kini semakin membara, tatkala ia melihat beberapa orang tentara musuh yang sedang menyiksa beberapa penduduk.
"Bedebah... Bangsat kalian semua. Kenapa hanya berani menyerang kami para penduduk yang hanya tersisa orang tua dan kaum perempuan."
Suara gemeretak terdengar dari kepalan tangan Aleena.
"Ayah."
Aleena kembali bergumam perlahan seraya terus bergerak melewati puing-puing bangunan rumah penduduk yang sudah hancur.
"Hai cantik mau ke mana kau?"
Sebuah suara menghentikan langkah Aleena. Kini ia kembali menggenggam erat tongkat kayunya.
"Dari alis, mata dan juga garis wajah mu. Kau terlihat cantik. Aku sudah kesepian terlalu lama, ayolah temani aku bermain sebentar."
Seorang pria bertubuh tegap, berseragam lengkap serta menggenggam sebuah senapan panjang, siap membantai habis tubuh kecil Aleena. Saat ini pria tersebut berdiri tidak begitu jauh di belakang Aleena. Ujung senapannya terarah tepat ke tubuh gadis cantik itu.
Bruuk
Sebelum Aleena menoleh ke belakang, sudah terdengar bunyi hantaman keras hingga membuatnya begitu terkejut. Oby menerkam pria yang telah mengarahkan senjatanya kepada Aleena. Tanpa mampu berteriak sedikitpun, Oby menerkam dan langsung mematahkan leher pria tersebut.
Tanpa banyak menunggu lagi, Aleena kembali melangkah. Kini Green bertengger di bahu kiri gadis cantik itu.
"Ambil senapan itu Aleena."
Masih dengan suara robot, Green berucap sangat pelan.
"Aku memang bisa membidik, namun aku belum mahir memakai senapan karena sama sekali belum pernah berlatih menggunakannya. Hanya pisau, pedang, tongkat, tombak dan panah."
Meskipun tidak tahu bagaimana menggunakannya, namun Aleena tetap mengambil senapan dari tubuh pria yang kini sudah terbujur kaku tersebut. Gadis cantik itu terus melangkah seraya mengawasi sekitarnya.
Duaaarrr.
Suara ledakan kembali menggelegar. Beberapa bangunan kembali terlihat rubuh hingga rata dengan tanah. Puluhan orang berlarian menyelamatkan diri, hanya untuk sekedar menghindar dari reruntuhan.
Namun naas, peluru panas meluncur cepat membidik satu persatu tubuh mereka. Tanpa bisa melawan sedikitpun, tubuh mereka telah terbujur kaku di tanah.
Duaaarrr.. Duaaarrr.
Letusan timah panas terdengar kembali mencari mangsa. Aleena yang berlindung di antara pohon dan reruntuhan melihat beberapa pasukan lawan mulai tumbang satu persatu.
"Pembela negara ini sudah tiba."
Aleena bergumam pelan.
"Ayah bertahanlah. Ku mohon keluarlah dari dalam rumah."
Aleena terus berdoa dalam hati.
"Letakkan tangan kiri mu di bagian bawah badan senapan, untuk tetap membuat senapan mu stabil. Incar lawan mu dan tarik pelatuknya dengan tangan kanan mu."
Green memberikan sedikit arahan kepada Aleena. Gadis cantik itu mulai mempraktekkan setiap ucapan burung beo tersebut.
"Akan ada sedikit guncangan pada saat kau melepaskan peluru. Pertahankan kekuatan tangan dan tubuh mu."
Aleena hanya mengangguk mengerti. Kini ia mulai membidik satu persatu lawannya.
"Bagus pertahankan cantik. Getaran yang dihasilkan setiap senapan berbeda-beda. Semua tergantung besarnya senapan dan juga daya ledaknya."
Aleena kembali mengangguk dan mulai kembali melangkah.
Duaaarrr.
Aleena kembali membidikkan senapannya ke arah pasukan lawan dengan tubuh berdiri tegap.
"Kau semakin mahir Aleena."
Geerrrr.
Aleena menoleh saat mendengar geraman Oby. Kucing besar itu kembali menerkam tubuh seseorang, kaki depannya menyepak sebuah senapan yang lebih besar hingga meluncur mendekati tubuh Aleena. Gadis itu bergegas mengambilnya dan mulai bersiap menggunakannya sambil terus melangkah.
Jantung Aleena serasa bergemuruh hebat, saat melihat beberapa rumah penduduk yang berada jauh di hadapannya rata dengan tanah tanpa ada satupun yang tersisa.
"Ayah."
Aleena semakin mempercepat langkahnya.
"Allahu Akbar."
Gema takbir terdengar beberapa kali sebelum disusul dengan suara tembakan beruntun. Aleena berlari semakin cepat, hingga samar-samar mulai tampak beberapa orang yang dikenalnya telah terbaring di tanah setelah dihujani tembakan timah panas.
Terlihat seorang pria berjongkok sambil terus memegang lengannya yang masih terus mengeluarkan darah. Meskipun sedikit jauh, keduanya kini saling menatap, hingga pria tersebut memberikan isyarat kepadanya untuk segera pergi menjauh.
Air mata mulai mengalir dan tak terbendung lagi dari ke dua mata indah Aleena. Gadis cantik itu saat ini menyaksikan sang ayah yang begitu mencintai dirinya kini bermandikan darah.
Ke dua tangannya menggenggam erat senapan besar yang kini ada padanya. Perlahan namun pasti, ke dua kakinya mulai melangkah tanpa sedikitpun rasa takut.
Duaaarrr.. Duaaarrr..
Aleena terus menarik pelatuk senapan seraya terus membidik setiap lawannya tanpa pernah menghentikan langkahnya. Satu persatu pasukan lawan yang tadinya membantai habis seluruh orang yang dikenalnya, kini tumbang tak bernyawa.
Seulas senyum terukir di sudut bibir Jabar, saat ke dua matanya melihat semua yang dilakukan oleh putrinya hingga tubuhnya benar-benar tumbang karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang sudah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.
Ada rasa bangga di dalam dirinya saat melihat satu persatu pasukan lawan meregang nyawa karena terkena tembakan gadis kecilnya.
"Ayaaaaah."
Aleena meletakkan senapan yang sedari tadi dipegangnya setelah memastikan semua musuhnya tewas. Gadis cantik itu berlari mendekati tubuh sang ayah yang sudah terkapar di atas tanah.
"Ayaaaaah."
Aleena terus memanggil pria tua yang kini kepalanya berada di atas pangkuannya.
"Katakan sesuatu ayah."
Aleena mencoba mengusap darah yang melekat di wajah sang ayah. Masih terlihat senyum kecil di sudut bibir pria tua itu.
"Allahu Akbar... Laila ha illallah."
Aleena mendengar kalimat terakhir yang terucap dari mulut sang ayah. Teriakkan serta tangis pilu keluar dari bibir gadis cantik tersebut. Aleena memeluk erat tubuh sang ayah yang sudah tak bernyawa lagi.
Teriakkan Aleena yang semakin menjadi-jadi, terdengar oleh beberapa tentara yang mulai mengambil alih keamanan di tempat tersebut.
"Aleena."
Seorang pria gagah berlari secepatnya mendekati gadis itu, setelah ia memastikan suara yang begitu dikenalnya.
Aleena yang masih menangis tersedu-sedu tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini duduk bersimpuh di sampingnya.
"Ayah."
Noha mencoba untuk tetap tegar, meskipun satu tetes air mata sempat lolos dari sudut matanya. Perlahan ia mencoba melepaskan pelukan tangan Aleena dari tubuh pria tua yang dipeluknya.
"Kuatkan dirimu Aleena."
Aleena mulai menyadari kehadiran seseorang yang dikenalnya.
"Kakak."
Noha memeluk erat tubuh adik perempuannya yang masih terisak.
"Ayo Aleena kita harus mencari tempat yang lebih aman, masih banyak musuh yang berkeliaran. Setelah keadaan benar-benar aman, baru kita akan mengubur jenazah ayah."
Noha kembali mencoba menenangkan Aleena dan mengajaknya untuk segera berdiri.
"Aku masih kuat kak. Tolong kau angkat tubuh ayah, aku tidak ingin meninggalkannya di tempat ini."
Noha hanya mengangguk dan bergegas mengangkat tubuh sang ayah dan meletakkannya di teras rumah yang masih tersisa.
"Aleena, aku masih harus melakukan pembersihan."
Noha mengusap pelan pucuk kepala adik perempuannya.
"Iya kak. Aku akan di sini, mereka akan menemani ku."
Aleena menunjuk Oby yang masih selalu mengikutinya.
"Kau yakin?"
"Iya kak. Pergilah."
Noha kembali memanggul senjatanya dan melangkah pergi. Ia bersama rekannya menyisir setiap tempat untuk memastikan tidak ada pasukan musuh yang masih tersisa.
Sementara Aleena mencoba menggali tanah untuk mengubur jenazah ayahnya di bantu oleh Oby. Beberapa tentara yang ditugaskan untuk mencari para korban pun ikut membantu membuat beberapa lubang besar, karena tidak sedikit para penduduk yang telah mati menjadi korban keganasan perang.
Aleena mencoba mencari kain ataupun selimut miliknya diantara reruntuhan rumah, untuk menutupi tubuh sang ayah setelah ia selesai membuat lubang. Kini gadis cantik itu hanya bersimpuh di samping jasad sang ayah.
"Aku bisa membantumu mengangkat jenasah ayahmu, jika kau tidak ingin terlalu lama menunggu kedatangan kapten Noha."
Seorang pria muda mendekati Aleena dan mencoba memberikan bantuan.
"Terimakasih. Aku bisa menunggu beberapa saat lagi. Kakak pasti akan datang untuk memakamkan sendiri tubuh ayah."
Aleena menolak dengan halus bantuan dari rekan kakaknya tersebut. Tanpa menunggu lama, Noha terlihat berlari kecil mendekati Aleena yang masih duduk bersimpuh seraya memanjatkan doa di sisi ayah mereka.
Noha mulai mengangkat tubuh ayahnya dengan dibantu dua rekannya, setelah selesai mengucapkan doa. Aleena hanya mengikuti mereka dari belakang.
Dengan penuh rasa keterpaksaan, Aleena beranjak dari gundukan tanah yang masih basah tersebut. Tanah yang telah mengubur tubuh sang ayah yang begitu mencintai dirinya.
"Ayo Aleena kita harus mencari tempat yang lebih aman."
Aleena mulai melangkah bersama beberapa pria gagah berseragam serta bersenjata lengkap.
"Oby tetaplah di sampingku dan jangan berulah. Atau aku akan merantai tubuh mu."
Mata sendu Aleena menatap tajam kucing besar yang masih selalu mengikutinya bersama dengan seekor burung.
Noha hanya melihat sekilas saat adik perempuannya mengusap pelan kepala kucing besar tersebut. Meskipun banyak pertanyaan yang ada di dalam kepala pria muda itu saat ini, namun tidak satupun yang ia utarakan. Karena ia masih harus memikirkan hal yang lebih penting, yaitu keselamatan adik dan seluruh rekannya saat ini.
"Tidak ada yang tersisa di tempat ini kapten. Kita tidak perlu mendirikan posko medis di sini. Beberapa orang yang selamat bersedia berjalan ke kamp terdekat."
"Baiklah. Kawal mereka semua."
Noha mulai memimpin seluruh rekannya untuk mengantar warga yang selamat ke kamp pengungsian terdekat. Mereka mulai berjalan berkelompok bersama seluruh pasukan bersenjata yang tersisa.
Tidak ada seorangpun yang mau berjalan bersama dengan Aleena. Mereka semua sedikit menjaga jarak dengan gadis cantik itu, karena ada seekor kucing besar yang berjalan bersama dengannya. Hanya Noha yang senantiasa dekat dengan adik perempuannya itu.
"Bagaimana leopard itu bisa patuh kepada mu?"
Noha tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Aku sempat menyelamatkannya dan mengobati lukanya."
"Kau memanggilnya Oby?"
"Benar kak. Oby kenalkan dia kakak ku Noha."
Aleena kembali mengusap lembut kepala Oby.
Geerrrr.
Geraman kecil terdengar dari mulut Oby. Meskipun leopard itu mencoba untuk tersenyum, namun yang terlihat tetaplah seringai yang mengerikan.
"Aku Green. Aku Green."
Terdengar suara khas seekor burung beo.
"Tidak ada yang bertanya kepada mu. Diamlah."
Aleena menepuk pelan kepala Green yang masih bertengger di bahu kirinya.
"Kau harus menjaga Aleena dengan baik Green."
Noha tersenyum kecil melihat tingkah Green yang begitu penurut.
"Pasti."
Aleena melemparkan sebuah biskuit kering yang mampu ditangkap dengan baik oleh sayap Green.
"Ternyata kau hanya diam jika makan."
Aleena tersenyum kecil.
"Aku tidak makan kue kering Aleena."
Green melayang dan memberikan kue kering itu kepada seorang anak kecil yang ada dalam gendongan seorang tentara, kemudian kembali lagi ke pundak Aleena.
"Untuk sementara kau tinggal di kamp pengungsi. Akan aku bangunkan tenda khusus untuk mu nanti."
"Hm.."
Aleena hanya mengangguk.
"Berlindung."
Seketika terdengar suara peringatan dari seorang tentara yang berada di barisan terdepan. Seluruh pasukan tentara membawa semua pengungsi bersembunyi di bawah pohon maupun masuk ke semak-semak. Deru mesin pesawat kembali terdengar memecah keheningan. Terdengar beberapa kali tembakan yang mengenai tanah kosong.
"Elang satu."
Noha mulai memberikan komando. Beberapa orang penembak jitu mulai mengidentifikasi pesawat siapakah yang sedang melintas, dengan menggunakan ujung senapan jarak jauh mereka.
"Kadal besar di buntuti musang."
Terlihat dua pesawat melayang di udara dengan jarak yang cukup jauh. Kedua pesawat itupun berbeda lambang dan juga warnanya. Sebagai pasukan yang sudah terlatih tentu saja mengenali siapa lawan dan siapa kawan mereka.
"Hancurkan."
Sebuah senapan panjang dan juga cukup besar mulai disiapkan.
Duaaarrr... Duaaarrr.. Buaaamm.
Terdengar beberapa kali tembakan ke atas, hingga akhirnya sebuah pesawat tempur yang jauh di belakang meledak di udara.
"Hubungi markas terdekat, lakukan pencarian."
Noha kembali memberikan perintah. Ia melihat beberapa orang berseragam melayang turun dari atas ketinggian. Seorang pria yang membawa sebuah tas besar di punggungnya mulai memutar beberapa tombol hingga terdengar beberapa suara.
"Selesai kapten."
"Baik. Lanjutkan perjalanan, kita bawa mereka semua ke pengungsian terdekat."
Rombongan kembali berjalan perlahan, karena tidak sedikit orang tua yang sudah lanjut usia ataupun anak-anak, beberapa pasukan pun rela menggendong tubuh mereka yang sudah lelah berjalan.
"Kakak bukankah jalur ini menuju ke hutan?"
"Benar, kamp kami sebelumnya sudah mereka hancurkan. Jadi kami membuat kamp pengungsian di dalam hutan. Pepohonan sedikit bisa menghalangi pandangi patroli udara musuh."
Noha memberikan sedikit penjelasan.
"Kapten, logistik yang tersisa sudah mulai di pindahkan ke tempat baru."
Seorang pria yang sedari tadi berkutik dengan alat tranmisi mereka mulai memberikan laporan.
"Baguslah, ayo bergegas dan tetap waspada."
"Kapten, ada rombongan lain yang datang dari sisi barat."
"Yasin."
"Benar, kapten Yasin membawa serta penduduk yang selamat."
"Sebaiknya kita bergerak lebih dulu, mereka akan menyusul."
Seluruh rombongan mulai memasuki kawasan hutan. Terlihat banyak tentara berjaga di mana-mana, bahkan juga di atas pohon. Aleena semakin mendekatkan tubuhnya kepada Oby, karena takut jika para tentara itu menjadikannya target sasaran.
Beberapa tenda mulai terlihat di bawah rimbunnya pepohonan. Noha mulai memerintahkan anak buahnya untuk mengatur para pengungsi serta membagi tenda masing-masing. Mereka memisahkan antara pria dan wanita.
Walaupun untuk sejenak, mereka semua bergiliran untuk beristirahat. Bagaimanapun juga mereka semua hanyalah manusia biasa yang juga harus menidurkan tubuhnya walau sesaat.
Aleena terus berjalan untuk mencari tempat yang pastinya akan membuat mereka semua aman dari rasa ketakutannya akan kucing besar yang senantiasa bersama dengannya.
"Pohon ini cukup besar dan tinggi. Kita beristirahat di sini saja."
Aleena menghentikan langkahnya setelah sedikit jauh dari tenda para pengungsi. Gadis kecil itu mulai memanjat pohon besar yang ada di hadapannya saat ini. Ia mulai melihat beberapa tempat dari atas pohon besar tersebut.
"Tunggu Oby, kau harus menjaga ku sebentar." Aleena kembali turun dari atas pohon dan membawa leopard besar itu ke suatu tempat.
"Aku melihat ada aliran anak sungai di sebelah sana. Aku ingin membersihkan tubuh serta berwudhu sebelum hari benar-benar gelap. Kau harus berjaga-jaga di sini, aku akan masuk di antara bebatuan itu. Kalian berdua tolong pastikan tidak ada seorangpun yang mendekat."
Green dan Oby hanya mengangguk dan mulai berjaga. Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Aleena pun mengganti pakaiannya dengan pakaian yang di dapatnya dari para tentara yang sebelumnya sudah membagikan beberapa kebutuhan mereka termasuk selimut dan juga pakaian bersih.
Sebuah celana panjang seragam seorang tentara serta kaos polos yang cukup besar untuk ukuran tubuh Aleena yang kecil. Tak lupa ia juga mengenakan kemeja tentara yang juga cukup besar untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya udara malam. Setelah selesai ia pun masih sempat mencuci pakaian yang tadi ia kenakan, kemudian membawanya kembali naik ke atas pohon besar yang ia temukan sebelumnya. Oby dan Green mengikuti kemanapun langkah gadis kecil itu.
Aleena hendak menjemur pakaian yang tadi dicucinya ke beberapa cabang pohon, namun suara Green menghentikannya.
"Simpan semua barang mu ke dalam tas kecil itu Aleena."
"Tapi ini hanyalah pakaian yang masih basah."
"Duduklah dengan benar dan ikuti semua petunjuk dariku tentang tas kecil itu."
"Baiklah profesor Green."
Aleena mulai memilih untuk duduk di atas batang pohon yang terbesar dan mulai menyiapkan tas kecilnya.
"Kau bisa selalu menggunakan tas kecil itu tanpa harus melepasnya saat kau ingin menggunakan beberapa benda yang ada di dalamnya. Aku akan memberikan beberapa proyeksi tentang isi di dalam tas kecil itu."
Muncul sebuah sinar redup dari sebelah bola mata Green. Sinar itu menampilkan beberapa gambar benda.
"Tas kecil itu ibarat sebuah ruangan yang menyimpan berbagai benda. Semuanya ada beberapa sisi. Kau lihat di sisi kiri terdapat banyak benda yang berhubungan dengan tempat tidur, selimut serta pakaian. Di sebelah kanan adalah peralatan dapur serta beberapa bahan makanan dan juga ruangan pendingin yang cukup besar. Di sisi yang lain ada berbagai jenis senjata yang nantinya bisa kau pelajari secara perlahan. Kau lihat beberapa karung gandum serta semua barang yang kau masukkan, berada pada sisi ruangan yang berbeda serta cukup besar. Pelajarilah satu persatu nanti. Sekarang kau bisa menjemur pakaian mu di dalam tas kecil itu, kau sudah tahu tempatnya bukan, ada beberapa jemuran yang bisa kau gunakan."
"Aku akan mempelajarinya nanti, setelah aku beribadah."
Aleena kembali menutup tas kecilnya. Kemudian turun dari atas pohon untuk melakukan kewajibannya, bersujud kepada sang pencipta. Dengan setia, Oby berdiri tidak jauh dari Aleena untuk memastikan keselamatannya.
Setelah Aleena menyelesaikan ibadahnya, terlihat seorang pria berjalan mendekati tempat mereka.
"Walaupun sedikit terlalu besar, namun tetap saja adik ku terlihat cantik dengan pakaian itu."
Noha tersenyum kecil saat melihat penampilan Aleena saat ini.
"Ada beberapa bahan makanan yang bisa kami bawa, namun dapur umum akan didirikan besok pagi. Jadi untuk saat ini hanya ada beberapa buah-buahan. Lalu apa yang bisa di makan oleh kucing besar itu?"
Noha melihat Oby yang hanya terdiam di tempatnya.
"Tenanglah kak. Oby sudah menerkam beberapa ikan di sungai, saat ia menemani ku membersihkan tubuh dan masih tersisa beberapa. Kita bisa memanggangnya."
Aleena mulai memungut beberapa ranting kering di sekitarnya dan mulai membuat perapian.
"Kenapa kau memilih tempat yang terlalu jauh dari mereka?"
Noha mulai memanggang satu persatu ikan yang ada.
"Keberadaan Oby hanya akan membuat mereka ketakutan."
Aleena menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari beberapa ikan yang sudah mulai matang. Noha hanya mengangguk mengerti. Keduanya mulai memakan beberapa ikan yang sudah mulai matang.
"Hm.. Kenapa rasa ikan ini enak sekali, apa kau memberikan beberapa bumbu?"
"Sudahlah, yang penting enak di makan. Jangan terlalu banyak bertanya."
Aleena juga memberikan beberapa ikan tersebut kepada Oby. Kucing besar itu memakannya hingga tak bersisa. Pandangan Aleena beralih mencari keberadaan Green. Burung beo itu terlihat diam di atas batang pohon. Aleena berpikir bahwa burung itu sudah tidur.
"Aku akan mematikan perapian ini, supaya keberadaan kita tidak terlihat oleh pesawat patroli udara. Sekarang pergilah ke atas dan tidurlah. Pakai beberapa pakaian jika kau merasa kedinginan."
Noha beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut setelah melihat anggukan kepala dari adik perempuannya.
Aleena kembali memanjat ke atas batang pohon yang terbesar, diikuti oleh Oby. Kucing besar itu dengan mudah memanjat pohon besar tersebut dengan bantuan kukunya yang tajam.
Aleena kembali membuka tas kecilnya dan mulai mempelajari semua barang yang ada di dalamnya. Sejenak ia melihat Green yang hanya terdiam serta menutup matanya.
"Apa kau sudah tidur Green?"
"Aku tidak tidur Aleena. Aku hanya diam untuk menghemat daya baterai penggerak tubuh ku. Malam hari tidak ada panas matahari, sedangkan tubuh ku harus terus memasok energi panas tersebut untuk tetap membuat tubuh ku bisa bergerak layaknya seekor burung ataupun makhluk hidup lainnya."
"Jadi kau digerakkan oleh panel surya?"
"Benar Aleena. Begitupun dengan tas kecil itu. Namun tenanglah, aku memiliki banyak sekali cadangan panas matahari yang selalu terisi di dalam tubuh dan juga tas kecil itu. Aku hanya tidak ingin terlihat aneh jika selalu saja berkicau sepanjang malam. Kau bisa memasang ayunan tambang diantara kedua cabang pohon itu, supaya kau lebih nyaman beristirahat."
Aleena kembali melihat isi di dalam tas kecilnya, kemudian mengambil ayunan gantung dan mengikatnya diantara dua cabang pohon yang cukup kuat.
"Beristirahatlah Oby, biar profesor Green mengaktifkan mode siaganya. Kau harus cukup bertenaga jika terjadi pertarungan kembali."
Aleena mulai menidurkan tubuhnya di dalam ayunan gantung serta menambahkan selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Malam semakin larut, udara pun terasa semakin dingin.
Oby terbangun dari tidurnya saat merasakan banyak gerakan dari ayunan gantung tempat Aleena tertidur. Green pun membuka sebelah matanya.
"Kau ini seorang gadis, kenapa tidur saja tidak bisa tenang dan selalu bergerak. Rasakan sendiri sakitnya jika kau jatuh dari dalam ayunan itu."
Green menggerutu perlahan kemudian kembali menutup matanya. Sementara Oby beralih mendekati tubuh Aleena. Leopard besar itu menidurkan tubuhnya tepat di bawah ayunan gantung Aleena, kemudian ia melilitkan ekor panjangnya ke tubuh Aleena yang berada di dalam ayunan tersebut.
"Lihatlah kau begitu perhatian terhadap gadis itu, padahal baru kemarin kau mengenalnya. Bahkan terhadap tuan profesor pun kau tidak pernah terlalu perhatian seperti itu."
Green kembali bergumam perlahan saat melihat tingkah laku Oby.
"Haah... Aku pun mengerti dengan apa yang kau rasakan terhadap gadis itu. Dia lebih perhatian kepada kita. Aleena memberikan perhatian yang disertai dengan kasih sayang. Bahkan tuan profesor pun tidak pernah membelai tubuh dan kepala kita. Namun gadis itu, dia memperlakukan kita seolah kita adalah saudaranya. Sekalipun aku hanya terbuat dari serpihan besi, namun sejak aku hidup bersama manusia dan semua mahkluk hidup. Aku bisa merasakan apa itu kasih sayang. Bahkan kau yang seekor hewan buas pun bisa merasakannya."
Green menghela nafas panjang.
Geerrrr.
Terdengar geraman kecil dari mulut Oby, setelah Green menyelesaikan ucapannya. leopard besar itu mulai memejamkan matanya.
matahari belum terbit sepenuhnya, namun Aleena sudah terbangun dari tidurnya. Gadis kecil itu menggeliat di dalam ayunannya, membuat Oby pun ikut terbangun.
"Maaf Oby, aku membuat mu harus menjaga ku saat tidur. Lain kali aku akan mencari tempat yang lebih aman, terimakasih."
Aleena menyadari ekor Oby yang masih melilit pada ayunan gantung nya. Gadis itu mulai bergerak berpindah tempat, kemudian membereskan semua peralatannya.
"Oby diamlah dan tetap di atas."
Aleena menunjuk sekumpulan anak-anak yang berjalan perlahan di bawah pepohonan. Beberapa orang tentara pun terlihat mengawasi mereka. Aleena merasa sedikit iba karena ada diantara anak-anak itu yang menangis.
"Kak Yasin, kenapa mereka menangis?"
Aleena turun dan menyapa seseorang yang ia kenali.
"Mereka masih terlalu kecil jika harus dipaksa bertahan hidup sendirian di tempat yang kejam ini. Hanya mereka yang selamat dari serangan kemarin, itupun karena orang tua mereka telah mengorbankan segalanya termasuk selembar nyawa mereka."
"Lalu, kenapa mereka semua menuju ke sungai?"
"Namanya anak kecil yang masih terbiasa manja dengan ayah dan ibunya, hanya untuk buang air saja mereka semua menangis."
"Tenanglah kak, aku akan membantu kalian."
Aleena tersenyum kecil seraya menepuk pelan pundak rekan kakaknya.
"Hai adik-adik tampan dan cantik ayo berbaris, siapa yang mau duluan masuk ke sungai.. Atau mau barengan?"
Aleena berusaha sebaik mungkin untuk membuat anak-anak itu tenang serta berhenti menangis.
"Kakak, pakaian ku kotor. Aku mau mandi."
Seorang anak laki-laki mendekati Aleena seraya menghapus air mata yang masih tersisa di wajahnya.
"Iya tampan, ayo kemarilah. Kita akan bermain air. Ada yang mau ikutan."
Aleena terus tersenyum semanis mungkin.
"Oh lihat, ternyata ada bagian sungai yang tidak terlalu dalam. Bagaimana kalau kita berendam sambil membersihkan tubuh."
Aleena masih memasang senyum termanis yang dimilikinya seraya memasukkan kedua kakinya ke bagian sungai yang dangkal.
"Iya aku mau."
Berawal dari seorang anak, hingga saat ini semua anak-anak itu sibuk bermain air bersama.
"Ayo cepat naik dan keringkan tubuh kalian. Kalau kedinginan nanti bisa sakit."
Aleena mulai mengusap tubuh setiap anak dengan menggunakan handuk, kemudian memakaikan mereka pakaian yang bersih.
"Sekarang kalian semua sudah bersih, cantik-cantik dan juga tampan. Berbaris yang rapi dan ikuti om om ganteng ini untuk kembali ke tenda kalian oke."
Aleena kembali tersenyum manis serta mengedipkan sebelah matanya.
"Oke ka. Tapi kakak juga harus ikut."
Seorang anak laki-laki tersenyum kecil seraya memegang tangan Aleena.
"Iya, aku akan menyusul kalian setelah aku mandi dan berganti pakaian. Kalian bermain hingga membuat seluruh pakaian ku basah, jadi aku juga harus mengganti pakaian supaya tidak sakit."
"Tapi kakak harus berjanji untuk menyusul kami ya."
Seorang anak yang lain berucap seraya menunjukkan jari kelingkingnya.
"Insyaallah, kakak akan segera menyusul kalian."
Aleena tersenyum seraya mengaitkan jari kelingkingnya, hingga kedua jari kelingking tersebut kini saling berkait.
"Ayo semua kita kembali lebih dulu. Kakak Aleena akan membuatkan makanan untuk kita semua nanti."
Yasin bersama beberapa rekannya mulai menggiring anak-anak itu untuk kembali ke tenda mereka. Sementara Aleena mulai masuk di antara bebatuan untuk mengganti pakaiannya.
Usai bersujud kepada sang pencipta, Aleena termenung sejenak. Dia berpikir alangkah beruntungnya dirinya karena pada saat ayahnya meninggal, usianya sudah cukup dewasa. Sehingga mampu untuk mengurus diri sendiri. Sementara anak-anak itu ditinggal mati oleh ayah dan ibunya saat usia mereka masih begitu muda dan bahkan masih sangat kecil.
Tekad Aleena semakin besar untuk membantu dan membela setiap orang sesuai dengan kemampuannya. Aleena berdiri dan mulai bersiap menuju ke tenda pengungsian.
Beberapa orang mulai terlihat sibuk memasak air, menanak nasi serta membuat adonan terigu. Ada juga yang sibuk berbenah, memasukkan segala macam umbi-umbian dan buah ke dalam beberapa karung besar. Hal itu membuat Aleena sedikit heran.
"Kakak kenapa seluruh bahan makanan itu kembali di kemas?"
Aleena berjalan mendekati Noha dan juga Yasin yang masih berbincang.
"Anak-anak itu tidak bisa selamanya hidup di pengungsian yang setiap saat bisa saja diserang oleh musuh. Jadi kami memutuskan untuk mengirim mereka semua ke tempat yang lebih aman."
Noha mulai memberikan sedikit penjelasan.
"Namun kami masih belum bisa membuat mereka semua menuruti setiap perintah kami."
Yasin sedikit menambahkan.
"Aku mengerti kesulitan kalian. Aku akan mencoba membantu."
Aleena mengajukan dirinya untuk membantu.
"Apa kau yakin? ini sangat berbahaya Aleena."
Noha memandang wajah cantik Aleena yang telah tertutup oleh masker kain.
"Kita harus mencobanya, lagi pula tidak ada lagi orang yang bisa mengurus mereka di tempat ini. Kemana mereka semua harus di antar?"
"Perbatasan kota. Tempat itu telah di lindungi oleh pihak perdamaian dunia. Namun seorang tentara seperti kami tidak di perbolehkan untuk memasuki wilayah tersebut supaya konflik ini tidak menyebar."
Noha kembali memberikan pengertian.
"Jadi hanya warga sipil yang diperoleh untuk meminta perlindungan."
Yasin ikut menambahkan.
"Kakak, bisakah kau buatkan segelas susu untuk ku."
Pembicaraan mereka terhenti, saat seorang anak kecil berlari mendekati Aleena.
"Tentu saja cantik. Ayo kita buat susu yang banyak, supaya semua teman mu juga ikut meminumnya."
Aleena membawa anak kecil itu menjauh, kemudian ia mulai menyiapkan beberapa gelas, susu bubuk dan juga air hangat. Aleena juga menyiapkan beberapa roti yang sudah selesai di buat oleh beberapa tentara yang sedari tadi berkutat dengan terigu.
Aleena mengeluarkan beberapa selai buah dari dalam tas kecilnya, untuk menambah senyum keceriaan di wajah para malaikat kecil yang tidak berdosa itu.
"Ayo semuanya duduk dengan benar dan tenang. Kakak Aleena akan mengolesi roti kalian sesuai dengan rasa yang kalian inginkan, bagaimana?"
Aleena memasang senyum termanisnya. Semua anak-anak itu ikut tersenyum, namun tidak ada yang berani mengeluarkan suaranya. Saat Aleena menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya.
Aleena mulai menghampiri satu persatu anak-anak tersebut untuk mengoleskan selai buah yang mereka inginkan. Dengan wajah yang dipenuhi senyuman, semua anak-anak itu memakan sarapan pagi mereka.
Beberapa pengungsi lain yang menyaksikan hal itu pun meneteskan air mata. Mereka merasa berterima kasih karena masih ada yang mau mengurus anak-anak tersebut.
Setelah Aleena menghabiskan makanannya bersama dengan pengungsi yang lain, gadis itu kembali berjalan mendekati kakak lelakinya.
"Kapan kita akan memindahkan mereka semua kak?"
"Secepatnya lebih baik Aleena. Karena kita tidak tahu kapan musuh akan kembali menyerang."
"Lalu bagaimana caranya. Mereka hanya anak-anak, mereka tidak akan tahan jika harus berjalan terlalu lama."
"Saat membawa mereka ke tempat ini, aku menaikan mereka ke dalam beberapa kereta kecil dan mendorongnya perlahan. Masalahnya adalah sangat sulit untuk membuat mereka tetap diam, apalagi jika mereka ketakutan dan menangis. Sementara kau tahu sendiri, hanya dengan satu suara saja. Seluruh rombongan akan musnah oleh tembakan."
Yasin kembali berucap.
"Aleena, misi ini benar-benar berbahaya. Aku tidak ingin kau..."
Noha tidak melanjutkan kembali ucapannya, karena terpotong oleh suara Aleena yang penuh ketegasan.
"Ini adalah misi pertama ku. Aku pasti berhasil."
Aleena berusaha meyakinkan kakak lelakinya.
"Kau cobalah dulu untuk menarik perhatian mereka. Buat anak-anak itu untuk selalu mengikuti setiap ucapan mu dan perbuatan mu."
Aleena tersenyum kecil, seraya kembali berjalan mendekati tempat anak-anak itu berkumpul. Ia mulai melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian anak-anak serta mulai meminta mereka untuk mematuhi semua ucapannya layaknya seorang guru.
"Jadi, apakah kalian akan mengikuti semua ucapan ku untuk tetap diam selama perjalanan kita menuju ke tempat yang lebih baik?"
Aleena sedikit menegaskan ucapannya serta menatap satu persatu wajah anak-anak yang ada di hadapannya saat ini.
"Kakak Aleena, aku akan berusaha untuk tetap diam dan tidak akan menangis selama perjalanan kita nanti. Aku sangat ingin sekali bermain dan bersekolah dengan tenang di tempat yang lain."
Seorang anak laki-laki berdiri dari duduknya kemudian mulai berbicara dengan jelas meskipun sedikit pelan.
"Aku juga kakak."
"Kami akan berusaha untuk tetap diam apapun yang terjadi."
"Dan kami hanya berteriak keras saat meminta pertolongan, sesuai dengan yang kakak Aleena ajarkan."
Satu persatu anak-anak kecil tersebut berdiri dan meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa mengikuti semua ucapan Aleena.
"Bagus, kalian pintar. Kita akan pergi untuk mencari tempat yang lebih baik tanpa adanya suara tembakan."
Aleena mengusap lembut satu persatu kepala anak-anak kecil tersebut kemudian memeluk erat tubuh mereka sesaat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!