Terpaksa Bertahan

Terpaksa Bertahan

Bab 1

Aku berdiri mematung tepat di samping sepeda motorku terparkir. Dari tempatku berdiri, terlihat jelas teman-teman anggota arisan sudah berkumpul dan duduk mengelilingi meja. Mungkin hanya aku yang belum ada di sana.

Mereka semua tampil all-out seolah-olah acara arisan ini adalah ajang untuk memamerkan apa yang mereka miliki. Baju baru, tas, sepatu, make up dan lainnya.

Aku ragu untuk masuk dan bergabung dengan mereka. Kulihat lagi penampilanku. Bajuku terlihat usang dan kedodoran. Itu karena berat badanku turun drastis sehingga semua pakaian kumiliki terlihat kebesaran jika aku kenakan sekarang.

Aku sudah tidak mampu untuk membeli baju baru. Kalaupun aku gajian, uangnya pasti kugunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anakku dan biaya berobat suamiku.

Belum lagi sepatuku yang sudah butut karena setiap hari aku pakai bekerja. Aku yakin mereka akan segera menatapku dengan tatapan aneh begitu melihat penampilanku seperti ini.

Ku gosok-gosok sepatuku menggunakan celana panjangku, setelah itu aku masuk ke dalam restoran dan bergabung bersama mereka.

Segera mereka bisik-bisik begitu melihatku datang. Aku langsung merasa tidak nyaman melihatnya.

"Hai Win ... kamu datang juga ya? Kupikir nggak datang. Kan sudah beberapa bulan kamu absen," sapa Likha, teman baikku dulu. Sebelum aku miskin seperti sekarang ini.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Padahal kita mau buat acara amal untuk suami Jeng Winda lho ini. Kok malah Jeng Winda datang," ucap Eva, si pelacur bodoh yang dulu mengincar suamiku.

"Win, bajumu bagus. Aku belum pernah lihat kamu memakainya," ucap Likha dengan senyum sinis.

Jelas dia sedang menyindirku sekarang. Likha yang dulu menempel padaku bagaikan parasit kini berubah memusuhi aku setelah aku miskin. Sementara yang lainnya cuma memandangku dengan tatapan kasihan.

Aku tetap diam meski tahu mereka sedang menginjak-injak harga diriku. Aku tidak ada keinginan untuk meladeni mereka.

"Jeng Winda, sepatunya beli dimana? Aku kok kepingin seperti yang dipakai jeng Winda. Modelnya emang mengelupas begitu atau gimana sih?" ucap si pelacur bodoh sambil mengamati sepatuku.

"Tapi bagus lho," Likha menimpali. "Pasti susah nyari sepatu yang modelnya seperti itu," ucap Likha sambil terkekeh.

Telingaku sudah mulai panas mendengar hinaan mereka.

"Sini Win, duduk sini. Sampai lupa nggak ditawari duduk." Likha menarik kursi kosong disampingnya.

Aku mendekati kursi itu berniat untuk duduk. Mungkin jika aku duduk mereka akan menghentikan bully-an mereka kepadaku dan segera memulai acara.

"Win ... Ini kita bayar sendiri-sendiri lho. Kamu bawa uang kan? Eh ... Salah. Kamu punya uang buat bayar kan nanti?" Sekali lagi Winda menghinaku.

"Kasihan kamu Win, sejak suamimu kerja kamu jadi harus banting tulang. Lihat badan kamu sampai kurus begini. Tapi ambil hikmahnya aja Win, kamu nggak perlu diet udah langsung. Dulu kan badanmu gendut banget." Likha kembali terkekeh.

Kali ini aku sudah tidak bisa sabar. Aku dorong kursi yang sudah disiapkan oleh Likha.

"Aku datang kesini karena salah satu dari kalian memintaku untuk datang. Tapi jika aku disini hanya untuk kalian hina dan permalukan, maka lebih baik aku pulang dan tidak berurusan lagi dengan kalian semua!!! Sekalian aku pamit, aku keluar dari grup arisan ini!!! Permisi!!!"

Aku berjalan meninggalkan kumpulan wanita kampung yang berlagak seperti sosialita itu. Gemuruh memenuhi dadaku.

Dulu semua menghormatiku ketika suamiku masih berjaya. Tidak pernah aku dihina seperti ini. Bahkan aku tidak perlu khawatir soal uang. Tapi sekarang?

Enam bulan sebelumnya....

Aku terus menunduk sambil menahan air mataku agar tidak menetes. Berulang kali kuremas tanganku untuk melampiaskan rasa sakit hatiku. Sejak datang tadi, Mas Arya, kakak iparku tidak berhenti menceramahi aku. Padahal saat ini kami sedang berada di rumah pak RT. Tidak ada yang bisa aku gunakan untuk menutupi rasa sakit hati bercampur malu yang kurasakan.

"Kenapa cuma masalah begini saja langsung ingin bercerai sih? Ini kan cuma gosip! Kamu tidak melihat kejadiannya sendiri dan juga tidak punya bukti apa-apa. Namanya kamu cuma mengada-ada. Di bicarakan dulu baik-baik bisa kan? Masa cuma hal sepele gini aja langsung ingin bercerai?!" ucap Mas Arya enteng. Sedangkan suamiku, Mas Adji tidak membuka mulutnya sejak kakaknya datang.

Aku semakin menundukkan kepalaku. Ini sangat menyakitkan bagiku. Perasaanku hancur saat mendengar suamiku ternyata sering mengunjungi rumah Eva, seorang janda dari desa tetangga. Eva adalah seorang tukang pijat, tetapi sudah menjadi rahasia umum jika Eva juga menyediakan layanan plus-plus bagi mereka yang menginginkannya. Dan rahasia itu juga sudah tersebar di desaku.

"Benar kata kakak iparmu, pikirkan dulu matang-matang, bagaimana nanti anakmu jika kalian sampai bercerai? Pikirkan juga bagaimana reaksi bapak dan ibumu nanti, berita seperti ini bisa mempengaruhi pikiran dan kesehatan mereka. Ini kan belum jelas kebenarannya, jangan terburu-buru ambil keputusan. Apalagi kamu dalam keadaan emosi," Pak RT ikut menimpali.

"Kamu kan hanya diberi tahu temanmu jika dia melihat Adji bersama seorang wanita. Kenapa kamu langsung menganggapnya serius? Bisa saja temanmu itu salah atau berbohong."

"Tidak Mas, temanku tidak mungkin berbohong. Dia jelas melihat Mas Adji bersama seorang wanita dan beberapa kali melihat mas Adji mendatangi rumah wanita itu."

"Ya siapa tahu Adji memang sedang ada urusan dengan wanita itu. Masa gitu aja kamu langsung bilang Adji sudah selingkuh?" Bukannya menanyakan kebenarannya pada adiknya, Mas Arya terus saja membelanya. Dan Mas Adji tetap tidak mau bersuara.

Aku benar-benar merasa disudutkan oleh kata-kata Mas Arya. Tidak ada yang percaya padaku bahkan aku hanya dianggap mengada-ada padahal aku jelas punya saksi yang melihat semuanya. Sepertinya mereka tidak tahu wanita yang sedang kami bicarakan karena sejak tadi aku belum menyebutkan nama wanita itu.

Aku menguatkan diriku agar tidak menangis. Aku angkat kepalaku tegak dan kutatap Mas Adji yang saat ini duduk di kursi tepat di hadapanku. Dia tidak berani membalas tatapanku dan memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Apakah aku harus menemukan sendiri suamiku bermesraan dengan wanita lain baru aku boleh minta cerai? Atau aku harus menunggu dia menghamili anak orang baru bisa dikatakan dia telah selingkuh? Begitukah?!" tanyaku dengan suara bergetar. Rasanya sakit sekali mendengar kalimat ini keluar dari mulutku sendiri.

"Nggak begitu juga Win... Adji kan memang nggak ngapa-ngapain sama wanita itu. Dari dulu kamu juga tahu kalau Adji itu pria baik-baik, nggak neko-neko." bantah Mas Arya seolah aku sedang bertengkar dengannya.

"Mas Arya yakin? Apa mas Adji tidak memberitahu siapa wanita yang sedang kita bicarakan?"

"Memangnya siapa wanita yang kamu maksud? Wanita yang kamu tuduhkan bersama Adji?!"

"Wanita itu Eva, Mas Adji sering mendatangi rumah Eva," jawabku tegas.

"Eva siapa? Eva yang ... " Mas Arya tidak melanjutkan kalimatnya dan jadi terlihat salah tingkah.

"Bahkan tanpa kuberi tahu siapa Eva, kalian sudah tahu semuanya! Jadi ada urusan apa Mas Adji dengan Eva? Ingin minta pijat? Pijat saja? Apa kalian yakin tidak ada yang lainnya? Mereka nggak ngapa-ngapain?!" pertanyaanku sukses membuat semua orang terdiam. Pak RT terlihat menelan ludahnya dan Mas Arya terlihat bingung mau berkata apa.

Sebagai wanita normal tentu aku merasa sangat marah dan kecewa. Aku langsung berpikiran negatif tentang suamiku setelah mendengar berita itu. Begitu Mas Adji pulang kerja, aku langsung menanyakan kebenaran kepadanya dan berujung dengan pertengkaran hebat. Mas Adji menyangkal semua yang aku tuduhkan padanya.

Akhirnya, tanpa berpikir panjang aku berlari ke rumah Pak RT yang letaknya hanya berseberangan dengan rumahku. Aku ingin meminta surat pengantar untuk mengurus perceraianku. Sudah aku mantapkan hatiku, besok pagi aku akan mengurus perceraianku.

Tadinya aku hanya ingin meminta surat pengantar itu dan lalu pulang tidak perlu mengatakan apapun kepada Pak RT. Tetapi ternyata Pak Rt tidak mau memberikan surat pengantar itu begitu saja. Dia menanyakan beberapa hal terlebih dahulu termasuk alasanku. Entah karena memang seperti itu seharusnya atau Pak RT hanya ingin mengetahui kehidupan rumah tanggaku saja.

Belum sempat bercerita, Mas Adji menyusulku. Pak RT memaksa kami duduk bersama dan membicarakan masalah ini terlebih dahulu. Tak berselang lama Mas Arya pun datang. Aku yakin Mas Adji sudah memberi tahu kakaknya itu lewat telepon, apa yang sedang terjadi.

Maksud kedatangan Mas Arya adalah untuk menengahi dan mendamaikan aku dan Mas Adji, tapi yang ada dia hanya memojokkan aku.

"Sudah ... Sudah ... Lebih baik sekarang kalian pulang dan bicarakan ini di rumah! Tidak ada perceraian! Kalian ini hanya salah paham!" Akhirnya kalimat inilah yang keluar dari mulut Mas Arya. Aku yakin dia tidak punya alasan untuk membela adiknya lagi.

"Benar kata kakakmu, sekarang sebaiknya kalian pulang. Dimana Keisha? Kasihan nanti dia mencari mama papanya." Pak RT berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Keisha di rumah ibu," jawabku berat.

"Ya sudah ... Kalian pulang saja. Keisha biar nginap di rumah ibumu dulu. Kasihan dia kalau sampai melihat orang tuanya bertengkar."

Tanpa berkata-kata, aku langsung berdiri dan keluar dari rumah Pak RT. Tidak ada gunanya aku berlama-lama di rumah itu, toh tidak ada yang membelaku.

Sesampainya di rumah, ku tumpahkan air mata yang sejak tadi aku tahan. Sakit rasanya mengetahui jika ternyata suamiku sering menikmati tubuh wanita lain apalagi seorang wanita penghibur. Apa aku sebagai istrinya tidak bisa memberikan kenikmatan hingga dia harus mencarinya dari wanita lain? Dan semakin menyakitkan lagi ketika tidak ada yang percaya padaku.

Selama ini aku sudah cukup sabar meladeni kebiasaan buruk Mas Adji. Ditinggal mabuk dan bermain judi hingga pulang pagi sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Seringkali dia pulang ke rumah hanya untuk mandi dan berganti baju setelah itu pergi lagi bersama teman-temannya dan pulang entah jam berapa.

Aku menikah dengan Mas Adji tujuh tahun lalu. Saat itu dia masih menjadi pegawai biasa. Mas Adji tampan, baik dan tidak suka macam-macam. Meski ibunya tidak menyukaiku, dia tetap menikahi aku. Dia sangat mencintai aku. Mas Adji tidak mempermasalahkan ukuran tubuhku yang mengembang tiga kali lipat setelah aku melahirkan, hingga sekarang. Dia mau menerimaku apa adanya. Aku merasa sangat beruntung karenanya.

Mas Adji tidak pernah menuntut macam-macam dariku. Dia membiarkan aku melakukan apa yang aku suka dan juga sangat memanjakan aku. Tapi itu dulu, sebelum Mas Adji naik jabatan dan mengenal minuman keras.

Terpopuler

Comments

Oh Dewi

Oh Dewi

Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu

2023-09-16

0

Tri Soen

Tri Soen

Baru mampir ya thor...tapi udah nyesek didada 😭

2022-11-04

1

Qeisha A.F Ladyjane

Qeisha A.F Ladyjane

sama bingitss

2022-09-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!