Bab 19

Keesokan harinya aku ke sekolah Keisha dan menemui bagian adminstrasi untuk melunasi semua tunggakan uang sekolah Keisha. Setelah semua beres aku lanjut mendaftarkan Keisha ke sekolah dasar. Sekolah favorit yang sudah lama aku dan mas Adji rencanakan. Memang sedikit mahal tapi sejak dulu aku menginginkan pendidikan yang terbaik untuk Keisha.

Selesai dengan urusan sekolah aku pergi ke toko sembako. Aku membeli kebutuhan sehari-hari untuk sebulan ke depan, tidak lupa susu untuk Keisha.

Masih ada satu hal lagi yang harus aku lakukan. Aku akan pergi ke toko perhiasan. Kubawa semua perhiasan yang aku miliki, hanya menyisakan cincin pernikahan yang masih terselip di jari manisku. Aku berniat untuk menjual semua perhiasanku untuk biaya terapi Mas Adji. Aku ingin Mas Adji sembuh agar bisa segera terlepas dari beban ini.

Setelah selesai dengan itu semua lalu kulajukan motorku pulang. Aku merasa lega karena setidaknya aku punya stok beras dan sembako untuk sebulan ke depan.

Sampai di rumah aku langsung menemui Mas Adji.

"Besok siang kamu tetap terapi Mas. Nanti aku pesan taksi online seperti biasa."

Kami sudah tidak meminta Mas Arya untuk mengantarkan berobat. Mas Adji merasa tidak enak jika terus-terusan meminta bantuannya.

"Bukankah uangnya sudah kamu gunakan untuk membayar uang sekolah Keisha dan ini juga sudah belanja kebutuhan sehari-hari. Memangnya masih ada sisa?"

Aku mengangguk.

Mas Adji melihat belanjaanku yang memang terlihat cukup banyak. Tapi sebenarnya ini tidak seberapa jika dibandingkan dulu ketika Mas Adji masih bekerja dan bisa memberikan uang belanja yang cukup.

"Tidak usah Win, sebaiknya uang itu untuk pegangan kamu saja."

"Tadi aku menjual perhiasanku."

Akhirnya aku jujur. Mas Adji terkejut mendengarnya.

"Itu kan perhiasanmu Win. Kenapa kamu jual? Aku bisa berhenti terapi dulu untuk sementara, nanti jika ada uang bisa aku lanjutkan lagi."

Belum sempat aku menjawab tiba-tiba handphoneku berdering. Tidak biasa ibu meneleponku jadi langsung aku angkat.

"Ada apa Bu?"

"Ini Keisha nangis terus, katanya sakit perut." Suara ibu terdengar panik.

"Ya sudah, aku ke rumah ibu sekarang." Kumatikan teleponku.

"Aku mau jemput Keisha. Ibu bilang Keisha nangis terus karena perutnya sakit."

Aku segera pergi tanpa menunggu jawaban dari Mas Adji. Aku berlari ke rumah ibuku karena jaraknya hanya beberapa rumah dari rumahku.

"Kenapa Keisha Bu?" tanyaku begitu sampai di rumah ibu.

"Ibu juga nggak tahu Win. Tadi sih cuma mengeluh sakit perut. Ibu pikir masuk angin. Sudah ibu kasih minyak angin tapi malah nangis begini."

Kudekati Keisha yang masih menangis sambil meringkuk memegangi perutnya.

"Mana yang sakit nak? Perutnya sakit?"

Keisha mengangguk lemah.

"Kita periksa ke dokter ya? Biar dikasih obat nanti pasti sembuh."

Keisha kembali mengangguk.

"Aku akan bawa Keisha ke dokter Bu."

Kuraih tubuh Keisha ke dalam gendonganku. Walaupun dia sudah hampir SD bagiku dia tetaplah bayi kecilku. Aku tetap kuat menggendong tubuhnya meski beratnya sudah berkali-kali lipat.

"Kamu ada uang Win? Ini ... Bawa uang ini untuk berjaga-jaga."

Ibu mengulurkan beberapa lembar uang. Ibu sangat mengetahui kondisi keuanganku. Tapi tidak bisa menerima bantuannya karena selama ini ibu sudah banyak membantuku. Dia sering membelikan aku beras dan sayuran, juga uang saku untuk Keisha. Aku tidak bisa menerima lebih banyak lagi.

"Tidak usah Bu, aku masih punya simpanan. Nanti kalau aku memerlukan uang aku akan pinjam sama ibu."

Kulangkahkan kakiku sambil menggendong Keisha. Sampai di rumah aku baringkan dia di sofa . Mas Adji sudah menunggu di sana.

"Anak papa sakit perut?" tanya Mas Adji sambil mengusap pelan kepala Keisha.

"Tunggu sebentar ya sayang, Mama ambil jaket kamu dulu."

...****************...

Sudah dua hari berlalu. Keisha masih mengeluh sakit perut. Kadang dia demam dan muntah sehabis makan. Aku tidak tega melihatnya terus menangis kesakitan.

"Aku akan bawa Keisha ke rumah sakit. Aku benar-benar tidak tega melihatnya," ucapku setelah melihat Keisha kembali muntah, bahkan kali ini disertai diare.

Mas Adji mengangguk.

"Aku juga tidak tega melihatnya Win."

Kukendarai sepeda motorku sambil menggendong Keisha menuju rumah sakit. Sampai di rumah sakit Keisha langsung ditangani oleh dokter. Tidak perlu menunggu antrian karena ini sudah jam sebelas malam, kondisi rumah sakit sedang sepi.

Dokter mengatakan akan melakukan tes laboratorium untuk mengetahui penyakit Keisha secara pasti. Aku hanya bisa pasrah sambil menunggu di luar ruang pemeriksaan.

Entah kenapa merasa seperti sedang dejavu. Aku melihat sekelilingku. Ini adalah rumah sakit dimana aku melahirkan Keisha. Pikiranku pun melayang kembali ke beberapa tahun lalu. Aku teringat saat aku datang ke rumah sakit ini sendirian untuk melahirkan, hampir tengah malam sama persis seperti sekarang.

Kuyakinkan diriku, ini bukan dejavu. Waktu itu aku sendirian, sekarang juga aku sendirian. Bedanya waktu itu suamiku entah dimana, sekarang suamiku tidak bisa apa-apa.

Setelah cukup lama akhirnya hasil lab keluar. Dokter menyatakan jika Keisha terkena usus buntu dan sudah infeksi. Harus segera dioperasi.

Aku tidak percaya mendengar penjelasan dokter. Selama ini Keisha tidak pernah mengeluh sakit apa-apa lalu tiba-tiba terkena usus buntu dan harus segera dioperasi.

"Lakukan tindakan yang diperlukan Dok," ucapku pasrah.

"Segera kami jadwalkan operasinya. Sekarang ibu bisa menemani anak ibu di ruang perawatan."

Aku mengangguk dan segera berjalan menuju ruang dimana Keisha di rawat.

Tak kuasa air mata ini menetes. Kudekati tubuh kecilnya yang kini tergeletak lemah. Kutatap wajah polosnya yang sedang terlelap. Tangisku sudah tidak bisa ku tahan lagi.

Kenapa harus sekarang? Kenapa ujian untukku tidak ada habisnya? Dulu mungkin aku bisa memberikan perawatan terbaik untuknya, tapi sekarang?

Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak hanya menangisi kondisi Keisha tapi aku juga menangisi hidupku.

Setelah puas menangis aku menghubungi Mas Adji untuk memberitahu keadaan Keisha. Aku juga menelepon ibu agar besok menyusulku ke rumah sakit dan membawakan baju ganti untukku dan Keisha.

"Kok bisa begini sih Win? Selama ini kan Keisha tidak pernah sakit? Selama di rumah ibu juga dia tidak pernah mengeluh apa-apa. Terus operasinya kapan?"

Keisha banyak menghabiskan waktu di rumah ibuku, jadi ibu juga tahu persis kondisi kesehatan Keisha.

"Aku juga nggak tahu Bu. Tadi dokter bilang seperti itu. Harus dioperasi segera agar infeksinya tidak menjalar. Nanti dokter akan memberi tahu waktunya." Kututup teleponku.

Pagi harinya....

Ibu sudah tiba di rumah sakit. Dia membawakan yang aku minta, baju ganti untukku dan juga Keisha. Tidak lupa ibu juga membawakan sarapan untukku.

"Kasihan cucuku," ucap ibu dengan wajah sendu. Dipandanginya Keisha yang masih terlelap.

"Win ... Kamu tidak perlu memikirkan biaya rumah sakit Keisha. Ibu dan bapak punya simpanan. Kamu bisa menggunakannya."

Kata-kata ibu membuatku semakin pilu. Selama menikah, tidak pernah sekalipun aku kekurangan uang. Dan sekarang ibu merelakan tabungannya dan bapak untuk biayai rumah sakit Keisha. Tidak, aku tidak bisa menerimanya.

Itu uang orang tuaku. Mereka sudah bersusah payah mengumpulkannya, itu simpanan untuk hari tua mereka.

"Aku masih ada sedikit tabungan Bu. Ibu tidak perlu memikirkan itu."

"Win ... Ibu tahu kamu sedang kesulitan uang. Biaya operasi itu tidak sedikit. Simpan saja tabunganmu untuk kebutuhanmu yang lain."

"Tidak Bu, Itu uang Ibu dan bapak," jawabku tegas.

Aku memang keras kepala, tapi sungguh aku tidak ingin orang tuaku menguras tabungan untuk biaya rumah sakit Keisha. Aku sudah banyak merepotkan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!