Bab 7

Selesai mengantarkan Keisha, hatiku dilanda kegalauan. Kalau aku pulang ke rumah itu artinya aku hanya akan berdua dengan Mas Adji. Dia pasti akan mencari-cari perhatianku dan membuatku harus selalu menemaninya. Aku sangat hafal betapa manjanya dia ketika sedang sakit.

Akhirnya aku mengendarai sepeda motorku tak tentu arah, kemana saja asal bukan ke rumah. Tanpa sadar aku berhenti di depan kios penjual buah-buahan. Aku langsung membeli banyak sekali buah.

Mas Adji kan harus banyak makan buah, pikirku.

Bahkan ketika aku sedang marah sekalipun, dia tetap ada dalam pikiranku. Alam bawah sadarku seperti selalu mengingatkan aku tentang dia.

Setelah bosan berputar-putar sendirian, aku memutuskan untuk kembali ke sekolahan Keisha. Aku akan menunggu Keisha di sekolah sampai jam sekolahnya berakhir.

Sambil menunggu, aku berkirim pesan dengan sahabatku Likha. Dia mengingatkan aku jika arisan rutin diadakan di rumahnya nanti malam. Kami ibu-ibu muda di desaku memang mengadakan arisan rutin sebulan sekali. Ini bukan sekedar arisan, tapi juga ajang pamer.

Kebetulan aku dan Likha berteman sejak kecil dan juga teman bekerja sewaktu aku menjadi SPG. Jadi aku paling dekat dengan Likha diantara ibu-ibu yang lain .

Senyum ini mengembang setelah membaca pesan dari Likha. Memang ini yang aku butuhkan, berkumpul bersama teman-teman dan mengobrol. Mungkin itu bisa membuat pikiranku lebih fresh.

"Yuk Ma, kita pulang," ucap Keisha.

Tanpa aku sadari dia sudah berdiri di hadapanku. Aku mengangguk semangat. Aku seperti mendapatkan angin segar setelah beberapa hari ini penat memikirkan kondisi rumah tanggaku.

Malam harinya...

Aku sudah dandan dan bersiap untuk pergi arisan. Tentu saja aku sudah menyiapkan makan malam untuk mas Adji lebih dahulu.

"Sudah rapi Win, mau kemana?" Mas Adji mengamati penampilanku.

"Aku mau arisan di rumah Likha."

"Keisha?"

"Dia nggak mau ikut, milih diantar ke rumah ibu. Jadi sekarang ada sama ibu."

"Harus datang ya Win?" tanya Mas Adji memelas.

"Aku kan lagi sakit. Masa kamu mau ninggalin aku sendirian di rumah?" Mas Adji menatapku dengan tatapan memohon.

"Memangnya kalau aku yang sakit kamu mau nungguin aku mas?" Aku meng-copy jawaban Keisha tadi pagi.

"Aku kan harus kerja, nggak mungkin nungguin kamu di rumah kan?"

"Aku tahu. Tapi setelah pulang kerja kamu dimana?"

Mas Adji tidak bisa menjawab.

"Apa perlu aku tanyakan lagi kamu dimana saat aku melahirkan Keisha?

"Win ... Tidak usah bahas itu lagi. Aku memang salah." Mas Adji tidak pernah bisa menang jika aku sudah mulai membahas masalah ini.

Rasa kesalku kembali meluap setiap kali aku teringat malam menyakitkan itu. Malam dimana aku melahirkan Keisha tapi harus aku lalui sendirian karena Mas Adji entah dimana dan ponselnya tidak bisa di hubungi.

Waktu itu, tengah malam aku merasakan perutku sakit luar biasa. Berulang kali aku menghubungi Mas Adji tapi tidak bisa. Nomor teman-temannya juga tidak bisa aku hubungi, seperti mereka sudah sepakat untuk mematikan handphone mereka. Rasa sakit itu kadang datang kadang pergi jadi aku masih bisa menahannya.

Aku paksakan untuk mengendarai sepeda motorku sampai rumah sakit. Ketika rasa sakit itu datang, aku menghentikan motorku dan menepi. Setelah rasa sakit itu berkurang aku lanjutkan perjalananku menuju rumah sakit. Seperti itu berulang-ulang.

Aku tidak berani meminta tolong kepada orang tuaku atau tetanggaku karena takut mereka akan menanyakan keberadaan suamiku. Memangnya aku harus menjawab bagaimana jika mereka menanyakan dimana suamiku tengah malam begini?

Tidak mungkin aku menjawab jika suamiku sedang berjudi atau mungkin mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Tidak mungkin juga aku berbohong dia masih lembur, karena ini sudah tengah malam.

Jadi aku diam dan hadapi semuanya sendiri. Aku tutupi kebiasaan buruk suamiku dari orang lain termasuk orang tuaku. Dan sekarang aku baru sadar itu adalah sebuah kesalahan.

Sampai di rumah sakit aku sudah pembukaan tujuh. Beruntung dokter dan para perawat bertindak cepat untuk membantu persalinanku. Tak lama kemudian, aku mendengar suara tangis bayi, bayiku sendiri.

Semua rasa sakit yang sebelumnya ku rasakan seolah lenyap begitu aku melihat bayiku, bayi mungil yang meringkuk di dadaku. Aku takjub, seperti tidak percaya bayi mungil ini keluar dari perutku.

Air mataku mengalir deras waktu itu. Bukan karena rasa haru dan takjub yang sedang aku rasakan. Melainkan dari rasa sakit lain yang muncul setelah aku sadar aku telah melalui semua ini sendirian. Tidak ada suamiku di sampingku.

Jam tiga pagi barulah Mas Adji meneleponku. Dia menanyakan keberadaanku. Mungkin dia baru saja pulang dan tidak menemukan aku di rumah, karena itu dia mencariku.

Tidak sampai tiga puluh menit dia sudah berdiri di depan pintu kamar aku di rawat. Aroma alkohol menyeruak begitu dia melangkahkan kakinya memasuki kamar. Sehingga aku menyuruhnya keluar dan cukup berdiri di depan pintu saja. Dan mungkin karena rasa bersalahnya, dia pun mengikuti perintahku.

Aku langsung menggendong Keisha karena aku tidak ingin Mas Adji menyentuhnya. Layaknya singa betina melindungi anaknya, aku menggendong Keisha dengan sangat erat. Aku seperti sedang melindungi anakku dari papanya sendiri. Jangankan untuk menyentuh, aku bahkan tidak mengijinkan Mas Adji melihat wajah putrinya.

Mas Adji terus memohon agar diijinkan untuk mendekat dan melihat wajah Keisha. Tetapi aku katakan padanya jika aku tidak akan membiarkan dia mendekati bayiku sampai aroma alkohol dari tubuhnya hilang sepenuhnya. Aku tidak mau, aroma yang Keisha hirup pertama kali dari papanya adalah aroma alkohol.

Mas Adji bersimpuh di depan pintu kamar rawatku. Dia menangis dan memohon maaf atas apa yang sudah dia lakukan. Dia juga berjanji akan meninggalkan kebiasaan buruknya demi putri kami. Tapi aku ragu dia mengatakan itu karena dia merasa bersalah atau karena pengaruh alkohol di tubuhnya. Yang jelas dia berjanji akan berubah.

Tetapi itu hanyalah janji belaka. Belum genap satu bulan, dia sudah kembali ke kebiasaan buruknya. Karena itu pula sampai sekarang aku tidak ingin mempunyai anak lagi.

Aku simpan rahasia ini rapat-rapat sehingga Mas Adji tetap terlihat tanpa cela di hadapan keluargaku, keluarganya dan di lingkungan tempat tinggal kami berdua. Sekarang kalau aku pikir lagi, buat apa waktu itu aku mempertaruhkan nyawaku dan nyawa bayi dalam perutku demi nama baik suamiku? Bodoh bukan?

"Aku sudah menyiapkan makan malammu. Obat dan buah-buahan sudah aku siapkan semuanya di meja makan," ucapku setelah aku kembali tersadar.

Aku tidak ingin menatap wajah Mas Adji karena itu membuatku semakin membencinya. Setelah itu aku melangkahkan kakiku hendak pergi.

"Pulangnya jangan malam-malam ya Win, siapa tahu nanti aku membutuhkan kamu."

Aku menghentikan langkahku mendengar kalimat Mas Adji.

"Aku sering sekali membutuhkan kmu Mas, tapi kamu tidak pernah ada untukku," jawabku dingin.

Bergegas aku meninggalkan Mas Adji agar tidak semakin teringat kejadian menyakitkan lain yang aku lalui sendirian.

Terpopuler

Comments

wuland

wuland

suami durhaka kamu Dji...

2023-01-26

0

Nicky Nick

Nicky Nick

kapok luh ji...

2022-12-26

0

Tri Soen

Tri Soen

Skak mat buat Adji...

2022-11-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!