Bab 16

Adji POV

Aku sampai tidak bisa mengingat sudah berapa lama aku sakit. Rasanya seperti sudah berbulan-bulan, lama sekali. Aku masih tidak mengerti kenapa penyakitku tidak juga sembuh padahal segala obat sudah aku minum.

Dari luar terlihat baik-baik saja tapi setiap kali telapak kakiku menginjak lantai rasanya seperti menginjak ratusan duri yang sangat tajam, sakit sekali. Aku sampai tidak bisa berjalan karena tidak kuat menahan rasa sakitnya.

Aku mulai berpikir jika ini adalah karma atas perbuatanku dibelakang Winda.

Rasanya aku sudah mulai putus asa menghadapi penyakit ini. Tetapi Mas Arya terus memberikan semangat jika aku pasti sembuh. Dia begitu perhatian padaku. Hanya dia yang masih memperhatikan aku. Aku tidak boleh mengecewakannya. Aku tidak boleh menyerah. Lagipula aku juga tidak ingin merepotkan Winda selamanya.

Meskipun Winda selalu merawat dan melayaniku, tapi aku tahu dia melakukannya tidak setulus hatinya. Dia masih dingin padaku, tapi setidaknya sudah lebih banyak bicara daripada sebelumnya. Aku beranikan untuk bertanya apakah dia masih marah padaku, dan tentu saja jawabannya "iya".

Aku heran, kenapa perempuan betah sekali marah. Jika aku yang marah, lalu dia gelendotan di lenganku saja sudah hilang marahku. Tapi ini kenapa sampai dua bulan atau lebih dia masih marah?

Tetapi rupanya, pertanyaanku mengingatkan Winda atas sikapku padanya selama ini. Dia kembali mengungkit kesalahan-kesalahanku. Tapi kali ini dia sampai berteriak dan menangis histeris.

Dia luapkan semua isi hatinya dan barulah aku sadar, aku sudah keterlaluan selama ini. Aku sudah sangat menyakiti hatinya, aku sudah menyia-nyiakan dia.

Ya Tuhan ... Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya? Selama ini dia diam karena sudah muak denganku. Dia sudah berusaha bertahan menghadapi aku tapi aku justru membuat kesalahan fatal.

Suatu malam aku mendengar seseorang mengetuk pintu. Aku berteriak dari dalam kamarku menyuruh orang itu masuk karena aku tidak bisa ke depan untuk membukakan pintu dan Winda juga sedang tidak di rumah. Aku pikir itu pasti tetanggaku ada perlu dengan Winda, atau mungkin ibu mertuaku.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Eva sudah berdiri di hadapanku. Rupanya dialah orang yang tadi mengetuk pintu. Aku sampai melotot tidak percaya melihat dia di depan mataku, apalagi melihat pakainnya. Berdesir hati ini melihatnya. Tidak bisa dipungkiri, Eva terlihat sangat seksi. Pikiranku pun melayang entah kemana.

Baru saja aku menyesali perbuatanku pada Winda tapi begitu melihat Eva aku seakan lupa semuanya. Aku seperti tidak bisa menguasai diriku di depan Eva. Aku tidak menginginkannya tapi aku juga tidak bisa menolaknya.

Aku segera menanyakan keperluannya begitu kesadaranku kembali. Jujur dua gundukan bulat Eva yang hampir terlihat itu terus menyita perhatianku dan membuatku goyah. Apalagi sejak pertengkaran malam itu sebelum aku sakit, Winda menolak berhubungan badan denganku.

Tanpa ragu-ragu Eva langsung duduk di tepi tempat tidurku, bahkan tanpa aku persilahkan. Dia mengatakan maksud kedatangannya adalah untuk menjengukku. Aku pun bertanya-tanya dalam hatiku, apa perlu dia menjengukku?

Aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Hanya sebatas "transaksi" waktu itu. Tidak ada perasaan apapun. Bukankah seharusnya selesai sampai di situ?

Kami berbincang sebentar. Aku berusaha keras mengingatkan diriku agar tidak tergoda. Hingga aku mendengar suara sepeda motor Winda dan aku yakin nasibku berada diujung tanduk.

Benar saja, Winda langsung masuk ke kamar. Dia terlihat terkejut dan wajahnya memerah. Aku tahu dia sedang menahan amarah. Untuk beberapa saat Winda hanya diam mematung, melihat aku dan Eva secara bergantian.

"Apa aku mengganggu?" begitu kalimat yang pertama keluar dari bibirnya. Aku heran mendengarnya. Ini tidak seperti Winda yang ku kenal.

Winda yang dulu akan langsung menunjukkan taringnya begitu melihat aku bersama wanita yang dia curigai punya maksud tertentu kepadaku. Tapi ini, dia terlihat berbeda. Aku tahu dia sedang marah, tapi dia terus memasang wajah ramah. Ini terasa menyeramkan bagiku.

Dan Eva, kenapa dia tidak segera pamit dan pergi saja dari sini? Kenapa dia malah meladeni pertanyaan-pertanyaan Winda. Aku sudah berusaha mengalihkan perhatian Winda tapi dia mengacuhkannya. Aku semakin khawatir Eva akan terjebak dalam pertanyaan yang diajukan Winda dan membuatku tidak bisa mengelak lagi.

Akhirnya Eva pergi, lega rasanya. Tapi masalahku belum selesai. Aku harus menghadapi kemarahan Winda sekarang.

Tanpa dia bertanya aku langsung menjelaskan jika aku tidak tahu kenapa Eva bisa sampai kesini. Aku jelaskan juga jika dia hanya ingin menjengukku. Dan tentu saja Winda tidak percaya.

Dia jadi uring-uringan tidak jelas, persis seperti dulu ketika dia cemburu. Entah kenapa kemarahan Winda kali ini membuatku senang. Aku yakin dia sedang cemburu. Itu artinya masih ada cinta untukku.

Aku diam dan terus memandanginya. Aku biarkan dia marah-marah sesuka hatinya. Aku justru menikmatinya, inilah Windaku.

...****************...

Akhir-akhir ini aku melihat Winda sering murung. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya tapi jelas dia terlihat punya beban. Dia sekarang lebih banyak diam, tidak pernah menceritakan masalahnya padaku. Bicara cuma seperlunya saja denganku.

Aku mulai berpikir jika mungkin Winda sedang memikirkan aku. Mungkin akulah beban yang sedang dia pikirkan itu. Memangnya siapa lagi?

Suatu hari rekan kerjaku datang ke rumah. Dia memberitahuku jika perusahaan sudah secara resmi memberhentikan aku. Aku tidak terkejut. Aku tahu aturannya. Sudah beberapa bulan aku tidak aktif di perusahaan jadi aku tahu ini pasti terjadi.

Temanku juga memberitahuku jika mobil yang aku pakai selama ini akan ditarik kembali oleh perusahaan. Kalau memang seperti itu aturannya aku bisa apa?

Setelah kepergian temanku, Winda masuk ke kamar untuk memberikan obatku.

"Itu obat terkahir kamu Mas, kita sudah tidak punya uang untuk membelinya. Kita bahkan tidak punya uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari," Begitu ujarnya.

Aku memandang obat itu nanar. Obat mahal yang katanya bisa menyembuhkan aku tapi ternyata tidak ada hasilnya.

Oh ... Aku bahkan tidak pernah menanyakan kondisi keuangan kami pada Winda. Apalagi yang sudah aku lewatkan? Apa aku terlalu egois mementingkan kesembuhanku sampai tidak memikirkan keuangan kami?

Sesak sekali rasanya dadaku. Aku benar-benar merasa tidak berguna. Dimana tanggung jawabku sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga? Ternyata memang aku sudah menjadi beban bagi Winda.

Kuserahkan amplop berisi uang pesangon dari perusahaan ke tangan Winda. Tidak aku kurangi sedikitpun. Winda lebih berhak menggunakannya.

Dengan berat aku ceritakan dari mana uang itu berasal dan juga masalah mobil yang akan ditarik kembali oleh perusahaan.

Untuk kesekian kalinya aku meminta maaf pada Winda, tapi kali ini terasa berbeda. Rasanya berat sekali untuk meminta maaf ketika kamu sadar kesalahanmu mungkin tidak termaafkan. Aku sudah menyakiti dia, mengkhianati cintanya, dan sekarang aku hanya bisa merepotkan dia.

Jika saja aku mengikuti permintaan Winda untuk meninggalkan minum-minuman memabukkan itu, jika saja aku tidak tergoda oleh bujukan teman-temanku tentu semua ini tidak akan terjadi. Sesal ini tidak ada gunanya.

Winda meninggalkan aku tanpa berkata-kata. Aku tahu dia sangat terpukul. Dan aku tidak bisa mengejarnya.

Akhirnya aku hanya bisa menangis menyesali keadaanku. Apa hatiku sudah sebobrok itu sampai aku tidak peka terhadap apa yang sedang Winda hadapi?

Terpopuler

Comments

Tri Soen

Tri Soen

Menyesal pun udah gak ada guna nya Adji...

2022-11-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!