Bab 12

Tidak terasa sudah akhir bulan lagi. Dulu akhir bulan sangat aku nantikan karena ini waktunya Mas Adji gajian. Tapi sekarang, akhir bulan terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Tagihan listrik, air, tagihan internet, biaya sekolah Keisha semuanya muncul bersamaan.

Uangku tinggal dua ratus ribu. Bagaimana aku akan belanja kebutuhan untuk sebulan ke depan? Bagaimana pula dengan biaya pengobatan Mas Adji?

Mas Arya sudah jarang datang mengunjungi kami. Dulu dia rutin menjenguk Mas Adji, bisa seminggu dua kali. Tapi sekarang, sebulan sekali saja sudah sukur-sukur. Aku tidak menyalahkannya karena dia memang sudah banyak membantu kami.

Sementara ibu mertuaku hanya datang sekali itu dan tidak pernah muncul lagi. Adik perempuan Mas Adji pun sama, hanya datang menjenguk sekali. Setelah itu dia hilang bak di telan bumi.

Padahal dulu ketika Mas Adji masih berjaya, dia sering sekali datang untuk meminta uang. Entah itu uang untuk perawatan wajah, beli susu, beli popok bayi, dan lainnya. Pokoknya selalu ada alasan untuk membeli sesuatu yang seharusnya dibelikan oleh suaminya tapi dia memintanya kepada suamiku. Aku tidak pernah protes akan hal itu.

Sekarang, aku pikir keluarga Mas Adji sudah tidak ada yang peduli dengan kami. Mereka seolah lepas tangan atas kondisi Mas Adji dan melimpahkan tanggung jawab sepenuhnya kepadaku. Bagaimana mereka bisa setega itu kepada keluarga mereka sendiri?

Beruntung aku tinggal di dekat orang tuaku. Mereka hampir setiap hari mengunjungiku, entah sekedar menanyakan kondisi Mas Adji, ataupun menjemput Keisha dan mengajaknya pulang ke rumah mereka.

Tak jarang ibuku membawakan beras dan lauk pauk untuk kami bertiga dan itu bisa menghemat pengeluaranku.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Akhir-akhir ini aku sering melamun memikirkan bagaimana aku akan menyambung hidup. Aku ingin sekali berkerja. Keisha bisa kutitipkan kepada ibu, tapi siapa yang akan merawat Mas Adji? Aku tidak tega jika ibuku juga yang harus merawatnya.

Suara ketukan pintu kembali terdengar untuk yang kedua kalinya. Aku langkahkan kakiku untuk melihat siapa yang datang.

Rupanya salah seorang teman Mas Adji datang untuk menjenguknya. Aku persilahkan teman Mas Adji itu untuk langsung masuk ke kamar Mas Adji. Aku tidak kuat jika harus memindahkan tubuh Mas Adji ke kursi roda.

Tak berapa lama teman Mas Adji itu sudah berpamitan. Aku heran kenapa terburu-buru sekali. Segera aku masuk ke kamar Mas Adji untuk menanyakannya sekalian mengantarkan obat.

"Kenapa temanmu terburu-buru sekali Mas?" tanyaku sambil menyodorkan sebutir obat ke tangan Mas Adji. Mas Adji tidak segera menjawab pertanyaanku. Dia meminum obat itu terlebih dahulu.

"Itu obat terkahir kamu Mas, kita sudah tidak punya uang untuk membelinya. Kita bahkan tidak punya uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari," keluhku.

Mas Adji tidak membalas keluhanku. Dia justru mengeluarkan sebuah amplop coklat berlabel nama sebuah Bank.

"Tadi temanku datang hanya untuk mengantarkan itu," ucap Mas Adji setelah amplop itu berpindah ke tanganku.

"Apa ini Mas?"

"Bukalah, isinya uang. Aku diberhentikan karena sudah tiga bulan tidak aktif di perusahaan. Itu adalah pesangon sekaligus gaji terakhirku," ucap Mas Adji sendu.

"Gunakan uang itu baik-baik karena aku tidak akan bisa bekerja lagi. Mungkin setelah kakiku sembuh aku bisa mencari pekerjaan lain."

Aku menatap nanar amplop itu. Aku lega karena akhirnya kami punya uang untuk kebutuhan sehari-hari kami, tapi juga bingung karena ini berarti Mas Adji sudah kehilangan pekerjaannya.

"Maafkan aku Win ... Aku hanya merepotkan kamu. Aku sudah tidak bisa memberimu apa-apa," ucap Mas Adji terbata. Aku tahu saat ini dia sedang menahan air matanya.

Aku tidak bisa menjawab Mas Adji karena tenggorokanku sendiri rasanya tercekat. Aku juga sedang berusaha menahan air mataku agar tidak terjatuh.

"Satu hal lagi Win ... Kita tidak akan punya mobil lagi karena besok mobil akan diambil kembali oleh perusahaan."

"Bukankah kamu bilang mobil itu diberikan oleh perusahaan untukmu? Mobil itu menjadi hak milikmu?" tanyaku tidak percaya.

"Itu kalau aku sudah genap lima tahun menjadi Branch Manager Win. Dan aku belum genap lima tahun."

Tiba-tiba dada ini terasa sesak. Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin inilah yang sedang kami rasakan.

Kutinggalkan Mas Adji tanpa berkata-kata, karena aku memang tidak tahu harus berkata apa.

...****************...

Pagi tadi, salah seorang teman lama Mas Adji datang menjenguk. Dia menceritakan pengalamannya sakit keras dan berhasil sembuh setelah menjalani terapi. Dia menyarankan Mas Adji untuk mencobanya. Mas Adji kelihatannya tertarik dan mulai membicarakannya denganku. Dia meminta persetujuanku untuk menjalani terapi itu.

Segera aku menghubungi teman Mas Adji itu untuk menanyakan secara lebih rinci terapi yang dia ceritakan. Setelah mendengar penjelasannya, aku kembali berdiskusi dengan Mas Adji. Dia tetap ingin menjalankan terapi itu.

"Biayanya mahal Mas, sekali pertemuan lima ratus ribu. Bulan pertama, kamu harus terapi dua kali seminggu. Untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya terapi, belum lagi obat-obatanmu. Uang pesangonmu mungkin tidak akan cukup untuk dua bulan," jelasku panjang.

Dulu lima ratus ribu jumlah yang bisa dibilang kecil bagi Mas Adji. Mungkin seharga satu botol minuman kerasnya, dan dia bisa minum dua botol lebih semalam. Tapi sekarang itu terasa sangat banyak.

"Aku terserah padamu Win, aku serahkan keputusan di tanganmu. Aku tahu ini sulit untukmu, untuk kita. Aku hanya ingin segera sembuh. Sudah terlalu lama aku menjadi beban untukmu."

Kata-kata Mas Adji ada benarnya. Jika Mas Adji sembuh dan bisa bekerja lagi, tentu beban ini akan berkurang. Aku juga bisa segera bercerai darinya.

Kata "cerai" kembali terlintas di pikiranku setelah cukup lama aku melupakannya.

"Baiklah Mas, kita coba satu bulan. Kalau tidak ada kemajuan, kita hentikan."

Aku tidak ingin dibilang egois karena tidak mengijinkan Mas Adji menggunakan uang pesangonnya untuk berobat.

"Terima kasih Win." Mas Adji tersenyum tulus.

Setelah selesai berdiskusi, kami berdua langsung berangkat menggunakan taksi online menuju tempat terapi yang disebutkan oleh teman Mas Adji. Seperti biasanya, Keisha aku titipkan pada ibuku.

Aku dibuat terpana melihat begitu sampai di tempat terapi yang dimaksud. Ini bukanlah sekedar terapi oleh dukun abal-abal seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Terapi ini menggunakan metode modern. Dilakukan oleh terapis yang sudah bersertifikat dan menggunakan alat-alat canggih.

"Pantas mahal," gumamku.

Aku menemani Mas Adji sampai terapi selesai. Ini baru pertama kalinya, jadi wajar jika belum terlihat perubahan pada kondisi kakinya. Aku melihat Mas Adji sangat semangat menjalani terapi, jadi aku pun harus ikut semangat demi kesembuhannya.

Satu yang aku heran, kenapa aku masih mau mendampinginya sejauh ini. Apakah aku ingin dia sembuh agar aku bisa segera bercerai darinya? Atau sebenarnya aku masih peduli padanya?

Terpopuler

Comments

Fitri M Lubis

Fitri M Lubis

Itu la sebagai istri,pergi pun blum tentu tdk ada cinta,hanya butuh waktu memperbaiki hati yang telah terluka

2023-04-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!