Bab 17

Adji POV

Akhir-akhir ini aku merasa kakiku sedikit lebih baik. Walaupun masih terasa sakit untuk menapak, tapi rasanya tidak sesakit sebelumnya. Mungkin ini karena terapi yang aku jalani sebulan ini.

Setiap malam aku berlatih berjalan menggunakan alat bantu. Dan pagi ini aku akan memberi kejutan pada dua perempuan tercintaku bahwa aku sudah bisa berjalan.

Perlahan aku melangkahkan kaki keluar dari kamar, masih dibantu alat penyangga di kiri dan kananku.

Aku bisa mendengar Winda sedang berbicara dengan keisha di ruang makan. Aku berjalan mendekati mereka yang belum sadar akan kehadiranku.

"Tidak usah Kei ... Papa makan di sini saja," ucapku memecah pembicaraan mereka berdua.

Mereka berdua langsung menoleh ke arahku secara bersamaan. Keisha sangat senang melihatku bisa berjalan.

Aku terharu melihatnya. Gadis kecilku yang dulu sering aku abaikan ini sekarang menjadi satu-satunya temanku. Dialah yang selalu menemaniku melewati hari-hariku.

Dalam hatiku aku berjanji akan memberikan duniaku hanya untuknya jika aku sembuh nanti. Akan kubayar semua hutang perhatian dan kasih sayang yang selama ini tidak pernah aku berikan untuknya. Akan kubayar berkali-kali lipat semuanya.

Aku pernah mendengar ungkapan "cinta pertama seorang perempuan adalah ayahnya", maka aku akan menjadi cinta pertama putriku.

Mataku mulai berkaca-kaca hanya dengan melihat betapa bahagianya Keisha melihatku bisa berjalan. Beberapa kali dia melompat kegirangan seperti baru saja mendapat hadiah yang sangat disukainya.

Kemudian pandanganku beralih kepada Winda yang ternyata sejak tadi memperhatikan aku.

"Win ... Aku sudah bisa jalan Win ... " ucapku kepada Winda. Aku tersenyum tetapi mataku juga berkaca-kaca di saat yang bersamaan.

Ingin sekali aku menghampiri dan memeluknya, mengatakan betapa aku berterima kasih padanya. Tapi aku takut dia menolakku.

Winda balas tersenyum kepadaku, senyum tulus yang sudah lama sekali tidak aku lihat. Untuk sesaat mata kami bertemu.

Winda memang tersenyum, tapi matanya tidak bisa berbohong. Sorot matanya memperlihatkan penderitaan dan luka. Dan sekali lagi aku sadar, akulah penyebabnya. Tidak lama mata kami bertemu, Winda segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Aku segera mengajak mereka berdua makan untuk menghilangkan suasana canggung diantara kami. Ekspresi Keisha berubah drastis begitu melihat makanan di atas meja.

"Ma ... Kapan-kapan kita makan ayam goreng. Sudah lama Keisha nggak makan ayam." Begitu kalimat yang keluar dari bibir Keisha. Aku tertegun mendengarnya.

Apa aku tidak salah dengar? Aku melirik sekilas ke arah Winda. Belum sempat aku melihat wajahnya, dia sudah berdiri dan berjalan menuju dapur.

"Makan ini dulu yuk, ini juga enak kok," ucapku pada Keisha. Dia pun menuruti perkataanku dan mulai makan.

Mataku terus memperhatikan Winda sembari makan. Walaupun dari tempatku duduk sekarang aku hanya bisa melihat punggungnya, tapi aku melihat dengan jelas tubuh Winda bergetar. Winda sedang menangis.

"Ma ... Susunya udah belum?" tanya Keisha yang kemudian membuatku mengalihkan perhatianku kepada Keisha.

Setelah beberapa saat Winda datang dan meletakkan secangkir teh di depan Keisha. Dia bilang dia lupa belum membeli susu untuknya yang diikuti protes oleh Keisha karena dari kemarin Winda belum juga membelikan dia susu.

Aku terus memperhatikan Winda dari ekor mataku. Aku tahu dia berbohong. Tidak mungkin Winda lupa membeli susu untuk Keisha.

Jantungku berdetak kencang sekali. Apa benar yang aku pikirkan? Apa Winda tidak membeli susu karena tidak punya uang?

Sudah berapa lama aku tidak makan di meja makan dan sudah berapa banyak hal yang aku lewatkan? Aku merasa seperti bukan siapa-siapa di rumah ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumahku sendiri.

Winda sedang mengantarkan Keisha sekolah, sementara aku termenung sendirian di ruang tamu. Bagaimana nasib kami selanjutnya jika kakiku tidak kunjung sembuh? Kenapa Winda tidak cerita kepadaku jika kondisi keuangan kami sudah morat-marit seperti ini? Apa dia sudah benar-benar tidak menganggap aku sebagai suaminya?

Aku mendengar suara pintu terbuka. Itu pasti Winda pulang dari mengantar Keisha. Rupanya dia masuk lewat pintu samping jadi dia tidak tahu aku disini. Segera aku berdiri untuk menemuinya. Aku ingin bicara dengannya.

Sampai di dapur aku menemukan Winda sedang menangis sesenggukan di lantai. Hatiku teriris melihatnya. Aku terus memperhatikan dia dari tempatku berdiri dan tidak terasa aku pun ikut meneteskan air mata. Kenapa kamu pikul beban ini sendirian? Kenapa kamu tidak cerita kepadaku? Bukankah semua ini karena aku?

Untuk sesaat aku hanya diam dan tidak berani mendekat. Aku sendiri perlu menenangkan perasaanku agar tidak terlihat menyedihkan di depan Winda. Setelah hatiku tenang aku berjalan mendekatinya.

"Ada apa Win?" tanyaku menghentikan tangisnya.

Dia mendongak ke arahku sebentar kemudian mengusap air matanya. Lalu dia berdiri dan berjalan menuju kursi. Dia tahu aku belum bisa duduk dilantai seperti dia sekarang.

Setelah kami berdua sama-sama duduk di kursi, dia mulai menceritakan semuanya, masalah keuangan yang sedang kami hadapi. Dia terlihat pasrah juga tertekan.

"Kita jual saja motorku Win. Aku tidak pernah menggunakannya. Masih ada motormu untuk kamu pergi kemana-mana." Hanya itu solusi yang ada di kepalaku.

Tetapi rupanya menjual motor hanya cukup untuk membayar biaya sekolah Keisha dan belanja kebutuhan sehari-hari. Winda masih memikirkan bagaimana biaya pengobatanku selanjutnya.

Aku kembali ditampar oleh rasa bersalah. Setelah semua yang aku lakukan padanya, Winda masih memikirkan kesembuhanku, bahkan disaat kondisi kami sesulit ini. Dia benar-benar malaikat yang sudah aku sia-siakan.

Dengan berat hati aku katakan padanya untuk menghentikan terapiku. Bagiku sekarang Keisha lah yang paling penting. Jangan sampai masa depannya terenggut karena aku.

Winda menatapku penuh keraguan. Memang sayang jika terapiku dihentikan mengingat kemajuan yang aku alami. Tapi aku tidak akan mengorbankan Keisha demi diriku sendiri.

"Aku akan kembali bekerja Mas."

Aku sedikit terkejut mendengar kalimat Winda. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

"Kenapa kamu diam Mas? Apa kamu keberatan?"

Bukannya aku keberatan. Dulu aku yang meminta dia untuk berhenti bekerja karena aku pikir aku bisa memenuhi semua kebutuhannya. Tapi sekarang aku harus menelan ludah karena aku tidak bisa apa-apa.

Akhirnya keputusan kuserahkan pada Winda. Aku tidak bisa menghalanginya niatnya untuk bekerja, toh kami memang membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup.

Aku meninggalkan Winda sendirian dan kembali ke kamarku. Aku tidak berani menatap wajahnya karena rasa malu yang aku rasakan.

Akhirnya tangisku pecah dalam kesendirian. Aku merasa menjadi laki-laki paling tidak berguna di dunia.

Harga diriku sebagai laki-laki hancur melihat istriku menangis karena kekurangan. Aku yang dulu selalu merasa bangga karena bisa memenuhi semua kebutuhannya sekarang hanya bisa bersembunyi dan menangis meratapi nasib.

Dimana keluargaku? Dimana saudara-saudaraku? Hanya ada Winda yang menemani aku di saat aku tidak bisa apa-apa.

Hari ini harusnya menjadi hari yang bahagia karena aku bisa berjalan lagi. Tapi kenyataannya sebaliknya.

Terpopuler

Comments

Susana Dewi

Susana Dewi

ku menangis...😭😭

2023-04-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!