Bab 13

Satu bulan kemudian...

Aku sedang memasak sarapan. Tetapi kegiatan memasak kali ini terasa sangat berat, karena sejak tadi pelupuk mata ini dipenuhi air yang menggenang. Sedih rasanya aku tidak bisa menghidangkan apa-apa. Aku hanya punya satu liter beras dan tempe pemberian ibuku kemarin. Sedang uang pesangon Mas Adji sudah habis untuk biaya terapi dan membeli obat-obatan.

Meskipun orang tuaku tidak kaya, tetapi mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku. Ayahku yang seorang satpam pabrik bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kami. Dan ibuku bekerja sampingan menjadi tukang jahit membuatku tidak pernah kekurangan.

Setelah menikah dengan Mas Adji kehidupanku semakin baik. Mas Adji selalu memberikan yang terbaik untukku. Sungguh aku tidak pernah merasakan situasi sesulit ini sebelumnya. Bukannya aku tidak bisa hidup susah, tapi aku tidak tega jika Keisha yang harus menanggung akibatnya. Aku tidak rela jika dia harus hidup serba kekurangan.

Aku sudah selesai masak. Hanya ada nasi putih dan tempe goreng di atas meja. Aku berteriak memanggil Keisha untuk sarapan, sementara sarapan untuk Mas Adji aku siapkan terpisah di atas nampan. Aku tinggal mengantarkannya ke kamarnya.

Tak berapa lama Keisha mendekat sudah mengenakan seragam sekolahnya.

"Kamu makan duluan ya sayang... Mama mau antar sarapan papa ke kamar."

"Keisha aja yang antar Ma," ucapnya antusias.

"Bisa?" tanyaku sedikit ragu. Tapi Keisha mengangguk yakin.

"Baiklah." Ku serahkan nampan berisi sarapan untuk Mas Adji ke tangan Keisha.

"Pelan-pelan ya ... " ucapku. Mata kami berdua fokus pada nampan yang kini berada di tangan Keisha.

"Tidak usah Kei ... Papa makan bareng kalian saja," suara Mas Adji membuyarkan fokus kami. Aku dan Keisha sama-sama kaget melihat Mas Adji sudah berdiri di belakang kami.

"Papa bisa jalan?" tanya Keisha tidak percaya. Segera dia serahkan nampan itu kembali ke tanganku.

"Iya Kei ... Papa sudah bisa jalan. Tapi masih harus menggunakan ini." Mas Adji memperlihatkan alat penyangga di kanan kirinya.

"Win ... Aku sudah bisa jalan Win ... " ucap Mas Adji bahagia bercampur haru.

Terlihat sekali di matanya kalau dia sangat bahagia. Aku tersenyum melihat Mas Adji, tapi mata ini kembali berkaca-kaca. Perjuangan dan pengorbananku merawat dia sendirian kini terlihat hasilnya.

Ingin sekali aku berlari memeluknya, berbagi kebahagiaan dan kesedihanku dengannya. Tapi egoku menahanku. Egoku kembali mengingatkanku, jika pria ini telah mengkhianati aku. Aku hanya menatap Mas Adji dan dia balas menatap mataku.

"Yeay ... Papa sudah bisa jalan lagi." Keisha melompat sambil berteriak kegirangan. Sejak Mas Adji sakit, hubungan Keisha dan papanya jadi semakin dekat. Mungkin karena Mas Adji setiap hari di rumah dan mereka jadi sering menghabiskan waktu bersama.

"Kaki Papa sudah nggak sakit untuk menginjak lantai?" Mas Adji menggeleng.

"Besok kalau papa udah bisa jalan nggak pakai tongkat itu, kita jalan-jalan ya Pa?" Keisha menunjuk alat penyangga papanya.

"Tentu saja Kei, besok kita jalan-jalan kalau papa sudah sembuh. Ayo kita makan dulu ..." ajak Mas Adji. Dan kami bertiga pun duduk mengelilingi meja makan.

Wajah Keisha terlihat kecewa begitu melihat hidangan di atas meja.

"Ma ... Kapan-kapan kita makan ayam goreng. Sudah lama Keisha nggak makan ayam."

Hatiku perih sekali mendengarnya. Bahkan untuk membelikan ayam goreng saja aku tidak mampu. Aku terlalu berhemat agar Mas Adji bisa mendapatkan pengobatannya hingga lupa akan Keisha.

"Sebentar ya Kei, Mama lupa belum membuatkan kamu susu." Aku beranjak meninggalkan Keisha dan Mas Adji di meja makan.

Sampai di dapur, aku berdiri menghadap tempat cuci piring, membelakangi mereka berdua. Akhirnya tangisku pecah. Aku sudah tidak bisa menahan air mata ini lebih lama lagi. Sejak tadi aku berusaha menahannya agar tidak terjatuh, akhirnya aku kalah.

Aku menatap kaleng susu milik Keisha. Susu apa yang akan aku buat untuknya jika kaleng itu sudah kosong sejak dua hari yang lalu. Air mataku mengalir semakin deras. Berkali-kali aku seka tetapi terus mengalir begitu saja.

"Ma ... Susunya udah belum?" tanya Keisha dari meja makan.

Buru-buru kuusap air mataku. Aku mengambil nafas dalam-dalam, aku berdehem untuk menetralkan suaraku agar tidak serak seperti habis menangis. Setelah aku merasa baik-baik saja aku kembali menghampiri mereka berdua.

"Kei ... Minum teh manis aja ya. Mama lupa belum beli susu," ucapku sambil meletakkan secangkir teh di depan Keisha.

"Kok dari kemarin lupa terus sih Ma?"

"Mama janji nanti pasti mama beliin," ucapku sambil mencubit hidungnya yang mancung seperti hidungku. Senyum terus tersungging di bibirku walaupun hatiku menangis.

Mas Adji terus mengawasiku dari ekor matanya. Meski aku sudah berusaha bersikap biasa, aku tidak bisa menyembunyikan semuanya darinya.

Aku langsung menuju dapur sepulang dari mengantar Keisha sekolah. Aku hendak mencuci piring bekas sarapan tadi tapi entah kenapa tangan dan kaki ini terasa lemas. Rasanya aku tidak kuat untuk berdiri. Air mataku kembali mengalir deras. Aku duduk bersimpuh di lantai dapur menangisi keadaanku. Beban ini terlalu berat bagiku.

Tadi petugas bagian adminstrasi di sekolahan Keisha menagih uang bulanan. Keisha yang sudah dua bulan menunggak pembayaran. Keisha juga belum membayar biaya kelulusan dan tutup tahun. Ini adalah tahun terakhir Keisha di TK. Itu artinya aku harus mendaftarkan Keisha masuk sekolah dasar. Dan biasanya pasti tidak sedikit.

"Ada apa Win?" Mas Adji sudah berdiri di hadapanku dengan alat penyangganya. Aku mendongak untuk melihat wajahnya. Ku usap air mataku meski aku sedang tidak berusaha menyembunyikan tangisku darinya.

Aku berdiri kemudian duduk di kursi, sementara Mas Adji mengikuti di belakangku dengan pelan. Setelah kami berdua sama-sama duduk, aku menceritakan semuanya kepada Mas Adji. Kondisi keuangan kami morat-marit.

"Kita jual saja motorku Win. Aku tidak pernah menggunakannya. Masih ada motormu untuk kamu pergi kemana-mana."

"Tapi itu hanya cukup untuk biaya sekolah Keisha dan kebutuhan sehari-hari. Bagaimana dengan terapimu?"

"Terapinya kita hentikan dulu tidak apa-apa. Yang penting Keisha harus sekolah. Kita harus memberikan yang terbaik buat anak kita."

Aku menatap Mas Adji gamang. Jika terapi Mas Adji dihentikan, maka Mas Adji tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Padahal kondisi Mas Adji menunjukkan kemajuan. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Keisha tidak melanjutkan sekolah dasar karena keterbatasan biaya.

"Aku akan kembali bekerja Mas."

Mas Adji sedikit terkejut mendengar kata-kataku.

"Dulu kamu tidak mengijinkan aku bekerja karena kamu bisa memenuhi semuanya. Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Kamu sudah bisa berjalan. Jadi aku anggap kamu sudah bisa mengurus dirimu sendiri. Sedangkan Keisha, aku akan menitipkan dia pada ibu.

Tidak ada kata-kata keluar dari bibir Mas Adji.

"Kenapa kamu diam Mas? Apa kamu keberatan?"

"Terserah kamu Win, jika kamu pikir itu yang terbaik maka lakukan saja."

Aku mengangguk.

"Aku akan menemui Likha, siapa tahu dia bisa mencarikan lowongan di agensi."

"Aku akan menghubungi Mas Arya untuk menjualkan sepeda motorku," ucap Mas Adji tanpa menatapku. Dia segera berdiri dan meninggalkan aku sendirian seperti sedang menghindariku. Aku tidak tahu apakah Mas Adji marah karena keinginan untuk bekerja lagi. Tapi aku memang harus bekerja. Kami butuh uang agar hidup kami bisa terus berjalan.

Terpopuler

Comments

Tri Soen

Tri Soen

Othor banyak banget ngiris bawang nya emak nangis nich 😭

2022-11-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!