Bab 9

Kunjungan terakhir ke dokter rupanya tidak membawa perubahan ke kaki Mas Adji. Kondisi kakinya masih sama, bengkak di malam hari dan membaik pagi harinya. Hampir setiap malam aku terbangun untuk mengompres kaki Mas Adji. Karena itulah aku jadi kurang tidur.

Aku tetap dengan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya. Tetapi hari ini aku merasa tidak enak badan, mungkin efek kurang tidur tadi. Jadi aku meminta tolong tetanggaku yang sudah biasa aku mintai tolong beres-beres rumah, dengan begitu aku bisa beristirahat untuk memulihkan badanku.

Aku sudah biasa meminta tolong padanya jadi aku tidak perlu menjelaskan apa saja yang harus dia lakukan. Aku tinggal memberikan upah setelah dia selesai mengerjakan semuanya.

Sementara tetanggaku mulai beres-beres di rumah, aku pergi menjemput Keisha. Dari sekolah Keisha aku langsung ingin pulang. Tapi Likha memintaku untuk datang ke rumahnya jadi aku sempatkan mampir. Aku pikir tidak masalah, selain butuh istirahat mungkin aku juga butuh hiburan dari temanku.

Walaupun Likha adalah teman dekatku, aku tidak pernah membicarakan rumah tanggaku padanya. Saat bersama Likha aku hanya membicarakan pakaian, makanan dan hal-hal kecil lain yang disukai kebanyakan perempuan. Itu sudah cukup menghibur bagiku.

Kadang Likha juga membicarakan pekerjaannya, karena dia masih bekerja sebagai SPG. Jujur, itu membuatku ingin kembali bekerja.

Tepat tengah hari aku pulang dari rumah Likha. Sampai di depan rumah aku melihat sepeda motor mertuaku terparkir. Perasaanku langsung tidak enak. Pasti aku akan menjadi bulan-bulanan mertuaku. Apalagi saat ini ada tetanggaku sedang membersihkan rumah dan aku pergi entah kemana.

Aku menghirup nafas dalam-dalam dan mempersiapkan hatiku sebelum memasuki rumah. Entah apa yang akan aku hadapi di dalam sana.

"Yuk ... Sepertinya ada simbahnya papa di dalam," aku mengajak Keisha turun dari motor.

"Iya Ma, itu sepeda motor simbahnya papa." Keisha menunjuk motor yang terparkir di halaman.

Segera kuajak Keisha masuk. Aku langsung menuju dapur untuk menghindari mertuaku. Aku yakin saat ini dia sedang berada di kamar Mas Adji. Sementara di dapur aku menemukan tetanggaku sedang mengepel lantai.

"Mbak ... mertuaku datang ya?" tanyaku sambil berbisik.

"Iya mbak, tadi datang langsung marah-marah karena mbak Winda nggak ada di rumah," jawabnya juga dengan bisikan.

"Udah dari tadi?"

Tetanggaku mengangguk.

"Sekarang di kamar Mas Adji?" tanyaku lagi.

Tetanggaku kembali menganggukkan kepalanya.

"Ya udah, aku temui mertuaku dulu."

Tetanggaku mengangguk untuk yang ketiga kalinya.

"Kita temui simbahnya papa dulu Kei."

Kugandeng Keisha yang masih mengenakan seragam sekolah menuju kamar Mas Adji. Baru beberapa langkah kami berjalan, pintu kamar Mas Adji terbuka. Mertuaku keluar dari kamar Mas Adji. Belum apa-apa dia sudah memasang wajah yang membuatku waspada.

"Bu ... Kapan datang?" sapaku basa-basi. Aku berjalan mendekat untuk bersalaman dengannya.

"Sudah dari tadi!" jawab mertuaku ketus.

Ku hentikan langkahku dan ku urungkan niat untuk bersalaman dengan mertuaku. Melihat dari sikapnya padaku, aku yakin itu tidak perlu.

"Kamu dari mana saja jam segini baru pulang? Adji kan lagi sakit?!"

"Aku habis jemput Keisha sekolah Bu."

"Jemput sekolah kok sampai jam segini? Keisha pulang sekolah jam berapa? Pasti kamu mampir-mampir dulu! Tega ya kamu ninggalin Adji di rumah sendirian?! Kalau suami sedang sakit itu dirawat, bukannya ditinggal keluyuran!"

Mertuaku tidak bisa sedikit saja berpikiran positif tentang aku.

"Sudah berapa lama Adji sakit? Sampai sekarang nggak ada kemajuan, ternyata begini caramu mengurus suami. Pantas saja Adji nggak sembuh-sembuh!"

"Kei ... Kamu ke kamar duluan ya sayang ... Ganti baju sendiri bisa kan?" ucapku pada Keisha.

Aku tidak ingin Keisha melihat neneknya memarahiku. Keisha pun mengangguk dan segera berlari menuju kamarnya.

"Sebenarnya kerjaan kamu di rumah itu ngapain aja?! Sampai nyuruh orang untuk bersih-bersih rumah segala! Kamu nggak mampu apa nggak mau?!"

Aku tidak tahu apa salahku di masa lalu, hingga Tuhan menghukumku dengan memberikan mertua yang lidahnya setajam silet ini.

"Nggak kasihan Adji sudah kerja keras untuk mencukupi kebutuhan kamu?! Tiap kali ibu telfon dia pasti belum pulang karena lembur, tapi kamunya malah enak-enakan seperti ini!"

Kamu tidak tahu apa-apa tentang anakmu, ibu mertuaku!

"Kamu pasti keenakan karena Adji memanjakan kamu!"

Aku terus diam mendengarkan kalimat demi kalimat keluar dari mulut mertuaku. Aku tidak membantah atau berusaha menjelaskan karena itu tidak akan ada gunanya.

Hanya satu hal yang aku sayangkan, kenapa mertuaku tidak mau menyapa Keisha sama sekali. Dia boleh membenciku, tapi jangan Keisha. Dia adalah cucunya. Apa tidak ada sedikitpun keinginan untuk mencubit pipi keisha yang gembul-gembul itu?

"Kamu itu istrinya Adji! Jangan cuma mau enaknya saja! Terima duitnya Adji mau, giliran Adji sakit kamu nggak mau ngerawat! Enak banget jadi kamu! Begini kamu ingin minta cerai dari Adji?!"

"Dulu kalau bapaknya Adji sakit, ibu rawat sampai sembuh! Nggak ada tuh ninggal-ninggal pergi seperti kamu ini!"

Aku tetap tenang dan diam mendengarkan semua yang keluar dari mulut mertuaku. Bukan karena aku takut, tapi karena aku berusaha menghormatinya.

Dulu aku sering menangis setelah dimarahi mertuaku. Tapi sekarang apa lagi yang harus aku tangisi? Sudah bertahun-tahun aku menjadi istri Mas Adji, aku sudah terbiasa. Diam dan dengarkan saja. Nanti juga akan berhenti dengan sendirinya.

"Aku siapkan makan siang dulu Bu," ucapku setelah mertuaku terlihat kehabisan kata-kata untuk memarahiku.

"Tidak perlu! Adji sudah makan! Tadi aku bawakan makanan untuknya!" jawab mertuaku masih dengan ketusnya.

"Atau jangan-jangan Adji sakit karena kamu tidak memberinya makanan dengan baik?!"

Sepertinya memang tidak ada yang memberi tahu mertuaku penyebab sakitnya kaki Mas Adji.

Meski Mas Arya sudah mewanti-wanti agar jangan sampai ibunya tahu, tapi bibirku gatal sekali ingin memberitahu mertuaku.

"Mas Adji sakit karena kebanyakan minum minuman keras Bu, bukan salahku," jawabku enteng.

Aku tidak bisa menahan diri. Mertuaku harus tahu bagaimana kelakuan anaknya yang sebenarnya. Anak laki-lakinya bukan lagi bocah penurut seperti yang dia besarkan dulu. Aku tidak peduli jika nanti dia terkena stroke atau serangan jantung seperti yang dikhawatirkan Mas Arya.

Maafkan aku karena telah menjadi menantu kurang ajar, tapi kamu yang memulainya ibu mertua...

"Jangan bicara sembarangan! Dia tidak kenal minuman seperti itu! Aku membesarkan Adji dengan baik!"

"Kalau ibu tidak percaya, ibu bisa bertanya pada Mas Adji. Atau kalau mau, ibu bertanya langsung kepada dokter yang memeriksa Mas Adji."

Akhirnya mertuaku diam.

"Permisi Bu, aku harus mengambilkan obat Mas Adji."

Aku berlalu meninggalkan mertuaku lalu masuk ke kamar Mas Adji membawa segelas air putih dan obat. Tanpa berkata apa-apa, ku serahkan obat itu ke tangan Mas Adji. Dia pun segera meminum obat yang aku berikan.

"Maafkan kata-kata ibu," ucap Mas Adji setelah dia menelan obatnya.

Jelas dia mendengar semua yang ibunya ucapakan kepadaku karena dia memarahiku tepat di depan kamar Mas Adji.

Terpopuler

Comments

Tri Soen

Tri Soen

Enteng banget kamu Adji slalu ngomong maaf kan kesalahan ibu tapi gak pernah ada niatan utk membela Winda istri mu didepan ibu mu itu yg dinamakan suami yg baik 🙄

2022-11-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!