Bab 8

Jam sepuluh malam aku kembali dari arisan di rumah Likha. Aku berniat langsung ke kamarku, tapi aku mendengar suara Mas Adji mengerang kesakitan dari kamarnya. Kuhentikan langkahku, dan berpikir apakah aku perlu melihat kondisinya di kamar.

Atau mungkin dia sedang berpura-pura kesakitan untuk mencari perhatianku karena tahu aku sudah pulang. Pengalaman membuatku tidak bisa berprasangka baik lagi kepada Mas Adji. Aku berusaha mengabaikan suara Mas Adji dan ku lanjutkan langkah menuju kamarku.

Suara Mas Adji masih terdengar dari kamarku. Dan aku tetap mengacuhkannya. Tetapi lama-lama suaranya mulai menggangguku hingga aku tidak tega mendengarnya. Jadi aku putuskan untuk melihat Mas Adji di kamarnya.

Aku ketuk pintu kamar Mas Adji layaknya kami adalah dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap.

"Mas, kamu nggak apa-apa?" tanyaku dari balik pintu.

Tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah suara Mas Adji yang terus kesakitan. Akhirnya kubuka pintu tanpa menunggu jawaban dari Mas Adji.

Aku mendekat dan duduk di tepian tempat tidur Mas Adji.

"Mas, kamu nggak apa-apa?" tanyaku lagi.

Mas Adji tidak menjawab. Matanya tertutup rapat tetapi mulutnya terus mengeluarkan suara yang menunjukkan dia sangat tersiksa. Keringat membasahi seluruh tubuh Mas Adji hingga bajunya basah karena keringatnya.

Aku tengok kaki Mas Adji dan terkejut melihat kakinya bengkak seperti kemarin malam, tapi kali ini jauh lebih parah. Segera aku mengambil air dingin untuk mengompres kakinya yang bengkak. Perlahan ku tempelkan handuk kecil yang sudah aku celup air dingin ke kaki Mas Adji.

Aku ulangi beberapa kali sampai dia terlihat lebih baikan. Mas Adji sama sekali tidak membuka mata selama aku mengompres kakinya. Setidaknya dia sudah tidak kesakitan seperti tadi.

Setelah itu aku kembali ke kamarku. Ku rebahkan tubuhku dan kucoba memejamkan mata. Beberapa saat aku coba tetapi aku tidak juga tertidur. Aku justru kepikiran Mas Adji.

Aku marah padanya, bahkan aku masih ingin bercerai darinya. Lalu kenapa aku masih mau merawatnya? Kenapa aku tidak tega melihatnya kesakitan? Apakah sebenarnya aku masih mencintainya?

Pagi harinya...

Aku sudah selesai dengan rutinitas pagiku sebagai ibu rumah tangga. Sarapan juga sudah siap di meja makan.

"Kei, panggil papamu untuk sarapan." Keisha mengangguk.

Keisha sudah siap dengan seragam sekolahnya. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah menjemputnya dari rumah ibu karena semalam dia menginap di sana.

Aku belum melihat keadaan Mas Adji setelah semalam aku mengompres kakinya. Aku akan pura-pura tidak terjadi apa-apa karena sepertinya semalam Mas Adji tidak sadar.

Keisha sudah kembali dari kamar papanya.

"Mana Papa?"

"Masih jalan Ma, pelan-pelan. Kaki papa kan masih sakit."

"Oh ... iya ... Mama lupa." Aku berlagak lupa jika Mas Adji sakit.

Biasanya jika Mas Adji sakit, dia manja bukan main. Jangankan turun dari tempat tidur, makan pun harus aku suapi padahal cuma terkena flu ringan. Dan aku melayaninya sepenuh hatiku. Aku pastikan dia mendapatkan perawatan dan perhatian penuh dariku. Tapi itu dulu, sebelum aku tahu kelakuan busuknya dengan Eva.

Tak berapa lama aku melihat Mas Adji berjalan mendekat. Dia masih pincang seperti kemarin. Ku lirik pergelangan kakinya dengan ekor mataku.

Sudah tidak bengkak, batinku.

Dengan susah payah akhirnya Mas Adji sampai di meja makan. Tanpa sadar aku langsung mengambilkan nasi dan lauk untuk Mas Adji.

"Win ... Tadi malam ... "

Mas Adji tidak melanjutkan kata-katanya. Aku pun tidak tidak bertanya apa yang Mas Adji ingin katakan. Semakin sedikit bicara dengan Mas Adji, semakin baik.

...****************...

Tidak terasa sudah satu minggu Mas Adji sakit. Tidak ada perubahan pada kondisi kakinya. Setiap malam kakinya bengkak kemudian pagi harinya membaik, selalu seperti itu.

Hari ini rencananya Mas Arya akan membawa Mas Adji ke rumah sakit, untuk yang kedua kalinya. Mungkin perlu dilakukan tes untuk mengetahui apa sebenarnya penyakit Mas Adji.

Aku tidak bisa mengantar karena aku tidak bisa menyetir mobil. Sementara kondisi kaki Mas Adji juga tidak memungkinkan untuk aku bonceng motor. Jadi Mas Adji meminta tolong kakaknya untuk mengantarkan. Kali ini aku menemani mereka ke rumah sakit.

Kami bertiga diam mendengarkan penjelasan dokter. Diagnosanya masih sama, kadar asam urat di tubuh Mas Adji sangat tinggi. Tapi ada sedikit pencerahan kenapa kaki Mas Adji cukup parah dan tidak segera sembuh. Dokter menjelaskan jika itu karena kebiasaan minum alkohol.

Entah itu benar atau tidak, tapi malah tersenyum mendengarnya. Akhirnya Mas Arya mengetahui kebiasaan buruk adiknya.

"Adik saya nggak minum minuman seperti itu dok," sangkal Mas Arya.

"Saya sudah sering bertemu kasus seperti ini Pak," jawab dokter itu sambil menulis di kertas.

"Kapan terakhir kali minum alkohol?" Dokter mengalihkan perhatiannya ke Mas Adji, tapi Mas Adji diam tidak menjawab. Dokter itupun diam tidak memberikan pertanyaan lainnya.

Sementara Mas Arya terlihat tidak percaya dan seperti orang kebingungan.

"Untuk sementara, konsumsi alkoholnya dikurangi dulu ya Pak. Atau kalau bisa dihentikan malah lebih baik"

"Ya Dok," jawab Mas Adji lesu.

Mas Arya sontak melotot tidak percaya mendengar jawaban Mas Adji. Kemudian dia mencari jawaban dengan menatapku. Tapi aku hanya mengangkat bahuku.

"Ini sudah saya kasih resep yang berbeda dari yang sebelumnya. Semoga obat yang ini cocok."

Dokter itu memberikan resep kepada Mas Arya. Kami pun pulang setelah menebus obat.

Selama perjalanan pulang, Mas Arya tidak berhenti memarahi Mas Adji.

"Sejak kapan kamu mulai minum-minuman seperti itu?! Aku benar-benar nggak nyangka!"ucap Mas Arya menggebu.

"Kalau ibu tahu dia bisa terkena stroke!"

"Kalau Mas Arya nggak bilang kan ibu nggak akan tahu," jawab Mas Adji enteng.

"Bisa-bisanya kamu jawab seperti itu!" bentak Mas Arya.

Aku hanya diam memperhatikan dua orang kakak beradik ini debat. Aneh memang cara Mas Arya memarahi Mas Adji. Dia seperti sedang memarahi anak Tk.

"Dan kamu Win, kenapa diam saja mengetahui Adji suka mabuk?! Kenapa nggak bilang sama aku?!" cecar Mas Arya berganti kepadaku.

"Memangnya aku bisa apa Mas? Mas Arya akan percaya kalau aku bilang yang sebenarnya? Ini Mas Arya dengar langsung dari orangnya saja nggak percaya. Apalagi kalau cuma aku yang mengatakannya?"

Mas Arya terdiam, begitu juga Mas Adji.

"Ya sudah, yang penting ibu jangan sampai tahu. Nanti ibu bisa sedih karena merasa telah gagal mendidik kamu."

Aku tergelitik mendengar kata-kata Mas Arya. Memang mereka dibesarkan dengan aturan ketat oleh ibunya. Mereka tidak kenal minuman keras, judi bahkan sekedar rokok pun mereka tidak pernah sentuh.

Tapi mereka sekarang sudah dewasa, bisa berbuat semaunya. Dan itu yang tidak disadari ibu mereka. Ibu mereka berpikir jika anaknya masih seperti dulu, santun dan tidak neko-neko.

Terpopuler

Comments

Tri Soen

Tri Soen

Maka nya Arya jangan hanya mau dengar kata-kata adik mu Adji yg bersikap baik didepan mu dan ibu mu tapi ternyata kelakuan nya gak banget gitu ...suka mabuk dan judi

2022-11-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!