Bab 10

"Maafkan kata-kata ibu," ucap Mas Adji setelah dia menelan obatnya.

Jelas dia mendengar semua yang ibunya ucapkan kepadaku karena ibunya memarahiku tepat di depan kamarnya.

Belum sempat aku menjawab, mertuaku sudah menyusul masuk ke dalam kamar.

"Winda bilang kamu sakit karena kebanyakan minum minuman keras. Apa itu benar?"

Mas Adji diam. Lalu dia menoleh ke arahku tapi aku membuang muka.

"Tuh ... benar kan? Kamu membuat tuduhan ngawur lagi kan Win? Kemarin kamu bilang Adji selingkuh, sekarang kamu bilang Adji minum minuman keras?! Mau kamu apa sih Win? Bilang aja kamu nggak mau disalahkan atas penyakit Adji?!"

Sekarang gantian aku yang menoleh menatap Mas Adji. Aku heran bagaimana Mas Adji tetap tidak mau mengakui perbuatannya di depan ibunya sehingga aku kembali disalahkan dan dianggap membuat tuduhan ngawur.

"Sudahlah Bu ... Aku sakit bukan karena Winda. Dia mengurusku dengan baik. Ibu jangan menyalakan dia terus."

Mas Adji membelaku tapi aku sudah terlanjur kesal.

"Mengurusmu dengan baik?! Lihat kondisimu sekarang! sebenarnya dia istri macam apa?!"

"Bu, tolong hargai Winda."

"Kok kamu malah membela dia daripada ibu?"

"Bukan begitu Bu ... "

"Lebih baik ibu pulang! Lama-lama di sini, ibu bisa darah tinggi!"

Horeee!!! hatiku bersorak.

"Itu di meja masih ada lauk yang tadi aku bawa. Nanti bisa untuk makan malam Adji. Yang sakit kan Adji, jadi itu khusus untuk Adji," titah mertuaku sebelum meninggalkan kamar.

Aku kembali ke kamar Mas Adji setelah mengantar mertuaku ke depan.

"Kamu mendengar semua yang ibu ucapakan kepadaku tadi kan Mas?"

Mas Adji hanya mengangguk.

"Lalu kenapa kamu diam dan tidak berusaha menjelaskan yang sebenarnya kepada ibumu? Kamu membiarkan ibu terus-terusan menyalahkan aku!"

Mas Adji tetap diam.

"Jika ibu sangat membenciku, dan kamu sudah punya wanita lain, lalu kenapa kalian tidak mengabulkan keinginanku untuk bercerai? Sebenarnya apa yang kalian inginkan?!"

...****************...

Tidak terasa sudah hampir satu bulan Mas Adji sakit. Beberapa dokter sudah kami datangi, berbagai resep obat juga sudah diberikan tetapi hasilnya nihil. Aku sendiri heran kenapa kaki Mas Adji tidak juga sembuh padahal dari luar terlihat baik-baik saja. Apakah ini azab seperti di sinetron-sinetron yang sering aku tonton itu?

Dokter tidak menyarankan untuk rawat inap karena memang hasil tes tidak menunjukkan penyakit serius lainnya. Kadar asam urat di tubuhnya pun sudah normal tetapi Mas Adji masih sering merasakan kesakitan bahkan akhir-akhir ini semakin parah. Dia sangat kesakitan setiap kali telapak kakinya menyentuh sesuatu termasuk lantai.

Dokter terakhir yang kami temui mengatakan jika itu bukan hanya pengaruh asam uratnya, melainkan ada masalah syarat juga di kakinya. Dan diperlukan beberapa tes lagi untuk mengetahuinya secara pasti.

Tabungan kami sudah mulai menipis. Ditambah sudah satu bulan Mas Adji tidak bekerja, otomatis bulan ini kami tidak ada pemasukan, sementara pengobatan kaki Mas Adji terus berjalan. Meskipun Mas Arya banyak membantu biaya pengobatan, tetapi aku tetap khawatir dengan kondisi keuangan kami, apalagi biaya pengobatan Mas Adji tidaklah sedikit.

"Win ... " Mas Adji memanggilku dari dalam kamarnya.

Sampai saat ini aku masih tidur di kamar Keisha.

"Tolong ambilkan pispot, aku ingin buang air," ucap Mas Adji setelah aku masuk ke kamarnya.

Aku pun mengangguk dan mengambilkan yang Mas Adji sebutkan. Akhir-akhir ini dia melakukan semua kebutuhannya di tempat tidur.

"Win ... " Mas Adji kembali memanggilku setelah aku selesai membersihkan semuanya.

"Apa Mas?" aku mendekat.

"Maaf aku sudah merepotkan kamu," ucapnya lirih.

Aku diam. Jujur aku merasa keberatan merawat Mas Adji seperti saat ini. Dimana Eva pelacur itu, dimana teman-temannya yang sering mengajaknya mabuk-mabukan? Bukankah Mas Adji lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka? Giliran dia sakit tak satupun ada yang menunjukkan batang hidungnya.

"Kamu masih marah padaku?" tanyanya lagi.

Meskipun aku merawatnya, aku tetap bersikap dingin padanya. Aku tidak mau melunak lalu Mas Adji beranggapan jika aku sudah memaafkannya.

"Aku akan tetap seperti ini sampai kamu mengakui kesalahanmu padaku dan jujur kepada keluargamu tentang kelakuan busukmu!" jawabku tegas.

Mas Adji terdiam.

"Dan satu hal lagi, aku tetap ingin bercerai darimu!"

"Kamu tega meninggalkan aku di saat aku seperti ini Win?"

Aku menghela nafas panjang dan berpikir. Saat ini aku memang ingin berpisah darinya, tapi tidak menggebu-gebu seperti waktu itu. Ada rasa tidak tega jika aku harus meninggalkan dia sekarang.

"Tenang saja Mas, aku akan menunggu sampai kamu sembuh sambil aku menemukan bukti kuat perbuatanmu dengan Eva. Dan sampai saat itu terjadi, aku akan merawatmu seperti biasa. Aku tidak ingin orang menganggapku mencampakkan kamu setelah kamu sakit-sakitan!"

"Kita tidak akan bercerai Win!"

Sebenarnya bukan itu jawaban yang ingin aku dengar. Aku ingin Mas Adji mengakui perbuatannya. Aku hanya ingin kejujuran itu. Aku ingin membuktikan jika aku tidak mengada-ada.

"Kenapa Mas? Kamu takut tidak ada yang merawatmu?" Aku tersenyum kecut.

"Karena aku mencintai kamu Winda!"

Oh .... Kalimat ini terdengar seperti dulu waktu pertama kali dia mengucapkannya. Dalam dan penuh makna. Dia bilang cinta, haruskah aku percaya?

Mas Adji menatap mataku tajam dan dalam. Dia ingin menunjukkan jika dia tidak sedang berbohong.

"Kalau kamu mencintai aku, pasti tidak akan ada Eva diantara kita!"

Mas Adji terdiam. Matanya yang tadi menatapku tajam kini meredup setelah mendengar balasanku.

"Kenap diam Mas? Aku butuh kejujuranmu! Sudah berapa kali kamu tidur dengan wanita itu?!"

Mas Adji tetap membisu.

"Sampai kapan kamu akan terus menyangkal? Apa kamu akan terus menganggap aku istri bodoh yang bisa kamu bohongi sesuka hatimu?! Jawab aku!!!"

"Win ... "

"Aku muak! Aku muak selalu menemukan kamu pulang dalam keadaan mabuk! Aku muak kamu berbuat sesuka hatimu karena merasa sudah menafkahi aku! Aku merasa terhina ketika tahu kamu sering mengencani pelacur itu! Aku capek selalu disalahkan oleh keluargamu setiap kali terjadi sesuatu padamu!!! Aku muak dengan semuanya!!!"

Akhirnya semua ganjalan di hatiku keluar juga. Aku bisa menangis setelah sebulan lamanya hatiku hampa dan mati rasa.

"Maafkan aku Win ... Maafkan aku ..."

Aku terus menangis untuk melepaskan beban di hatiku. Beban yang selama ini aku pikul sendirian dalam diam.

"Kenapa kamu setega itu Mas?" tanyaku dalam tangis.

"Apa kurangnya aku? Apa karena tubuhku? Bukankah kamu yang menginginkan aku seperti ini?"

"Win ... Maafkan Aku ... Aku sungguh-sungguh minta maaf padamu," untuk kesekian kalinya Mas Adji minta maaf.

Ku seka air mataku lalu kuangkat wajahku menghadap laki-laki yang masih sah menjadi suamiku.

"Maaf untuk apa Mas?"

" Maaf telah menyakitimu."

"Itu saja?"

Mas Adji tidak menjawab.

"Masih tidak mau mengakui perbuatanmu? Kamu dengan sangat berani datang ke rumah pelacur itu seakan kamu lupa kalau kamu punya anak dan istri di rumah. Tapi kamu takut untuk mengakuinya?!"

"Membayangkan tangannya menyentuhmu saja aku jijik Mas!!!"

Ku tinggalkan Mas Adji sendirian di kamarnya dan berlari ke kamarku. Aku menyerah dengan perdebatan ini karena sangat menyakitkan. Mungkin beberapa orang menganggap masalahku sepele, tapi ini besar sekali bagiku.

Aku adalah istri yang posesif dan setia. Suamiku adalah milikku dan aku tidak rela ada perempuan lain menyentuhnya. Begitu pula sebaliknya. Aku adalah milik suamiku, jadi aku tidak akan membiarkan laki-laki lain menyentuhku. Begitulah prinsipku. Aku berlebihan? Mungkin.

Terpopuler

Comments

Tri Soen

Tri Soen

Ingat ya para pak suami kalau lagi sakit pasti donk istri yg merawat gak bakalan tuch pelakor nya mau merawat jadi hargai lah istri nya ...

2022-11-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!