Bab 18

Winda

Aku mendatangi rumah Likha. Dulu kami sama-sama bekerja menjadi SPG. Sekarang Likha bekerja di agensi SPG. Mungkin dia bisa membantuku.

Likha langsung mempersilahkan aku masuk begitu dia membuka pintu.

"Likha ... Adakah lowongan pekerjaan untukku di agensimu? Atau mungkin kamu bisa mencarikan aku pekerjaan?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Kamu ingin bekerja lagi?" Likha balik bertanya kepadaku. Aku pun mengangguk.

"Kamu tahu kan Mas Adji sudah tidak bekerja? Jadi sekarang aku sangat butuh pekerjaan."

Likha diam sesaat seperti sedang berpikir.

"Mmm ... Bukannya aku tidak mau membantumu, tapi lihatlah penampilanmu sekarang. Secara wajah kamu memang masih bisa diterima, tapi ukuran tubuhmu itu tidak memungkinkan."

Lalu Likha memandangiku dengan tatapan aneh. Aku pun ikut memandangi tubuhku dan tidak ada yang aneh menurutku.

"Tubuhmu sudah tidak seperti dulu Win ... Mana ada agensi yang mau menerimamu jika tubuhmu gemuk seperti itu? Kamu tahu sendiri kan? Syarat utama untuk menjadi seorang SPG adalah penampilan."

Aku tertegun mendengar kata-kata Likha. Tidak ada yang salah dengan kata-katanya, hanya saja menurutku itu terasa tidak enak untuk di dengar.

"Saranku ... lebih baik kamu melamar pekerjaan yang tidak terlalu mengutamakan penampilan fisik. Buruh pabrik misalnya, pelayan toko, rumah makan atau semacam itu. Pekerjaan itu cuma mengandalkan tenaga kan? Mungkin kamu bisa mencobanya."

Mungkin perasaanku saja yang sedang sensitif tapi aku merasa ada nada ejekan saat Likha mengatakannya.

"Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu," ucapku datar. Likha hanya mengangguk.

Aku pamit pada Likha karena sudah tidak ada lagi yang aku ingin bicarakan. Jujur aku merasa kecewa, entah karena Likha tidak bisa membantuku atau kecewa karena kata-kata Likha atau mungkin keduanya.

Ada yang berbeda dari sikap Likha. Biasanya dia menahanku agar aku bisa berlama-lama di rumahnya walaupun hanya untuk sekedar ngobrol, tapi kali ini dia acuh. Aku harap ini hanya perasaanku saja.

Likha sibuk memainkan handphonenya tanpa mempedulikan aku yang sudah berdiri dan hendak keluar.

"Sampai jumpa," ucapku lagi.

Tidak ada jawaban dari Likha. Bergegas aku keluar dari rumah Likha sebelum perasaanku yang sedang sensitif menggiring aku untuk berpikiran yang tidak-tidak.

Aku hampir menaiki sepeda motorku tapi kemudian teringat jika tadi aku meletakkan kuncinya di meja ruang tamu Likha. Aku pun kembali masuk ke rumah Likha untuk mengambil kunci motorku.

Sampai di dalam aku melihat Likha sedang menelepon seseorang. Aku berjalan mendekati meja di samping Likha. Sengaja aku berjalan pelan agar tidak menggangu telponnya. Sepertinya Likha sedang sangat asyik mengobrol hingga tidak sadar aku masuk.

"Masa iya badan udah kaya kuda nil gitu mau kerja jadi SPG lagi? Nggak ngaca apa gimana sih?" ucap Likha sambil terkekeh.

" ... "

"Iya ... Bener ... Adji kan udah nggak kerja. Udah sakit-sakitan lama. Sekarang dia juga udah nggak punya apa-apa."

" ... "

"Aku dengar sebelum sakit, si Adji itu ketahuan main perempuan. Aku sih nggak heran kalau itu sampai kejadian. Males nggak sih lihat badan istri segede itu? Pastilah nyari yang seksi-seksi di luaran."

Aku diam terpaku mendengarkan Likha bicara dengan temannya di telepon. Dengan jelas aku bisa mendengar semua yang dia katakan.

Aku tidak percaya Likha sedang membicarakan aku. Jelas aku sangat marah, tapi aku berusaha menahan diri.

"Dulu sih dia enak, kita pada capek kerja, sementara dia ingin apa-apa dikasih sama suaminya. Lah sekarang dia nyari kerja? Apa nggak malu tuh?" Likha kembali terkekeh.

Aku tidak ingin mendengar lagi percakapan Likha dengan seseorang di ujung telfon, entah siapa itu. Sudah cukup aku dengar penghinaan darinya. Segera aku raih kunci motor di atas meja.

Likha terkejut melihatku.

"Kunci motorku tertinggal," ucapku datar. Likha terlihat salah tingkah.

"Lanjutkan saja teleponnya. Aku sudah mendengar semuanya. Tidak ada yang perlu kamu tutupi."

Aku meninggalkan rumah Likha dengan perasaan sangat kecewa. Selama ini aku menganggap dialah sahabatku satu-satunya, tapi ternyata dia pun membicarakan aku di belakangku.

Akhirnya aku dihadapkan pada kenyataan bahwa sedekat apapun kita dengan seseorang, kita tidak akan pernah tahu isi hatinya. Yang kita ketahui hanya luarnya. Seperti Likha, yang selama ini terlihat baik kepadaku, ternyata juga membicarakan aku di belakangku.

Aku pun akhirnya sadar jika aku tidak punya peluang untuk kembali bekerja seperti dulu.

Kenapa aku begitu naif? Kemarin-kemarin aku sangat percaya diri ingin meminta cerai dari Mas Adji. Aku pikir setelah bercerai aku bisa kembali bekerja dan melanjutkan hidupku. Pengalaman kerja yang aku miliki kupikir cukup untuk membawaku kembali ke dunai kerja. Tapi aku lupa satu hal. Aku lupa jika penampilanku sudah tidak seperti dulu.

Aku mulai berpikir bagaimana jadinya jika waktu itu Mas Adji mengabulkan keinginanku untuk bercerai? Bagaimana jadinya hidupku? Haruskah aku berterima kasih kepada Mas Adji karena waktu itu dia tidak mau menceraikan aku?

"Gimana Win?" Mas Adji berjalan pelan menyambut kedatanganku.

Aku tatap laki-laki yang sedang berdiri di hadapanku. Hati ini menjadi ragu. Apakah aku sudah salah menilainya? Apa aku terlalu mendengar omongan orang hingga tidak mau mendengar kebenaran dari mulutnya?

Aku menggeleng.

"Likha bilang saat ini sedang tidak ada lowongan. Dia akan mengabari aku jika sewaktu-waktu ada lowongan pekerjaan untukku," jawabku berbohong.

"Ya sudah ... Kita tunggu saja."

Hening sesaat.

"Tadi Mas Arya datang. Dia membawa motorku dan meninggalkan uang ini. Nanti jika aku ingin memakai motor itu lagi aku bisa mengambilnya di rumah Mas Arya. Dia bilang sayang kalau motor itu dijual karena masih bagus, aku jarang memakainya ... "

Mas Adji terus berbicara tapi aku tidak bisa fokus mendengarkan. Aku masih terngiang-ngiang suara Likha ketika menyebutku kuda nil. Apa aku seburuk itu?

"Win ... "

"Eh ... Iya Mas ... "

"Kamu dengar aku kan?"

Aku mengangguk.

"Gunakan uang ini untuk membayar uang sekolah Keisha, sisanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari."

Aku kembali mengangguk. Lega rasanya akhirnya aku bisa melunasi uang sekolah Keisha dan juga untuk mendaftar ke sekolah dasar.

Salah satu kelebihan Mas Adji, dia selalu memberikan hampir seluruh uangnya kepadaku. Mungkin dia akan menyimpan sebagian untuk jatah ibunya dan untuk keperluannya sendiri. Tetapi selebihnya selalu dia berikan kepadaku. Dan dia tidak pernah menanyakan bagaimana aku menggunakan uang itu. Semua terserah padaku.

"Bagaimana dengan terapimu?"

Mas Adji menggeleng.

"Keisha lebih penting. Dia harus sekolah di sekolah terbaik. Nanti kalau aku sudah sembuh aku akan kembali bekerja. Aku pasti bisa membiayai sekolahnya." Suara Mas Adji terdengar semakin berat.

"Kalau kamu tidak melanjutkan terapi lalu bagaimana kamu bisa sembuh Mas?"

"Kamu tidak perlu memikirkan itu Win. Aku sudah banyak merepotkan kamu."

Seperti kemarin, Mas Adji kembali meninggalkan aku tanpa menatapku. Aku semakin berpikir kalau dia memang berusaha menghindariku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!