NovelToon NovelToon

Terpaksa Bertahan

Bab 1

Aku berdiri mematung tepat di samping sepeda motorku terparkir. Dari tempatku berdiri, terlihat jelas teman-teman anggota arisan sudah berkumpul dan duduk mengelilingi meja. Mungkin hanya aku yang belum ada di sana.

Mereka semua tampil all-out seolah-olah acara arisan ini adalah ajang untuk memamerkan apa yang mereka miliki. Baju baru, tas, sepatu, make up dan lainnya.

Aku ragu untuk masuk dan bergabung dengan mereka. Kulihat lagi penampilanku. Bajuku terlihat usang dan kedodoran. Itu karena berat badanku turun drastis sehingga semua pakaian kumiliki terlihat kebesaran jika aku kenakan sekarang.

Aku sudah tidak mampu untuk membeli baju baru. Kalaupun aku gajian, uangnya pasti kugunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anakku dan biaya berobat suamiku.

Belum lagi sepatuku yang sudah butut karena setiap hari aku pakai bekerja. Aku yakin mereka akan segera menatapku dengan tatapan aneh begitu melihat penampilanku seperti ini.

Ku gosok-gosok sepatuku menggunakan celana panjangku, setelah itu aku masuk ke dalam restoran dan bergabung bersama mereka.

Segera mereka bisik-bisik begitu melihatku datang. Aku langsung merasa tidak nyaman melihatnya.

"Hai Win ... kamu datang juga ya? Kupikir nggak datang. Kan sudah beberapa bulan kamu absen," sapa Likha, teman baikku dulu. Sebelum aku miskin seperti sekarang ini.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Padahal kita mau buat acara amal untuk suami Jeng Winda lho ini. Kok malah Jeng Winda datang," ucap Eva, si pelacur bodoh yang dulu mengincar suamiku.

"Win, bajumu bagus. Aku belum pernah lihat kamu memakainya," ucap Likha dengan senyum sinis.

Jelas dia sedang menyindirku sekarang. Likha yang dulu menempel padaku bagaikan parasit kini berubah memusuhi aku setelah aku miskin. Sementara yang lainnya cuma memandangku dengan tatapan kasihan.

Aku tetap diam meski tahu mereka sedang menginjak-injak harga diriku. Aku tidak ada keinginan untuk meladeni mereka.

"Jeng Winda, sepatunya beli dimana? Aku kok kepingin seperti yang dipakai jeng Winda. Modelnya emang mengelupas begitu atau gimana sih?" ucap si pelacur bodoh sambil mengamati sepatuku.

"Tapi bagus lho," Likha menimpali. "Pasti susah nyari sepatu yang modelnya seperti itu," ucap Likha sambil terkekeh.

Telingaku sudah mulai panas mendengar hinaan mereka.

"Sini Win, duduk sini. Sampai lupa nggak ditawari duduk." Likha menarik kursi kosong disampingnya.

Aku mendekati kursi itu berniat untuk duduk. Mungkin jika aku duduk mereka akan menghentikan bully-an mereka kepadaku dan segera memulai acara.

"Win ... Ini kita bayar sendiri-sendiri lho. Kamu bawa uang kan? Eh ... Salah. Kamu punya uang buat bayar kan nanti?" Sekali lagi Winda menghinaku.

"Kasihan kamu Win, sejak suamimu kerja kamu jadi harus banting tulang. Lihat badan kamu sampai kurus begini. Tapi ambil hikmahnya aja Win, kamu nggak perlu diet udah langsung. Dulu kan badanmu gendut banget." Likha kembali terkekeh.

Kali ini aku sudah tidak bisa sabar. Aku dorong kursi yang sudah disiapkan oleh Likha.

"Aku datang kesini karena salah satu dari kalian memintaku untuk datang. Tapi jika aku disini hanya untuk kalian hina dan permalukan, maka lebih baik aku pulang dan tidak berurusan lagi dengan kalian semua!!! Sekalian aku pamit, aku keluar dari grup arisan ini!!! Permisi!!!"

Aku berjalan meninggalkan kumpulan wanita kampung yang berlagak seperti sosialita itu. Gemuruh memenuhi dadaku.

Dulu semua menghormatiku ketika suamiku masih berjaya. Tidak pernah aku dihina seperti ini. Bahkan aku tidak perlu khawatir soal uang. Tapi sekarang?

Enam bulan sebelumnya....

Aku terus menunduk sambil menahan air mataku agar tidak menetes. Berulang kali kuremas tanganku untuk melampiaskan rasa sakit hatiku. Sejak datang tadi, Mas Arya, kakak iparku tidak berhenti menceramahi aku. Padahal saat ini kami sedang berada di rumah pak RT. Tidak ada yang bisa aku gunakan untuk menutupi rasa sakit hati bercampur malu yang kurasakan.

"Kenapa cuma masalah begini saja langsung ingin bercerai sih? Ini kan cuma gosip! Kamu tidak melihat kejadiannya sendiri dan juga tidak punya bukti apa-apa. Namanya kamu cuma mengada-ada. Di bicarakan dulu baik-baik bisa kan? Masa cuma hal sepele gini aja langsung ingin bercerai?!" ucap Mas Arya enteng. Sedangkan suamiku, Mas Adji tidak membuka mulutnya sejak kakaknya datang.

Aku semakin menundukkan kepalaku. Ini sangat menyakitkan bagiku. Perasaanku hancur saat mendengar suamiku ternyata sering mengunjungi rumah Eva, seorang janda dari desa tetangga. Eva adalah seorang tukang pijat, tetapi sudah menjadi rahasia umum jika Eva juga menyediakan layanan plus-plus bagi mereka yang menginginkannya. Dan rahasia itu juga sudah tersebar di desaku.

"Benar kata kakak iparmu, pikirkan dulu matang-matang, bagaimana nanti anakmu jika kalian sampai bercerai? Pikirkan juga bagaimana reaksi bapak dan ibumu nanti, berita seperti ini bisa mempengaruhi pikiran dan kesehatan mereka. Ini kan belum jelas kebenarannya, jangan terburu-buru ambil keputusan. Apalagi kamu dalam keadaan emosi," Pak RT ikut menimpali.

"Kamu kan hanya diberi tahu temanmu jika dia melihat Adji bersama seorang wanita. Kenapa kamu langsung menganggapnya serius? Bisa saja temanmu itu salah atau berbohong."

"Tidak Mas, temanku tidak mungkin berbohong. Dia jelas melihat Mas Adji bersama seorang wanita dan beberapa kali melihat mas Adji mendatangi rumah wanita itu."

"Ya siapa tahu Adji memang sedang ada urusan dengan wanita itu. Masa gitu aja kamu langsung bilang Adji sudah selingkuh?" Bukannya menanyakan kebenarannya pada adiknya, Mas Arya terus saja membelanya. Dan Mas Adji tetap tidak mau bersuara.

Aku benar-benar merasa disudutkan oleh kata-kata Mas Arya. Tidak ada yang percaya padaku bahkan aku hanya dianggap mengada-ada padahal aku jelas punya saksi yang melihat semuanya. Sepertinya mereka tidak tahu wanita yang sedang kami bicarakan karena sejak tadi aku belum menyebutkan nama wanita itu.

Aku menguatkan diriku agar tidak menangis. Aku angkat kepalaku tegak dan kutatap Mas Adji yang saat ini duduk di kursi tepat di hadapanku. Dia tidak berani membalas tatapanku dan memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Apakah aku harus menemukan sendiri suamiku bermesraan dengan wanita lain baru aku boleh minta cerai? Atau aku harus menunggu dia menghamili anak orang baru bisa dikatakan dia telah selingkuh? Begitukah?!" tanyaku dengan suara bergetar. Rasanya sakit sekali mendengar kalimat ini keluar dari mulutku sendiri.

"Nggak begitu juga Win... Adji kan memang nggak ngapa-ngapain sama wanita itu. Dari dulu kamu juga tahu kalau Adji itu pria baik-baik, nggak neko-neko." bantah Mas Arya seolah aku sedang bertengkar dengannya.

"Mas Arya yakin? Apa mas Adji tidak memberitahu siapa wanita yang sedang kita bicarakan?"

"Memangnya siapa wanita yang kamu maksud? Wanita yang kamu tuduhkan bersama Adji?!"

"Wanita itu Eva, Mas Adji sering mendatangi rumah Eva," jawabku tegas.

"Eva siapa? Eva yang ... " Mas Arya tidak melanjutkan kalimatnya dan jadi terlihat salah tingkah.

"Bahkan tanpa kuberi tahu siapa Eva, kalian sudah tahu semuanya! Jadi ada urusan apa Mas Adji dengan Eva? Ingin minta pijat? Pijat saja? Apa kalian yakin tidak ada yang lainnya? Mereka nggak ngapa-ngapain?!" pertanyaanku sukses membuat semua orang terdiam. Pak RT terlihat menelan ludahnya dan Mas Arya terlihat bingung mau berkata apa.

Sebagai wanita normal tentu aku merasa sangat marah dan kecewa. Aku langsung berpikiran negatif tentang suamiku setelah mendengar berita itu. Begitu Mas Adji pulang kerja, aku langsung menanyakan kebenaran kepadanya dan berujung dengan pertengkaran hebat. Mas Adji menyangkal semua yang aku tuduhkan padanya.

Akhirnya, tanpa berpikir panjang aku berlari ke rumah Pak RT yang letaknya hanya berseberangan dengan rumahku. Aku ingin meminta surat pengantar untuk mengurus perceraianku. Sudah aku mantapkan hatiku, besok pagi aku akan mengurus perceraianku.

Tadinya aku hanya ingin meminta surat pengantar itu dan lalu pulang tidak perlu mengatakan apapun kepada Pak RT. Tetapi ternyata Pak Rt tidak mau memberikan surat pengantar itu begitu saja. Dia menanyakan beberapa hal terlebih dahulu termasuk alasanku. Entah karena memang seperti itu seharusnya atau Pak RT hanya ingin mengetahui kehidupan rumah tanggaku saja.

Belum sempat bercerita, Mas Adji menyusulku. Pak RT memaksa kami duduk bersama dan membicarakan masalah ini terlebih dahulu. Tak berselang lama Mas Arya pun datang. Aku yakin Mas Adji sudah memberi tahu kakaknya itu lewat telepon, apa yang sedang terjadi.

Maksud kedatangan Mas Arya adalah untuk menengahi dan mendamaikan aku dan Mas Adji, tapi yang ada dia hanya memojokkan aku.

"Sudah ... Sudah ... Lebih baik sekarang kalian pulang dan bicarakan ini di rumah! Tidak ada perceraian! Kalian ini hanya salah paham!" Akhirnya kalimat inilah yang keluar dari mulut Mas Arya. Aku yakin dia tidak punya alasan untuk membela adiknya lagi.

"Benar kata kakakmu, sekarang sebaiknya kalian pulang. Dimana Keisha? Kasihan nanti dia mencari mama papanya." Pak RT berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Keisha di rumah ibu," jawabku berat.

"Ya sudah ... Kalian pulang saja. Keisha biar nginap di rumah ibumu dulu. Kasihan dia kalau sampai melihat orang tuanya bertengkar."

Tanpa berkata-kata, aku langsung berdiri dan keluar dari rumah Pak RT. Tidak ada gunanya aku berlama-lama di rumah itu, toh tidak ada yang membelaku.

Sesampainya di rumah, ku tumpahkan air mata yang sejak tadi aku tahan. Sakit rasanya mengetahui jika ternyata suamiku sering menikmati tubuh wanita lain apalagi seorang wanita penghibur. Apa aku sebagai istrinya tidak bisa memberikan kenikmatan hingga dia harus mencarinya dari wanita lain? Dan semakin menyakitkan lagi ketika tidak ada yang percaya padaku.

Selama ini aku sudah cukup sabar meladeni kebiasaan buruk Mas Adji. Ditinggal mabuk dan bermain judi hingga pulang pagi sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Seringkali dia pulang ke rumah hanya untuk mandi dan berganti baju setelah itu pergi lagi bersama teman-temannya dan pulang entah jam berapa.

Aku menikah dengan Mas Adji tujuh tahun lalu. Saat itu dia masih menjadi pegawai biasa. Mas Adji tampan, baik dan tidak suka macam-macam. Meski ibunya tidak menyukaiku, dia tetap menikahi aku. Dia sangat mencintai aku. Mas Adji tidak mempermasalahkan ukuran tubuhku yang mengembang tiga kali lipat setelah aku melahirkan, hingga sekarang. Dia mau menerimaku apa adanya. Aku merasa sangat beruntung karenanya.

Mas Adji tidak pernah menuntut macam-macam dariku. Dia membiarkan aku melakukan apa yang aku suka dan juga sangat memanjakan aku. Tapi itu dulu, sebelum Mas Adji naik jabatan dan mengenal minuman keras.

Bab 2

Pagi harinya aku tetap menjalankan aktivitasku seperti biasa. Aku tetap memasak, membersihkan rumah, menyiapkan keperluan Keisha bahkan keperluan Mas Adji juga meski aku masih marah padanya.

Tadi malam aku tidak ingin bersamanya dan memilih tidur di kamar Keisha. Untuk saat ini, aku malas untuk bicara dengan Mas Adji apalagi menatapnya. Rasanya jijik membayangkan Mas Adji bersama Eva.

Setelah mengantar Keisha sekolah, aku langsung menuju supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis. Selain itu aku ingin menjernihkan pikiran agar tidak terus terbayang-bayang Mas Adji dan Eva.

Saat tengah fokus memilih belanjaan, tiba-tiba seorang wanita datang menghampiriku.

"Hai Jeng... Sedang belanja juga?" sapa wanita itu.

Aku menengok untuk melihat siapa yang sedang menyapaku. Jantungku berdegup kencang sekali seperti genderang perang yang sedang ditabuh. Dialah Eva, wanita yang tadi malam menjadi sumber pertengkaranku dan Mas Adji. Wanita itu kini berdiri di hadapanku dan tersenyum kepadaku. Walau tidak mengenalnya, aku tahu siapa dia. Rumor tentang dia sudah menyebar kemana-mana. Untuk sesaat pikiran ini kosong tidak tahu harus bagaimana.

"Hai Jeng Eva... Kok bisa kebetulan ketemu di sini?" jawabku setelah aku berhasil menguasai diriku. Sebisa mungkin aku bersikap biasa walaupun hatiku seperti lautan yang tengah menghadapi badai.

"Dari dulu aku kalau belanja di sini Jeng, cuma belum pernah ketemu sama Jeng Winda saja," jawab Eva sambil tersenyum. Entah bagaimana dia bisa mengenalku.

Senyum itu, entah kenapa aku muak melihatnya. Ini bukan senyum ramah, tapi senyum genit yang dibuat-buat, menurutku. Sekilas aku mengamati penampilan Eva. Dia mengenakan legging dengan kaos pendek super ketat yang memperlihatkan dengan jelas lekuk tubuhnya.

Dari segi wajah, aku jauh lebih cantik dari Eva. Hanya saja dia merias wajahnya hingga terlihat lebih segar. Dia juga sering mengenakan baju ketat atau terbuka yang cenderung seksi, jadi mungkin terlihat lebih menarik di mata pria.

"Gimana kabar Mas Adji? Sudah lebih baik?" tanyanya dengan senyum mengembang membuatku semakin muak. Dia menyebut nama Mas Adji seakan-akan dia sudah akrab dengan suamiku itu.

"Memang suamiku kenapa?" tanyaku.

"Suamimu kan sering pijat di aku. Katanya badannya sering pegal-pegal dan lemas gitu."

Rasanya hatiku sudah terkena badai tornado mendengar jawaban Eva.

"Benarkah?" Kata itu terlepas begitu saja dari mulutku seakan aku tidak sadar telah mengucapkannya.

"Memangnya Mas Adji nggak cerita sama Jeng Winda?"

Aku pura-pura melihat jam di tanganku untuk menyembunyikan rasa marahku.

"Duh Jeng ... Sudah waktunya jemput anakku sekolah. Aku duluan ya ...." ucapku asal.

Itu hanya alasanku saja agar aku bisa secepatnya pergi dari hadapan Eva. Aku tidak mau dia melihat wajahku memerah karena menahan amarah.

Ingin sekali aku bertanya apa saja yang sudah dia lakukan dengan suamiku tapi aku urungkan.

Sebelumnya aku sudah diberi tahu temanku jika suamiku sering mendatangi rumah Eva. Tetapi rasanya lain ketika aku mendengarnya dari mulut Eva sendiri. Kata-katanya langsung bisa *******-***** hatiku.

Eva adalah seorang janda yang tinggal di desa yang bersebelahan dengan desaku. Dia sudah dua kali menikah dan dua kali pula bercerai. Untuk menyambung hidupnya, dia membuka praktek pijat di rumahnya. Tetapi kebanyakan yang menggunakan jasa pijatnya adalah laki-laki, hingga muncul berita jika Eva menyediakan jasa pijat plus-plus di rumahnya.

Aku bergegas menuju kasir dan membayar belanjaanku. Setelah itu aku mengendarai motorku pulang ke rumah.

Pikiranku kembali mendidih mengingat kata-kata Eva. Mas Adji meminta di pijat oleh wanita lain, apakah aku sebagai istri tidak bisa memijatnya? Mas Adji sudah sangat mempermalukan aku.

Kalau sudah begini, apa aku bisa berpikiran positif tentang suamiku? Apa mungkin Mas Adji hanya dipijat saja? Apa mereka tidak melakukan hal lain selain itu? Berada di dalam kamar berdua, dan Eva menggerayangi tubuh suamiku. Aku bergidik membayangkan apa yang mungkin mereka lakukan.

Jadi berita itu benar adanya. Mas Adji memang berkunjung ke rumah Eva. Misalnya mereka tidak melakukan hal lain selain pijat, apa pantas dua orang berlainan jenis, tidak ada ikatan darah dan juga bukan suami istri berada di dalam kamar berdua?

Apakah aku hanya terlalu posesif, tidak rela ada perempuan lain bersama suamiku apalagi sampai menggerayangi tubuhnya. Apa aku yang berlebihan menanggapinya atau ini memang tidak wajar?

Sore harinya sepulang kerja Mas Adji tidak pergi kemana-mana. Dia tahu aku masih marah padanya jadi mungkin dia tidak ingin menambah konflik baru lagi. Mas Adji duduk di sofa sambil menemani Keisha menonton televisi, hal yang jarang sekali dia lakukan. Aku hanya diam dan terus menatap smartphoneku melihat baju-baju di marketplace.

Tidak ku ceritakan pertemuan tidak sengajaku dengan Eva. Aku terlalu malas bicara dengannya, lagipula ada Keisha di sini. Aku tidak mau dia melihat kami bertengkar. Tapi nanti jelas aku akan membicarakannya dengan Mas Adji, tinggal tunggu waktu yang tepat saja.

Aku tidak tahu kenapa hubunganku dengan Mas Adji jadi seperti ini. Dulu rumah tangga kami bahagia dan baik-baik saja. Keadaan mulai berubah ketika Mas Adji naik jabatan untuk yang pertama kalinya menjadi supervisor. Dia punya kebiasaan baru yaitu berjudi dan minum alkohol. Hobi barunya ini dia dapatkan dari teman-teman kantornya sesama supervisor.

Dia sering meninggalkan aku dan Keisha untuk berkumpul bersama teman-teman kerjanya entah untuk berjudi atau minum-minuman keras. Tak jarang dia pulang dalam keadaan mabuk. Mas Adji jadi jarang di rumah. Hubungannya dengan Keisha pun renggang, tidak seperti ayah dan anak.

Aku sudah berusaha memberitahu jika kebiasaan barunya ini tidak baik untuknya, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia mengatakan tidak enak menolak ajakan teman-temannya. Aku sering marah jika mendapati Mas Adji pulang dengan aroma alkohol di tubuhnya dan itu memicu pertengkaran diantara kami.

Keadaan bertambah buruk ketika Mas Adji naik jabatan untuk yang kedua kalinya menjadi Branch Manager. Dia mendapatkan fasilitas mobil dari kantor dan akan menjadi hak miliknya setelah beberapa tahun. Ini membuat Mas Adji semakin menjadi-jadi.

Hampir setiap hari dia pulang larut dalam keadaan mabuk. Hal itu membuat kami semakin sering bertengkar. Tetapi aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun dan hanya ku pendam sendirian. Bagiku, aib rumah tanggaku hanya aku saja yang tahu.

Lama-kelamaan aku bosan. Aku biarkan Mas Adji melakukan hal yang sekarang menjadi hobi barunya. Mabuk, judi, karaoke terserah. Bukan karena aku mengijinkannya, tetapi karena aku terlalu lelah setiap hari bertengkar dengan alasan yang sama.

Aku sudah tidak marah lagi jika Mas Adji pulang malam dalam keadaan mabuk. Selama uang belanjaku lancar dan dompetku selalu penuh lembaran uang, aku akan terima. Aku tetap diam dan menutupi itu semua dari keluargaku dan juga keluarga Mas Adji. Dan akhirnya itu menjadi boomerang buatku.

Tetapi rupanya aku terlalu memberikan kebebasan kepada Mas Adji. Aku terlena karena uang belanjanya yang kadang berlebih untukku hingga aku tidak menyadari ada hal lain yang Mas Adji lakukan di luar rumah selain mabuk dan berjudi sampai seseorang memberitahuku.

Awalnya aku tidak percaya. Aku sangat yakin Mas Adji mencintai aku dan tidak akan mau berbuat macam-macam dengan wanita lain. Tetapi sepertinya aku belum bisa menerima kenyataan jika suamiku sudah tidak seperti yang dulu.

Bab 3

Mas Adji dan Keisha masih betah di depan televisi. Sementara aku sudah beranjak untuk menyiapkan makan malam.

"Kei, nanti setelah makan malam kita ke rumah simbahnya papa mau nggak?" Mas Adji membuka suara.

Keisha terbiasa memanggil ibunya Mas Adji dengan sebutan simbahnya papa, bukan nenek. Aneh memang, tapi Keisha tetap tidak mau memanggilnya nenek, seperti dia memanggil ibuku. Mungkin karena dia memang tidak begitu dekat dengan ibu dari papanya itu.

Aku sendiri heran kenapa tiba-tiba Mas Adji mengajakku ke rumah ibunya. Biasanya dia mengunjungi ibunya sendirian tanpa mengajak kami berdua. Karena dia tahu, hubunganku dengan ibunya tidak begitu baik.

Walaupun rumah kami tidak begitu jauh, kami jarang sekali mengunjungi satu sama lain. Aku merasa tidak diterima di rumah mertuaku. Dan mertuaku juga seolah enggan untuk lebih dekat denganku ataupun Keisha.

"Mmm ... nginap nggak Pa?" tanya Keisha ragu.

"Nggak nginap, kita main ke rumah simbah sebentar aja kok. Papa kangen sama simbahnya Papa. Sudah lama kita nggak main ke sana kan?"

Mas Adji diam menunggu jawaban dari Keisha.

"Mama ikut kan?" Keisha menoleh ke arahku.

"Tentu saja ... " Belum sempat aku menjawab, Mas Adji sudah mendahuluiku.

"Iya kan Ma?" Mas Adji mencoba meyakinkan Keisha. Dia bersikap seperti biasa seolah hubungan kami baik-baik saja.

Keisha menatapku, menunggu jawaban dariku. Dengan terpaksa aku pun mengangguk.

"Iya deh, tapi sebentar aja ya Pa?" Mas Adji tersenyum dan mengangguk mendengar jawaban Keisha.

Selesai makan malam, Mas Adji benar-benar mengajak aku dan Keisha ke rumah ibunya. Dan sekarang kami bertiga sudah berdiri di depan rumah mertuaku.

Rumah ini cukup luas dan masih sangat asri. Dari luar, rumah ini terlihat sangat nyaman untuk ditinggali. Tapi bagiku rumah ini tak lebih dari rumah penuh teror.

Dulu ketika Mas Adji ingin menikahiku, aku mengajukan syarat jika dia harus mau tinggal bersamaku. Walaupun tidak sekaya keluarga Mas Adji, keluargaku mempunyai beberapa bidang tanah kosong, dan kami bisa membangun rumah di salah satunya setelah menikah. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan ibunya dan Mas Adji pun menyetujui itu.

Bapaknya Mas Adji sudah meninggal, tinggal ibunya seorang. Agar tidak merasa kesepian, sang ibu meminta adik perempuan Mas Adji, Maya dan suaminya untuk tinggal bersamanya.

Entah ada maksud apa Mas Adji membawa kami ke sini, tapi perasaanku sudah tidak enak sejak memasuki halaman tadi.

"Yuk kita masuk," ucap Mas Adji.

Keisha terlihat ragu, begitu juga aku. Kami berdua bengong, tidak segera melangkahkan kaki kami. Akhirnya Mas Adji berinisiatif untuk menggendong keisha dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Mas Adji langsung berjalan menuju ruang keluarga dan menemukan ibunya sedang duduk di karpet bersama Vino, anak Maya yang masih balita.

"Ibu sedang apa?" tanya Mas Adji setelah mendaratkan pantatnya di samping sang ibu.

"Ini lagi menemani Vino bermain," jawab ibu mertuaku singkat.

"Apa kabar Bu?" sapaku.

Mertuaku tidak menjawab sapaan dariku. Dia hanya menoleh sebentar kepadaku setelah itu kembali memperhatikan Vino. Dia bahkan tidak menyapa Keisha yang duduk di samping kiriku.

"Kei, salim sama simbahnya papa dulu," ucapku lagi.

Keisha pun beranjak dari duduknya dan bersalaman dengan sang nenek setelah itu kembali lagi duduk di sampingku.

Tidak ada kata terucap dari mulut mertuaku untuk Keisha, cucunya yang sudah beberapa bulan tidak bertemu. Kami semua diam hingga suasana terasa hening.

"Memangnya Maya kemana Bu? kok Ibu yang jagain Vino?" Mas Adji berbasa-basi untuk memecah keheningan.

"Mereka sedang ada urusan di luar."

Suasana kembali hening. Tidak ada satupun yang berbicara. Hanya sesekali terdengar celoteh dari Vino yang belum genap berusia dua tahun.

Mertuaku sama sekali tidak mau menatapku maupun Keisha. Dia terus memperhatikan Vino sambil sesekali menoleh ke arah Mas Adji untuk menunjukkan betapa lucunya Vino. Pandangan mertuaku terus saja ke Vino dan Mas Adji, seakan-akan hanya mereka bertiga yang ada di ruangan ini.

Tiba-tiba mertuaku berdiri dan mengambil anggur yang terletak di meja tepat di sebelah kananku. Dia membawa anggur itu kehadapan Vino dan membersihkannya.

Satu persatu dia suapkan anggur itu ke mulut Vino, tanpa menghiraukan Keisha yang melotot sambil menahan air liurnya.

"Anggur ini Maya yang beli, jadi hanya untuk Vino," ucap mertuaku entah dia bicara dengan siapa karena matanya terus tertuju pada Vino.

"Kita juga punya anggur kan di kulkas?" bisikku pada Keisha. Dia langsung mengalihkan pandangannya dari anggur itu dan menoleh kepadaku.

"Nantinya kita makan sepulang dari sini," bisikku lagi. Keisha pun tersenyum dan mengangguk.

"Perempuan itu hanya bergantung pada laki-laki," ucap mertuaku tiba-tiba.

"Jangan asal minta cerai kalau nggak bisa cari duit!"

Ah ... Harusnya aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Masalah kemarin pasti sudah sampai ke telinga mertuaku tercinta ini.

"Adji ini seorang laki-laki, wajar kalau dia kenal satu atau dua perempuan. Seorang laki-laki akan dengan mudah mendapatkan istri lagi jika dia bercerai. Apalagi Adji, jabatannya di kantor sudah tinggi, gajinya banyak dan punya mobil pula. Pasti banyak perempuan yang mau sama dia meskipun dia duda."

Jeng ... Jeng ... Jeng ...!!!

"Harusnya kamu merawat diri kamu! Kalau Adji bersama wanita lain kan mungkin karena dia bosan melihat penampilan kamu."

Kalimat ini adalah sebuah konfirmasi jika Mas Adji memang bersama wanita lain, tetapi kenapa justru aku yang terlihat buruk di sini?

"Kamu itu pengangguran, cuma ibu rumah tangga! Hidup juga cuma mengandalkan uang dari Adji. Kalau kamu mau bercerai dari Adji, memangnya kamu bisa apa untuk menghidupi dirimu sendiri dan anakmu?!"

Aku kesal sekali mendengarnya. Memangnya kenapa kalau aku pengangguran? "cuma" ibu rumah tangga?! Mungkin mertuaku lupa, jika sebelumya aku juga bekerja, bahkan gajiku lumayan banyak. Aku berhenti bekerja karena melahirkan. Dan setelah itu Mas Adji tidak mengijinkan aku kembali bekerja agar aku bisa fokus mengurus putri kami.

"Yang rugi kamu sendiri kan? Janda pengangguran mana ada yang mau? Apalagi tubuhmu sebesar itu. Sedangkan Adji, dia bisa memilih wanita manapun yang dia suka!"

Betapa pedasnya kata-kata dari mulut mertuaku ini. Sampai detik ini aku masih diam meskipun telingaku sudah panas dan wajahku memerah. Tapi aku masih bisa menahan diriku. Aku hanya melirik ke arah Mas Adji untuk melihat reaksinya.

"Ibu bicara apa sih?" sela Mas Adji.

"Loh ... benar kan?! Yang mau sama kamu itu banyak!"

Mertuaku menoleh ke arah Mas Adji kemudian menatapku sebentar dan kembali lagi ke Vino.

"Adji memang tinggal di rumahmu. Tapi dia yang mencari nafkah. Kamu dan Keisha hanya bergantung padanya. Jangan asal minta cerai lalu mengusir Adji keluar dari rumahmu! Rumah itu memang orang tuamu yang membuatkan, tetapi Adji juga punya hak karena dia sudah membiayai hidupmu selama menikah dengannya!"

Semakin lama kata-kata yang keluar dari mulut mertuaku semakin tidak masuk akal. Pertengkaranku dan Mas Adji bukan soal rumah dan uang. Kami bertengkar karena pelacur bernama Eva itu. Kenapa jadi menjalar kemana-mana begini?!

"Sudah! Nggak ada cerai-ceraian! Laki-laki selingkuh itu normal. Bapaknya Adji juga dulu selingkuh, tapi ibu tetap memaafkan. Dan buktinya, rumah tangga ibu bertahan sampai bapaknya Adji meninggal." Aku melotot tidak percaya dengan yang satu ini.

Apa??? Laki-laki selingkuh itu normal ??? Yang benar Saja!!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!