Bab 11

Mas Arya dan Mas Adji baru saja pulang dari rumah sakit. Ini sudah yang kesekian kalinya Mas Adji memeriksakan penyakitnya.

"Bagaimana Mas?" tanyaku penuh harap. Bagaimanapun juga aku ingin Mas Adji segera sembuh.

Kali ini aku tidak ikut mendampingi mereka berdua karena Keisha sedang demam dan aku tidak tega untuk menitipkan dia di rumah ibuku.

"Tidak ada perubahan," jawab Mas Adji putus asa.

"Besok kita cari dokter lain, kita datangi rumah sakit lain. Kamu pasti sembuh!" ucap Mas Arya sambil menyiapkan kursi roda untuk Mas Adji.

"Apa tidak sebaiknya kita coba metode pengobatan alternatif? Terapi misalnya atau obat herbal?" tanyaku ikut putus asa.

"Tidak ada salahnya dicoba kan Mas?"

Aku sangat ingin Mas Adji sembuh. Aku sudah sangat lelah menghadapi Mas Adji yang setiap malam berteriak kesakitan. Aku yang setiap malam bangun untuk mengompres kakinya. Aku juga yang mengurus semua keperluan kamar mandinya.

Memang itu semua sudah menjadi tugasku sebagai seorang istri. Tapi ini terasa berat sekali karena kondisi hubungan kami yang seperti ini.

"Kita tunggu setelah minum obat yang terakhir ini. Kali ini dokter memberikan obat yang bagus dan mahal. Kaki Adji pasti langsung sembuh."

Seminggu sudah berlalu, kondisi kaki Mas Adji tidak menunjukkan adanya kemajuan. Obat mahal yang Mas Arya sebutkan nyatanya tidak membuat kaki Mas Adji langsung sembuh bahkan malah memperburuk kondisi keuangan kami.

Mas Arya sudah tidak bisa membantu biaya pengobatan. Aku bisa mengerti karena selama ini dia sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk kesembuhan Mas Adji.

...****************...

Aku baru saja dari mesin ATM mengambil uang. Kuambil sisa uangku yang tinggal tiga juta dari rekening.

Apa ini cukup untuk sebulan? Untuk biaya kontrol ke rumah sakit, biaya sekolah Keisha, kebutuhan sehari-hari dan keperluan lainnya?

Kupijit pelipisku untuk mengurangi stress di kepalaku. Sebisa mungkin aku harus berhemat.

Selesai dari ATM, kulajukan motorku pulang karena sudah malam. Seperti biasa, Keisha aku titipkan di rumah ibuku jadi aku bisa lebih tenang.

Sampai di rumah aku melihat ada sepeda motor terparkir di halaman. Bukan milik salah satu keluargaku maupun keluarga Mas Adji. Aku langsung masuk ke dalam rumah untuk melihat siapa yang datang. Mungkin saja itu rekan kerja Mas Adji yang datang untuk menjenguknya.

Pintu kamar Mas Adji terbuka, jadi aku langsung masuk begitu saja. Jantungku langsung berdetak lima kali lebih cepat begitu melihat siapa yang tengah berada di dalam kamar Mas Adji. Eva sedang duduk di tepi ranjang sama persis ketika aku sedang mengompres kaki Mas Adji.

"Eh ... Jeng Winda sudah pulang," ucap Eva ramah tapi aku menganggapnya genit.

Aku hanya mengangguk karena belum menguasai keadaan. Aku menoleh ke arah Mas Adji untuk meminta penjelasan darinya lewat tatapan mataku, tapi dia malah terlihat salah tingkah sendiri.

"Apa aku mengganggu?" tanyaku seolah akulah tamu di rumah ini.

"Nggak kok Jeng ... Ini aku sudah mau pulang. Kebetulan tadi aku main ke rumah temanku di dekat-dekat sini dan kudengar Mas Adji sakit. Jadi aku sempatkan mampir untuk menjenguk Mas Adji," terang Eva panjang lebar.

Dia sama sekali tidak terlihat salah tingkah. Aku merasa risih ketika Eva terus memanggil Mas Adji dengan sebutan "Mas" sama seperti aku memanggilnya. Dia seperti sedang menunjukkan padaku kalau dia dekat dengan Mas Adji.

"Oh ... gitu ya Jeng Eva?" jawabku tak kalah ramah. Aku sudah bisa menguasai diriku dan tahu bagaimana harus bersikap.

"Kok Jeng Eva bisa tahu kalau suamiku sakit?"

"Oh ... Itu ada temanku yang ngasih tau."

"Bukan karena suamiku udah lama nggak minta pijat ke Jeng Eva kan?"

"Saya kan ada kenalan di daerah sini jeng, jadi ada yang ngasih tau gitu."

"Iya ... ya ... Kenalannya Jeng Eva kan banyak. Mereka langganan pijat juga?" tanyaku pura-pura bodoh.

"Win, mana obatku?" Mas Adji memanggilku untuk menarik perhatianku.

Aku tahu itu caranya agar aku menghentikan percakapanku dengan Eva. Tapi tidak aku pedulikan.

"Ya udah ya Jeng, aku pulang dulu."

"Kenapa buru-buru sih? Nanti aja nggak apa-apa. Kan belum pernah main ke rumahku?" ucapku dengan sangat ramah, seakan sahabat baikku yang lama tidak berkunjung akan pamit pulang.

"Sudah malam Jeng, lain kali aja."

"Ya sudah kalau begitu, tapi makasih lho sudah repot-repot. Bukan saudara, bukan tetangga, bukan rekan kerja juga tapi mau meluangkan waktunya untuk menjenguk suamiku," sindirku halus.

Sejak tadi aku sengaja menekankan kata "suamiku" agar Eva sadar posisinya.

" Ah ... Nggak apa-apa Jeng, nggak ngrepoti juga kok," jawab Eva santai.

Evs sama sekali tidak merasa tersindir atas kata-kataku barusan. Berbeda dengan Mas Adji yang terlihat sangat tegang. Aku mulai berpikir mungkin sebenarnya Eva ini, antara sedikit oon dan tidak tahu malu.

Aku mengantarkan Eva sampai ke depan rumah dan menunggunya mengendari motornya menjauh sampai tidak terlihat oleh mataku. Aku harus memastikan lebah pengganggu ini keluar dari sarangku. Lalu aku kembali masuk ke kamar Mas Adji.

"Aku tidak tahu kenapa dia kesini Win." Mas Adji berusaha menjelaskan sebelum aku sempat bertanya.

"Tidak perlu menjelaskan apapun Mas! Tidak penting dan aku juga tidak mau tahu!" jawabku ketus.

"Jangan marah dulu dong Winda sayang ... Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Aku tidak marah!" jawabku semakin ketus yang menandakan aku sangat marah.

"Seandainya tadi aku tidak langsung masuk, mungkin kalian sudah melakukan "sesuatu" dan aku bisa merekam atau memotretnya. Dan itu bisa kujadikan bukti di pengadilan nanti," ucapku sambil menyerahkan sebutir kapsul ke tangan Mas Adji.

"Dia hanya ingin menjengukku."

"Memakai daster yang memperlihatkan belahan dadanya?! Apa dia pikir kamu akan langsung sembuh jika melihatnya berpakaian seperti itu?!" jawabku masih dengan nada ketus.

Mas Adji membuka bibirnya hendak bicara lagi, tapi tidak ada kata yang keluar. Dia malah tersenyum melihatku.

"Kamu cemburu?" tanyanya dengan manis.

"Tidak! Siapa yang cemburu?! Enak saja! Jika kamu ingin selingkuh, paling tidak carilah yang lebih segalanya dibandingkan aku!"

Entah kenapa aku jadi salah tingkah. Dan Mas Adji semakin tersenyum-senyum melihatku.

"Heran saja, apa dia tidak masuk angin malam-malam naik motor pakai pakaian seperti itu?!" aku semakin meracau.

Segera aku keluar dari kamar Mas Adji agar salah tingkahku tidak semakin terlihat. Aku tidak mengerti perasaanku. Tidak ada lagi rasa marah dan kecewa seperti ketika aku pertama kali mendengar perbuatan mereka. Tidak ada lagi rasa ingin menjambak, memaki, menghina seperti yang viral-viral di media sosial "istri sah melabrak pelakor" semacam itu.

Dulu keinginan itu sangat menggebu. Ingin sekali aku memaki-maki pelacur itu. Tapi keinginan itu menguap begitu saja seiring berjalannya waktu. Untuk apa menyalahkan wanita lain jika suamiku juga menginginkannya.

Mau bagaimanapun wanita itu menggoda, jika suamiku berpegang teguh pada cinta dan komitmen kami, pasti hal tidak diinginkan itu tidak akan terjadi. Dia tidak akan mempertaruhkan rumah tangganya demi kenikmatan sesaat.

Memang sudah pekerjaan Eva untuk menggoda laki-laki. Selanjutnya, tergantung seberapa kuat iman laki-laki itu.

Terpopuler

Comments

wuland

wuland

namanya laki laki lemah iman, ibarat kucing, di rumah disediakan daging enak dan halal, di luar diberi ikan asin ya oke saja

2023-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!