Bab 2

Pagi harinya aku tetap menjalankan aktivitasku seperti biasa. Aku tetap memasak, membersihkan rumah, menyiapkan keperluan Keisha bahkan keperluan Mas Adji juga meski aku masih marah padanya.

Tadi malam aku tidak ingin bersamanya dan memilih tidur di kamar Keisha. Untuk saat ini, aku malas untuk bicara dengan Mas Adji apalagi menatapnya. Rasanya jijik membayangkan Mas Adji bersama Eva.

Setelah mengantar Keisha sekolah, aku langsung menuju supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis. Selain itu aku ingin menjernihkan pikiran agar tidak terus terbayang-bayang Mas Adji dan Eva.

Saat tengah fokus memilih belanjaan, tiba-tiba seorang wanita datang menghampiriku.

"Hai Jeng... Sedang belanja juga?" sapa wanita itu.

Aku menengok untuk melihat siapa yang sedang menyapaku. Jantungku berdegup kencang sekali seperti genderang perang yang sedang ditabuh. Dialah Eva, wanita yang tadi malam menjadi sumber pertengkaranku dan Mas Adji. Wanita itu kini berdiri di hadapanku dan tersenyum kepadaku. Walau tidak mengenalnya, aku tahu siapa dia. Rumor tentang dia sudah menyebar kemana-mana. Untuk sesaat pikiran ini kosong tidak tahu harus bagaimana.

"Hai Jeng Eva... Kok bisa kebetulan ketemu di sini?" jawabku setelah aku berhasil menguasai diriku. Sebisa mungkin aku bersikap biasa walaupun hatiku seperti lautan yang tengah menghadapi badai.

"Dari dulu aku kalau belanja di sini Jeng, cuma belum pernah ketemu sama Jeng Winda saja," jawab Eva sambil tersenyum. Entah bagaimana dia bisa mengenalku.

Senyum itu, entah kenapa aku muak melihatnya. Ini bukan senyum ramah, tapi senyum genit yang dibuat-buat, menurutku. Sekilas aku mengamati penampilan Eva. Dia mengenakan legging dengan kaos pendek super ketat yang memperlihatkan dengan jelas lekuk tubuhnya.

Dari segi wajah, aku jauh lebih cantik dari Eva. Hanya saja dia merias wajahnya hingga terlihat lebih segar. Dia juga sering mengenakan baju ketat atau terbuka yang cenderung seksi, jadi mungkin terlihat lebih menarik di mata pria.

"Gimana kabar Mas Adji? Sudah lebih baik?" tanyanya dengan senyum mengembang membuatku semakin muak. Dia menyebut nama Mas Adji seakan-akan dia sudah akrab dengan suamiku itu.

"Memang suamiku kenapa?" tanyaku.

"Suamimu kan sering pijat di aku. Katanya badannya sering pegal-pegal dan lemas gitu."

Rasanya hatiku sudah terkena badai tornado mendengar jawaban Eva.

"Benarkah?" Kata itu terlepas begitu saja dari mulutku seakan aku tidak sadar telah mengucapkannya.

"Memangnya Mas Adji nggak cerita sama Jeng Winda?"

Aku pura-pura melihat jam di tanganku untuk menyembunyikan rasa marahku.

"Duh Jeng ... Sudah waktunya jemput anakku sekolah. Aku duluan ya ...." ucapku asal.

Itu hanya alasanku saja agar aku bisa secepatnya pergi dari hadapan Eva. Aku tidak mau dia melihat wajahku memerah karena menahan amarah.

Ingin sekali aku bertanya apa saja yang sudah dia lakukan dengan suamiku tapi aku urungkan.

Sebelumnya aku sudah diberi tahu temanku jika suamiku sering mendatangi rumah Eva. Tetapi rasanya lain ketika aku mendengarnya dari mulut Eva sendiri. Kata-katanya langsung bisa *******-***** hatiku.

Eva adalah seorang janda yang tinggal di desa yang bersebelahan dengan desaku. Dia sudah dua kali menikah dan dua kali pula bercerai. Untuk menyambung hidupnya, dia membuka praktek pijat di rumahnya. Tetapi kebanyakan yang menggunakan jasa pijatnya adalah laki-laki, hingga muncul berita jika Eva menyediakan jasa pijat plus-plus di rumahnya.

Aku bergegas menuju kasir dan membayar belanjaanku. Setelah itu aku mengendarai motorku pulang ke rumah.

Pikiranku kembali mendidih mengingat kata-kata Eva. Mas Adji meminta di pijat oleh wanita lain, apakah aku sebagai istri tidak bisa memijatnya? Mas Adji sudah sangat mempermalukan aku.

Kalau sudah begini, apa aku bisa berpikiran positif tentang suamiku? Apa mungkin Mas Adji hanya dipijat saja? Apa mereka tidak melakukan hal lain selain itu? Berada di dalam kamar berdua, dan Eva menggerayangi tubuh suamiku. Aku bergidik membayangkan apa yang mungkin mereka lakukan.

Jadi berita itu benar adanya. Mas Adji memang berkunjung ke rumah Eva. Misalnya mereka tidak melakukan hal lain selain pijat, apa pantas dua orang berlainan jenis, tidak ada ikatan darah dan juga bukan suami istri berada di dalam kamar berdua?

Apakah aku hanya terlalu posesif, tidak rela ada perempuan lain bersama suamiku apalagi sampai menggerayangi tubuhnya. Apa aku yang berlebihan menanggapinya atau ini memang tidak wajar?

Sore harinya sepulang kerja Mas Adji tidak pergi kemana-mana. Dia tahu aku masih marah padanya jadi mungkin dia tidak ingin menambah konflik baru lagi. Mas Adji duduk di sofa sambil menemani Keisha menonton televisi, hal yang jarang sekali dia lakukan. Aku hanya diam dan terus menatap smartphoneku melihat baju-baju di marketplace.

Tidak ku ceritakan pertemuan tidak sengajaku dengan Eva. Aku terlalu malas bicara dengannya, lagipula ada Keisha di sini. Aku tidak mau dia melihat kami bertengkar. Tapi nanti jelas aku akan membicarakannya dengan Mas Adji, tinggal tunggu waktu yang tepat saja.

Aku tidak tahu kenapa hubunganku dengan Mas Adji jadi seperti ini. Dulu rumah tangga kami bahagia dan baik-baik saja. Keadaan mulai berubah ketika Mas Adji naik jabatan untuk yang pertama kalinya menjadi supervisor. Dia punya kebiasaan baru yaitu berjudi dan minum alkohol. Hobi barunya ini dia dapatkan dari teman-teman kantornya sesama supervisor.

Dia sering meninggalkan aku dan Keisha untuk berkumpul bersama teman-teman kerjanya entah untuk berjudi atau minum-minuman keras. Tak jarang dia pulang dalam keadaan mabuk. Mas Adji jadi jarang di rumah. Hubungannya dengan Keisha pun renggang, tidak seperti ayah dan anak.

Aku sudah berusaha memberitahu jika kebiasaan barunya ini tidak baik untuknya, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia mengatakan tidak enak menolak ajakan teman-temannya. Aku sering marah jika mendapati Mas Adji pulang dengan aroma alkohol di tubuhnya dan itu memicu pertengkaran diantara kami.

Keadaan bertambah buruk ketika Mas Adji naik jabatan untuk yang kedua kalinya menjadi Branch Manager. Dia mendapatkan fasilitas mobil dari kantor dan akan menjadi hak miliknya setelah beberapa tahun. Ini membuat Mas Adji semakin menjadi-jadi.

Hampir setiap hari dia pulang larut dalam keadaan mabuk. Hal itu membuat kami semakin sering bertengkar. Tetapi aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun dan hanya ku pendam sendirian. Bagiku, aib rumah tanggaku hanya aku saja yang tahu.

Lama-kelamaan aku bosan. Aku biarkan Mas Adji melakukan hal yang sekarang menjadi hobi barunya. Mabuk, judi, karaoke terserah. Bukan karena aku mengijinkannya, tetapi karena aku terlalu lelah setiap hari bertengkar dengan alasan yang sama.

Aku sudah tidak marah lagi jika Mas Adji pulang malam dalam keadaan mabuk. Selama uang belanjaku lancar dan dompetku selalu penuh lembaran uang, aku akan terima. Aku tetap diam dan menutupi itu semua dari keluargaku dan juga keluarga Mas Adji. Dan akhirnya itu menjadi boomerang buatku.

Tetapi rupanya aku terlalu memberikan kebebasan kepada Mas Adji. Aku terlena karena uang belanjanya yang kadang berlebih untukku hingga aku tidak menyadari ada hal lain yang Mas Adji lakukan di luar rumah selain mabuk dan berjudi sampai seseorang memberitahuku.

Awalnya aku tidak percaya. Aku sangat yakin Mas Adji mencintai aku dan tidak akan mau berbuat macam-macam dengan wanita lain. Tetapi sepertinya aku belum bisa menerima kenyataan jika suamiku sudah tidak seperti yang dulu.

Terpopuler

Comments

Tri Soen

Tri Soen

Menyakitkan memang ya ketika kita diam menutup rapat kelakuan buruk pasangan kita tapi ternyata mlh menjadi bumerang 😭

2022-11-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!