Young Miss
Aku menatap kosong di sudut ruangan, dekat vas berisi hiasan berupa rangkaian bunga mawar segar sambil sesekali menyeruput ice lemon tea yang kubawa. Dalam situasi di mana aku merasa 'tersasar' ini yang bisa kulakukan cuma makan, minum & bengong sampai batas waktu aku diperbolehkan untuk hengkang dari lokasi.
Tak kusadari seseorang sudah berada di dekatku & aku sedikit berjengit kaget saat ia memulai pembicaraan.
"Kenapa di sini sendirian sih? Membaur dong!" tuntutnya.
Aku menelan minuman yang tersisa di rongga mulutku.
"Ya habis aku nggak kenal semua, maah.." balasku semelas-melasnya berharap kecil kata-kataku dimengerti oleh nurani keibuannya.
Mila, mamaku dengan wajah miring sinis memandang ke arahku sambil menunduk,
"Kamu kan udah sering diajak ke pesta model begini, pasti ada lah beberapa yang udah kamu kenal. Meskipun cuma namanya."
Dengan dagunya ia menunjuk pada seseorang yang tertangkap oleh mata lentiknya.
"Tuh.. Ada Pak Georg yang pernah dikenalkan papamu di acara ulang tahun PT Prime. Di beberapa acara udah sering kamu liat kan?"
Seorang pria paruh baya dengan kemeja coklat tengah ngobrol dengan sekumpulan orang sebayanya tak sadar sedang kami bicarakan.
Mencoba mencari alasan pembenaran lagi aku melanjut.
"Tapi masa kenal nama aja trus ngajak ngobrol? Sok kenal sok dekat gitu aku males banget. Pasti ntar banyak awkwardnya."
Otakku berusaha mencari contoh kasus dengan cepat
"..coba bayangin, andai mama di posisiku. Satu-satunya orang yang mama kenal di sebuah tempat ramai cuma orang yang umurnya jauh dari kita & gak ada kecocokan pendidikan, pengalaman ato hobi. Katakanlah mama ketemu ama anak SD gitu…"
Mila mendengus kalem, " Yah tergantung.. " kata-katanya dia beri jeda agar terdengar lebih dramatis.
" ..tergantung si anak SD itu bisa ngasi benefit ke mama ato gak. Itu intinya!" tangannya mengibas pelan juntaian rambut yang sengaja dibiarkan lolos dari model rambut up-do modern yang membingkai wajahnya.
Aku cuma tersenyum kecut selebar mungkin lalu meneguk sisa lemon teaku dengan sekali teguk. Sedari dulu Mila memang begitu, sering menilai orang berdasarkan level kepentingannya & apakah orang tersebut bisa berguna di kemudian hari. Dan Mila yang masih nampak lebih muda dari usianya yang pertengahan 40an nggak sungkan untuk blak-blakan denganku perkara hal ini.
"Udah deh! Enggak usah banyak alasan. Minimal jangan mojok di sini, kamu jalan berkeliling aja pasti ada 1-2 yang ngajakin ngobrol."
nada suara Mila mulai tersengar nggak sabar. "Lagipula siapa sih yang nggak mengenal ato bahkan pingin kenalan dengan putri tunggal keluarga Wismail?"
Mataku melirik ke atas sok mikir keras, "Kayaknya nggak ada deh. Soalnya kan aku cuma anak bawaan.." balasku tanpa memandang langsung ke arah Mila. Takut memandang tatapan galaknya.
Mila berkacak pinggang tanda merasa emosinya mulai diuji.
"Tapi kamu udah jadi bagian keluarga ini sejak lulus SD kan? Sebagian orang bahkan udah mulai bergosip klo kamu juga bakal jadi kandidat pewaris Wismail." ujung bibir Mila terlihat melengkung puas.
"Udah dong Ma.. Aku nggak suka kalo kita bicara waris-warisan gini. Kayak setengah ngedoain Papa cepet meninggal aja!" tanpa kata-kata lagi aku beranjak dari posisi awalku meninggalkan Mila tanpa menoleh lagi ke arahnya.
Dari jauh aku mendengar Mila melanjutkan mengomeliku
"Keliling sana. Kalo enggak, di pesta selanjutnya Mama paksa kamu pake baju pesta yang belahan kakinya sepinggang." ancamnya kalem.
Tapi harus kuakui ancaman Mila sedikit berefek. Karena dari pengalamanku dia sangat pandai membuatku, a.k.a memaksa, sehingga aku jadi menuruti kemauannya. Sekalipun aku amat sangat menentangnya.
Aku berjalan membentuk garis horisontal dari pojokan tempatku mengobrol dengan Mila menuju pojokan di seberang dengan ogah-ogahan. Tak terhindarkan, aku memandang kerumunan paling ramai di acara yang tak lain adalah 'tokoh utamanya' pesta ini, Irza.
Pesta ini diadakan untuk merayakan kelulusan Irza menempuh pendidikan Strata 1 nya, sekaligus perpisahan karena dia akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas di US. Dengar-dengar dia juga berencana untuk setengah magang di perusahaan cabang sana juga sebagai pengalaman.
Kakak tiriku terlihat tenggelam oleh orang-orang yang mengerumuninya entah dia kenal ato sekedar cari muka.
"Baik-baik yah di New York, Za!"
"Kok cepet banget sih lusa udah berangkat? Padahal wisudamu kan baru minggu lalu."
"Kapan rencananya mulai kerja Di Wismail Grup? 2-3 tahun lagi?"
"Meskipun di Amrik sering kabari kita dong!"
Pertanyaan yang bersahut-sahutan dengan sabar dilayani oleh Irza. Meskipun wajahnya terlihat jenuh tapi dia tahu bahwa orang-orang yang mengerumuninya bukan orang biasa yang suatu saat mungkin akan menguntungkan bagi Wismail Grup ke depannya.
Kalau membayangkan pesta wisudaku nanti juga gambarannya seperti ini rasanya sudah capek duluan.
Aku keluar menuju beranda menghindari keramaian dan lampu yang terlalu terang yang makin membuat mulai pusing. Angin yang mengelus halus meringankan kepalaku sejenak dari kepenatan dan menyegarkan kulitku yang mulai agak kering karena terlalu lama terpapar AC.
Padahal baru saja aku merasakan ketenangan tiba-tiba harus terganggu oleh adanya suara cekikik kecil yang membuatku mencari sumbernya. Beranda luas yang penuh tanaman pot besar itu rupanya menyembunyikan dua sosok manusia yang sedang bermesraan.
Tanpa niat lebih jauh untuk mencari tahu identitas dua orang yang sedang 'sibuk' tersebut. Aku berniat pergi diam-diam. Tapi langkahku terhenti saat seseorang dengan suara yang berat memanggil namaku dari lokasi lain.
"Kika..? Kok sendirian di sini?" seseorang rekan bisnis Papa yang pernah kutemui beberapa kali di acara pesta muncul di ambang pintu yang menghubungkan lokasi pesta & beranda.
"Wah.. Andai Om tahu kalau Kika di sini sepanjang acara, Om pasti langsung kemari."
Sedikit ragu tapi aku menanggapinya kalem.
"Ada apa Pak Prime mencari saya?"
Dari jauh pun aku bisa melihat kalau orang ini mabuk. Mukanya sedikit merah dan caranya berdiri tidak terlalu tegap.
"Kalau Pak Prime mencari Papa, beliau ada di dekat deretan kursi para Diamond Eksekutif bersama Handa sekertarisnya."
Georg Prime menggeleng dengan tangannya yang memegang minuman namun telunjuk terbentang berayun kiri-kanan tanda tak setuju.
"Panggilnya kok resmi amat? Panggil aja saya Om Georg.. Dan yang saya cari itu Kika kok, bukan Papamu.."
Gelagat Georg membuatku semakin tak bisa betah berlama-lama dengannya. Aku menundukkan kepala berbasa-basi untuk meminta izin pergi seraya berusaha melewatinya setenang mungkin. Tapi jalanku untuk melewati ambang pintu dihalangi oleh tangannya yang bebas melebar menutup celah.
"Saya ingat dulu kamu waktu pertama kali jadi anggota keluarga Wismail di pernikahan Mamamu.."
Si 'Om Georg' memandangku dari atas sampai bawah. Jarak kami yang sedikit dekat membuatku merinding.
"..siapa sangka sekarang kamu sudah mekar jadi sangat cantik & molek." tangannya yang memegang gelas minuman keras memberi gestur lekukan tak sopan.
Seandainya ada pot bunga ukuran kecil yang beratnya nggak lebih dari 10 kg di sekitarku pasti sudah kulayangkan ke mukanya yang berkumis seperti Tony Stark itu. Aku memandang galak ke arahnya, setidaknya aku ingin dia tahu bahwa dia sedang membuatku tak senang.
"Lho, nggak usah marah gitu dong mukanya. Om kan cuma memuji."
Georg terkekeh lalu meneguk minumannya agak tertumpah-tumpah.
"Gini aja deh, tiap bulan Om transfer 10 juta, asal dik Kika tiap weekend ke rumah Om. Yah, sampai nginep pun nggak apa-apa kok. Mamamu juga pasti ngebolehin kan? Toh kalian satu tipe. Beliau pasti mau ngerti... "
"Nggak salah Om?!"
Aku memotong setengah menyentak, Georg yang tak menyangka mendengarku menyela terdiam.
"Cuma 10 juta? Apa nolnya nggak kurang satu lagi?! Saya ini putri tunggal keluarga dari Wismail Grup, nggak mungkin lah ya bisa digandeng dengan harga 'cuma' segitu."
Georg terlihat tak suka dengan balasanku yang tidak dia duga segera berbalik mencari cara yang tepat untuk pergi setengah panik & muram.
"...Anak & ibu matrenya sama saja.." gerutunya tanpa sungkan dimuntahkan.
Aku memandang Georg yang menghilang di keramaian dengan dada panas. Meskipun sudah berkali-kali bertemu dengan orang-orang merendahkan Mila & aku tapi tetap saja nggak bisa terbiasa.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pergaulan orang-orang di ruangan ini kalau Mila menikahi Papa tiriku yang sekarang karena faktor harta & kuakui memang begitu faktanya, Mila bahkan dengan bangganya menyuruhku melakukan hal yang sama saat mencari pasangan hidup suatu hari nanti.
Aku berusaha untuk tidak berkedip supaya air mataku tidak meleleh & memandang keluar beranda agar angin malam mengeringkan bola mataku yang berkaca-kaca.
".. Huwiiih.. Ganaaaas…"
Sosok lelaki yang dari tadi bersembunyi di balik tanaman hias menunjukkan dirinya.
"..Perempuan keluarga Wismail emang beda kelas dengan yang kayak di sebelahku ya~!"
Mendengar itu sosok perempuan di sebelahnya yang nggak kukenal berlari pergi tanpa berucap dengan menyembunyikan muka merah karena malu & marah.
Aku memutar mataku sebal karena merasa lolos dari mulut hyena tua malah datang buaya darat. Sosok lelaki yang pakaiannya semerawut itu, samar-samar aku melihat sedikit bekas lipstik warna nude di bibir bawahnya, anggap saja lipstik perempuan tadi kalau bukan ya berarti perempuan yang dia rayu sebelum ini.
"Bukan urusanmu, Mas playboy kepo."
Aku memberi senyum basa-basi dengan mata sinis untuk menyembunyikan perasaanku yang rusak malam ini & berpikir hanya ingin sesegera mungkin beranjak dari beranda yang ternyata adalah nerakaku hari ini.
"Eits.. Jangan gitu dong.."
Lelaki itu mendekatiku dengan tiga langkah cepat yang lebar dan segera ia mendekatiku, senyumnya yang diliputi niat nggak baik membuatku jijik. Tapi karena kami pernah bercakap-cakap beberapa kali sebelum ini. Rasa merindingnya tak separah dengan Georg Prime tadi.
"Aku kan juga berminat dengan tawaranmu. Buatku yang pewaris tunggal VOA Grup, sebulan kalo cuma 100 juta sih kecil.."
Tangan kanannya terangkat memberi isyarat pertemuan jempol & kelingking yang lalu disapukan kecil.
Aku tersenyum berusaha semanis mungkin karena setelahnya aku akan melontarkan kata-kata terpedasku, "Johanh, di sakuku ada semprotan merica. Kalo tangan kakak nggak segera melepaskanku nanti wajahmu yang ganteng itu bisa merah seminggu lho."
"Baru kali ini kamu memujiku ganteng! Apa ini artinya kamu mulai tertarik padaku..?"
Memang senyumnya agak goyah mendengar ancamanku tapi kini kedua tangannya memegang bahuku dan menyandarkanku di dinding seolah menyambut tantangan.
Tanganku meski sedikit tidak bebas sudah siap di saku tersembunyi gaun blackdressku memegang kaleng merica semprot mini yang dibelikan Mila, tak kusangka akan benar-benar berguna. Aku memantapkan hati jika Johanh melakukan tindakan yang lebih jauh, akan ada jeritan kesakitan di sela-sela pesta malam ini.
"KIKA!"
Sebuah suara yang kukenal menggelegar penuh amarah membuatku yang terfokus pada Johanh kaget dan tentu saja Johanh pun tak kalah terkagetnya hingga dia sedikit memundurkan tubuhnya.
Aku menoleh ke arah pintu beranda, arah suara namaku dipanggil, & mendapati Irza, menatap ke arahku & Johanh tajam.
"..Papa mencarimu untuk mengajakmu pulang bersama. Ayo masuk!"
Hatiku menjadi luar biasa ringan menemukan celah besar untuk segera mengakhiri kemelut di beranda yang tak kunjung selesai.
Kak Irza memang selalu bisa kuandalkan. Meskipun kami saudara tiri tapi dia memperlakukanku dengan baik & bertindak sebagai seorang kakak penyayang.
Aku memecah genggaman bahu Johanh yang melemah & segera berjalan cepat mengikuti Irza yang mendahuluiku keluar dari ruang utama menuju lorong yang akan mengarahkan kami ke lobby tempat parkir valley tersedia.
Aku melirik Irza yang memunggungiku & memecah kesunyian kami berjalan.
"..Kak Irza untung saja ta-"
Sebelum ucapanku selesai Irza berbalik dan menatapku dengan tatapan yang tak pernah kudapatkan darinya.
"..ternyata aku salah menilaimu.." tatapan Irza yang secara gamblang menunjukkan rasa kecewa & marah menatapku.
"..aku pikir kamu berbeda dengan wanita ular itu. Ibu & anak sama saja! Bodoh sekali aku yang selama ini tertipu dengan aktingmu yang sok suci."
Kebingungan tapi aku menemukan kekuatan untuk bersuara.
"..kak.. Kamu salah paham.." aku berusaha membela diri.
Tapi yang terucap cuma bahasa yang lambat untuk dikatakan. Rasa shock membuat otakku susah menata apa yang ingin kukatakan untuk meluruskan.
"Jadi kamu yang minta transfer 100 juta dari Georg Prime & Johanh Astin juga aku salah dengar?"
Irza menampakkan senyum sinis tapi tatapannya yang menghakimiku secara negatif tetap menyala terang.
"..Aku nggak sengaja dengar waktu nyari kamu karena dipanggil Papa.. Dan ternyata.."
Irza tertawa miris lalu mendengus
"Hebat juga kemampuanmu bisa bermanis-manis ngemainin dua lelaki di satu tempat!"
"…itu.. Mereka yang…" aku panik.
Terlalu banyak hal yang terjadi malam ini & banyak yang ingin aku ucapkan sebagai pembelaan sampai tak tahu harus mulai dari mana. Tentang beban di hatiku setiap mendengar orang melecehkanku & ibuku sebagai perempuan matre pengincar pria kaya.
Namun di satu sisi aku ingin menyelesaikan hinaan itu tanpa memberi efek buruk pada nama besar Wismail Grup.
Hanya saja, detik ini hinaan itu meluncur dari mulut orang yang selama ini menjadi panutanku. Hal itu puluhan kali lipat lebih menghancurkan hatiku dibandingkan apa yang dilakukan Georg & Johanh tadi.
"..sudahlah! Nggak ada gunanya aku bicara sama orang bermuka dua macam kamu!"
Irza berbalik & berlalu secepatnya menuju ujung lorong meninggalkanku.
Aku yang terdiam shock di lorong yang sepi cuma bisa meneteskan air mata tak mampu untuk berkata-kata, terbungkam oleh salah paham yang tak kuduga akan terjadi karena kebodohanku mengambil sikap. Berkat itu, salah satu orang yang dekat denganku kehilangan kepercayaannya padaku.
Air mataku tetap tak berhenti tanpa suara meskipun Handa, sekertaris pribadi Djati mendatangiku & langsung kebingungan melihatku berpipi basah. Karena tak ingin ditanyai macam-macam, aku langsung memberi cerita singkat bahwa mataku kemasukan bulu mata yang rontok sebagai alasan air mata yang jatuh.
Aku sadar bahwa itu alasan yang pasti ketahuan bohongnya, terutama karena aku mengatakannya dengan suara tercekat sengau & hidung yang merah. Namun aku bersyukur Handa memahami isyarat yang kumau & tidak melanjutkan ke pertanyaan yang ingin kuhindari.
Aku mengakhiri malam itu tanpa tidur karena kelelahan batin yang membuatku terjaga. Semalaman aku memikirkan cara bagaimana untuk membuat kepercayaan kakak laki-laki tiriku utuh lagi padaku namun tak satu pun ide terberesit.
Hingga kepergian Irza menuju New York, kami tak sempat meluruskan kesalah pahaman ini. Bahkan dia seperti sengaja menghindariku & aku pun juga tak tahu harus berkata apa menghadapi orang yang sudah tidak mempercayai apapun kata-kataku lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Friasta
Hey, Kak, aku mampir, yaaa. Chapter 1 udah bagus, tulisannya rapi. Aku lanjut baca yaa 🥰
2022-12-07
0
Green Garden
Permisi author dan para pembaca setia noveltoon.
Baca juga karya novel aku yang judulnya counting of love.
Tinggalkan komentar,like dan votenya juga ya...
2021-03-21
1
Indraqilasyamil
kasiannya kika nga bisa kasih penjelasan ke kakaknya irza
2021-02-26
1