Seperti yang sudah disepakati bersama Irza, aku berjalan menuju pintu depan untuk mencari Handa. Memang ada kemungkinan kalau Handa sudah memasuki ruang acara tapi sekalian saja aku mencari angin segar.
Tapi sebelum itu aku menyempatkan diri ke toilet yang tak sengaja kutemukan saat berjalan menuju gerbang depan. Untungnya toilet wanita sedang sepi. Mungkin karena acara mendekati puncak & para pengunjung pasti tak ingin melewatkan penampilan Roseanne, penyanyi ballad yang sedang naik daun.
Di depan kaca wastafel kupandang wajahku, terutama area mata. Memastikan air mata yang berhasil kutahan mengalahkan gravitasi tidak membuat smear menyebalkan di ujung mataku. Agar lebih segar & sedikit menaikkan mood kugunakan mist spray ke seluruh wajah Serta leher.
Make up check yang cukup membutuhkan 10 menit berakhir. Tapi aku masih belum selesai di sini. Aku menutup mata agak lama lalu kubuka perlahan.
"Tidak apa-apa Kika."
Sambil memandang mata di balik cermin aku berkata dalam hati seolah mensugesti atau lebih mirip memantrai.
"Everything is gonna be okay."
"It is hard... But.."
"You can do it better."
Menarik nafas dalam & menghembuskannya adalah langkah terakhir sebelum kutinggalkan toilet yang sempat kujadikan tempat meditasi instan.
Kelihatannya para tamu yang hadir mayoritas berkumpul di aula utama. Terlihat parkiran yang penuh mobil mewah berjajar rapi, beberapa driver memenuhi ruang tunggu yang disediakan & suara riuh rendah orang mengobrol besahut-sahutan yang terdengar hingga pintu utama gedung.
Aku melinguk ke seluruh area, pandanganku mencari sosok sekertaris Djati yang belakangan ini seperti menjadi sekertarisku. Karena tidak segera menemukan tujuanku jadinya aku mulai mengeluarkan hape & mencoba mengontaknya via gadget.
Mengontak dengan message jadi keputusan yang lebih tepat daripada meneleponnya karena seandainya Handa sudah berada di ruang utama, dia mungkin sedang mengobrol dengan seseorang yang penting. Dan adanya telepon masuk menjadi prioritas ke sekian.
Kakiku melangkah kembali ke ruang utama. Melalui message yang kukirim pada Handa kukatakan bahwa aku menunggunya dekat meja desert. Maka ke sanalah aku tertuju.
Suasana ruangan mulai agak sepi tatkala acara dimulai & menteri perekonomian dipersilakan memberi kata-kata sambutan. Aku yang sudah mengambil beberapa desert yang disediakan prasmanan mulai mencari tempat yang cocok buatku menunggu datangnya Handa sekaligus menghindari pedekate orang-orang yang tak terlalu kukenal.
Tempat ideal itu ternyata tercipta di sisi ruangan sebelah selatan. Berada di ujung meja desert ada beberapa kursi, yang kelihatannya kursi cadangan, dekat pohon hiasan dengan meja kecil sebagai pemanis. Hanya ada satu orang saja yang menduduki area tersebut & ia sedang tenggelam mengetik di smartphonenya. Setelah aku mendekat ternyata itu adalah Johanh, yang entah bagaimana lolos dari terkaman para fansnya.
“Hei…” Aku menyapa sambil menaruh makanan hasil jarahanku di coffee table dekat kami duduk.
“Tadi makasih ya.”
Johanh mendengus, “Terlalu kamu!”
Aksi sok ngambek mulai dilancarkan.
“Padahal baru aja aku lolos dari gerombolan kuntilanak, eeeeh malah kamu bawain aku mak lampir..”
Tangannya diposisikan bersedekap & matanya tidak memandangku supaya aksinya nampak lebih dramatis.
“Lebay!” sahutku. “Masi cantik gitu dibilang mak lampir..”
Seolah nggak sudi dibantah Johanh makin menyerocos.
“Langganan operasi plastik gitu sebelah mananya yang cantik? Kayak nonton film horor lokal tauk!”
Tak berniat untuk berdebat mengenai hal-hal nggak penting dengan Johanh yang lagi sebel, aku memilih mengalah.
“Yah, sori deeh. Nih, aku bawa banyak jajan buat baikan…”
Kusodorkan aneka desert yang terdiri dari mini fruit tart, opera cake slice, strawberry choco fondue & bertumpuk cheese macaron. Mataku kusetting mode se-apologetic mungkin.
Johanh memandang sodoranku sambil geleng-geleng.
“Ya ampun.. Kamu nggak takut gendut makan manis segini banyak?! Aku enggak ah! Ntar perut six pack-ku berubah jadi one pack!”
“Tapi kalau buah boleh kaan??”
Aku meletakkan piring, yang daritadi kupegang, berisi beberapa buah potong. Sengaja kuambil juga supaya tidak eneg saat memakan banyak makanan manis. Johanh melirik piring berisi buah yang kusodorkan belakangan & langsung mencomot sebuah pear.
“Mana kakakmu?”
Johanh tiba-tiba bertanya ketika aku memulai untuk menghabisi si fruit tart terlebih dulu.
“Tadi aku & Kak Irza misah. Aku janjian ketemuan sama Handa di sekitar sini via message.” mataku terus bergantian memandang wajah Johanh & wajah fruit tart yang semakin berkurang keutuhannya.
Selanjutnya Johanh & aku sibuk menikmati hidangan sambil sesekali bertepuk tangan asal ketika beberapa orang naik turun panggung bergantian memberi sambutan acara.
“Kika.” tiba-tiba Johanh memanggilku.
“Kamu lihat nggak orang yang di sebelah Pak menteri perekonomian itu? Yang pake jas merah maroon, kemeja putih..”
Celingukan aku mencari orang yang dimaksudnya di antara samudra makhluk bernama manusia yang terus bergerak-gerak.
“Yang muka nya Tionghoa itu kan? Kenapa?”
“Itu Pak Sun dari Tiger Grup. Menurutku dia salah satu orang yang kudu diwaspadai oleh Wismail Grup.” Johanh berkata dengan santai padahal membahas hal yang cukup berat.
Berbeda dengan pria yang tengah menenggak gelas minumannya yang ke-3, aku jadi agak tegang. “Memang kenapa dengan orang itu?”
Johanh melap mulutnya yang agak basah karena minuman sebelum akhirnya melanjutkan.
“Bisnis yang dia kelola mayoritas banyak yang satu bidang dengan yang dikelola Wismail. Andai Wismail Grup beneran bankrut tentu akan menguntungkan grupnya karena mendapatkan pelanggan kalian.”
Aku mengeluarkan smartphoneku & mulai mencatat ceramah kecil Johanh. Yah, daripada lupa.. Mata Johanh mencari-cari seseorang yang hendak ia jelaskan padaku berikutnya.
Telunjuknya lalu mengarah pada seseorang yang berada dekat dengan tangga menuju panggung, “Lalu ada Heritanu dari MMC Grup. Secara bisnis tidak terlalu bersaing langsung dengan kalian tapi rumornya Papamu & Pak Heri ini hubungannya kurang baik.”
“Kurang baik yang gimana?” tanyaku meminta detail.
Johanh hanya mengangkat bahu, “Yang pasti di beberapa kesempatan. Papamu & Pak Heri ini pernah saling lempar sindiran yang membuat suasana memanas.”
Aku manggut-manggut sambil mencatat di smartphone. Rencananya aku akan crosscheck informasi yang diberikan oleh Johanh mengenai kebenarannya. Mungkin jika suatu saat aku harus melakukan meeting dengan Grup yang masuk di list smartphone-ku ini, aku bisa mempersiapkan diri.
“Ada lagi?” tanyaku.
“Kayaknya yang paling berbahaya cuma mereka. Yang lain mungkin ada yang bisa jadi ancaman buat kalian tapi kekuatan mereka tak seberapa bila dibandingkan dengan Pak Sun & Pak Heri tadi.” Johanh membersihkan tangannya dengan tisu.
"Kalau orang yang bernama Pamungkas, gimana?"
Johanh melirikku agak penasaran, "Orang itu sebenarnya netral. Dia juga pandai melihat peluang."
Sebelum melanjutkan Johanh agak terkekeh. "Tapi si tua bangka itu nggak ada matinya. Dia bahkan lebih sering ganti-ganti pasangan daripada aku."
"Kamu harus lebih mewaspadai kehidupan pribadinya daripada bisnisnya."
Dalam hati aku sudah bisa menduganya. Kalau teringat kejadian kurang ajarnya rasanya dadaku seperti mendidih & meledak.
Tak berapa lama aku melihat sosok tinggi yang kukenal berjalan ke arah kami.
“Jo! Kika! Ternyata kalian di sini!”
Masrur menyapa dengan suaranya yang berat.
“Ngapain kalian nyempil di pojok begitu? Kalian nggak melakukan hal-hal mencurigakan kan?”
Masrur memincingkan matanya sok curiga sambil senyum-senyum menggodai.
Johanh berdiri menjabat tangan Masrur reflek, “Istirahat lah bro. Capek harus jaim terus kan?”
Masrur menjabat tanganku dengan mencium punggung tangan kananku seolah itu hal yang sudah alami baginya.
Hari ini punggung tanganku dikecup oleh Pamungkas & Masrur. Meski gesturnya sama tapi punya mood yang berbeda. Masrur melakukannya secara natural, tidak bertele-tele & tanpa menyiratkan niat tersembunyi. Yang satu sebaliknya. Mungkin itu sebabnya Aku tidak reflek melap tanganku meskipun bersentuhan dengan bibir Masrur.
“Bintang tamu setelah ini penyanyi favoritku, temani aku mendengarkan di dekat panggung sambil ngobrol, please.”
Dia memohon sambil menatapku & Johanh bergantian. “Kenalanku di sini cuma sedikit. Berlama-lama sendirian di ruang seramai ini jadi kikuk banget.”
Johanh merangkul bahu Masrur, “Ayo deh! Eh.. tapi Kika lagi nunggu seseorang kan?”
Aku jadi tujuanku menunggu di dekat meja desert. Entah kemana si Handa ini, message yang kukirim tak dibalas & tak ada kabar beritanya.
“Ni orangnya nggak jelas juga..” keluhku.
“Tapi aku ikut kalian aja deh, daripada bengong sendirian nggak pasti begini. Aku kabari orangnya aja untuk minta dihubungi kalau mau ketemuan soalnya aku mau keliling.”
Kuterima ajakan Masrur karena sudah merasa kenyang dengan aneka desert yang sudah kulahap selama hampir 45 menit non-stop. Perutku rasanya mulai terasa berat. Beranjak untuk sekedar menurunkan isi perut nampaknya adalah opsi yang lebih baik.
Setelah aku memberi message baru, yang membatalkan pertemuanku dengan Handa di daerah desert, aku mengikuti langkah Johanh yang mengobrol dengan Masrur mendekati area panggung.
Bintang tamu yang diundang malam ini banyak yang berasal dari kalangan penyanyi papan atas yang lagu-lagunya sering diputar di radio & televisi. Meskipun Masrur keturunan arab tak kusangka dia menggemari lagu-lagu keroncong milik Sumdary Sukoco yang malam ini dinyanyikan dengan syahdunya sehingga menggugah mood para hadirin.
Aku, Masrur & Johanh menikmati tiap tarikan suaranya yang elegan sambil menyeruput minuman kami masing-masing. Masrur & Johanh memegang segelas champagne, sedangkan aku menggenggam sebotol air mineral yang kugunakan untuk menurunkan makanan yang barusan kulahap.
“Kika, gimana kerjaanmu? Udah mulai betah?” Masrur menanyaiku ketika Si Sumdary baru saja menyelesaikan tembangnya yang ke-2.
Bukannya yang ditanyai yang diperbolehkan menjawab, justru Johanh yang menyahut.
“Wah, dia mantab di bidangnya bro!"
Pujian Johanh memang membuatku tersipu tapi karena dia setengah memotong saat aku mau menjawab jadinya sedikit sebal juga.
“Setiap aku rapat sama papanya, namanya disebut terus kalo kita lagi ngobrol santai. Padahal papanya termasuk yang agak susah ngasi pujian.”
“Oh ya?! That's amazing..!” Masrur nampak terkejut & bersemangat mendengarnya. Pujian dari dua pria di depanku membuatku tak bisa membendung tarikan nyengir kudaku.
“Kika yang bertanggung jawab di Wiphone toh? Kalau hapeku rusak aku bisa minta tuker ke kamu yah!”
Lelaki bongsor itu mengeluarkan Wiphone yang sama yang pernah kulihat saat hari pertama kami bertemu & menunjukkannya padaku.
Aku tertawa mendengar request Masrur, “Boleh saja. Asalkan nanti Kak Masrur bantuin marketing produk baru kita di Asia barat yah.”
“I think that's a deal!” jawab Masrur sambil menoleh ke arah Johanh sebentar lalu bergantian ke arahku & mengulurkan tangannya mengajakku berjabat tangan.
Aku tak tahu ini merupakan good deal atau bukan tapi yang pasti kelihatannya Masrur bisa sangat membantu kami. Dengan pemikiran simpel itu aku membalas jabat tangan Masrur yang kuat. Johanh memandang kami bangga.
“Masrur?”
Sebuah suara memastikan di luar kumpulan tiga orang memecah dialog keakraban kami. Panggilan dengan suara wanita kebanyakan itu membuat kami mencari sumber suara tersebut dengan penasaran identitasnya. Mata Masrur & Johanh tertuju pada seorang wanita yang nampak dewasa dengan kulit bersih cantik berbalut gaun warna salem.
Raut wajah Masrur yang tadinya rileks berubah jadi sedikit kaku meskipun masih memberi ruang senyum simpul di wajahnya.
“Hai Marianka. Aku tak tahu kamu datang ke sini.”
Wanita itu mendengus. Mungkin karena dia cantik, maka di mataku dengusannya pun nampak elegan.
“Ini salah satu acara terpenting di Indonesia, aku jelas harus datang. Sebaliknya, kamu yang jauh-jauh dari Qatar buat apa datang kemari?” katanya tajam.
Tak butuh waktu lama hingga dia menyadari keberadaanku yang tepat di sebelah Masrur.
“Kamu.. Kika Wismail kan?”
Tiba-tiba diajak mengobrol setelah melihat seseorang sedang mengomeli orang lain membuatku gugup mencoba mengingat kesalahan apa yang sudah kuperbuat pada wanita ini.
“Perkenalkan.. Saya Kika Wismail.” hanya itu yang terlontar dari mulutku. Karena agak kaget Aku cuma bisa memperkenalkan diri minimalis seperti itu.
“Pacar barunya Masrur kali ini sopan sekali.” Marianka tersenyum sedikit sinis.
Aku cepat menggeleng, “B-bukan kok. Kelihatannya anda salah paham!”
Dari kata-kata & ekspresinya barusan aku menebak mungkin si Marianka ini ada sesuatu yang berhubungan dengan asmara dengan si Masrur atau setidaknya pernah. Dan cukup serius di antara kasusnya.
“Jangan galak-galak dong, Kak Marianka.” Johanh kini turut dalam percakapan.
Tangan pria itu merangkul bahuku sok akrab. “Entah apa yang membuatmu menyimpulkan Masrur & Kika sebagai sepasang orang pacaran padahal secara umur dia udah bangkotan kalau dibandingkan sama Kika yang baru mekar-mekarnya.”
Candaan Johanh cukup mencairkan ketegangan karena membuat Marianka tak bisa mempertahankan wajah dinginnya & tersenyum geli. Pandangan Marianka berubah sedikit melunak, mungkin karena dia percaya aku bukan siapa-siapanya Masrur.
“Terus? Maksudnya yang cocok untuk si Kika ini kamu, Jo?” ia memberi godaan menjebak.
“Yah.. Doakan aja nanti kita jadinya gimana.” Johanh tersenyum percaya diri.
“Ah.. Aku juga bukan siapa-siapanya dia kok.” Kini aku membuka mulut. Bagaimanapun aku tak bisa membiarkan si Johanh membuat gosip-gosip rancu bahwa kami ada sesuatu.
“Kami cuma kenal aja. Nggak lebih!”
Kutekankan tiap kata sambil memasang wajah senyum natural seolah yang kukatakan ini adalah fakta paling fakta.
Marianka tak dapat menyembunyikan ekspresi terhibur. Berbeda dengan Marianka, wajah Johanh cemberut kecewa yang komikal.
“Rasanya saya belum mengenalkan diri ya?” Marianka mengulurkan kartu namanya. “Saya Marianka dari PT Kolibri.”
Tak kusangka latar belakang wanita yang bernama Marianka ini begitu disegani. Setahuku Kolibri adalah salah satu perusahaan penambangan gas alam swasta yang berada di samudra hindia. Kolibri tidak sebesar Wismail atau VOA yang punya multi bisnis di berbagai sektor.
Hanya dengan 1 bidang usaha & 1 perusahaan tapi pendapatan Kolibri tahun lalu mampu menyamai pendapatan sebuah Grup yang masuk 10 besar Grup terbaik nasional tentu merupakan prestasi besar.
Aku menerima kartu nama Marianka, “Semoga suatu saat kita bisa bekerja sama.” Marianka tersenyum & ia pun pergi setelah sedikit menunduk berpamitan.
Aku & Johanh melirik Masrur yang masih terlihat kaku hingga Marianka tak terlihat terselip di antara puluhan manusia.
“Masrur.. Kamu nggak apa-apa?” tanya Johanh memulai sambil sikutnya menyenggol ringan pinggang Masrur.
Masrur lalu memandang kami seolah dia baru sadar bahwa kami dari tadi berada di sampingnya. Dia tertawa canggung, “Maaf ya Kika. Tadi kamu sempat kebawa-bawa dikira pacar baruku.”
“Elu sih bengong aja!” Johanh menyalahkan tanpa ampun. “Gua deh yang harus turun tangan!”
Tak menggubris Johanh, Masrur melanjutkan berbicara padaku setengah berbisik tapi Johanh masih bisa ikut mendengar.
“Marianka itu istriku. Saat ini situasi kami berdua sedang… Kurang baik…"
"Jadi mungkin dia sedikit tak suka kalau aku terlihat dekat dengan perempuan lain.”
Mendengar pengakuan Masrur aku jadi memberi iba, “Kak Masrur masih menyayangi Marianka ya?” tanyaku semoga tidak terbilang lancang.
Masrur menghela nafas panjang, “Kamu bisa nilai sendiri betapa aku jadi orang dongo di depannya tadi.. Tapi pernikahan kami dalam masalah sepenuhnya memang karena kekuranganku.”
Dia meneguk champangenya sampai habis seolah minuman itu diharapkannya bisa mengembalikan dirinya ke Masrur yang percaya diri seperti biasanya.
Aku tak berani bertanya lagi atau mencoba mengorek lebih jauh. Johanh juga kelihatannya berpikiran sama denganku makanya sejak tadi dia menyibukkan diri menikmati lagu Sumdary Sukoco yang terakhir. Ada kesunyian agak lama di antara kami bertiga hingga ada suara yang memanggilku. Panggilan tersebut berasal dari Handa.
Kedatangan Handa bertepatan dengan MC mempersilakan bintang tamu utama muncul menggantikan Sumdary Sukoco. Membuat para pengunjung makin bersemangat & memberi antisipasi tinggi.
“Dari mana saja? Aku telepon & sms kok nggak ada jawaban?” protesku saat Handa berada dekat di areaku mengobrol. Meskipun aku memulai dengan berupa keluhan tapi sebenarnya senang karena kedatangan Handa sedikit memecah suasana sedih yang diciptakan dari curhat singkat Masrur.
“Pak Handa, selamat malam.. Kemana saja? Kok baru kelihatan?” Bahkan Johanh ikut-ikutan nimbrung ke obrolan kami berusaha lepas dari aura kelam. Padahal nggak biasanya dia menyapa sok akrab begini.
“Terima kasih Pak Johanh, sudah repot-repot menemani Nona Kika.” Handa memberi gestur sopan pada Johanh. Setelahnya pandangannya berbelok ke arahku
“Maaf, ponsel saya kelihatannya jatuh di mobil.” kini ia beralasan.
“Beneran jatuh di mobil kan? Nggak hilang kan?” Aku jadi ikut khawatir. Smartphone bagi seseorang yang bekerja seperti kami sangat krusial, apalagi dengan jabatan seperti si Handa di sekertariatan.
Handa menggeleng kecil, “Saya yakin tidak hilang, karena saat mencari parkir sempat saya pakai.” Jawaban Handa meredakan kekhawatiranku dengan cepat.
Lagipula sekalipun smartphone Handa dicuri, Wiphone punya sistem sekuritas yang otomatis muncul di GPS jika dicari di komputer pusat.
“Jadi?” aku bertanya pada Handa. “Apa ada orang-orang tertentu lagi yang harus aku temui sebagai perwakilan Wismail Grup?”
Sebenarnya dalam hati aku sudah enggan melakukannya, terutama saat mengingat kejadian dengan Pamungkas di awal acara. Tapi ini salah satu tanggung jawab yang atas permohonan Djati secara tak langsung.
“Ada beberapa. Mayoritas rekan-rekan dari grup lain yang punya kerja sama dengan Wismail Grup pasti ada beberapa yang sudah pernah nona temui sebelumnya.”
Handa menjawab dengan sigap mengarahkanku.
Aku memberi anggukan pamit pada Masrur & Johanh. Mereka berdua yang tahu situasinya memberi kerelaan kepergianku dengan lambaian singkat yang ramah.
“Apakah ada yang dari Grup Tiger & Grup MMC yang akan kutemui?” tanyaku pada Handa selagi kami berenang di antara manusia yang sibuk masing-masing mencari orang yang akan kami temui.
Handa berhenti mendadak lalu memandangku dengan serius, “Kedua grup besar tersebut sudah ditangani oleh Irza.” Ia menjawab pertanyaanku singkat.
Selanjutnya Handa bertanya balik padaku, “Memangnya kenapa dengan Grup Tiger & Grup MMC? Nona ada kenalan di sana?”
Aku sedikit merasa tak nyaman dengan pertanyaan mengandung selidik dari Handa. Meskipun aku paham dia pasti merasakan hal aneh tiba-tiba aku membahas dua saingan besar Wismail Grup, padahal sebelumnya tidak pernah.
Aku memutuskan untuk menjawab sejujurnya.
“Tadi saat bersama Johanh, dia menjelaskan bahwa kedua Grup ini patut diwaspadai karena akan mendapat benefit besar jika terjadi sesuatu pada Wismail Grup.”
Handa membuat ekspresi ‘oh begitu’ pelan dari tatapan matanya yang melunak namun pandangannya masih tetap ke arahku serius.
“Lalu bagaimana dengan VOA Grup?” lanjutnya.
“Kenapa dengan Grupnya si Johanh?” tanyaku balik antara tak mengerti pertanyaannya & tak tahu jawabannya.
“Apakah Pak Johanh tidak menyuruh Nona berhati-hati pada VOA Grup yang merupakan Grup terbesar kedua nasional setelah Wismail?”
Handa menjelaskan maksudnya. Wajahnya serius namun kalem. Meskipun kata-kata yang diutarakannya masuk akal tapi ada rasa tak nyaman kalau harus mencurigai Johanh yang hubungannya baik-baik saja secara personal denganku.
Tapi di lain sisi, kelihatannya hubungan antara Irza & Johanh tidak sebaik kelihatan di permukaan. Hal yang tak pernah berani kutanyakan baik pada Irza ataupun Johanh secara langsung.
Pertanyaan tak terjawab Handa seolah menjadi akhir pembicaraan singkat kami. Pertanyaan yang menjadi bahan renunganku untuk bisa bersikap lebih bijak yang tidak merugikan pihak manapun.
Mungkin Handa memahami bahwa aku ingin punya hubungan baik dengan Johanh makanya ia mengutarakannya tanpa basa basi. Agar aku bisa memutuskan sendiri, setelah melalui banyak informasi penting, kemana aku harus membawa diri.
Aku & Handa melanjutkan misi memberi salam bisnis pada beberapa tokoh yang ada dalam list Handa. Kenyataan bahwa orang-orang yang kutemui kali ini merupakan orang dengan kadar kesopanan yang normal adalah hal yang patut disyukuri lahir batin.
Kelihatannya semua tokoh incaran yang termasuk kategori berbahaya ditemui oleh Irza sendirian. Mungkin setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri dia menyadari resiko pelecehan, baik verbal maupun tindakan, yang kadang menimpaku. Dan kami tak bisa melakukan apa pun karena posisi kami terjebak sebagai pribadi yang dirugikan sekaligus harus menjaga nama baik sebagai representatif Wismail Grup yang sedang membutuhkan dukungan.
Acara amal sudah memasuki tahap akhir. Beberapa tamu mulai beranjak menuju pintu keluar. Aku & Handa, yang baru saja dipamiti oleh tokoh terakhir yang harus kami temui, kini sedang memutuskan rencana berikutnya. Apakah kami akan langsung pulang atau tetap tinggal.
Irza yang kemudian bergabung dengan kami nampak sekali kelelahan di wajahnya. Bersikap sempurna, menjaga ekspresi diri & mencari kata yang tepat untuk diucapkan bukan perkara gampang terutama kalau harus dilakukan sepanjang malam.
“Sudah pukul 00.20 sebaiknya kita pulang sekarang.” Irza mengusulkan sambil menggemeratakkan lehernya yang berusaha ia rilekskan.
Handa & aku menyepakati usulan terbaik malam ini. Kami bertiga berpamitan dengan beberapa orang penting yang masih akan tinggal lebih lama di ruangan ini, selanjutnya langkah kami ke arah pintu ke luar menuju mobil yang membawa kami datang.
Smartphone yang kubawa tiba-tiba berbunyi saat aku & Irza menunggu di lobby karena Handa pergi duluan untuk mengambil mobil. Saat aku menerima panggilan masuk tersebut suara Mila terdengar tidak wajar.
“KIKA?! Kamu dimana?!” suaranya yang setengah berteriak membuatku kaget sekaligus bingung.
“Masih di Gedung Pancasila. Ini baru mau pulang.” jawabku akan pertanyaannya.
“Papa & Mama sudah ada di rumah?” aku bertanya balik. Alasan Djati tak bisa hadir di acara amal malam ini karena ada acara keluarga di luar kota. Kata mereka selesai acara mereka akan langsung kembali ke rumah.
“Kika.. Rumah terbakar..” Mila berkata lirih.
Kalimat pendek di seberang telepon ini cukup membuat rasa lelah dan kantukku menghilang, tergantikan dengan rasa dingin mencekam di kedua lengan hingga belakang leherku.
Seakan tak percaya dengan apa yang kudengar aku terdiam lalu Mila melanjutkan. “Memang tidak semua, hanya 3 ruang yang rusak tapi kata sekuriti kelihatannya ada seseorang yang mencurigakan terlihat sebelumnya. Papamu curiga ada yang sengaja membakarnya.”
“Papa & Mama nggak apa-apa kan? Apa ada seseorang yang luka?” tanyaku berusaha tenang. Di kediaman Wismail ada sekitar belasan karyawan seperti maid, footman sampai gardener. Keselamatan mereka juga masuk dalam concernku.
“Saat kejadian Papa & Mama sedang ada di kamar. Untungnya yang terbakar ruang penyimpanan & segera diketahui oleh sekuriti yang sedang patroli.” Penjelasan Mila membuatku agak lega karena terhindar dari kemungkinan terburuk.
“Malam ini kamu & Irza jangan pulang dulu. Menginaplah di hotel. Papa & Mama juga rencananya akan stay di hotel setelah kami menyelesaikan urusan dengan kepolisian.” Mila langsung menutup telepon terdengar buru-buru.
Melihat raut wajahku yang tak biasa otomatis membuat Irza bertanya-tanya. Aku memberitahunya tentang apa yang barusan dikatakan Mila & sontak ekspresi Irza ikut menegang.
Hal yang paling membuat kami merinding adalah berita bahwa kejadian di rumah adalah kesengajaan seseorang. Kegelisahan menenggelamkan rasa ingin beristirahat kami, berganti dengan jantung berdegub kencang seolah mendapat asupan kafein dosis tinggi.
Kami menjadi waspada tanpa diminta. Aku & Irza menyadari bahwa Wismail Grup sedang mengalami ujian ke tingkat yang lebih berbahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Fitriana
coba kamu colab nove sma author die-din thor. pasti seru tu...
2021-04-14
1
Die-din
marianka? bukan morgiana ?😉
2020-05-09
2
Die-din
irzanya...gak suka ah. enakan ama jo 🤣
2020-05-09
1