Aku menatap kosong di sudut ruangan, dekat vas berisi hiasan berupa rangkaian bunga mawar segar sambil sesekali menyeruput ice lemon tea yang kubawa. Dalam situasi di mana aku merasa 'tersasar' ini yang bisa kulakukan cuma makan, minum & bengong sampai batas waktu aku diperbolehkan untuk hengkang dari lokasi.
Tak kusadari seseorang sudah berada di dekatku & aku sedikit berjengit kaget saat ia memulai pembicaraan.
"Kenapa di sini sendirian sih? Membaur dong!" tuntutnya.
Aku menelan minuman yang tersisa di rongga mulutku.
"Ya habis aku nggak kenal semua, maah.." balasku semelas-melasnya berharap kecil kata-kataku dimengerti oleh nurani keibuannya.
Mila, mamaku dengan wajah miring sinis memandang ke arahku sambil menunduk,
"Kamu kan udah sering diajak ke pesta model begini, pasti ada lah beberapa yang udah kamu kenal. Meskipun cuma namanya."
Dengan dagunya ia menunjuk pada seseorang yang tertangkap oleh mata lentiknya.
"Tuh.. Ada Pak Georg yang pernah dikenalkan papamu di acara ulang tahun PT Prime. Di beberapa acara udah sering kamu liat kan?"
Seorang pria paruh baya dengan kemeja coklat tengah ngobrol dengan sekumpulan orang sebayanya tak sadar sedang kami bicarakan.
Mencoba mencari alasan pembenaran lagi aku melanjut.
"Tapi masa kenal nama aja trus ngajak ngobrol? Sok kenal sok dekat gitu aku males banget. Pasti ntar banyak awkwardnya."
Otakku berusaha mencari contoh kasus dengan cepat
"..coba bayangin, andai mama di posisiku. Satu-satunya orang yang mama kenal di sebuah tempat ramai cuma orang yang umurnya jauh dari kita & gak ada kecocokan pendidikan, pengalaman ato hobi. Katakanlah mama ketemu ama anak SD gitu…"
Mila mendengus kalem, " Yah tergantung.. " kata-katanya dia beri jeda agar terdengar lebih dramatis.
" ..tergantung si anak SD itu bisa ngasi benefit ke mama ato gak. Itu intinya!" tangannya mengibas pelan juntaian rambut yang sengaja dibiarkan lolos dari model rambut up-do modern yang membingkai wajahnya.
Aku cuma tersenyum kecut selebar mungkin lalu meneguk sisa lemon teaku dengan sekali teguk. Sedari dulu Mila memang begitu, sering menilai orang berdasarkan level kepentingannya & apakah orang tersebut bisa berguna di kemudian hari. Dan Mila yang masih nampak lebih muda dari usianya yang pertengahan 40an nggak sungkan untuk blak-blakan denganku perkara hal ini.
"Udah deh! Enggak usah banyak alasan. Minimal jangan mojok di sini, kamu jalan berkeliling aja pasti ada 1-2 yang ngajakin ngobrol."
nada suara Mila mulai tersengar nggak sabar. "Lagipula siapa sih yang nggak mengenal ato bahkan pingin kenalan dengan putri tunggal keluarga Wismail?"
Mataku melirik ke atas sok mikir keras, "Kayaknya nggak ada deh. Soalnya kan aku cuma anak bawaan.." balasku tanpa memandang langsung ke arah Mila. Takut memandang tatapan galaknya.
Mila berkacak pinggang tanda merasa emosinya mulai diuji.
"Tapi kamu udah jadi bagian keluarga ini sejak lulus SD kan? Sebagian orang bahkan udah mulai bergosip klo kamu juga bakal jadi kandidat pewaris Wismail." ujung bibir Mila terlihat melengkung puas.
"Udah dong Ma.. Aku nggak suka kalo kita bicara waris-warisan gini. Kayak setengah ngedoain Papa cepet meninggal aja!" tanpa kata-kata lagi aku beranjak dari posisi awalku meninggalkan Mila tanpa menoleh lagi ke arahnya.
Dari jauh aku mendengar Mila melanjutkan mengomeliku
"Keliling sana. Kalo enggak, di pesta selanjutnya Mama paksa kamu pake baju pesta yang belahan kakinya sepinggang." ancamnya kalem.
Tapi harus kuakui ancaman Mila sedikit berefek. Karena dari pengalamanku dia sangat pandai membuatku, a.k.a memaksa, sehingga aku jadi menuruti kemauannya. Sekalipun aku amat sangat menentangnya.
Aku berjalan membentuk garis horisontal dari pojokan tempatku mengobrol dengan Mila menuju pojokan di seberang dengan ogah-ogahan. Tak terhindarkan, aku memandang kerumunan paling ramai di acara yang tak lain adalah 'tokoh utamanya' pesta ini, Irza.
Pesta ini diadakan untuk merayakan kelulusan Irza menempuh pendidikan Strata 1 nya, sekaligus perpisahan karena dia akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas di US. Dengar-dengar dia juga berencana untuk setengah magang di perusahaan cabang sana juga sebagai pengalaman.
Kakak tiriku terlihat tenggelam oleh orang-orang yang mengerumuninya entah dia kenal ato sekedar cari muka.
"Baik-baik yah di New York, Za!"
"Kok cepet banget sih lusa udah berangkat? Padahal wisudamu kan baru minggu lalu."
"Kapan rencananya mulai kerja Di Wismail Grup? 2-3 tahun lagi?"
"Meskipun di Amrik sering kabari kita dong!"
Pertanyaan yang bersahut-sahutan dengan sabar dilayani oleh Irza. Meskipun wajahnya terlihat jenuh tapi dia tahu bahwa orang-orang yang mengerumuninya bukan orang biasa yang suatu saat mungkin akan menguntungkan bagi Wismail Grup ke depannya.
Kalau membayangkan pesta wisudaku nanti juga gambarannya seperti ini rasanya sudah capek duluan.
Aku keluar menuju beranda menghindari keramaian dan lampu yang terlalu terang yang makin membuat mulai pusing. Angin yang mengelus halus meringankan kepalaku sejenak dari kepenatan dan menyegarkan kulitku yang mulai agak kering karena terlalu lama terpapar AC.
Padahal baru saja aku merasakan ketenangan tiba-tiba harus terganggu oleh adanya suara cekikik kecil yang membuatku mencari sumbernya. Beranda luas yang penuh tanaman pot besar itu rupanya menyembunyikan dua sosok manusia yang sedang bermesraan.
Tanpa niat lebih jauh untuk mencari tahu identitas dua orang yang sedang 'sibuk' tersebut. Aku berniat pergi diam-diam. Tapi langkahku terhenti saat seseorang dengan suara yang berat memanggil namaku dari lokasi lain.
"Kika..? Kok sendirian di sini?" seseorang rekan bisnis Papa yang pernah kutemui beberapa kali di acara pesta muncul di ambang pintu yang menghubungkan lokasi pesta & beranda.
"Wah.. Andai Om tahu kalau Kika di sini sepanjang acara, Om pasti langsung kemari."
Sedikit ragu tapi aku menanggapinya kalem.
"Ada apa Pak Prime mencari saya?"
Dari jauh pun aku bisa melihat kalau orang ini mabuk. Mukanya sedikit merah dan caranya berdiri tidak terlalu tegap.
"Kalau Pak Prime mencari Papa, beliau ada di dekat deretan kursi para Diamond Eksekutif bersama Handa sekertarisnya."
Georg Prime menggeleng dengan tangannya yang memegang minuman namun telunjuk terbentang berayun kiri-kanan tanda tak setuju.
"Panggilnya kok resmi amat? Panggil aja saya Om Georg.. Dan yang saya cari itu Kika kok, bukan Papamu.."
Gelagat Georg membuatku semakin tak bisa betah berlama-lama dengannya. Aku menundukkan kepala berbasa-basi untuk meminta izin pergi seraya berusaha melewatinya setenang mungkin. Tapi jalanku untuk melewati ambang pintu dihalangi oleh tangannya yang bebas melebar menutup celah.
"Saya ingat dulu kamu waktu pertama kali jadi anggota keluarga Wismail di pernikahan Mamamu.."
Si 'Om Georg' memandangku dari atas sampai bawah. Jarak kami yang sedikit dekat membuatku merinding.
"..siapa sangka sekarang kamu sudah mekar jadi sangat cantik & molek." tangannya yang memegang gelas minuman keras memberi gestur lekukan tak sopan.
Seandainya ada pot bunga ukuran kecil yang beratnya nggak lebih dari 10 kg di sekitarku pasti sudah kulayangkan ke mukanya yang berkumis seperti Tony Stark itu. Aku memandang galak ke arahnya, setidaknya aku ingin dia tahu bahwa dia sedang membuatku tak senang.
"Lho, nggak usah marah gitu dong mukanya. Om kan cuma memuji."
Georg terkekeh lalu meneguk minumannya agak tertumpah-tumpah.
"Gini aja deh, tiap bulan Om transfer 10 juta, asal dik Kika tiap weekend ke rumah Om. Yah, sampai nginep pun nggak apa-apa kok. Mamamu juga pasti ngebolehin kan? Toh kalian satu tipe. Beliau pasti mau ngerti... "
"Nggak salah Om?!"
Aku memotong setengah menyentak, Georg yang tak menyangka mendengarku menyela terdiam.
"Cuma 10 juta? Apa nolnya nggak kurang satu lagi?! Saya ini putri tunggal keluarga dari Wismail Grup, nggak mungkin lah ya bisa digandeng dengan harga 'cuma' segitu."
Georg terlihat tak suka dengan balasanku yang tidak dia duga segera berbalik mencari cara yang tepat untuk pergi setengah panik & muram.
"...Anak & ibu matrenya sama saja.." gerutunya tanpa sungkan dimuntahkan.
Aku memandang Georg yang menghilang di keramaian dengan dada panas. Meskipun sudah berkali-kali bertemu dengan orang-orang merendahkan Mila & aku tapi tetap saja nggak bisa terbiasa.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pergaulan orang-orang di ruangan ini kalau Mila menikahi Papa tiriku yang sekarang karena faktor harta & kuakui memang begitu faktanya, Mila bahkan dengan bangganya menyuruhku melakukan hal yang sama saat mencari pasangan hidup suatu hari nanti.
Aku berusaha untuk tidak berkedip supaya air mataku tidak meleleh & memandang keluar beranda agar angin malam mengeringkan bola mataku yang berkaca-kaca.
".. Huwiiih.. Ganaaaas…"
Sosok lelaki yang dari tadi bersembunyi di balik tanaman hias menunjukkan dirinya.
"..Perempuan keluarga Wismail emang beda kelas dengan yang kayak di sebelahku ya~!"
Mendengar itu sosok perempuan di sebelahnya yang nggak kukenal berlari pergi tanpa berucap dengan menyembunyikan muka merah karena malu & marah.
Aku memutar mataku sebal karena merasa lolos dari mulut hyena tua malah datang buaya darat. Sosok lelaki yang pakaiannya semerawut itu, samar-samar aku melihat sedikit bekas lipstik warna nude di bibir bawahnya, anggap saja lipstik perempuan tadi kalau bukan ya berarti perempuan yang dia rayu sebelum ini.
"Bukan urusanmu, Mas playboy kepo."
Aku memberi senyum basa-basi dengan mata sinis untuk menyembunyikan perasaanku yang rusak malam ini & berpikir hanya ingin sesegera mungkin beranjak dari beranda yang ternyata adalah nerakaku hari ini.
"Eits.. Jangan gitu dong.."
Lelaki itu mendekatiku dengan tiga langkah cepat yang lebar dan segera ia mendekatiku, senyumnya yang diliputi niat nggak baik membuatku jijik. Tapi karena kami pernah bercakap-cakap beberapa kali sebelum ini. Rasa merindingnya tak separah dengan Georg Prime tadi.
"Aku kan juga berminat dengan tawaranmu. Buatku yang pewaris tunggal VOA Grup, sebulan kalo cuma 100 juta sih kecil.."
Tangan kanannya terangkat memberi isyarat pertemuan jempol & kelingking yang lalu disapukan kecil.
Aku tersenyum berusaha semanis mungkin karena setelahnya aku akan melontarkan kata-kata terpedasku, "Johanh, di sakuku ada semprotan merica. Kalo tangan kakak nggak segera melepaskanku nanti wajahmu yang ganteng itu bisa merah seminggu lho."
"Baru kali ini kamu memujiku ganteng! Apa ini artinya kamu mulai tertarik padaku..?"
Memang senyumnya agak goyah mendengar ancamanku tapi kini kedua tangannya memegang bahuku dan menyandarkanku di dinding seolah menyambut tantangan.
Tanganku meski sedikit tidak bebas sudah siap di saku tersembunyi gaun blackdressku memegang kaleng merica semprot mini yang dibelikan Mila, tak kusangka akan benar-benar berguna. Aku memantapkan hati jika Johanh melakukan tindakan yang lebih jauh, akan ada jeritan kesakitan di sela-sela pesta malam ini.
"KIKA!"
Sebuah suara yang kukenal menggelegar penuh amarah membuatku yang terfokus pada Johanh kaget dan tentu saja Johanh pun tak kalah terkagetnya hingga dia sedikit memundurkan tubuhnya.
Aku menoleh ke arah pintu beranda, arah suara namaku dipanggil, & mendapati Irza, menatap ke arahku & Johanh tajam.
"..Papa mencarimu untuk mengajakmu pulang bersama. Ayo masuk!"
Hatiku menjadi luar biasa ringan menemukan celah besar untuk segera mengakhiri kemelut di beranda yang tak kunjung selesai.
Kak Irza memang selalu bisa kuandalkan. Meskipun kami saudara tiri tapi dia memperlakukanku dengan baik & bertindak sebagai seorang kakak penyayang.
Aku memecah genggaman bahu Johanh yang melemah & segera berjalan cepat mengikuti Irza yang mendahuluiku keluar dari ruang utama menuju lorong yang akan mengarahkan kami ke lobby tempat parkir valley tersedia.
Aku melirik Irza yang memunggungiku & memecah kesunyian kami berjalan.
"..Kak Irza untung saja ta-"
Sebelum ucapanku selesai Irza berbalik dan menatapku dengan tatapan yang tak pernah kudapatkan darinya.
"..ternyata aku salah menilaimu.." tatapan Irza yang secara gamblang menunjukkan rasa kecewa & marah menatapku.
"..aku pikir kamu berbeda dengan wanita ular itu. Ibu & anak sama saja! Bodoh sekali aku yang selama ini tertipu dengan aktingmu yang sok suci."
Kebingungan tapi aku menemukan kekuatan untuk bersuara.
"..kak.. Kamu salah paham.." aku berusaha membela diri.
Tapi yang terucap cuma bahasa yang lambat untuk dikatakan. Rasa shock membuat otakku susah menata apa yang ingin kukatakan untuk meluruskan.
"Jadi kamu yang minta transfer 100 juta dari Georg Prime & Johanh Astin juga aku salah dengar?"
Irza menampakkan senyum sinis tapi tatapannya yang menghakimiku secara negatif tetap menyala terang.
"..Aku nggak sengaja dengar waktu nyari kamu karena dipanggil Papa.. Dan ternyata.."
Irza tertawa miris lalu mendengus
"Hebat juga kemampuanmu bisa bermanis-manis ngemainin dua lelaki di satu tempat!"
"…itu.. Mereka yang…" aku panik.
Terlalu banyak hal yang terjadi malam ini & banyak yang ingin aku ucapkan sebagai pembelaan sampai tak tahu harus mulai dari mana. Tentang beban di hatiku setiap mendengar orang melecehkanku & ibuku sebagai perempuan matre pengincar pria kaya.
Namun di satu sisi aku ingin menyelesaikan hinaan itu tanpa memberi efek buruk pada nama besar Wismail Grup.
Hanya saja, detik ini hinaan itu meluncur dari mulut orang yang selama ini menjadi panutanku. Hal itu puluhan kali lipat lebih menghancurkan hatiku dibandingkan apa yang dilakukan Georg & Johanh tadi.
"..sudahlah! Nggak ada gunanya aku bicara sama orang bermuka dua macam kamu!"
Irza berbalik & berlalu secepatnya menuju ujung lorong meninggalkanku.
Aku yang terdiam shock di lorong yang sepi cuma bisa meneteskan air mata tak mampu untuk berkata-kata, terbungkam oleh salah paham yang tak kuduga akan terjadi karena kebodohanku mengambil sikap. Berkat itu, salah satu orang yang dekat denganku kehilangan kepercayaannya padaku.
Air mataku tetap tak berhenti tanpa suara meskipun Handa, sekertaris pribadi Djati mendatangiku & langsung kebingungan melihatku berpipi basah. Karena tak ingin ditanyai macam-macam, aku langsung memberi cerita singkat bahwa mataku kemasukan bulu mata yang rontok sebagai alasan air mata yang jatuh.
Aku sadar bahwa itu alasan yang pasti ketahuan bohongnya, terutama karena aku mengatakannya dengan suara tercekat sengau & hidung yang merah. Namun aku bersyukur Handa memahami isyarat yang kumau & tidak melanjutkan ke pertanyaan yang ingin kuhindari.
Aku mengakhiri malam itu tanpa tidur karena kelelahan batin yang membuatku terjaga. Semalaman aku memikirkan cara bagaimana untuk membuat kepercayaan kakak laki-laki tiriku utuh lagi padaku namun tak satu pun ide terberesit.
Hingga kepergian Irza menuju New York, kami tak sempat meluruskan kesalah pahaman ini. Bahkan dia seperti sengaja menghindariku & aku pun juga tak tahu harus berkata apa menghadapi orang yang sudah tidak mempercayai apapun kata-kataku lagi.
Sudah 3 tahun berlalu semenjak kepergian Irza ke New York. Hampir tidak pernah ada kabar apa pun dari ucapannya langsung sampai padaku baik surat, telepon, sms atau media sosial. Yang paling sering dihubungi oleh Irza cuma Papanya dan Handa yang mungkin berhubungan dengan urusan pekerjaan.
Seharusnya study Strata 2 nya sudah berakhir di tahun ke dua ia berada di Negri Paman Sam iti. Kemungkinan Irza menunda kepulangannya untuk memperlama internship di perusahaan cabang US. Atau bisa juga dia masih menghindariku kalau melihat betapa minimnya kontak komunikasi kami.
Djati, ayah kandung Irza sekaligus ayah tiriku, yang sudah berusia pertengahan kepala 5 mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit tua. Kalau sudah sakit batuk, bisa berminggu-minggu sembuhnya. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah Djati tidak sempat untuk punya jam istirahat yang cukup sekalipun beliau kondisi beliau sedang drop.
Sedangkan aku yang baru saja bulan lalu mengikuti wisuda Strata 1 ku di bidang Engineering di universitas yang sama dengan Irza sebagai alumni, sedang menimbang apakah harus mengikuti jejak Irza melanjutkan pendidikan di luar negri atau bekerja dulu untuk mencari pengalaman.
Tujuan akhirku adalah bekerja di perusahaan Teknologi Wismail Grup. Tapi Djati tidak terlalu memaksaku untuk segera bergabung. Beliau memberikanku kebebasan tentang study dan pekerjaanku.
Sebenarnya aku berharap bisa banyak membantu perusahaan Djati yang kepopuleran terbesarnya saat ini dari produk-produk modernnya. Smartphone andalan kami 'Wiphone' cukup bersaing di pasar internasional dan menjadi favorite di Tiongkok & kawasan Asia Tenggara.
Sebenarnya Mila, mamaku, kurang begitu setuju aku kuliah engineering yang rumit. Baginya setinggi-tingginya aku kuliah di bidang science pasti semua harus ditinggalkan setelah berumah tangga. Apalagi beliau berharap aku mendapatkan jodoh pria kaya sepertinya. Menurut pendapatnya juga, mayoritas pria-pria kaya lebih doyan cewek yang nggak terlalu pintar & terlalu mandiri.
Terlepas dari pendapat ibuku, aku cukup lebih keras kepala untuk tetap membulatkan tekadku untuk membantu Djati mengurus Wismail Grup. Setidaknya cuma itu yang bisa kulakukan untuk membalas budi pada beliau karena sudah menyayangiku layaknya anak sendiri.
Aku tidak mengenal siapa ayah kandungku & sepanjang yang kuingat Mila yang sering bergonta-ganti pacar, yang kesemuanya pria kaya. Semuanya hanya fokus pada mamaku. Tak ada yang membuatku mengenal figur seorang ayah selain Djati Wismail, pria yang dinikahi Mila ketika aku berusia 12 tahun.
Aku tak ingin kepercayaan Djati padaku hancur seperti yang terjadi pada Irza. Aku tak ingin kehilangan anggota keluarga, lagi.
“Ini pesananmu: Pistachio-Opera cake & Lemon Cheese cake”
Seorang wanita yang setahun lebih muda dariku meletakkan nampan berisi cake padaku. Bukannya langsung pergi, dia ikut duduk di kursi yang berhadapan dengaku.
“Kamu nggak takut endut makan cake sering-sering?” tanyanya sambil memandangku melahap salah satu cake yang dibawanya tanpa tendeng aling-aling.
Aku melambaikan tangan.
“Gak apa-apa.. Ni buat nutrisi otak kok. Jadi nggak sempat jadi lemak di perut.” Kataku enteng.
Melihat sekeliling sebentar, “Kelihatannya hari ini cafe nggak terlalu ramai yah?”
Wanita yang kukenal bernama Hanna ini mendengus.
“Ini gara-gara harga sembako naik, jadinya beberapa kue harus dimahalin. Kayaknya itu sebab cafe agak sepi.”
Hanna menyandar dan menghela nafas panjang.
Aku masih melahap cake dengan nikmat.
"Tenang aja, cake buatanmu enak kok. Tinggal tunggu waktu aja sampai masyarakat adaptasi dengan harga barumu.."
Hanna mengangguk meskipun di matanya cuma sedikit terlihat optimisme di dalamnya.
Kemudian dia mengganti topik yang sedikit membuat jantungku lebih terpacu.
“Eh, eh, kamu dah tau belum produk Wiphone yang baru?”
Jarinya mengetuk meja mencari perhatianku yang fokus pada dessert di tangan.
Kulirik mata antusias Hanna sedikit sambil menyeruput Ice Tea untuk melegakan tenggorokanku yang haus. Aku menanggapinya setelah menelan tegukan terakhir dalam gelas.
“Memangnya kenapa? Kamu butuh smartphone baru?”
“Maunya sih gitu. Tapi Wiphone yang baru kemahalan gak sih? Meskipun banyak yang bilang kualitasnya bagus..”
Hanna memainkan rambutnya yang dikuncir kuda.
“.. Kalo menurutmu bagusan mana merk Wiphone ato Samson?”
Aku belagak sok berpikir.
“Hmmm.. kalo buatku sih tergantung kamu perlunya yang kayak gimana..” kataku berusaha diplomatis.
“Tapi meskipun mahal menurutku Wiphone lebih unggul sih. Soalnya menurutku easy to use ajah..” aku memuji-muji produk keluargaku kayaknya serasa narsis gimana gitu..
Hanna memandangku penasaran lalu matanya jatuh pada benda yang tergeletak di samping gelas minumku.
“Kamu punya Wiphone toh? Liat dong! Aku pingin tau kayak gimana spesifikasinya!”
Aku sedikit tersedak mendengar request tersebut. Tapi dengan mencoba tetap cool aku mengambil hapeku & mengubahnya ke mode 'Friends user' fitur baru milik Wiphone dimana 'pemakai pinjam' cuma bisa mengakses data-data yang diperbolehkan 'pemilik' hape. Mode lending-user ini kujelaskan juga pada Hanna setelah aku menyerahkan gadgetku padanya.
Selain itu aku juga menjelaskan beberapa keunggulan Wiphone terbaru ini layaknya seorang SPG. Hanna manggut-manggut mendengar penjelasanku.
"Ternyata kamu orang berada juga yah, ampe bisa punya Wiphone terbaru. Smartphone ini kan baru launching 2 minggu lalu, harganya masih di atas 8 jutaan."
Tangannya memutar-mutar smartphoneku melihat penampilannya yang streamline.
“Ah enggak juga..” Aku berdehem aneh.
“..Itu aku dikasi papaku. Kebetulan beliau dapet entah dari mana, tapi karena masih pengen pake hapenya yang lama jadi dikasihin ke aku gitu..”
Penjelasanku setengah bohong. Memang sih hapenya dikasih dari Djati yang sangat optimis dengan Wiphone Ji, yang merupakan smartphone generasi kedua produksi Wismail Grup, karena produk baru ini digadang-gadang bakal jadi yang paling hit.
Aku merahasiakan pada Hanna bahwa aku bagian dari Wismail Grup selaku produsen Wiphone. Bukan apa-apa, hanya saja aku suka suasana non formal yang santai bersama teman-temanku yang berasal dari kalangan orang biasa.
Bergaul dengan para kaum jetset menuntutku untuk selalu jaim kalau ingin membaur. Aku mulai akrab dengan Hanna yang cafenya dekat dengan kampusku karena aku & teman kuliahku sering belajar kelompok di sini.
Alasan yang sama juga kenapa smartphoneku kuubah mode lending-user karena aku menghindari kalau-kalau dia kepo dan mendapati beberapa foto selfieku saat di rumah utama Wismail atau foto Djati & Irza.
“Hari ini ke kampus?” Hanna mengubah lagi tema secara tiba-tiba. Dia bertanya santai sambil mengembalikan Wiphone milikku di dekat piring cake yang kosong. Aku menghela lega dengan keputusannya mengubah tema karena salah-salah identitasku sebagai keluarga Wismail terbongkar kalau dia tanya-tanya lebih jauh tentang asal usul smartphoneku.
“iya gitu deh... Minggu depan ada job fair, Aku mau lihat-lihat ada perusahaan apa aja yang sedang open recruitment.” aku menutupi smartphoneku dengan lenganku senatural mungkin.
Smartphone yang baru saja kututupi tiba-tiba bergetar tanda panggilan masuk. Aku mengangkatnya & mendapati seseorang yang tak kusangka menelepon.
“Kika apa yang terjadi?!”
Sudah beberapa bulan terakhir aku tidak berbicara dengan Johanh tiba-tiba dia meneleponku dan langsung mengajukan pertanyaan jelas membuatku lebih dari bingung.
“Halo..? Ini Johanh? Dari mana kamu tau nomerku?”
Cuma itu yang terpikir untuk mengawali membalas telepon darinya setengah sinis setengah masi bingung juga.
Terdengar tidak sabar Johanh tak menggubris kata-kata sinisku.
“Kamu lagi di mana?"
“Di dekat kampus…” Jawabku ragu.
"Kenapa?"
“Berarti kamu juga belum tau?”
Johanh seolah-olah lebih memahami situasi yang terjadi padaku.
“Coba kamu setel TV di channel 4!”
Aku menanyakan remote TV yang ada di cafe pada Hanna & memintanya ke channel 4 seperti yang diberitahukan pembicara di telepon. Dari nada suaranya yang terdengar penting dan mendesak aku tak sempat meragukan sarannya.
Suara noise televisi yang khas muncul & channel 4 yang dimaksud Johanh sedang menyiarkan breaking news. Aku menyimak isi dari berita yang sedang dibawakan oleh news anchor.
“..belum ada keterangan resmi dari Bapak Djati Wismail, tapi yang pasti Wismail Grup sedang mengalami masa-masa berat terkait anjloknya nilai mereka di pasar saham.”
Aku lebih dari sekedar tersambar petir dengan berita yang baru saja kucerna. Rasanya tak percaya Wismail Grup yang begitu kokoh di bawah kepemimpinan Djati yang begitu karismatik berada di ambang kehancuran.
Aku mengambil 2 lembaran biru uang 50 ribu dan meletakkannya di meja dan bergegas untuk segera pergi dari cafe La Tansya yang sudah kuhabiskan nongkrong selama lebih dari setengah jam ini. Hanna terkesiap bingung segera menuju mesin kasir mencari kembalian. Tapi sebelum dia membuka mesin kasir aku memberi tahunya untuk kuambil nanti saja.
Yang terpikirkan saat ini hanya pergi secepat mungkin menuju Papaku berada yaitu kantor pusat Wismail Grup di jalan protokol ibukota.
“Halo? Halo? Kika? Kamu masih di situ??”
Baru kusadari teleponku masih menyambung dengan Johanh saat aku menunggu bus di halte.
"Iya! Iya! Thanks infonya yah.. Bye!"
Aku memberi reaksi sekenanya dan hendak memutuskan sambungan. Tapi suara ribut Johanh di seberang jalur menyuarakan penolakan penutupanku.
“Aku akan jemput ke tempatmu. Lebih cepat daripada naik bis kan? Sekitar 10 menit lagi aku sampai sana. Kirim shareloc mu ke aku. ”
Johanh langsung menutup teleponnya tanpa permisi.
Aku merasa sedikit dilema. Di satu sisi lokasiku yang cukup jauh dari tujuan memakan waktu 1 jam bila ditempuh dengan bus itu pun jika jalanan lancar.
Tapi di satu lain aku merasa kurang nyaman bila mengandalkan Johanh Astin si 'player' yang tak kutahu kabar beritanya beberapa tahun belakangan ini, karena aku memang sengaja vakum dari hingar bingar pesta jetset demi konsentrasi kuliah.
Dukungan Djati pada keputusanku di dunia pendidikan membuat Mila kehilangan pengaruhnya memaksaku datang ke acara mewah itu.
Aku pada akhirnya memutuskan untuk fokus bertemu Djati & menunggu kedatangan Johanh. Kukirim pesan di nomor yang barusan meneleponku untuk memberi tahu lokasiku menunggu berikut landmark untuk memudahkannya mencariku.
Tak sampai 20 menit aku menunggu sebuah mobil mewah merah menyala berhenti tepat di depan trotoar lokasiku menunggu tanpa mematikan mesinnya. Bahkan sebelum benar-benar berhenti kaca belakangnya turun menunjukkan siapa yang duduk di passenger back-seat.
“Kika, masuklah!”
Kepala Johanh yang muncul dengan sun glasses nya yang mampu membuat wanita manapun melting muncul di jendela mobil yang terbuka memberikan gestur mempersilakanku masuk.
Entah kenapa begitu melihat mukanya yang khas sok gantengnya membuatku malas duduk di sebelahnya. Kuputuskan duduk di kursi sebelah driver.
Johanh & drivernya sesaat bertukar pandang bingung melihatku duduk di tempat yang di luar dugaan mereka. Memecah muka heran mereka aku memberikan intruksi pasa driver untuk segera menuju kantor pusat Wismail.
Driver dengan sedikit sisa muka salah tingkah memasukkan kopling & mulai menjalankan tugasnya.
Suara tawa lepas terdengar dari kursi belakangku.
“Kamu kok nggak berubah sih. Selalu curigaan sama aku. Padahal aku sudah berbaik hati menyediakanmu transportasi.”
Aku melirik spion depan dan memandang mata Johanh yang memantul di dalamnya.
”Bukan curiga sih.. Tapi aku nggak enak aja kalo ketahuan lagi duduk di sebelahmu nanti ada marah." Balasku dengan senyum basa basi.
Johanh menyandar dengan sok pasrah di bangkunya sambil tertawa renyah.
“Dingin banget, padahal udah lama kita nggak ketemu.. Padahal kepala keluarga Astin & Wismail kan dekat, harusnya kita juga dekat dong. ”
Mendengar Johanh menyinggung tentang Wismail Grup aku langsung mencecarnya dengan pertanyaan.
“Yang diberitakan di Channel 4 tadi itu, informasinya akurat nggak sih? Atau cuma gosip?”
Johanh melipat kakinya sambil memandang ke jendela.
“Kalau sampai disiarkan di Channel 4 kemungkinan besar sih fakta. Tapi berhubung belum ada keterangan resmi dari jubir Wismail Grup kelihatannya sekalipun beritanya salah, pasti ada sesuatu yang gawat sedang terjadi di tubuh perusahaan Papamu.”
Rasa khawatir yang tadi sempat hilang mulai menjalariku.
“Sesuatu yang gawat itu contohnya seperti apa?”
“Banyak hal bisa mempengaruhi nilai pasar saham. Bisa jadi akumulasi kerugian yang tak terbendung perusahaan.”
Johanh melihat ke arah smartphone di saku dalam jasnya. Kulihat di spion wajahnya berubah menjadi serius. Matanya yang semula tak tentu fokusnya balas memandangku lewat spion.
“Aku sangat menghormati Pak Djati karena dia salah satu pemimpin yang kuakui kemampuannya. Jadi bisa kan kamu sedikit percaya dengan niat baikku?”
Senyum bisnisnya terajut lagi di wajahnya. Meskipun begitu mendengar perkataannya yang tak lagi ada gurauan membuatku merasa ingin untuk mempercayainya. Bisa jadi saat ini aku ingin lebih banyak orang penting seperti Johanh berada di pihak Wismail Grup sehingga aku terpicu untuk menerima kata-kata manisnya.
Aku menoleh ke belakang memandang secara langsung mata Johanh yang sedikit melebar tak mendugaku berpaling padanya, “Terima kasih Johanh..”
Aku memberikan senyum rasa terima kasih yang di sambut anggukan diplomatis sedikit bangga yang cool di wajah Johanh.
Beberapa menit kemudian kami mulai melihat gedung Wismail Grup yang pintu gerbangnya dipadati oleh wartawan. Driver diarahkan oleh satpam, yang mengenaliku sebagai anggota keluarga Wismail, menuju pintu parkir belakang.
Aku & Johanh langsung menghambur memasuki lift yang tersedia di parkiran basement menuju lobby kantor. Lobby yang terlihat lebih ramai dari biasanya, beberapa wartawan yang diperbolehkan masuk untuk menunggu konferensi pers. Di sela-sela kegaduhan aku mendengar namaku dipanggil oleh seorang pria yang sangat kukenali.
Pria yang memanggil itu berjalan ke arahku sesegera mungkin.
“Kenapa Nona ada di sini?” tanyanya.
Saat ia memandang Johanh dia langsung bisa menyimpulkan bahwa kami datang bersama dan mengangguk sopan padanya.
“Handa, mana Papa? Aku mau ketemu..Pintaku sambil mengikuti arahannya untuk menjauh dari keributan di lobby.
Handa mengangguk sopan, “Saya bisa mempertemukan Nona pada Pak Djati. Tapi mohon maaf sayangnya Pak Johanh tidak bisa ikut.”
Kepala Handa sedikit menunduk sambil memandang Johanh menuntut pengertian dari pria yang berada di belakangku.
Johanh memberikan gestur pemakluman pada kami.
“Nanti kabar-kabari lagi saja. Aku akan menunggu di lobby.” dan dia melangkah menuju sofa lobby yang terdapat beberapa wartawan yang sibuk membenahi alat perekamnya.
Handa menyentuh punggungku mempersilakanku memasuki lift yang membawaku ke lantai teratas, ruang kerja Djati. Di dalam ruang kerja yang beberapa kali pernah kukunjungi itu aku melihat Djati yang nampak sekali guratan lelahnya.
Kepalanya yang sudah hampir dipenuhi uban seluruhnya bersandar di kursinya menengadah menatap langit-langit setengah melamun seolah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Melihatku memasuki ruangan sorot matanya melunak.
“Kika.. Nak. Kamu sampai repot datang kemari..”
Kata-kata sambutannya terdengar lembut seperti biasanya. Senyumnya yang direkahkan tetap tak bisa menghilangkan kesan stres di wajahnya.
Dia berdiri dan mengajakku duduk di sofa yang biasanya digunakan untuk mengobrol dengan tamu di ruangannya. Dasi merah maroonnya yang serasi dengan suit dark-grey miliknya ia renggangkan lalu memposisikan duduk membungkuk dengan siku dia sandarkan di pahanya.
“Sebenarnya ada apa Pa?”
Tanyaku lembut memulai.
Menghela nafas panjang Djati memandangku.
“Yah.. Grup kita lagi ada sedikit ujian aja kok. Jangan khawatir, nggak akan berpengaruh pada biaya kuliahmu. Bahkan sekalipun kamu mau sampai kuliah S3 di Luar Negri.”
Djati membelai rambutku berusaha untuk melembutkan ekspresi kekhawatiran yang terlihat gamblang di wajahku.
Aku semakin tak tega melihat Djati yang biasanya terlihat berwibawa penuh percaya diri kini nampak seperti orang yang sudah mengecewakan harapan banyak orang.
“Apa ada yang bisa Kika bantu Pa? Kika susah-susah kuliah juga buat ngebantu Papa di Wismail Grup. Nggak ada gunanya Kika punya gelar sampai Professor kalo papa nggak bahagia.”
Mata Djati yang tetap menatap lembut memancarkan kilau sedikit keharuan, seulas senyum tergambar seolah beban berat yang sedari tadi ia pikul berkurang.
“Nggak apa-apa kok, Kika. Meskipun situasinya sedikit gawat tapi sudah ada beberapa solusi penanganannya. Salah satunya Irza, kakakmu, akan segera pulang membantu Papa di sektor internal Dan eksternal.”
Aku sedikit goyah mendengar kabar kepulangannya. Penasaran apakah kesalah pahaman malam itu masih mempengaruhi cara dia memperlakukanku.
Melihat reaksiku yang kaku Djati menambahkan.
“Papa nggak tahu kalian berantem lama begini karena apa. Tapi Papa harap kalian bisa saling menguatkan terutama di saat-saat sulit begini.”
Selama 4 tahun terakhir Djati & Mila, mamaku, tidak tahu hal yang menjadi alasan jarak antara aku & Irza. Di antara kami tak ada yang berniat untuk menjadi orang pertama yang memulai menceritakannya pada siapa pun, seolah ini rahasia antara kita berdua.
“Pak Djati.” Handa yang sedari tadi diam menghormati pembicaraanku & Djati tiba-tiba memanggil penuh hormat.
“Saya punya saran yang mungkin bisa jadi pertimbangan. Bagaimana jika Nona Kika dijadikan eksekutif Grup ini?”
Suatu ide mengejutkan memberi perbedaan cara memandang Handa bagiku & Djati pada Handa yang tetap tenang.
Tapi sebelum Djati menginterupsi Handa melanjutkan, “Saya menilai Nona Kika mampu. Selama 4 tahun saya memantau pendidikan Nona di kampus, nilai serta kecakapan Nona memimpin saat kegiatan Himpunan mengagumkan. Saya yakin dengan kemampuan Nona yang sekarang sudah bisa diaplikasikan di dunia nyata.”
Mendengar namaku dipuji dihadapan orang yang kuhormati mau tak mau aku nyengir malu yang berusaha kutahan. Tapi cengiranku berakhir saat Djati menggeleng keras sambil mengakat tangan kanannya sebahu.
“Jangan. Terlalu berbahaya.” Djati kini menatapku dalam.
“Kika, banyak pihak yang menginginkan jatuhnya Wismail Grup & tak segan melakukan segala macam cara. Aku tak mau melibatkan anak perempuanku satu-satunya”
Jawaban Djati membuat semangatku yang tadi membubung mendadak terjun bebas.
“Tapi Pa, Kika juga bagian dari Wismail Grup. Kika ingin berjuan bersama Papa & yang lainnya mempertahankan keutuhan Wismail Grup.”
Aku setengah ngotot setelah melihat celah yang tak bisa kusia-siakan berkat rekomendasi tak terduga dari Handa, sekertaris pribadi kepercayaan Djati.
“Kalau memang Papa mengkhawatirkan keselamatanku, kita bisa sewa bodyguard atau semacamnya kan?”
Kata-kataku nampaknya kurang untuk menghilangkan kekhawatiran Djati. Dia tetap bersi kukuh menggeleng.
“Papa” aku memanggil lembut seraya memegang kedua tangan Djati. “Biarkan Kika mencoba dulu. Kalau ada tanda-tanda bahaya yang mengancam, Kika akan mundur teratur. Janji deh..”
Aku mengulurkan jari kelingking kananku ke hadapan Djati yang wajahnya terlihat mulai menimbang-nimbang dengan tak pasti. Jari yang kuulurkan sudah kumantapkan tak akan kuturunkan sampai pria di depanku menyambutnya dengan kelingking & melingkarkannya meskipun dengan berat hati.
“Kika. Apapun yang terjadi, prioritaskan keselamatanmu ya nak.”
Tangan Djati menggenggam erat tanganku & menatap penuh permohonan. Aku mengangguk pelan & memberi senyum untuk sekedar menenangkan kekhawatiran yang tersisa. Djati memindahkan pandangannya kepada pria di sebelah kami.
“Handa, saya mungkin akan merepotkanmu untuk memberi sedikit guidance pada Kika sampai dia bisa mandiri sebagai eksekutif.”
Handa menganggukkan kepala. “Saya mengerti, Pak. Nanti akan saya sisihkan jadwal kosong untuk membantu Nona Kika semampu saya.” Dia menatapku tenang & memberi senyum ucapan selamat penuh hormat.
Perasaan bersemangat sekaligus gugup mendapat tanggung jawab penting yang selama ini kuidam-idamkan bergiliran memenuhi otak & memacu adrenalinku. Ada sedikit pesimistis yang terlintas tentang bisa tidaknya aku memenuhi tugasku & nggak sekedar gaya-gayaan doang dengan titel eksekutifku, tapi saat teringat yang tadi Handa infokan pada Djati tentang kapabilitasku membuat optimismeku tumbuh lebih subur.
Beberapa menit kemudian Djati & Handa merapikan penampilan karena harus melakukan konferensi pers di lobby yang sudah diisi banyak wartawan serta beberapa orang penting perusahaan lain yang ingin tahu secara langsung pernyataan dari petinggi Wismail.
Djati dengan secarik kertas kecil di tangannya memberikan beberapa informasi yang membenarkan perihal posisi Wismail Grup yang dalam siaga satu. Pengangkatanku sebagai eksekutif Wismail Grup juga menjadi salah satu pengumuman pada konferensi pers di lobby.
Aku bisa melihat ekspresi menganga tak percaya milik Johanh & beberapa eksekutif baik dari Wismail Grup maupun non-Wismail yang pernah bertemu denganku.
Konferensi pers ini tidak menyediakan sesi tanya jawab. Jadi setelah Djati selesai mengatakan intinya, beliau langsung menuju kantor kerjanya lagi tak menghiraukan kicauan berebut para wartawan & blits kamera. Kedamaian pun belum muncul saat Djati berjalan memasuki kantor kerjanya, para eksekutif yang bekerja di bawahnya mencecar pertanyaan seputar pengangkatanku sebagai eksekutif yang baru.
Beberapa juga berusaha menanyaiku dengan ekspresi tak mengerti. Handa dengan sigap memasang badan untuk memberi jarak antara aku & orang-orang yang mengerumuniku. Memahami adanya kekacauan ini Djati memgumumkan dengan suaranya yang lantang untuk segera menggelar rapat mendadak untuk para eksekutif.
Handa membantuku untuk melangkah secara sigap agar selalu berada dekat dengan Djati sepanjang perjalanan kami menuju ruang rapat.
Di ruang rapat utama Wismail Grup terdapat meja panjang dengan 12 kursi mengelilinginya, meja panjang itulah yang digunakan Djati, Handa & 10 eksekutif utama melakukan rapat.
Selain meja panjang, terdapat juga beberapa meja pendek yang disambung menjadi jalur panjang berada di belakangnya, meja pendek itu tempat untuk para sekertaris atau asisten para eksekutif utama.
Djati menyuruhku untuk duduk di sebelahnya setelah seorang office boy membawakan kursi tambahan & menyuruhku untuk tetap tenang selama beliau meyakinkan para eksekutif. Handa yang duduk di posisi kanan yang terdekat dengan Djati juga menyetujui saran atasannya.
Aku yang berada di antara dua orang terkuat Wismail Grup memandang nervous berhadapan dengan 10 pasang mata tidak puas.
Djati berdehem & memulai dengan kata-kata singkat yang to the point.
“Jadi seperti yang sudah saya umumkan tadi di lobby, Kika saya angkat sebagai eksekutif. Kemampuannya di bidang engineering pasti akan banyak memberi kontribusi di sektor research & development.”
Seorang eksekutif yang seorang pria yang kukenali bernama, Yusuf, mengangkat tangan yang dipersilakan oleh Djati.
“Sektor engineering serta R&D adalah tanggung jawab saya, apakah itu artinya saya harus bekerja sama secara langsung dengan Kika?” Nada bicaranya yang kalem menyiratkan bahwa ia berpikir dengan kepala dingin daripada memilih sewot berapi-api mengahadapi keputusan mendadak ini.
Djati memandang Yusuf bijak.
“Saat ini dengan pengalamanmu akan lebih dibutuhkan sebagai Sales/Marketing Engineer yang kepentingannya untuk mempertahankan kerja sama dengan perusahaan rekanan. Karena jatuhnya saham kita berpotensi membuat mereka mundur teratur. Gara-gara itu 80% dari waktumu bakal tersita untuk berada di luar kantor bahkan ke luar negri, karena itu Kika akan mengambil alih tugasmu di kantor pusat."
Yusuf terlihat menyimak sambil manggut-manggut menerima penjelasan Djati. Bukan hanya Yusuf, sebagian besar eksekutif utama nampak mulai memahami gambaran utama atasannya.
"Seminggu pertama ini kalian berdua transfer materi & informasi mengenai sektor engineering.”
Djati menoleh padaku sebentar lalu memandang Yusuf lagi.
Yusuf menanggapi, “Saya mengerti, Pak.” lalu ia memandangku serius, “Kika, besok pagi saya tunggu di ruangan saya di lantai 7. Nantinya ruangan itu akan jadi ruang kerjamu menggantikanku saat dinas.”
“Baik Pak Yusuf! ”
Sedikit terhenyak karena tiba-tiba diajak bicara suara yang kukeluarkan mengeluarkan nada yang agak nggak seperti suaraku yang biasanya namun aku menjawabnya dengan lugas.
"Pak Djati, kalau memang perlu pengganti untuk Pak Yusuf kenapa harus Kika?" Seorang eksekutif tiba-tiba angkat suara.
Pria yang kukenali sebagai sepupu Djati itu melanjutkan kata-katanya, “Saya tahu Kika memang pintar, tapi kan masih banyak engineer-engineer IT yang kaya pengalaman di perusahaan ini.” Pria itu kini memandangku memberi senyum menyindir.
Aku berusaha memasang wajah poker face agar emosiku tidak tersulut.
“Jangan khawatir, Pak Lubi. Saya akan banyak belajar dan berusaha mengejar ketertinggalan.”
Djati turut menimpali.
“Wajah Kika banyak dikenal oleh para pebisnis besar di negara ini. Itu senjata terkuatnya. Dan Justru otak-otak optimis & fresh yang seperti Kika mungkin yang kita butuhkan untuk membalikkan situasi. Kita sedang dikejar waktu, kalau terlalu pilih-pilih ditakutkan malah jadi terlambat penanganannya.”
Jawaban Djati kurang lebih memupuskan posisi berdiri Lubi menjadi duduk kembali karena tak memiliki kalimat interupsi lagi.
Seorang wanita berambut cepak berkaca mata mengangkat tangan kanannya. Ia menyuarakan pendapatnya setelah Djati mempersilakan.
“Saya tidak ada masalah dengan Kika. Yang lebih saya khawatirkan perihal antisipasi untuk mengangkat nama Wismail di pasar saham. Apakah anda sudah punya rencana di luar urusan untuk Pak Yusuf?”
Wanita yang kukenali bernama Latifa ini salah satu eksekutif yang cukup disegani di kalangan rekan kerja Djati termasuk aku.
Djati manggut-manggut, “Sejauh ini yang saya prioritaskan adalah jangan sampai rekanan kerja kita pergi. Selanjutnya kita selesaikan masalah internal yang jadi penyebab damage di perusahaan namun sambil tetap mempertahankan kualitas pelayanan jasa & produk.”
Penjelasan Djati membuat sebagian eksekutif mulai mencorat-coret notes yang mereka bawa, beberapa mencatatnya di Wiphone keluaran baru.
“Sebagai tambahan, karena ada kecurigaan praktik korupsi jadi pasti akan ada pihak kepolisian yang menghubungi kita. Saya hanya bisa meminta semua pihak bersikap kooperatif.”
Suara Djati yang semula terlihat jelas leadershipnya berubah warna menjadi lebih dalam & menekan. Para peserta rapat semua memandang Djati terpaku dalam kejutan yang membuat bulu kuduk berdiri seolah kata korupsi itu tabu untuk dikatakan, meskipun tidak ada pihak yang tertuduh secara langsung.
“Pak Djati..” seorang eksekutif yang lain memanggil, mendapat tatapan memberi perhatian Djati ia pun melanjutkan “Sejauh mana informasi yang kita punya tentang korupsi ini? Di departemen mana? Apakah sudah valid atau baru dugaan?”
“Karena belum ada bukti pasti, mari kita anggap ini baru dugaan, Pak Tantra.” Djati mengucap tanggapan yang memberi sedikit ruang lega pada nafas anggota rapat.
“Praktek korupsi belum tentu melibatkan departemen keuangan yang jadi tanggung jawab Pak Joni. Bisa jadi kebocoran ada pada departemen lain yang melibatkan material berharga lainnya.” Djati melirik sebentar pada Joni, yang berkumis ala tokoh Pak Raden, yang dari tadi mendengarkan sambil menyandar tegak penuh wibawa.
“Kemudian..” Djati membaca notes yang ia pegang sambil mengingat-ingat hal yang ingin ia sampaikan selanjutnya,
“Ah ya! pak Darmanta siapkan strategi baru di bidang marketing agar penjualan kita lebih baik. Saya berharap prestasi omzet kita naik agar siklus finansial kita terus berputar. Nanti sore kita rapat terpisah bertiga sama Pak Yusuf.”
Eksekutif yang usianya sedikit lebih tua dari Handa mengangguk, begitu pula dengan Yusuf yang kelihatannya memperbarui jadwal di Wiphonenya.
Djati terus memberi intruksi tentang visinya untuk menyelamatkan Wismail Grup pada tiap eksekutifnya. Beliau memberi beberapa saran pada Sahab selaku penanggung jawab sektor produksi untuk selalu menjaga informasi dengan pihak engineering agar meminimalisir missed communication.
Ia juga memberi jobdesk baru untuk sektor Quality Assurance yang dipegang Kis, yang juga eksekutif wanita seperti Latifa, agar kepercayaan masyarakat pada produk kami tetap terjaga.
Begitu pula pada Indra yang membawahi sektor keamanan. Djati ingin keamanan kantor lebih diperketat baik secara fisik maupun dunia maya. Hal-hal yang semi-confidental tidak diperkenankan meninggalkan gedung kantor.
Selanjutnya Djati memberi arahan pada pihak HRD, Badjabir, untuk mengevaluasi lagi karyawan outsourcing. Badjabir, yang usianya sepantaran dengan Djati, cukup sering datang ke rumah utama Wismail meskipun cuma sekedar mengobrol santai. Bisa dibilang aku & Irza sudah menganggapnya sebagai paman yang baik hati.
Setelah Djati selesai memberi intruksi pada semua eksekutifnya & tidak ada lagi pertanyaan yang diajukan, kami menyudahi rapat sebelum jam 5 sore. Djati menyuruh Handa untuk menemaniku pulang sekaligus mulai memberikan beberapa materi garis besar perusahaan, agar aku siap saat transfer ilmu dari Yusuf keesokan harinya.
Djati belum bisa ikut pulang karena masih harus melakukan pertemuan tambahan dengan beberapa eksekutif.
Banyak hal terjadi hari ini & membuat isi gedung Wismail Grup sibuk berlipat-lipat, terutama para petingginya. Aku yang secara status, meskipun non-formal karena dataku sebagai karyawan eksekutif belum masuk ke data base HRD, sudah menjadi bagian dari eksekutif tentu kebagian banyak jobdesk yang harus kulakukan yang memaksaku harus memangkas drastis jam tidurku. Apalagi ada banyak ketertinggalan yang harus kukejar.
Manajemen waktu akan sangat krusial untuk 2 tahun ke depannya.
Seluruh aspek perusahaan sedang berpacu dengan waktu, layaknya mengejar bola yang terlanjur menggelinding menuju jurang di depan mata. Tanggung jawab memikul nasib 900.000 karyawan membuat para eksekutif lebih tertekan, namun melihat visi Djati yang opimis membuat mereka lebih percaya diri. Percaya bahwa ujian ini pasti bisa mereka lewati bersama.
Aku berharap Irza segera pulang. Meskipun aku cemas pada pertemuan kami setelah 3 tahun berselang akan seperti apa, tapi setidaknya keberadaannya memberi ketenangan pada ayah tiriku. Kemampuan Irza, serta ditunjang pengalaman kerja di New York, pasti akan banyak membantu Djati mengokohkan kembali Wismail Grup.
"Nona Kika, pihak HRD sudah membuatkan anda email perusahaan. Sesampainya di rumah utama Wismail akan saya kirimkan garis besar perusahaan."
Handa mulai membahas tentang tutoring yang akan kami lakukan malam ini saat mobil yang membawa kami ke rumah utama Wismail memasuki jalan besar.
"Beberapa dokumen bersifat confidential jadi email ini hanya bisa diakses di rumah anda & di kantor saja. Ini salah satu protokol baru yang dibuat setelah rapat tadi."
"Pak Handa jangan panggil saya nona lagi. Sekarang saya sama seperti bapak, karyawan di Wismail."
Mendengar kalimatku barusan membuat Handa sesaat agak salah tingkah.
"Lagipula di antara para eksekutif selama ini cuma bapak yang memanggilku pakai embel-embel nona. Malu tau!" aku mendengus.
Handa tersenyum sambil membetulkan posisi kacamatanya.
"Saya sudah terbiasa memanggil seperti itu sejak Nona masih kecil. Sejak saya menjadi butler di rumah Pak Djati."
Benar juga, saat aku baru menjadi bagian dari keluarga Wismail Handa masih belum berstatus eksekutif kantor seperti sekarang.
Saat itu dia posisinya sebagai tangan kanan Djati yang mempercayakannya untuk melakukan manajemen rumah utama, semacam butler, yang sering dijadikan tempat kerja kedua bagi Djati, meeting mendadak dengan para manajer & menjamu rekan bisnis penting.
Sebelumnya juga Handa bertempat tinggal di rumah utama Wismail sehingga aku & Irza sering berinteraksi dengannya. Dari situlah Handa membiasakan dirinya memanggilku 'nona'.
Sekarang Handa sudah tidak tinggal bersama kami, kudengar ia membeli sebuah apartment 2 kamar dekat kantor. Setelah 4 tahun menjadi eksekutif, meski masih mengurusi ***** bengek perusahaan yang terjadi di rumah, dia memiliki jobdesk lain untuk mengurus sektor sekertariat di kantor utama serta mendampingi Djati saat bussiness trip.
"Kalau masih panggil aku nona, aku akan panggil kamu Tuan Handa." godaku.
"Rasanya aneh.." Handa menampakkan wajah tak enak tapi sejurus kemudian ekspresinya berubah jadi senyum sopan yang selalu dia pakai. "Tapi aku tidak keberatan dipanggil begitu."
Jawaban Handa yang sangat di luar skenarioku membuatku mati kutu. Aku menyadari bahwa perang psikologis dengan Handa dimulai tanpa aba-aba.
Bagiku sih wajar saja kan kalau ingin diperlakukan setara oleh rekan kerja? Kenapa dia begitu keukeuh mempertahankan antara butler & nona besar ini?
"Ehmm.. Baiklah Tuan Handa. I accept your chalenge!"
Aku memandang penuh percaya diri dengan senyum tertantang. Yang bersangkutan tetap stay cool aja, mungkin dia tahu aku setengah menyerah memaksakan mauku untuk menghentikannya memanggilku dengan sebutan 'nona'.
Aku mengecek hape yang sejak awal rapat kumatikan & saat kuhidupkan ada banyak sms + info telepon masuk. Message yang datang dari yang paling duluan masuk kubaca terlebih dulu. 5 pesan berturut-turut datangnya dari Johanh. Mayoritas berisikan kekagetannya perkara status baruku sebagai eksekutif Wismail Grup yang diumumkan siang tadi & minta untuk segera membalas pesannya.
Aku jadi ingat muka terbelalaknya sambil melihatku tak percaya. Senyumku sedikit terkembang dengan dada yang lapang saat melihat kalimat 'Goodluck' di smsnya yang terakhir.
Aku membalas dengan ucapan terima kasih singkat. Bisa dibilang berkat dia juga aku sempat bertemu Djati sebelum konferensi pers & membuatku bergabung di dunia engineering Wismail.
Message berikutnya dari Mila yang menanyakan keberadaanku & saat itu juga aku membalasnya dengan memberi tahu bahwa sekarang sedang on the way ke Wismail Manor bersama Handa.
Selain itu aku juga mengabarkan padanya bahwa aku menjadi salah satu eksekutif. Beliau pasti belum mendengar beritanya karena saat konferensi pers hanya kamera foto yang diijinkan mengambil gambar, jadi hasil konferensi baru bisa tersebar luas di koran besok.
Message yang terakhir membuatku sesaat membeku, karena pengirimnya adalah Irza. Info telepon masuk yang sebanyak 5 berturut-turut juga berasal dari nomor Irza. Hanya ada sepatah kalimat yang dia tulis
'Hubungi aku waktu kamu menerima pesan ini, segera!'
Tata bahasa yang berupa perintah ini membuatku membayangkan hal yang negatif utamanya tentang ketidaksukaan Irza perkara bergabungnya aku dalam jajaran eksekutif. Nantinya pasti yang dia lebih permasalahkan adalah aku tidak memiliki kompetensi baik skill maupun tahun pengabdian kerja pada Wismail Grup.
Aku memutuskan untuk menelepon Irza nanti sesampainya di rumah. Kalau sampai kita bertengkar di telepon, aku tak enak dengan Handa yang berada di sebelahku.
"Han- Tuan Handa apa sore tadi Kak Irza menghubungimu?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
Handa yang sedang dalam posisi tak siap dipanggil 'tuan' dariku sedikit bingung tapi langsung mengangguk sopan penuh ketenangan.
"Tuan Irza cuma menanyakan perihal konferensi pers tadi siang via Message." Aku memandang ke arah hapeku yang tertulis message Irza sedikit melamun.
Membayangkan apakah nanti ketika kutelpon bakal terjadi perang mulut yang sesengit pertemuan terakhir kami?
Haruskah aku bersikap pasif seperti malam terakhir kita berhadap muka & berakhir salah paham yang menggantung bertahun-tahun?
Tidak.
Situasi saat ini jauh lebih genting dari cuma sekedar nama baik & imageku, ini melibatkan perusahaan yang menanggung ratusan ribu hajat hidup orang banyak. Pertikaian internal keluarga tidak boleh semakin mengalihkan perhatianku untuk fokus.
Mobil yang mengangkut kami mulai mengurangi kecepatan & selanjutnya berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah utama Wismail yang dipenuhi beberapa wartawan yang beraksi saat melihat mobil milik Djati berusaha memasuki gerbang. Beberapa satpam harus mengamankan jalan & gerbang yang perlahan terbuka agar tak terjadi kejadian yang tidak perlu.
Mobil yang sudah memasuki gerbang melaju lagi dengan kecepatan yang stabil karena sudah lepas dari kerumunan manusia. Driver menghentikan mobil tepat berada di depan pintu masuk rumah yang terbuat dari kayu ebony.
Di jendela yang gordennya belum ditutup aku bisa melihat sebagian dalamnya rumah mewah keluarga Wismail, terutama ruang tamu. Di ruang tamu aku melihat Mila berjalan setengah cepat setelah beliau melihat mobil datang
"Kika. Mama sudah dengar dari Papa tentang kamu jadi eksekutif..." beliau langsung to the point padaku yang bahkan belum sepenuhnya keluar dari mobil.
"..dan Mama nggak setuju!" Mila melipat tangannya & memandangku penuh tanda protes.
Aku memandang Handa & memberi kode tangan meminta ijin untuk berbicara dulu pada ibu kandungku. Handa mengangguk paham & langsung berjalan memasuki rumah, pergi menuju ruang kerja Djati.
Kupandang wanita di depanku sambil mengajaknya duduk di salah satu sofa ruang tamu.
"Mama kenapa nggak setuju?"
Mata Mila memancarkan kecemasan & sedikit ketakutan.
"Bahaya, nak. Kamu nggak tahu. orang-orang yang mau njatuhin Papa kamu tuh sama berbahayanya dengan mafia."
Aku memberi senyum lembut & menggenggam kedua tangan Mila.
"Awalnya Papa juga bilang gitu, Ma. Tapi Papa setuju dengan syarat Kika bakal dikawal beberapa bodyguard profesional kok. Kika nggak akan kenapa-kenapa." kataku dengan setengah berdoa dalam hati juga.
Mila masih belum puas dengan jawabanku, "Trus? Kamu pikir musuhnya Papamu nggak mampu bayar profesional buat nyakitin kamu?!"
kata-kata yang menurutku ada benarnya ini dijadikan senjata utamanya.
"Udah dong Kika. Jangan ikut-ikut.. Kamu itu perempuan, sedikit aja luka silet di badanmu pengaruhnya jauh lebih besar daripada kalau yang kena laki-laki."
Aku menghilangkan senyumku sedikit terpengaruh kata-kata Mila. Aku sering sekali mendengar betapa perempuan terlalu dinilai dengan hal-hal seperti keindahan visual sehingga malah melupakan sifat manusia yang lebih penting.
Luka gores pada wajah laki-laki dinilai macho, tapi kalau terjadi pada perempuan hanya menyisakan iba dirasa tidak memiliki keindahan yang utuh.
"Mama.." aku memanggilnya pelan.
"Kika sudah memantapkan hati. Kika mohon doanya yang banyak dari Mama supaya Kika baik-baik saja. Kika juga sudah janji sama Papa, kalau ada sesuatu yang mencurigakan Kika akan langsung mundur."
Mila melayangkan lagi protes dengan alasan yang sudah ia utarakan tadi. Bedanya ini lebih menyerupai ceramah saking panjangnya. Semakin panjang lagi karena ditambahkan dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk, yang entah beneran bisa terjadi atau enggak, sejauh imajinasinya pergi.
Melihatku yang diam saja, tidak mengiyakan atau menolak, Mamaku langsung diam menutup mata penuh emosi. Itu karena beliau tahu bahwa kami sama-sama nggak mau mengalah saat ini.
"Pokoknya, Mama tetap nggak setuju!" Mila berdiri setelah memberikan statemen terakhirnya & berlalu pergi menuju lantai 2 arah kamar tidurnya.
Aku menghela nafas panjang. Kulihat di jam kuno yang diletakkan di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 18.00. Aku mengingat-ingat hal apa saja yang harus kulakukan & Irza yang pertama kali muncul dalam benakku.
Prosesi mengambil hape dari sakuku terasa tak nyaman karena membayangkan akan ada pembicaraan yang jauh lebih alot dengan Irza dibandingkan dengan Mila tadi. Aku menarik nafas mengatur kegugupan agar apapun pembicaraan yang terjadi nanti aku bisa menyuarakan isi hatiku dengan baik.
Lalu aku menekan tombol hijau dengan nama Irza terpampang besar di layar hapeku.
Saat menerima nada tunggu ada sedikit harapan Irza tak mengangkatnya supaya debat kusir kami bisa tertunda setidaknya sampai besok pagi, meskipun aku tahu itu mustahil terutama karena Irza di New York yang beda hampir setengah hari dengan di sini.
"Halo! Kika?"
suara Irza terdengar dari seberang sambungan teleponku.
"Halo Kak Irza. Lama nggak ada kabar. Gimana New York?" tanyaku rada bingung harus memulai dari mana.
Irza mengeluarkan suara bedecak.
"Gak usah basa basi. Apa maksudnya kamu jadi eksekutif di Wismail?"
"Iya, aku mau bantu Papa di sektor engineering nya Wismail." kataku datar seolah itu hal yang sudah kuhafalkan.
Irza diam saja tapi aku bisa mendengar suara helaan nafasnya tanda nggak peduli dengan ucapanku.
"Aku nggak peduli kamu mampu atau nggak. Tapi kalau sekali saja aku memergokimu punya niat nggak baik..."
Kalimatnya yang penuh penekanan dia hentikan dengan suara tersekat penuh emosi,
"...Aku nggak akan memaafkanmu, kalau terjadi sesuatu pada keluargaku..."
"Kika mengerti, Kak.."
Aku mulai kesulitan mengendalikan emosiku, tapi aku berharap suara yang kugunakan tak terdengar aneh di telinga Irza.
"Kakak boleh saja nggak percaya pada Kika, lagipula apapun yang kubilang nggak akan kakak dengarkan. Tapi untuk sekarang Kakak percaya aja dengan keputusan Papa. Nanti, biar waktu & hasil yang menjawab keraguanmu."
Dalam hati aku memuji betapa diplomatisnya kata-kataku barusan.
Irza diam & ada jeda sunyi yang panjang kemudian ia memulai.
"Kita lihat saja nanti. Jangan sampai kamu menyusahkan Papa & rekan kerja Papa yang lain."
Aku hanya mengiyakan kata-katanya sepanjang sisa pembicaraan yang isinya nasehat, atau lebih tepatnya hal-hal yang Irza curigai bisa kukacaukan.
"Kapan Kakak pulang?" Aku membuka topik baru untuk dibahas.
Irza memulainya dengan suara mendengung berpikir.
"Masih belum tahu tanggal pastinya. Karena aku tak bisa tiba-tiba pergi dari proyek yang kukerjakan saat ini."
Benar juga, Irza yang bekerja magang di kantor US pasti sudah mempunyai tanggung jawab tertentu yang kalau seenaknya dilepas malah akan memperburuk citra Wismail Grup.
"Kika ngerti.. Kalau ke depannya sebelum kembali Kakak ada perlu bantuanku langsung saja bilang ya."
Kemudian ada jeda kebisuan yang panjang tanpa kata.
Mungkin karena kami sudah lama tak berkomunikasi, ditambah insiden di pesta perpisahan Irza yang membuat kondisi keakraban kami lepas, jadi seolah kembali bagai dua orang biasa yang bertegur sapa melalui telepon harus mancari topik tertentu yang cocok untuk dibahas. Beda dengan saat aku masih akrab dengan Irza, semua hal kelihatan bisa kubicarakan dengannya.
"Kika.."
Irza memulai & aku bersyukur dia melakukannya sebelum kesunyian ini semakin canggung.
"Mungkin aku orang kesekian yang mengatakannya, tapi kamu harus hati-hati.." Irza terdiam sesaat seolah berpikir, "Ini masih dugaan tapi aku curiga dengan situasi yang tidak biasa ini."
"Tidak biasa itu maksudnya ketika stock price Wismail jatuh secara kumulatif?"
Aku memastikan ucapannya.
Irza mengiyakan tapi juga menjelaskan lagi isi pikirannya.
"Bukan cuma itu saja.. Aku tak bisa berspekulasi tanpa bukti tapi ada yang aneh dengan kondisi ini. Kamu harus ekstra siap menghadapi apa pun."
"Iya kak.."
Aku menjawab dengan suara seserius mungkin agar Irza yang berada diseberang telepon memahami determinasiku & pemahamanku tentang pilihan yang sudah kuambil ini.
Entah kenapa aku bisa merasakan bahwa Irza tersenyum dari balik komunikasi. Meskipun tak ada bukti tapi feeling ini membuatku lega sekaligus senang.
Mengetahui bahwa kakak yang kukenali selalu memahamiku perlahan menjadi seperti dulu. Kelihatannya kemalangan yang menimpa Wismail Grup memiliki berkah tersendiri bagi kerekatan hubunganku dengan kakakku satu-satunya.
Telepon berakhir lebih cepat dari yang kukira. Pembicaraan kami juga tak sesengit yang kutakutkan. Mungkin sebenarnya Irza percaya sepenuhnya dengan penilaian Djati yang mempekerjakanku sehingga dia tidak mempermasalahkan kemampuanku.
Kini aku tahu langkah apa yang harus kuambil untuk mendapatkan kembali kepercayaan Irza. Bila Wismail Grup stabil kembali & kinerjaku bagus setidaknya Irza mulai memberikan kepercayaannya bahwa aku bukan musuh Wismail Grup bahkan menjadi salah satu aset penting.
Perkara dia masih menilaiku sebagai cewek matre mungkin masih blm bisa hilang sepenuhnya. Aku seperti mendapat motivasi yang lebih kuat untuk bisa lebih berkontribusi di Wismail Grup. Karena untukku pribadi Wismail Grup berarti keutuhan keluargaku saat ini.
Aku pergi menuju kamarku untuk mandi & istirahat mempersiapkan diri mendapatkan materi pertama yang harus kulahap. Aku memberi tahu Lilia, maid yang sering menjadi asisten keseharianku di rumah, untuk memberitahu Handa bahwa aku akan siap di ruang kerja Djati pukul 20.30.
Selain itu aku juga minta agar Handa ikut makan malam bersamaku & Mila. Tapi saat makan malam berlangsung hanya ada aku sendirian di meja makan.
Lilia berkata bahwa Handa dengan sopan menolak, mungkin ada sisa dirinya merasa akan sangat canggung mantan butler rumah ini makan bersama mantan nonanya. Padahal kan sekarang kita rekan kerja, mau sampai kapan dia merasa aku lebih superior darinya.
Sedangkan Mila, diberitahu juga oleh Lilia, mendadak pergi bersama Rosalyn maidnya. Sedikit aneh sih kenapa Mila tiba-tiba pergi bersama Rosalyn malam-malam hampir larut begini.
Meskipun begitu aku tak ingin terlalu menghiraukan kegiatan Mila yang nggak biasa ini, karena ada top priority yang harus kulakukan malam ini dengan penuh konsentrasi.
Aku berdiri di depan ruang kerja Djati yang bersebelahan dengan perpustakaan keluarga Wismail, bahkan ada connecting door pada kedua ruangan itu.
Aku mengetuk pelan & memasukinya setelah ada jawaban dari dalam.
Setelah membuka pintu, aku melihat Handa bersikap formal sempurna menyambutku. Aku melirik di atas meja kerja ayah tiriku buku-buku tebal & beberapa dalam keadaan terbuka, kelihatannya mayoritas situasi buku-buku tersebut hasil perbuatan Handa menyiapkan materi untukku.
"Ayo kita mulai Tuan Handa."
Aku memberi senyum kecil padanya & langsung duduk di meja kerja milik Djati yang posisinya seperti sudah disiapkan untukku oleh Handa.
Mendengar perkataanku Handa mengangguk sopan meskipun sesaat aku melihat alisnya sedikit turun ketika mendengar kata 'tuan' ke arahnya. Aku langsung melahap buku yang pertama kali Handa hidangkan padaku, yaitu tentang sejarah Wismail Grup & jaringan bisnisnya.
Handa mengatakan padaku bahwa pertama-tama aku harus memahami terlebih dulu posisi Wismail Grup secara garis besar dalam perekonomian nasional & internasional. Saat membacanya baru kusadari bahwa jaringan bisnis keluargaku sangat luas selain meliputi elektronik, kami juga punya sektor garmen, infrastructure dan distribusi ekspor impor sumber daya alam.
Setelahnya Handa memberi informasi tentang strata kepemimpinan di Wismail Grup. Secara ringkas pemimpin utama jelas Djati, ayahku, disusul dengan ke-12 eksekutif yang tadi siang kutemui.
Lalu para eksekutif memipin para kepala cabang & general manajer di tiap jaringan bisnis sesuai bidangnya. Jadi dalam hal ini Yusuf yang berada di sektor engineering tidak hanya bertanggung jawab terhadap engineering Wiphone product tapi juga pada bisnis-bisnis yang dikelola Wismail Grup yang memiliki departemen engineering serta R&Dnya.
Tanggung jawab yang Djati berikan padaku 'hanya' pada manajemen engineering Wiphone karena beliau menilai pangsa pasar Wiphone sedang di atas angin karena masyarakat menyukai 2 produk terakhir yang sudah diluncurkan & bila omzet produk ini meningkat Wismail Grup bisa lebih cepat mengalami kestabilan keuangan.
Di satu sisi aku mulai merasakan rasa berat tanggung jawab sebagai eksekutif, meskipun sebenarnya jobdesk yang kupunya saat ini masih jauh lebih ringan dibandingan jobdesk para eksekutif lainnya.
Aku menyadar pada kursi yang kududuki lalu merenggangkan kaki & tanganku yang kaku karena sedikit lelah setelah 3 jam mengenyam materi tentang Wismail dalam otakku secara kontinyu.
Handa yang melihatku ngulet langsung berkata, "Kalau nona sudah lelah sebaiknya disudahi saja".
Aku menggeleng, "Kalau masih ada materi yang perlu kubaca lebih baik kulihat dulu. Tuan Handa beristirahat saja dulu di kamar yang sudah disiapkan papa."
Sengaja aku memperbesar volume saat menyebut kata 'papa' kalau-kalau dia merasa sungkan menginap di rumah utama Wismail. Bisa jadi dia merasa lebih mendapat 'izin menginap' secara mandat dari atasannya dibandingkan dengan aku yang pasti dirasa cuma beramah tamah padanya.
Aku tak habis pikir dengan Handa yang bagiku terlalu terstruktur & formal. Mungkin dia memang begini adanya tapi beberapa orang merasa nggak nyaman dibuatnya, karena memaksa orang lain berlaku formal juga.
Handa menggeleng pelan mendengar jawabanku.
"Saya tak mungkin beristirahat saat nona sedang bekerja keras seperti ini."
Handa menaruh sekitar 3 buku lagi ke atas meja, tanda babak baru untuk materiku selanjutnya. Kalau melihat dari judul-judul bukunya kelihatannya Handa akan mengajariku metode manajerial & leadership.
"Tapi Tuan Handa belum mandi & berganti pakaian dari tadi pagi kan?"
Aku belagak menutup hidung untuk menggodanya agar formalitas diantara kami lebih cair.
Kutahan tawaku dengan buku yang kupegang saat Handa terlihat salah tingkah & mengendus lengan dalam kemejanya. Kemeja yang sama seperti ia pakai saat aku menemuinya di kantor tadi siang itu pasti sudah dipakainya sejak pagi.
"Segar-segarin diri saja dulu. Setelahnya kita lanjutkan lagi. Sekalian aku mau mengulang baca beberapa materi yang sebelumnya."
Aku memberi saran enteng sambil membolak-balik halaman penuh tulisan tentang Wismail Bussiness Partnership.
Meskipun masih sedikit sungkan tapi Handa akhirnya memutuskan menerima saranku lalu pamit untuk pergi ke kamarnya. Aku berdiri dari kursi untuk sedikit senam merenggangkan pinggangku yang sudah berjam-jam berada di posisi yang sama sehingga agak terasa pegal.
Lalu aku melihat sekali lagi semua berkas yang sempat kubaca & membuatku terpana betapa besar jangkauan Wismail Grup di perekonomian dunia.
Pantas saja beberapa orang yang pernah kutemui di pesta-pesta umumnya sering bersikap ramahnya kebangetan, atau lebih parah lagi menjilat, saat Djati atau Irza memperkenalkan diri sebagai anggota keluarga utama Wismail.
Kadang aku & Mila juga mendapat pemandangan yang sama, bedanya yang menghampiri kami kaum sosialita yang mayoritas kerjaannya shopping, mempercantik diri & bergaul kesana kemari memperluas koneksi.
Setelah aku mengetahui betapa besar Wismail Grup, membuatku semakin merinding dengan situasi yang sedang kuhadapi. Masalah apa yang menimpa Grup ini sampai-sampai dalam minggu yang sama secara kumulatif nilai Wismali Grup jatuh.
Apakah sebegitu gawatnya masalah yang dihadapi?
Apakah dugaan korupsi sudah terjadi dalam tubuh sistem & sudah dalam taraf yang amat sangat parah? Apakah ada pihak dengan kekuatan lebih besar berada di belakangnya?
Lamunanku dihentikan oleh ketukan di pintu yang ternyata Handa yang sudah kembali dengan busana lebih santai berupa polo shirt & celana training warna gelap, itu memang bajunya dia yang sengaja ditinggalkan karena beberapa kesempatan sebelum ini Handa sering menginap terutama saat malam menjelang persiapan Djati meeting penting di luar kota.
Yang bikin heran, tak sampai 15 menit dia meninggalkan ruangan ini. Membuatku bertanya-tanya cara mandi seperti apa yang dia terapkan.
Tak ingin berlama-lama lagi supaya nggak semakin menyita waktu tidur aku & Handa melanjutkan lagi training malam ini.
Pelatihan kilatku ini baru benar-benar berakhir pukul 01.30 dini hari. Kondisi rumah sudah amat sangat sepi karena para maid & footman sudah beristirahat di ruangan masing-masing.
Aku mengintip keluar ruang kerja melalui jendela yang membuatku bisa melihat lokasi parkir mobil & melihat mobil yang dipakai Mila serta Djati sudah berjejer rapi dengan mobil-mobil mewah lainnya, pertanda mereka sudah pulang.
Handa pamit diri bersiap untuk esok hari karena sebelum makan siang dia & Djati harus keluar kota, tepatnya ke lokasi perusahaan Wismail di kota sebelah untuk memantau beberapa hal.
Aku bergegas kembali ke kamarku melalui koridor yang disinari temaram lampu malam & sinar lampu taman di luar.
Saat di kamar aku agak terbingung-bingung melihat tumpukan shopping bag dengan merk-merk yang cukup terkenal. Di atas tempat tidurku terdapat secarik kertas yang saat kubaca aku mengenali tulisannya.
'Mama support kamu, tapi bukan berarti mama setuju dengan keputusanmu'
Isinya singkat tapi cukup melegakanku.
Ternyata Mila pergi mendadak membelikanku baju kerja, plus sepatu pantovel resmi, yang jujur saja selama ini aku tak punya karena belum pernah ada situasi yang mengharuskanku memakai baju kerja formal.
Tiap kantong belanjaan yang kubuka mengingatkanku bahwa Mila akan selalu berada di pihakku sekalipun kami sedang berbeda pendapat. Rasa senang berbungah di dadaku & langsung padam ketika kuketahui fakta bahwa mayoritas baju kerja yang Mila belikan berupa rok sepan mini dengan belahan, yang lokasinya kalau nggak di samping ya di belakang.
.
.
.
Aku bangun di pagi hari dengan kondisi masih agak lemas, mungkin karena darah rendahku atau mungkin juga karena semalam aku tidur agak larut.
Semalam sesampainya di kamar aku tidak langsung tidur melainkan memilah-milah baju hasil shoppingnya Mila karena di beberapa pakaian ada yang aku merasa kurang sreg. Utamanya seperti bahan yang terlalu see through, super mini skirt, dan yang sekiranya kurang conservative atau nggak sesuai dengan seleraku.
Aku berangkat menuju base produksi untuk software Wiphone yang lokasinya berada satu gedung dengan kantor utama Wismail. Sedangkan untuk produksi piranti kerasnya dilakukan di china yang kemudian dirakit di Thailand karena biayanya jauh lebih murah dengan jalur yang seperti itu.
Handa yang semobil denganku diperintah oleh Djati untuk menemaniku di hari pertama kerjaku, padahal aku tidak merasa perlu lagipula aku nanti akan dibimbing oleh Yusuf.
Djati berangkat dengan kendaraan terpisah karena berbeda tujuan. Beliau pergi ke beberapa main office bussines partnert Wismail Grup yang meliputi distributor, broker & pemimpin grup besar yang bekerja sama dengan kami.
Sesampainya di main office bagian engineering, Yusuf sudah berada di ruangannya. Aku jadi merasa tidak enak karena membuatnya menungguku, meskipun aku sudah datang sebelum jam pertemuan yang sudah disepakati.
Yusuf mempersilakanku, juga Handa, duduk di hadapannya & mengintruksikanku untuk membuka emailku. Beliau juga sempat mengintruksikan pada office boy yang kebetulan sedang meletakkan minuman dimejanya untuk membuatkan untukku & Handa minuman.
Pria yang usianya berada di akhir 30 tahun itu berkata bahwa beberapa data penting mengenai engineering, utamanya pada produk Wiphone, sudah dia kirimkan ke email resmi atas nama Wismail Grup.
Tidak banyak penjelasan yang Yusuf kemukakan padaku karena mayoritas sudah cukup jelas dari data-data yang kudapat dari email.
Setelah 2 jam pertemuan kami, Yusuf pamit pada kami karena sudah ada janji meeting dengan relasi bisnis di kota lain & harus mengejar pesawat di bandara.
Tak lama Handa pun harus meninggalkanku juga karena mendapat panggilan mendadak dari Djati yang membutuhkan beberapa data & menyusulnya ke tempatnya sebelum makan siang.
Semua memang sedang berjalan terburu-buru mengingat gentingnya situasi Wismail Grup. Mau tak mau aku harus mempercepat adaptasi & mempercepat proses belajarku juga.
Namun apa daya, aku bukan jenius seperti Irza. Jujur, materi yang kuterima dari Handa kemarin & yang kudapat hari ini cuma masuk seadanya, cuma yang vital saja yang bisa kuingat dengan baik.
***** bengek seperti detil nama perusahaan yang dikelola Wismail Grup, nama general manajernya, nama partner bisnis, bahkan beberapa cabang bisnis yang sekiranya tidak berhubungan dengan IT & engineering tidak ingin kuhafal supaya aku bisa lebih mengingat materi lain yang sekiranya lebih berhubungan untuk jobdesku nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!