Mobil yang kami naiki bertiga melesat cepat di jalanan bersinar temaram yang sudah sepi. Malam yang dihiasi gerimis panjang ini semakin menambah dingin situasi.
Handa menyetir mobil dalam kebisuan yang tajam. Di sebelahnya ada Irza yang terus memandang ke luar jendela sepertiku sambil sesekali melirik ponsel pintarnya. Aku berada di passenger seat belakang setengah meringkuk di ujung mobil tipe sedan.
Meskipun terjaga tapi tak ada topik yang membawa kami untuk saling mengobrol untuk membunuh waktu perjalanan yang terbilang lama. Insting siaga dibalut kekhawatiran membuat kami terdiam & ditakutkan bisa berlanjut overthinking ke arah kemungkinan terburuk.
Handa memacu mobil menuju hotel rekanan Wismail grup yang berada dekat kantor sesuai kesepakatan. Irza & aku berniat menginap di hotel yang sama di kelas twin rooms untuk berjaga-jaga bila ada kabar terbaru akan lebih mudah menyampaikan informasinya.
Hotel yang dimaksud kini mulai terlihat gedungnya & tak perlu waktu lama hingga mobil kami mencapai area parkir yang penuh.
Sekuriti menyarankan kami untuk parkir sementara di area luar parkir, bahkan di luar gerbang hotel yang dekat pos sekuriti pun penuh. Karena memang tak ada parking lot yang kosong. Lagipula setelah kami mendapatkan kamar, mobil akan langsung dibawa Handa ke apartemennya sementara.
“Saya akan masuk menanyakan kamar dulu.” Handa berpamit.
Irza melepas seatbelt-nya, “Aku akan ikut juga. Biasanya kalau Papa menginap di hotel ini perlu ada deposit dengan kartu kredit khusus. Kika, kamu ikut turun?”
“Kelihatannya hotelnya penuh. Parkirannya aja kita sampai nggak dapet. Gimana kalau cari yang lain aja?” aku memberi saran.
Sejujurnya aku punya firasat kalau menginap di hotel ini bukan pilihan tepat sejak melihat parkirannya yang penuh bahkan sampai di depan pos security nya. Firasat yang membuatku merasa malas turun dari mobil & menduga kita masih akan melanjutkan perjalanan.
Irza sebenarnya memahami maksudku tapi dia punya logika lain yang sama masuk akalnya.
“Perlu kucoba dulu siapa tahu ada kamar kosong. Di weekend begini kemungkinan hotel lain juga sama ramainya. Kita sudah terlanjur berhenti di sini.”
“Aku tunggu di sini aja deh. Payungnya cuma ada 1. Kalau aku ikut berarti ada salah satu dari kita yang kena basah.” Aku mengemukakan alasan lain.
“Nanti kalau udah dapet kamar, Handa balik bawa payung ke mobil sekalian dia pulang.”
Sedikit berpikir selanjutnya usulanku disetujui oleh Irza & Handa.
“Kalau perlu sesuatu sms atau telpon ke nomorku.” Irza memberi pesan yang kusambut anggukan.
Aku memandang, dari kaca depan, Irza & Handa pergi menuju pintu lobby hotel berpayung berdua. Seorang diri dalam mobil aku merenggangkan badan yang letih disertai senam sederhana sambil tetap duduk.
Kakiku yang kurenggangkan merasakan sesuatu sedikit tersenggol di bawah kursi yang tadi diduduki Irza. Penasaran, aku merogoh ke dalamnya. Aku menemukan sebuah Wiphone berwarna hitam dengan case kulit warna coklat. Akupun lalu teringat bahwa kemungkinan ini milik Handa yang, menurut dugaannya beberapa jam lalu, kemungkinan jatuh di mobil.
Tanpa sadar aku memencet tombol ‘active’ di hape tersebut. Layar yang menyala menandakan bahwa baterainya masih berisi.
Seperti smartphone yang digunakan businessman kebanyakan layarnya meminta suatu password untuk bisa digunakan. Namun ada hal lain yang mencuri perhatianku.
Wallpaper yang terpajang di smartphone yang kupegang ini terpampang jelas suatu wajah yang sangat kukenali. Wajah itu selalu terlihat saat aku bercermin.
Ada rasa tak percaya sekaligus bingung. Antara bertanya-tanya kapan aku difoto seperti ini juga mengapa Handa memakai wajahku sebagai wallpaper smartphonenya.
Apakah ini foto candid?
*TOK*TOK*
Terdengar suara ketukan kaca beradu logam di dekatku membuyarkan lamunanku berganti lompatan terkejut. Reflek aku me-lock pintu di dekatku & pintu di depanku yang merupakan pintunya Irza terduduk tadi.
Aku memandang seseorang yang kelihatannya bapak-bapak memakai helm sport dengan kaca terbuka. Jarinya yang memakai cincin logam kelihatannya yang dipakai untuk mengetuk kaca mobil di sebelahku.
Mulutnya terbuka & menutup mengajakku bicara. Aku menurunkan sedikit kaca jendelaku selebar tak lebih dari 1 cm agar bisa sedikit mendengar apa yang ingin dikatakannya.
“Kenapa ya mas?”
“Mau tanya jalan mbak..” katanya sambil menunjukkan secarik kertas. “Jalan Kinambui sebelah mana ya?”
Jujur sebenarnya aku kurang pandai menghafal jalan, apalagi aku berada di daerah yang tidak terlalu sering kulewati meskipun dekat jalan protokol yang kukenal.
“Maaf mas, saya kurang paham daerah sini. Tanya aja sama pak satpam di pos.” aku memberi saran.
“Satpamnya lagi nggak ada di pos mbak. Di mobilnya mbak ada GPS, bisa minta tolong dicarikan lewat situ nggak?” Orang berhelm itu meminta lagi.
“Maaf banget mas. Ini bukan mobil saya, jadi nggak tahu gimana pakainya.” Sekali lagi aku memberi jawaban yang menyiratkan kalau aku tak bisa membantunya.
“Nggak apa-apa mbak.“ Orang tersebut menjawab cepat. ”Alat GPS itu mirip sama yang saya pakai di mobil saya. Jadi tolong bukakan pintunya nanti GPSnya saya coba setel sendiri.”
Kini aku merasa ada yang tidak beres dengan orang yang kuajak bicara ini. Biasanya kalau ditolak sampai 2x umumnya orang pasti mengerti kalau yang dimintai tolong itu enggan atau memang bener-bener nggak bisa menolong. Semakin curiga saat dia memintaku membukakan pintu mobil.
“Maaf mas saya nggak bisa nolong. Takutnya GPSnya jadi rusak atau kenapa-kenapa.” dalihku.
“Tolonglah mbak. Ni, saya perlu ke apotek obat cina di Jalan Kinambui ini. Anak saya lagi sakit keras.” orang tersebut kini memberikan alasan yang membuat hati menjadi iba.
Aku yang mulai panik menoleh terus ke arah gedung hotel & mencari-cari bayangan Handa atau Irza berharap mereka datang dengan segera.
“Sebentar ya mas. Saya telepon kakak saya dulu. Mungkin dia bisa bantu.” aku mengalihkan pandanganku dari si pria berhelm untuk mengambil hape yang ada di dalam pouchku.
Tak disangka pria tersebut mencoba membuka pintu mobil di dekatku. Tapi karena terkunci, pintu tersebut membuat bunyi mekanikal yang berulang-ulang karena si pria berhelm itu mencoba membukanya berkali-kali. Jantungku seperti melompat di buatnya.
“Mbak buka pintunya, mbak. Saya nggak bisa nunggu lama lagi. Anak saya sakit nunggu obat.” Dia memukul beberapa kali kaca jendelaku dengan tangan bercincin yang tadi untuk mengetuk.
Tingkah pria tak dikenal yang tiba-tiba jadi memaksa ini membuatku semakin panik & takut. Akhirnya kuputuskan melakukan hal untuk mencari perhatian.
Aku menjulurkan tubuhku yang terasa berat & gemetar dipengaruhi ketegangan akibat kepanikan tingkat tinggi mencoba menekan klakson. Menggenggam tangan kananku kuat-kuat, aku pun memukulkannya tepat di tengah kemudi.
“TTTTIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNN….!!!!!”
Suara klakson mobil terdengar nyaring, keras, panjang & memecah kesunyian. Aku memutuskan untuk tidak berhenti menekan klakson sampai seseorang datang. Dalam hati aku berdoa semoga Irza, Handa ataupun security hotel mendengarnya & segera mendatangi lokasiku.
Aku sangat berkonsentrasi pada klaksonku sampai tak menyadari bahwa orang berhelm yang tadi berdiri di sisi kiri mobil kini berpindah lokasi ke kanan yang mana belum sempat kuaktifkan door lock nya.
Ketika aku menyadari fakta tersebut jariku untuk mengaktifkan lock kalah cepat dengannya membuka pintu. Perasaan takut semakin membuat tubuhku kaku. Merasakan bahaya yang semakin mendekat aku mencoba kabur melalui pintu di dekatku.
Tapi raihan tangan kanan si pria berhelm lebih cepat menggenggam pergelangan tangan kananku. Tangan kirinya berhasil menggenggam kain baju dress ku. Dengan sekali gerakan kuat ia menarikku paksa hingga separuh badanku keluar dari mobil.
Aku berteriak sekuat tenaga. Tak jelas apakah aku berteriak minta tolong, memanggil nama atau sekedar suara melolong yang pasti aku sangat takut & berharap seseorang mendengarnya. Aku yang mengenakan baju pesta meronta penuh perlawanan.
Pria yang kini semakin terlihat tidak membutuhkan lokasi Jalan Kinambui ini sekali lagi menarik kuat menginginkan agar aku keluar sepenuhnya dari mobil, cengkeramannya di bahuku terlepas karena kain dress ku tersobek. Aku berusaha berpegangkan pada semua yang ada dalam jangkauanku.
Perlawananku semakin sengit saat ia berusaha mengendongku dengan merangkulkan lengannya ke tubuhku. Yang paling efektif adalah saat tangan kiriku yang menggenggam smartphone sukses menghujam muka pria tersebut yang tak terlindungi helm. Ditambah pula sikutan kananku mengenai telak hidung yang sudah bonyok terkena hantaman gadget berbahan semi logam.
Pukulan itu tidak fatal tapi cukup untuk membuatnya sedikit hilang tenaga & mungkin pusing hingga ia meraung kesakitan sambil merenggangkan kekuatannya untuk menahanku.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ini aku mendorong si pelaku hingga dia jatuh terduduk. Akibatnya aku juga terjatuh ke bawah mobil bertemu aspal yang dingin.
Badanku bergetar hebat. Mataku mulai berair ingin menangis karena takut. Namun secara sadar aku tahu aku harus berusaha untuk berdiri & berlari menuju pos satpam.
Kupaksakan kaki yang tak beralas ini berlari sejauh mungkin dari orang asing berbahaya yang masih meraung sakit.
Selanjutnya aku melihat seseorang berlari mendekat dari arah depan mobil.
“KIKA!”
Suara teriakan lain terdengar seakan menjadi harapan bagiku. Irza berlari menerjang gerimis yang tak kunjung henti.
Di belakangnya Handa juga berlari bagai tanpa rem. Handa melewatiku namun tepat setelahnya ia berhenti & memunggungiku seolah ingin berada di antaraku & si penyerang.
Aku berlari & jatuh di pelukan kakakku yang pandangannya amat sangat khawatir. Namun segera pandangan yang berubah waspada tersebut di arahkan lagi pada pria berhelm.
Si pelaku yang menyadari kedatangan bala bantuanku kini mengeluarkan senjata yang dari tadi ia simpan di saku jaketnya, sebuah pisau tentara.
Melihat pisau dalam genggaman orang yang berniat tidak baik pada adiknya, Irza menjadi sangat berhati-hati. Kini perhatian pria tak dikenal itu seluruhnya pada Irza & Handa karena lebih mengancam keselamatannya.
“Serahkan dia pada saya. Tolong temani Kika di dalam mobil.” Handa memberi intruksi jelas pada Irza sambil menyerahkan car key.
Kakakku langsung memencet tombol unlock agar semua kunci pintu terbuka. Ia membawaku agak memutar & menghampiri bagian mobil yang jauh dari jangkauan pria berpisau.
Pria berhelm itu tahu kami berusaha menutup pintu mobil di dekatnya. Namun sebelum ia melakukan apa pun Handa melayangkan tendangan ke atasnya. Hal itu membuatnya terkejut & reflek meninggalkan perhatiannya pada Irza, berpindah pada Handa.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan cepat Irza meluncur masuk untuk menutup pintu passengers seat yang terbuka serta menguncinya. Lalu ia memberi gestur menyuruhku lekas masuk.
Setelah memastikan aku masuk dengan sempurna, Irza menjulurkan tubuhnya untuk menutup pintu yang kami pakai masuk & mengaktifkan lock.
Dari balik jendela aku mengkhawatirkan Handa yang menghadapi pria bersenjata tajam. Aku memandang Handa yang nampak tenang namun terasa aura kewaspadaannya saat ia melakukan posisi kuda-kuda lalu berpindah pada pria bersenjata yang terus memposisikan senjatanya di antara mereka berdua.
Aku tahu Handa punya pengalaman bela diri tapi tetap saja itu tak membuatku lebih tenang.
Handa maju perlahan ke arah pria tersebut. Gerakan kecil Handa seolah suatu ancaman sehingga pria bersenjata itu melayangkan pisau di tangan kanannya ke udara, “Jangan mendekat!” pria itu berteriak.
Tak menyianyiakan kepanikan pria tersebut Handa melayangkan tendangan ke arah pergelangan pria tersebut. Benturan yang terjadi membuat pisau yang dibawanya terlontar.
Dengan sebuah lompatan ke depan Handa melanjutkan serangannya dengan menendang tubuh si pelaku hingga terhempas ke belakang mencium trotoar.
Melihat pria berhelm itu berada dalam jarak cukup jauh dari mobil Handa dengan lincah memasuki mobil di kursi kemudi & dengan segera membawa kami pergi dari lokasi.
Sepanjang perjalanan tubuhku masih belum berhenti gemetarnya & entah mulai kapan air mata ketakutanku mengalir deras tanpa ada yang menghentikan. Aku meringkuk bagai anak kecil dengan gigi yang terus gemeratak tanpa sanggup kuhentikan.
Irza yang berada di sebelahku memelukku erat. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian di mobil.” tangannya mengelus-elus punggungku berulang-ulang. Mengharapkan semoga tiap usapan bisa lebih cepat meredakan emosiku.
“Saya yang harus minta maaf.” Handa bersuara dengan nada sangat memohon maaf & penuh sesal. “Saya lupa mengingatkan untuk mengaktifkan lock otomatis di pintu driver.”
Aku tak memperdulikan siapa yang salah. Dalam hati aku cuma ingin mensyukuri bahaya ini telah berlalu sambil berusaha menenangkan diri yang terlanjur tertumpah emosinya.
“M-Maaf.. Aku rasanya takut sekali. Jadi..” bibirku bahkan bergetar saat berbicara terasa seperti sedang menahan sesuatu yang dingin mencekam.
Aku menggenggam erat pakaian Irza semakin larut dalam pelukannya. Aku tahu tak seharusnya Aku memeluknya seperti ini, mengingat apa yang sudah terjadi di antara kita. Tapi aku sedang tak bisa mengendalikan diriku yang kaku namun tak bertenaga.
“Tidak apa-apa.. Sudah aman sekarang.” Semakin erat genggamanku semakin cepat pula Irza mengelus-elus punggungku berusaha membuatku tenang. Perlahan tapi pasti pelukan hangat tersebut mencairkan rasa dingin ketakutan yang menyelimutiku.
Tiba-tiba Irza merenggangkan pelukannya & melepas jasnya. Tak sampai sedetik jas yang beraroma eau de toilette favorit Irza menutupi badanku.
Baru kusadari bahwa busana bahu kananku sobek. Kainnya terkoyak & tali bra warna nude milikku menjuntai sepanjang lenganku memperlihatkan separuh bagian atas dada kananku.
Rasa malu karena terlalu memperlihatkan bagian kulit yang selama ini selalu tertutup pastinya ada. Tapi tetap kalah dengan rasa gemetar lemas yang masih menghinggapiku. Kuringkukkan lagi tubuhku dalam balutan jas Irza.
“Tapi kenapa kita pergi buru-buru? Pelakunya kan sudah jatuh di tanganmu.” Irza kini bertanya pada Handa.
“Saya khawatir orang tadi masi ada kawannya di dekat kita.” Handa menjawab sambil tetap berkonsentrasi pada jalanan.
“Tadi saat kita menghampiri Kika, satpam hotel disibukan dengan suatu insiden yang terjadi di parkiran. Saya curiga itu ulah rekannya untuk menjauhkan satpam dari mobil kita.”
“Menurutmu apakah dia perampok biasa atau sengaja mengincar Kika karena dia keluarga Wismail?” Irza mendiskusikan kegelisahannya.
“Saya tak bisa memastikan. Tapi seandainya orang yang mengalihkan satpam itu rekannya, kemungkinan besar bukan perampokan biasa.” Handa menjawab dengan wajah serius.
Suasana tegang semakin pekat dalam mobil.
Aku yang mulai bisa mengendalikan emosiku berusaha untuk ikut dalam pembicaraan.
“Jadinya sekarang kita pergi kemana?”
Kupandang Irza yang masih memeluk sambil mengusap punggungku bergantian dengan Handa melalui spion depan.
Pertanyaanku tak langsung mendapat jawaban. “Kika, sudah merasa lebih tenang?”
Irza malah balik menanyaiku perkara lain. Tapi aku mengangguk saja sebagai jawaban untuk membuat hatinya lega.
“Bagaimana kalau ke apartemen saya dulu?” Handa memberi pendapat.
“Sekarang sudah sangat larut & tak tahu apakah orang tadi mengikuti kita atau tidak."
"Apartement saya sistem keamanannya cukup ketat. Memungkinkan hanya penghuninya saja yang bisa masuk & ada security juga di area gerbang serta lobby. Saya rasa di sana opsi paling baik.”
Tak berpikir terlalu lama, Irza langsung menyetujui ide Handa. Aku otomatis ikut saja dengan suara terbanyak.
Dalam diam kami melanjutkan perjalanan menuju tempat Handa tinggal.
Perjalanan menuju apartemen Handa berlangsung cukup singkat. Karena jalan yang memang sepi & lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel yang kami datangi tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Eka PS
Seruuuuuuuuu ... !!!!
2021-04-16
1
Fitriana
tegang yg baca
2021-04-14
1
just.Ryn
handa.....
2020-05-13
1