Parakang
Suara erangan seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan bayinya terdengar dari rumah kayu sederhana yang berdiri di tengah desa. Desa yang berada tak jauh dari hutang belantara di bagian Sulawesi Selatan.
"Tarik nafas! Ayo mengejan lagi!" pinta wanita tua berambut separuh beruban itu.
Wanita yang sedang terbaring di atas rajutan karpet daun kelapa itu meremas ujung bantalnya yang telah basah karena keringat. Tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang tak sanggup lagi ia tahan.
"Aaaaaa!!!" teriaknya penuh tenaga.
Kepalanya yang basah itu ia hempaskan ke bantal begitu saja. Kedua matanya yang telah berair itu menatap nanar pada langit-langit rumah beratapkan daun kelapa yang telah usang warnanya dimakan oleh waktu.
"Mengejan lagi, Nak!"
"Tidak bisa, Mak," rintih-nya tak sanggup.
"Bisa. Ayo! Coba lagi!"
"Tidak bisa!!!"
Suara papan rumah yang berbunyi membuat Baya, wanita 59 tahun itu menoleh menatap Edi yang terlihat mendekati istrinya, Caya.
"Sudah keluar, Mak?"
"Belum."
Wajah Edi semakin menjadi cemas setelah mendengarnya. Ia menggengam jari-jari tangan istrinya yang masih meringis kesakitan itu.
"Daeng, saya sudah tidak bisa."
Edi mengelus dahi istrinya sambil berusaha tersenyum cemas.
"Coba lagi!" bisiknya.
Caya menarik nafas panjang seakan berusaha untuk mengumpulkan seluruh kekuatannya. Ini adalah kelahiran anak pertamanya sehingga jalan lahirnya masih sempit dan tak mudah untuk mengeluarkannya.
"Emmmmm Aaaaaaaa!!!!"
"Terus!!! Sedikit lagi!"
"Eeeeaaaaaaahhh!!!" teriaknya.
"Lagi, Nak!"
"EmmmmmOaaaaMaaaaa!!!!"
Malam itu suasana menjadi dingin karena hembusan angin yang bertiup kencang bahkan orang yang berada di dalam ruangan sesekali saling bertatapan saat rumah bergoyang, maklum lah rumah ini hanya terbuat dari kayu.
Bruak!!!
Suara hempasan pintu jendela terdengar membuat Edi dan Baya menoleh. Cahaya kilat dari langit itu menyilaukan mata membuat pepohonan di luar rumah terlihat jelas, begitu menakutkan.
Edi berlari untuk menutup jendela membuatnya mendongak menatap langit malam yang gelap gulita. Tak ada satupun bintang di langit.
Edi berlari kembali ke samping istrinya yang masih bertaruh nyawa.
"Sepertinya mau hujan, gelap sekali di luar," ujarnya memberitahu.
Caya kembali mengejan setelah beberapa menit ia mengumpulkan tenaganya. Baya sesekali menunduk menatap jalan lahir yang di bagian atas belahan pahanya ditutupi sarung batik berwarna hijau.
"Emmmmmaaaaaaaaa!!!" teriaknya.
"Ya keluar sudah kepalanya!!!"
Caya menghempaskan kepalanya kembali di atas bantal yang telah basah. Tangan yang tak dipegang oleh suaminya meremas lututnya yang ikut terasa ngilu menahan sakit.
Caya mengerjapkan beberapa kali kedua matanya yang telah ikut lelah. Ia menoleh ke kiri mendapati cahaya merah yang terlihat di celah dinding rumahnya dan tak berselang lama hilang begitu saja.
Seketika wajah kesakitan itu lenyap dari wajahnya. Cahaya merah itu seperti sebuah bola mata yang begitu tajam seakan sedang mengintainya.
"Kenapa, Ndi?"
Caya menoleh. Ia dengan cepat menggeleng dan kembali meringis saat rasa sakit itu menggeliat pada perutnya.
Oeeeee
Suara bayi yang berhasil keluar dari jalan lahir Caya akhirnya terdengar setelah perjuangan berjam-jam.
Caya menghempaskan kepalanya ke bantal. Perjuangannya telah selesai untuk mengeluarkan anak pertamanya.
Baya menggendong bayi laki-laki yang masih basah dan kotor karena darah itu membuat Edi tersenyum bahagia.
"Laki-laki, Mak?" tanya Edi yang begitu penasaran.
"Iya, laki-laki anakmu," jawabnya.
Edi mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Setelah bertahun-tahun akhirnya ia telah dikaruniai seorang anak.
Meoooong
Edi dan Baya menoleh menatap kucing hitam berekor pendek yang berjalan di atas papan rumah. Edi mengernyit heran, dari mana kucing hitam ini datang? Seingat Edi tak ada kucing peliharaannya di rumah ini.
"Edi! Bawa ari-arinya dibawa, Nak! Terus kubur! Jangan lupa kasi lilin! Jangan sampai diliat dan dicium Parakang bau ari-arinya," jelas Baya.
Edi mengangguk lalu melangkah turun dari rumah menginjakkan kakinya satu persatu di atas tangga yang sedikit bergoyang sambil membawa kendi berisi ari-ari yang telah dicampur dengan garam kasar.
Edi mendongak menatap langit gelap gulita yang siap menurunkan air hujannya.Tak pikir panjang Edi menyalakan obor dan berlari meraih cangkul yang ada dibawah kolom rumah.
Edi berlari ke depan rumah dan meletakkan obor apinya yang menyala itu atas batu. Mata tajam besi itu tertancap di permukaan tanah saat Edi mulai menggali tanah dengan cangkulnya ditemani cahaya kilat dari langit.
Satu persatu tetes air hujan turun membasahi Edi yang masih menggali lubang untuk mengubur ari-ari anaknya di tengah kegelapan malam membuat api di obor itu bergerak, nyaris mati saat ditiup oleh angin.
Sementara di dalam rumah bayi yang telah di bedong itu di letakkan ke atas wadah. Bayi itu menangis seakan gelisah entah karena apa membuat Baya juga sedikit kebingungan. Biasanya bayi yang baru lahir tidak akan menangis seperti ini.
"Ada apa, Mak?"
Baya menoleh setelah Caya bertanya kepadanya. Sepertinya wajah herannya itu bisa dilihat oleh Caya.
"Bayimu sepertinya merasa ketakutan."
Caya terdiam tak mengerti.
Baya bangkit membuat Caya mendongak.
"Mau kemana, Mak?"
"Ambil bawang merah, mungkin saja bayimu ini tidak berhenti menangis karena ada Parakang di sekitar sini," jelasnya lalu melangkahkan kakinya pergi.
Bibir Caya bergetar. Setelah mendengar nama Parakang membuat tubuh Caya gemetar hebat. Sosok mahluk yang telah meresahkan warga desa bertahun-tahun itu membuatnya ketakutan.
Caya menoleh, ia menggerakkan kepalanya menatap lubang pada dinding rumah yang terbuat dari papan, tempat dimana terakhir kali ia melihat mata merah dan tajam itu.
Caya menelan salivanya dengan paksa. Bibirnya masih bergetar tak berhenti. Ruangan kamar yang hanya disinari cahaya lampu petromaks itu membuat suasana menjadi mengerikan. Caya mengusap kedua tangannya secara bergantian saat bulu kuduknya berdiri merasakan sensasi berbeda yang pernah ia rasakan.
Bruak
Caya tersentak kaget saat seekor kucing hitam itu melompat dari atas langit-langit rumah dan mendarat di samping bayinya yang semakin menangis.
Caya terdiam dengan wajah takutnya menatap kucing yang kini sedang menatapnya tajam. Kedua mata kucing itu sepertinya bukan tatapan kucing seperti biasa yang ia lihat. Kucing itu berbeda.
Kedua mata Caya membulat menatap bayangan hitam yang keluar dari kucing berbulu hitam. Kucing itu tak mengeong, dia terlihat membuka mulutnya lalu tubuhnya bergerak naik turun seakan ia sedang sesak nafas.
Wajah kucing itu perlahan berubah menjadi sosok wajah manusia berambut putih panjang dengan tubuh telanjang. Ia terlihat seperti merangkak dengan bokongnya yang lebih tinggi dari pada posisi kepalanya.
Bibir Caya bergetar. Ia ingin berteriak tapi rasanya ini tidak mudah. Ia berusaha bangkit tapi tidak bisa.
"Aaaaaaaaaa!!!" teriak Caya ketakutan.
"Pa-pa-parakang!!!!"
"Tolong!!! Parakang!!!"
Parakang itu menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan lalu ia melompat kegirangan seperti hewan berkaki empat dengan mata merah berbinar menatap lapar pada bayi yang semakin menangis itu.
"Jangan! Ja-jangan makan anakku!!!" teriak Caya ketakutan.
Parakang itu memajukan bibirnya dan merapatkannya pada pusat bayi yang masih merah.
Uh uh uh uh
"Oh Daenggg!!!" Caya menjerit saat suara parakang itu terdengar.
Dia menghisap anaknya!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
オーロラ79
Baru mulai baca, penasaran...
2024-09-10
0
Sukran
kasi pengantar dulu... sebelum masuk ke cerita nya sappo..
2023-01-03
1
Mugiya is back
mampir
2022-12-07
0