Raina melangakahkan kakinya yang telah dibalut dengan kain untuk menutupi lukanya itu turun ke anakan tangga sembari menenteng keranjang.
"Hati-hati, Nak."
"Iya, Indo," jawabnya.
Raina menatap Saoda sekilas yang berdiri di pintu masuk lalu berpaling dan melangkah pergi. Raina menelan salivanya saat ia berhasil menjauhi Saoda yang kini masih berdiri menatap kepergiannya.
Raina melangkahkan kakinya yang sakit itu menelusuri jalan yang mengarah ke pemukiman warga desa. Kali ini Raina akan lewat di depan rumah Puang Bakri untuk memastikan apa yang terjadi semalam.
Langkah Raina menjadi pelan disaat ia bisa melihat keramaian dari kejauhan yang berada di depan rumah Puang Bakri. Yang lebih mengambil perhatian Raina adalah kain putih yang berkibar di depan rumah dan tenda biru yang terpasang.
Detak jantung Raina mendadak berdetak sangat cepat membuat tubuhnya ikut gemetar karena takut, jadi kejadian semalam bukanlah sebuah mimpi dan ini adalah kenyataan.
Raina melangkahkan kakinya mendekati rumah Puang Bakri dan berdiri di depannya dengan kedua matanya yang menatap orang-orang disekelilingnya yang saling berbisik.
"Raina!" teriak seseorang membuat Raina menoleh menatap Erni yang kini melambaikan tangannya dan mendekati Raina.
"Mau kemana?"
"Em, mau ke pasar."
Erni mengangguk sambil menatap Raina yang kini fokus menatap ke arah rumah.
"Siapa yang meninggal?"
"Oh itu si Puang Bakri."
"Kenapa bi-bi-bisa meninggal?" tanya Raina yang begitu sangat takut.
"Katanya dia meninggal karena sakit tapi kemarin itu dia masih pergi ke sawahnya. Kata orang-orang Puang Bakri itu dimakan sama Parakang," jelasnya.
"Pa-parakang?"
"Iya," jawabnya.
Raina menelan salivanya serta bibirnya yang bergetar karena takut. Sepertinya ia harus pergi dari sini sebelum semua orang curiga atas meninggalnya Puang Bakri. Di sini hanya Raina yang tahu penyebab meninggalnya Puang Bakri.
Raina berpaling lalu ia melangkah namun langkahnya tertahan saat Erni menggengam pergelangan tangannya.
"Kau mau kemana?"
"Em, aku ingin pergi ke pasar."
"Aku juga ingin pergi tapi sebelum itu aku ingin melihat Puang Bakri."
Raina mengangguk tanda setuju dan tak berselang lama Erni menarik pergelangan tangan Raina membuat Raina terbelalak.
"Mau kemana?"
"Ayo kita naik!"
"Naik kemana?" tanya Raina yang berusaha untuk tidak takut tapi tubuhnya yang dingin tak mampu menutupi ketakutannya.
"Naik ke rumah. Mari kita lihat Puang Bakri."
Raina menggeleng, "Aku tunggu di sini saja."
"Sudah tidak apa-apa!"
Raina menghela nafas panjang saat Erni berhasil menariknya naik ke atas rumah melewati beberapa anakan tangga kayu yang sedikit berlumut. Beberapa orang menoleh menatap ke arah Raina dan Erni yang telah masuk ke dalam rumah.
Tubuh Raina bergetar menatap tubuh Puang Bakri yang kini sedang terbaring di atas kasur dengan kain batik panjang yang menutupi seluruh tubuhnya.
Erni duduk di samping Puang Bakri yang masih terlentang sementara Raina masih berdiri dengan tubuh gemetar.
"Raina!" panggil Erni yang kini mendongak menatap Raina.
"Ayo duduk!"
Raina menelan salivanya lalu mengangguk pelan. Ia duduk di samping Puang Bakri dengan wajahnya yang begitu sangat takut.
Erni membuka kain panjang itu membuat Raina terbelalak menatap kedua mata Puang Bakri yang terlihat terbuka dengan mulut yang menganga.
"Hah!!!" teriak Raina yang langsung memundurkan tubuhnya berusaha untuk menjauhi Puang Bakri.
Semua orang menoleh menatap kaget pada Raina yang kini terlihat sangat ketakutan. Raina dengan cepat bangkit dan belari menuruni anakan tangga sementara Erni dengan cepat bangkit lalu berlari menuju pintu keluar sambil menatap kepergian Raina yang kini menjadi pusat perhatian semua orang.
"Raina!!!" teriak Erni yang kemudian ikut melangkah turun dari tangga dan mengejar kepergian Raina yang masih berlari.
Erni menggengam pergelangan tangan Raina membuat Raina menjerit ketakutan.
"Raina! Ini aku Erni!!!" teriaknya.
Raina menghentikan teriaknya lalu membuka kedua matanya menatap Erni yang kini berdiri menatapnya dengan wajah kebingungan.
"Ada apa? Kenapa kau berteriak dan berlari seperti itu?"
Raina menoleh menatap ke sekelilingnya membuat Erni ikut menatap ke sekeliling.
"Raina!"
Raina menoleh.
"Ada apa?"
"A-aku takut. Aku tadi sudah bilang kalau aku tidak mau naik untuk melihat Puang Bakri tapi kau tetap saja menarik aku naik."
Erni terdiam sejenak.
"Kalau begitu maafkan aku."
Raina mengangguk.
"Kalau begitu mari kita ke pasar!" ajaknya membuat Raina kembali mengangguk.
Keduanya kini melangkahkan kakinya menuju pasar yang kini sudah tidak terlalu jauh.
Disepanjang perjalanan Raina bisa mendengar suara orang-orang yang sedang membahas tentang kematian Puang Bakri yang masih menjadi misteri.
Gerakan tangan Raina yang sedang memilih sayur kol itu terhenti setelah suara beberapa pedangan terdengar.
"Kau tau, aku tadi melihat tubuh Puang Bakri membiru di punggungnya."
"Iya dan juga kedua matanya serta mulutnya tak bisa ditutup karena sudah kaku."
"Hah, ini pasti karena ulah Parakang yang menyerangnya di tengah malam sampai tubuhnya kaku seperti itu."
"Tega sekali Parakang itu, tidak punya hati sampai dengan teganya merenggut nyawa seseorang."
Raina melangkah pergi meninggalkan orang-orang yang dengan cepat menoleh menatap kepergian Raina.
"Heh, tidak jadi beli?!!" teriaknya.
Ditempat yang sama kini Erni terdiam menatap aneh pada sikap Raina yang sangat sensitif jika membahas tentang mahluk bernama Parakang itu. Kejadian ini bukan hanya terjadi sekali tapi sudah terjadi beberapa kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Sukran
tolong kurangi kata menelan salivanya...
2023-01-04
0