Suara erangan seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan bayinya terdengar dari rumah kayu sederhana yang berdiri di tengah desa. Desa yang berada tak jauh dari hutang belantara di bagian Sulawesi Selatan.
"Tarik nafas! Ayo mengejan lagi!" pinta wanita tua berambut separuh beruban itu.
Wanita yang sedang terbaring di atas rajutan karpet daun kelapa itu meremas ujung bantalnya yang telah basah karena keringat. Tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang tak sanggup lagi ia tahan.
"Aaaaaa!!!" teriaknya penuh tenaga.
Kepalanya yang basah itu ia hempaskan ke bantal begitu saja. Kedua matanya yang telah berair itu menatap nanar pada langit-langit rumah beratapkan daun kelapa yang telah usang warnanya dimakan oleh waktu.
"Mengejan lagi, Nak!"
"Tidak bisa, Mak," rintih-nya tak sanggup.
"Bisa. Ayo! Coba lagi!"
"Tidak bisa!!!"
Suara papan rumah yang berbunyi membuat Baya, wanita 59 tahun itu menoleh menatap Edi yang terlihat mendekati istrinya, Caya.
"Sudah keluar, Mak?"
"Belum."
Wajah Edi semakin menjadi cemas setelah mendengarnya. Ia menggengam jari-jari tangan istrinya yang masih meringis kesakitan itu.
"Daeng, saya sudah tidak bisa."
Edi mengelus dahi istrinya sambil berusaha tersenyum cemas.
"Coba lagi!" bisiknya.
Caya menarik nafas panjang seakan berusaha untuk mengumpulkan seluruh kekuatannya. Ini adalah kelahiran anak pertamanya sehingga jalan lahirnya masih sempit dan tak mudah untuk mengeluarkannya.
"Emmmmm Aaaaaaaa!!!!"
"Terus!!! Sedikit lagi!"
"Eeeeaaaaaaahhh!!!" teriaknya.
"Lagi, Nak!"
"EmmmmmOaaaaMaaaaa!!!!"
Malam itu suasana menjadi dingin karena hembusan angin yang bertiup kencang bahkan orang yang berada di dalam ruangan sesekali saling bertatapan saat rumah bergoyang, maklum lah rumah ini hanya terbuat dari kayu.
Bruak!!!
Suara hempasan pintu jendela terdengar membuat Edi dan Baya menoleh. Cahaya kilat dari langit itu menyilaukan mata membuat pepohonan di luar rumah terlihat jelas, begitu menakutkan.
Edi berlari untuk menutup jendela membuatnya mendongak menatap langit malam yang gelap gulita. Tak ada satupun bintang di langit.
Edi berlari kembali ke samping istrinya yang masih bertaruh nyawa.
"Sepertinya mau hujan, gelap sekali di luar," ujarnya memberitahu.
Caya kembali mengejan setelah beberapa menit ia mengumpulkan tenaganya. Baya sesekali menunduk menatap jalan lahir yang di bagian atas belahan pahanya ditutupi sarung batik berwarna hijau.
"Emmmmmaaaaaaaaa!!!" teriaknya.
"Ya keluar sudah kepalanya!!!"
Caya menghempaskan kepalanya kembali di atas bantal yang telah basah. Tangan yang tak dipegang oleh suaminya meremas lututnya yang ikut terasa ngilu menahan sakit.
Caya mengerjapkan beberapa kali kedua matanya yang telah ikut lelah. Ia menoleh ke kiri mendapati cahaya merah yang terlihat di celah dinding rumahnya dan tak berselang lama hilang begitu saja.
Seketika wajah kesakitan itu lenyap dari wajahnya. Cahaya merah itu seperti sebuah bola mata yang begitu tajam seakan sedang mengintainya.
"Kenapa, Ndi?"
Caya menoleh. Ia dengan cepat menggeleng dan kembali meringis saat rasa sakit itu menggeliat pada perutnya.
Oeeeee
Suara bayi yang berhasil keluar dari jalan lahir Caya akhirnya terdengar setelah perjuangan berjam-jam.
Caya menghempaskan kepalanya ke bantal. Perjuangannya telah selesai untuk mengeluarkan anak pertamanya.
Baya menggendong bayi laki-laki yang masih basah dan kotor karena darah itu membuat Edi tersenyum bahagia.
"Laki-laki, Mak?" tanya Edi yang begitu penasaran.
"Iya, laki-laki anakmu," jawabnya.
Edi mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Setelah bertahun-tahun akhirnya ia telah dikaruniai seorang anak.
Meoooong
Edi dan Baya menoleh menatap kucing hitam berekor pendek yang berjalan di atas papan rumah. Edi mengernyit heran, dari mana kucing hitam ini datang? Seingat Edi tak ada kucing peliharaannya di rumah ini.
"Edi! Bawa ari-arinya dibawa, Nak! Terus kubur! Jangan lupa kasi lilin! Jangan sampai diliat dan dicium Parakang bau ari-arinya," jelas Baya.
Edi mengangguk lalu melangkah turun dari rumah menginjakkan kakinya satu persatu di atas tangga yang sedikit bergoyang sambil membawa kendi berisi ari-ari yang telah dicampur dengan garam kasar.
Edi mendongak menatap langit gelap gulita yang siap menurunkan air hujannya.Tak pikir panjang Edi menyalakan obor dan berlari meraih cangkul yang ada dibawah kolom rumah.
Edi berlari ke depan rumah dan meletakkan obor apinya yang menyala itu atas batu. Mata tajam besi itu tertancap di permukaan tanah saat Edi mulai menggali tanah dengan cangkulnya ditemani cahaya kilat dari langit.
Satu persatu tetes air hujan turun membasahi Edi yang masih menggali lubang untuk mengubur ari-ari anaknya di tengah kegelapan malam membuat api di obor itu bergerak, nyaris mati saat ditiup oleh angin.
Sementara di dalam rumah bayi yang telah di bedong itu di letakkan ke atas wadah. Bayi itu menangis seakan gelisah entah karena apa membuat Baya juga sedikit kebingungan. Biasanya bayi yang baru lahir tidak akan menangis seperti ini.
"Ada apa, Mak?"
Baya menoleh setelah Caya bertanya kepadanya. Sepertinya wajah herannya itu bisa dilihat oleh Caya.
"Bayimu sepertinya merasa ketakutan."
Caya terdiam tak mengerti.
Baya bangkit membuat Caya mendongak.
"Mau kemana, Mak?"
"Ambil bawang merah, mungkin saja bayimu ini tidak berhenti menangis karena ada Parakang di sekitar sini," jelasnya lalu melangkahkan kakinya pergi.
Bibir Caya bergetar. Setelah mendengar nama Parakang membuat tubuh Caya gemetar hebat. Sosok mahluk yang telah meresahkan warga desa bertahun-tahun itu membuatnya ketakutan.
Caya menoleh, ia menggerakkan kepalanya menatap lubang pada dinding rumah yang terbuat dari papan, tempat dimana terakhir kali ia melihat mata merah dan tajam itu.
Caya menelan salivanya dengan paksa. Bibirnya masih bergetar tak berhenti. Ruangan kamar yang hanya disinari cahaya lampu petromaks itu membuat suasana menjadi mengerikan. Caya mengusap kedua tangannya secara bergantian saat bulu kuduknya berdiri merasakan sensasi berbeda yang pernah ia rasakan.
Bruak
Caya tersentak kaget saat seekor kucing hitam itu melompat dari atas langit-langit rumah dan mendarat di samping bayinya yang semakin menangis.
Caya terdiam dengan wajah takutnya menatap kucing yang kini sedang menatapnya tajam. Kedua mata kucing itu sepertinya bukan tatapan kucing seperti biasa yang ia lihat. Kucing itu berbeda.
Kedua mata Caya membulat menatap bayangan hitam yang keluar dari kucing berbulu hitam. Kucing itu tak mengeong, dia terlihat membuka mulutnya lalu tubuhnya bergerak naik turun seakan ia sedang sesak nafas.
Wajah kucing itu perlahan berubah menjadi sosok wajah manusia berambut putih panjang dengan tubuh telanjang. Ia terlihat seperti merangkak dengan bokongnya yang lebih tinggi dari pada posisi kepalanya.
Bibir Caya bergetar. Ia ingin berteriak tapi rasanya ini tidak mudah. Ia berusaha bangkit tapi tidak bisa.
"Aaaaaaaaaa!!!" teriak Caya ketakutan.
"Pa-pa-parakang!!!!"
"Tolong!!! Parakang!!!"
Parakang itu menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan lalu ia melompat kegirangan seperti hewan berkaki empat dengan mata merah berbinar menatap lapar pada bayi yang semakin menangis itu.
"Jangan! Ja-jangan makan anakku!!!" teriak Caya ketakutan.
Parakang itu memajukan bibirnya dan merapatkannya pada pusat bayi yang masih merah.
Uh uh uh uh
"Oh Daenggg!!!" Caya menjerit saat suara parakang itu terdengar.
Dia menghisap anaknya!!!
Dia menghisap anaknya!!!
Tubuh Baya terlihat masih gemetar, ia masih terlihat ketakutan.
Parakang itu terlihat menghisap pusat bayi yang masih basah hingga bayi mungil itu terlihat gemetar seperti disetrum. kedua kaki dan tangannya gemetar hingga suara tangisan bayi itu lenyap secara perlahan.
Kedua mata Baya melebar karena tak menyangka jika bayinya telah tiada. Bibirnya bergetar ingin bicara tapi tidak bisa. Takut! Rasa takut mencengkram pikirannya.
"Kau makan anakku Parakang!!!" jerit Caya dengan air mata yang membasahi pipinya.
"Aaaaaaa!!!" teriaknya lagi berusaha untuk mendekati bayinya yang sudah tak bernyawa.
Kepala Parakang itu menoleh menatapnya membuat Caya tersentak kaget. Parakang itu kembali melompat kegirangan menatapnya hingga mata merah bisa Caya lihat dari beberapa helai rambut yang bergerak memperlihatkan wajah Parakang dengan mulut penuh darah.
Engka panasa maridi!!!
(Ada Nangka masak!!!)
Caya memundurkan tubuhnya ke belakang setelah mendengar suara itu. Parakang selalu melihat santapannya dengan sosok buah dan kali ini Parakang itu melihat Caya seperti sebuah buah.
"Bukan!!! Jangan saya!!!"
Parakang itu mendekat dengan jalan merangkak membuat papan itu berbunyi pelan dan menakutkan.
Nafas Caya sesak sembari berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sosok Parakang yang terlihat kelaparan. Darah segar dari jalan lahirnya terlihat memenuhi papan saat Caya memundurkan tubuhnya ke belakang.
Caya menggeleng, ia memohon agar Parakang itu tidak mendekatinya.
"Ja-ja-jangan! Tolong jangan Parakaaaaaaaaaang!!!"
Parakang itu melompat mendekati Caya membuat Caya dengan cepat memejamkan kedua matanya.
"Oh Daeeeeeeeenggg!!!" jeritnya.
Baya yang sedang menimba air di sumur itu menoleh setelah mendengar suara teriakan Caya. Dengan cepat ia meraih bawang dari atas lemari dan berlari menaiki tangga belakang rumah.
"Ada ap- Oh Puang!!!!" teriak Baya.
Bawang yang ada ditangannya itu berjatuhan ke papan setelah melihat sosok parakang yang sedang menghisap jalan lahir Caya yang kini sedang gemetar dengan kedua matanya yang terbuka lebar. Mulutnya terlihat menganga dan meringis kesakitan tidak jelas dengan bola matanya yang naik ke atas nyaris seperti orang kejang.
Baya memundurkan langkahnya hingga punggungnya terbentur ke dinding rumah dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Parakaaaaaang!!!" teriaknya.
Mendengar teriakan itu membuat Parakang itu berlari menembus dinding rumah yang jadi berlubang.
Edi menoleh menatap ke arah rumah setelah mendengar suara teriakan dukun beranak istrinya. Dengan cepat ia meraih obor yang ada sampingnya dan berlari menuju rumah.
Edi membuka pintu dan membuatnya terbelalak menatap bayi dan istrinya yang sudah tergeletak tak bernyawa. Edi menoleh menatap Baya yang sedang menangis di pojok rumah sambil memeluk lututnya.
Edi berlari menghampiri bayinya yang seluruh tubuhnya membiru. Tangan gemetarnya meraih bayi laki-lakinya yang terasa dingin dengan mulutnya terlihat menganga.
"Ke-ke-kenapa anakku, Mak?"
"Kenapa anakku?!!" teriaknya membuat Baya semakin menangis seperti orang bodoh.
Tubuh Baya terlihat masih gemetar, ia masih terlihat ketakutan setelah menjadi saksi kematian Caya yang telah disantap roh halusnya oleh Parakang.
Edi menoleh menatap istrinya. Pandangannya turun menatap jalan lahir istrinya yang koyak memperlihatkan usus yang berhamburan keluar di atas papan.
"Cayaaaaaa!!!" teriak Edi yang berlari mendekati istrinya.
Bau amis tercium menyengat pada indra penciumannya yang begitu menusuk hatinya. Ini semua tak pernah ia harapkan akan terjadi pada istrinya.
"Kenapa istriku, Mak?!!" teriaknya.
Baya masih menangis membuat Edi geram dan menghampiri Baya dan mengguncang kedua bahunya dengan keras. Ia memaksakan tubuh dukun beranak istrinya itu agar mau bicara.
Edi bisa merasakan tubuh Baya dingin dan menggigil bahkan sampai menembus ke baju yang ia gunakan.
"Katakaaaaan!!!" teriaknya.
Baya meringis saat suara teriakan itu seakan menembus gendang telinganya bertubi-tubi. Tubuhnya masih diguncang oleh Edi yang meminta jawaban.
"Cepat katakan, Mak!!!"
"Istri dan Anakmu dimakan Parakang!!!"
Guncangan tangan Edi terhenti setelah mendengar suara teriakan Baya dengan mata memerah karena telah menangis tepat di hadapan wajahnya.
"Parakang yang sudah makan Anakmu!!! Parakang!!!"
Edi melepaskan pegangannya dari bahu Baya. Nama itu, nama itu kembali terdengar di telinganya. Parakang kembali datang dan kali ini ia yang merasakannya.
Edi menoleh menatap bayi dan istrinya secara bergantian. Meninggal dengan cara mengenaskan dan perbuatan itu dilakukan oleh mahluk jadi-jadian bernama Parakang.
Dada Edi kembang kempis menahan amarah yang siap meledak di detik ini juga. Persetan dengan mahluk pembawa keresahan keseluruh desa.
Edi mengenggam rambutnya dengan kuat dan menariknya dengan keras. Kini tubuhnya terasa panas menggigil tak menentu.
"Oh Parakang!!! Kau makan anak dan istriku!!!"
"Kau makan manusia yang tidak berdosa!!!"
"Kau hancurkan kehidupanku, Parakang!!!"
Edi memukul papan dengan keras membuat Baya meringis saat rumah terasa terguncang karena amukan dari Edi. Edi mendongak menatap lubang dimana Parakang itu telah berhasil lolos dan pergi begitu saja.
"Oh parakang!!!"
Edi mengangkat jari-jari tangannya dan menggenggamnya dengan kuat seakan sosok Parakang itu ada pada genggamannya membuat tubuhnya gemetar hebat.
"Pegang janjiku ini, tidak akanku lepaskan kau mahluk jadi-jadian setelah kau lakukan ini kepada keluargaku!!!"
"Tidak akan!!!"
"Akan aku tangkap kau dan aku bunuh dengan tangan aku sendiri!!!"
"Aaaaaaaa Parakaaaaaang!!!"
Tok
Tok
Tok
Pintu diketuk dengan pelan membuat seorang gadis dengan mata terpejam di atas kasur biru itu terbangun dari tidurnya. Ia duduk di pinggir kasur lalu terdiam sejenak memikirkan siapa yang mengetuk di hari yang masih subuh ini.
"Rainaaaaa!!!" suara teriakan serak itu terdengar bersamaan dengan ketukan pintu rumah.
Raina bangkit dari pinggir kasur dan melangakahkan kakinya mendekati pintu yang telah keropos kayunya.
"Rainaaa!!!"
Suara teriakan yang sedang memanggil namanya itu kembali terdengar membuat Raina segera memutar paku yang telah dijadikan sebagai alat penahan pintu agar tidak terbuka.
Raina terbelalak kaget menatap tubuh tanpa sehelai kain benang itu sedang berdiri dihadapannya. Wanita tua berambut beruban itu terlihat memeluk tubuhnya sendiri dengan tubuh mengigil pucat.
"Indo!!!" teriaknya kaget.
Wanita tua bernama Saoda itu melangkah masuk ke dalam rumah melewati cucunya yang kini terlihat kebingungan. Raina menutup pintu lalu mendekati Saoda yang melangkah masuk ke dalam kamar.
"Indo dari mana?"
Saoda tak bicara. Ia diam seperti orang bisu sementara tangannya sibuk mencari baju di dalam lemari.
"Indo dari mana?"
Saoda menoleh dengan baju yang sudah ada di tangannya. Ia menatap Raina yang terlihat masih menatapnya dengan serius.
"Indo juga tidak tahu, Nak."
Saoda memakai bajunya dan melangkah mendekati kasur dengan ranjang tua yang terbuat dari kayu jati. Ia duduk dan membaringkan tubuhnya ke kasur membelakangi Raina.
"Jangan beritahu orang kalau Indo pulang subuh!"
Sunyi, setelah ia bicara mendadak Raina tak bicara lagi. Raina takut kepada Saoda jika ia banyak bertanya. Sudah sering Saoda melakukan hal ini dan tak ada jawaban yang berbeda hampir setiap harinya jika Raina bertanya.
...****************...
Raina berjalan menulusuri jalanan yang basah, banyak kubangan air dimana-mana setelah semalaman diguyur oleh derasnya hujan. Raina menghentikan langkahnya, ia meletakkan keranjang belanjaan di sampingnya lalu meraih sendal jepit yang tertusuk duri hingga menembus sendal jepitnya. Maklumlah, di desa ini banyak rumput berduri.
Raina kembali memasang sendalnya lalu kembali melangkahkan kakinya menuju pasar yang agak jauh dari tempat tinggalnya yang dihimpit oleh hutan dan kebun milik warga desa.
Langkah Raina menjadi pelan menatap kain putih yang berada di depan rumah Edi, pria yang menikah tiga tahun yang lalu. Siapa yang meninggal?
Raina melangakahkan kakinya dengan perlahan sementara kedua pasang matanya merabah keseluruh warga yang sedang duduk dan saling berbisik bahkan ada yang terlihat menggeliat ketakutan saat sedang bicara. Raina tak mengerti dengan mereka semua.
Raina menoleh menatap beberapa ibu-ibu yang sedang saling berbisik membuat Raina mendekat. Rasa penasarannya tak mampu ia tahan untuk tidak bertanya.
"Bu, siapa yang meninggal?" tanya Raina membuat tiga ibu-ibu itu menoleh menatap Raina.
"Itu istri sama anaknya Edi yang meninggal tadi malam."
"Hah? Kenapa bisa?" kagetnya.
"Iya, katanya dimakan sama Parakang."
...****************...
Saoda menghentikan gerakan tangannya yang sedang memegang pisau untuk memotong bawang merah yang telah nyaris membusuk. Saoda terdiam dengan wajah pucatnya menatap pepohonan di luar jendela dapur.
Saoda menarik nafas panjang dan kembali menunduk menatap bawang yang kembali ia potong dengan perlahan.
...****************...
"Dimakan Parakang?" tanya Raina.
"Iya, tadi malam kejadiannya."
Ibu-ibu itu melangakahkan kakinya pergi meninggalkan Raina yang kini terdiam. Siapa sebenarnya mahluk bernama Parakang itu? Mengapa namanya selalu menjadi alasan atas kematian seseorang di desa ini.
Raina melanjutkan langkahnya melewati beberapa orang juga sedang saling berbisik menyebut nama mahluk bernama Parakang itu. Ini bukan pertama kalinya Raina mendengar nama itu, tapi ini sudah ratusan kalinya.
Siapa Parakang itu dan bagaimana bentuknya? Mengapa ia selalu menakuti dan menggangu para warga tanpa memandang bulu. Hari ini istri dan bayi dari Edi yang direnggut, dua hari yang lalu Nenek dari sahabatnya, Erni yang meninggal setelah bertahun-tahun sakit, namun Erni mengatakan jika kematian Neneknya bukan karena sakitnya tapi karena ulah Parakang.
Sejujurnya Raina tak percaya dengan keberadaan mahluk bernama Parakang itu lagipula, Raina tak pernah melihatnya langsung di depan mata. Mendengar gosip tentang perbuatan Parakang memang telah menjadi keseharian dan kebiasaan Indra pendengarannya, tapi melihatnya belum pernah.
Raina membuka kendi berisi air dan menyirami betis dan kakinya yang terkena percikan lumpur yang mengotori kulitnya. Raina melangkahkan kakinya menaiki anakan tangga yang terbuat dari kayu berwarna hitam menuju masuk ke dalam rumah kayu.
Sepanjang perjalanan nama Parakang itu terus menjadi momok perbicangan warga desa, mulai dari pasar sampai ke lorong Desa. Rasanya tak bosan mereka membahas hal yang sama, yakni Parakang.
"Indo!" panggil Raina.
Raina tersenyum mendapati Saoda yang sedang mencuci beras. Saoda adalah Nenek dari Raina yang telah membesarkan Raina dari kecil sampai umur Raina telah berusia 17 tahun. Kata Indo adalah nama panggilan Ibu dalam bahasa daerah dan Raina memanggil Soida dengan panggilan Ibu agar Raina tetap bisa merasakan keberadaaan ibunya yang telah meningal.
Kata Saoda, Ibu dari Raina meninggal karena perbuatan Parakang yang telah memakan roh halus ibunya saat melahirkan adik dari Raina. Sedangkan Ayahnya juga telah meninggal saat ia berusaha untuk mengejar Parakang. Amarahnya membawanya menuju pada kematian dan hingga kini menyisahkan Saoda dan Raina saja yang tinggal di rumah sederhana ini.
Raina duduk di bangku kecil sembari menatap Saoda yang sedang meletakkan panci berwarna hitam ke atas kompor yang terbuat dari tanah liat dan kayu sebagai alat pembakar.
"Indo!"
Saoda menoleh lalu tersenyum menatap Raina. Saoda kembali menoleh sambil tangannya yang sibuk mengatur kayu agar mudah untuk terbakar.
"Tadi aku lewat di lorong desa."
Sunyi, Saoda masih sibuk dengan kayu bakarnya.
"Istri dan anak dari Daeng Edi meninggal."
Gerakan tangan Saoda terhenti beberapa detik dengan kedua matanya yang terbelalak kaget. Tak berselang lama ia kembali mendorong kayu bakar itu yang telah dibakar oleh api.
"Kenapa bisa?"
"Katanya dimakan Parakang."
Saoda berbalik badan, ia melangkah mendekati keranjang belanjaan Raina dan mengeluarkan beberapa belanjaan di sana tanpa pernah menatap Raina.
"Indo, apa itu Parakang?" tanya Raina hati-hati.
Saoda melirik menatap Raina yang masih menatapnya dengan serius.
"Jangan pernah bertanya seperti itu! Tidak ada dibilang Parakang di dunia ini."
"Tapi kenapa banyak orang bilang kalau istri dan anaknya Daeng Edi meninggal karena-"
"Parakang?" potong Saoda membuat Raina mengangguk lalu Saoda tertawa.
"Kenapa, Indo?"
"Kematian seseorang hanya Tuhan yang tahu."
"Tapi kenapa nama Parakang bisa ada kalau tidak pernah terjadi?"
Saoda duduk di atas papan sambil memeluk kedua lututnya menanti air berasnya itu mendidih. Ia menatap Raina yang masih ingin mendengar jawaban darinya.
"Dulu ada tapi sekarang tidak ada."
"Kenapa bisa?"
"Indo juga tidak tahu, tidak perlu sering menyebut nama itu. Tidak baik! Karena mungkin saja dia bisa datang."
Raina melotot takut. Apa itu berarti mahluk Parakang itu tahu jika dirinya sedang disebut?
Tak berselang lama Saoda tertawa membuat Raina terkejut. Suara tawa Saoda mengapa tiba-tiba membuatnya menjadi takut seperti ini.
"Kenapa ketawa?"
"Kau percaya?"
Raina mengangguk.
"Jangan terlalu percaya. Parakang itu sudah punah."
Raina terdiam setelah mendengar ujaran Saoda. Ia mendongak menatap kepergian Saoda. Apa ini berarti sosok Parakang itu ada?
Dimana dia?
Dan bagaimana kehidupannya?
Ini akan Raina cari tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!