Rhama Dan Cinta
Rhama menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang sudah tampak tua dan tak terawat. Ia memandangi rumah itu. Sebuah senyuman kemudian tersungging di wajahnya.
Tahun 2005 menjelang 2006....
Aku seorang Rhama, manusia biasa dari abad ke-20 –bukan tokoh sakti dalam dunia pewayangan. Namun, aku terlahir istimewa dengan penuh keberuntungan. Hidupku sangat sempurna. Aku mempunyai keluarga harmonis, harta berlimpah, kebahagiaan, kesuksesan, tubuh atletis, dan yang paling penting adalah wajah tampan tanpa silikon dan rekayasa. Intinya, semua yang diinginkan para wanita dari seorang pria ada padaku. Aku mempunyai segalanya dan bisa mendapatkan segalanya, kecuali... cinta.
Hampir setahun terakhir ini aku mengharapkan cinta seorang gadis yang tak pernah jauh dariku. Gadis itu Mei dan saat ini dia duduk tepat di sebelahku, namun di meja yang berbeda.
Dia sedang menulis. Seperti biasa dia selalu mengerjakan soal yang diberikan guru dengan serius dan aku selalu memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan hal yang paling kusukai, yakni menatapnya.
Tak secuilpun bagian dari wajahnya yang luput dari tatapanku dan tak satupun tingkahnya terlewatkan olehku. Aku selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya, mulai dari caranya membalik kertas, membaca buku, hingga caranya memegang pensil.
Lalu, ketika mulai terbentuk kerutan di dahinya, aku sudah bisa memastikan bahwa ia akan mengambil penghapus dan segera menghapus sebagian pekerjaannya hingga tak berbekas. Lalu, ia mulai menulis kembali.
Tapi, tiba-tiba, “Teeee...eeettt, teeee...eeeeetttt, teeeeee...eeeetttt!”
“Ouh, sial!” keluhku.
Inilah hal pertama yang kubenci. Saat bel sekolah berbunyi tiga kali semua orang di kelasku bergegas mengemasi buku sambil memamerkan senyum termanis mereka. Sedangkan, aku jadi lemas tak berdaya dengan mimik wajahku yang kecut.
Lalu, tanpa menghiraukanku satu per satu mereka mulai meninggalkan kelas. Mereka tak peduli padaku yang selalu merasa tidak ingin pulang. Aku ingin pelajaran terus dilanjutkan, aku tidak ingin jam sekolah usai, aku ingin tetap berada di sini bersama Mei selamanya.
Namun, sayangnya aku tak bisa menghentikan waktu dan mencegah hal ini terjadi. Bahkan, hal kedua yang kubenci pun menyusul.
“Rham, maaf! Aku tidak bisa piket sekarang. Aku harus ikut les tambahan satu jam lagi dan aku pasti telat jika piket terlebih dahulu. Tapi, aku janji... aku akan menurunkan semua bangku di kelas ini besok pagi.” Setelah berkata seperti itu tanpa menunggu izinku Ken bergegas meninggalkanku begitu saja.
Dan, seperti biasa aku hanya terdiam tanpa bisa mencegahnya. Ken memang selalu begitu. Setiap hari Kamis ia selalu menjanjikan hal yang sama padaku. Tapi, sekalipun ia tak pernah bisa menepatinya.
Lihat saja besok! Saat jari guru piket telah berada di atas tombol bel dan siap untuk menekannya, Ken baru akan tiba di sekolah. Ia memang tidak akan terlambat dan dalam catatan sejarah hidupnya ia belum pernah datang terlambat. Tapi, aku yakin dia takkan punya cukup waktu untuk menurunkan semua bangku di kelas. Jadi, dengan sangat terpaksa aku harus mengambil alih tugasnya karena tak ada pria lain dalam regu piketku.
Tapi, anehnya entah mengapa aku tak pernah mengeluh. Bahkan, andaikan bisa aku ingin terus piket setiap hari.
Padahal, saat pertama kali tahu bahwa aku diposisikan satu regu piket dengan Ken, aku berteriak histeris, “Mengapa harus akuuu...?”
Ada 13 pria dalam kelasku dan salah satunya adalah ketua kelas yang mendapat kebebasan untuk tidak piket. Jadi, masih ada 12 pria lagi yang kemudian dibagi-bagi ke dalam 6 regu piket. Sehingga, ada sepasang pria di setiap regu piket dan mengapa aku harus dipasangkan dengan Ken?
Padahal, awalnya aku sama sekali tidak seregu dengannya. Karena, jadwal piket disusun berdasarkan absen sesuai urutan inisial nama. Inisial namaku R, sedangkan inisialnya K. Nomor absen kami terpisah jauh. Sehingga, kami tidak mendapatkan piket di hari yang sama.
Ia mendapat jatah piket di hari Jumat, sedangkan aku mendapat jatah di hari Sabtu. Tapi, malangnya regu piket di hari Jumat kekurangan tenaga pria. Sedangkan, di hari Sabtu kekurangan tenaga wanita. Jadi, terpaksa salah satu dari pria dalam regu piketku harus dibarter dengan seorang wanita dari regu piket Ken. Dan, pria terpilih itu adalah aku. “Mengapa harus aku yang dihijrahkan ke regu piket Ken?” batinku saat itu.
Aku merasa seakan menjadi pria termalang di dunia saat itu. Pertama kali dalam hidupku aku merasa benar-benar tidak beruntung. Tapi, ternyata aku salah. Aku justru sedang begitu beruntung karena ternyata Mei juga satu regu piket dengan Ken. Itu berarti aku juga satu regu piket dengan Mei.
'Hahhhh, senangnya bisa piket bersama Mei,' batinku penuh kegirangan saat itu. “Aku begitu beruntung.”
Mungkin karena itulah aku tidak pernah mengeluh dan selalu ingin terus piket setiap hari. Atau, mungkin juga karena aku benar-benar tulus melakukannya. Entahlah, hingga kini aku tak begitu tahu alasan yang sesungguhnya. Tapi, yang pasti aku selalu merasa bahagia jika berada di sisi Mei.
Seperti saat ini, aku merasa sangat bahagia dan bersemangat. Karena itulah, tanpa terasa satu per satu bangku di kelasku telah kuangkat dan kuletakkan di atas meja.
Kini tugas piketku telah selesai. Aku pun menyadari diriku tak dibutuhkan lagi di sini. Dengan berat hati kupanggul tas ranselku dan kuayunkan langkahku menuju pintu kelas.
Rasanya begitu berat untuk berpisah dengan Mei. Meski aku mencoba menenangkan hatiku, “Ini bukan perpisahan untuk selamanya.” Namun, entah mengapa hatiku tetap berat meninggalkannya. Saat berpapasan pun aku menatapnya dengan wajah kecewa.
Sementara itu, ia tak membalas tatapanku sedikitpun karena terlalu sibuk menyapu. Tiba-tiba, “Hukk, hukkk, hukk!” Mei terbatuk-batuk karena menghirup debu dan aku segera berbalik arah lalu memberikan sapu tanganku padanya.
Meski ketiga rekan piketku yang lain menatap curiga, aku tak peduli. Aku tetap menyodorkan tanganku berharap Mei akan mengambilnya.
Cukup lama Mei menatap wajahku. Kemudian, dengan sedikit ragu ia mengambil sapu tangan itu. “Terima kasih,” ucapnya.
Aku tak bisa berkata apapun. Hanya sebuah senyuman menandakan hatiku sangat bahagia terbentuk di bibirku. Lalu, aku meneruskan langkah menuju ke luar kelas dengan perlahan. Dalam hati aku berharap bisa bersama Mei lebih lama lagi. Tapi, tak terasa ternyata kakiku telah melangkah ke luar kelas dan sekarang aku hanya bisa menatap Mei dari kaca-kaca jendela kelas.
Kulihat ia meneruskan tugas menyapunya sambil melindungi hidung mancungnya dari debu dengan menggunakan sapu tanganku. Aku merasa bahagia sekali. 'Ternyata mama benar,' pikirku dan aku segera teringat pada mama yang dulu tak pernah bosan berkata, 'Rhama bawa sapu tanganmu!'
Dan, aku selalu menjawab, 'Untuk apa, Ma? Seperti wanita saja.'
'Hei, kau salah besar,' ucap mama segera. 'Pria sejati malah harus selalu membawa sapu tangan kemana pun ia pergi.'
Aku terdiam karena bingung memikirkan, 'Apa hubungan pria sejati dengan membawa sapu tangan?'
Sedangkan, mama terus melanjutkan ucapannya, 'Pria sejati akan membutuhkan sapu tangan saat ia berkeringat. Saat ia melihat seorang wanita menangis, terluka, pilek, atau tersiram air, pria sejati akan memberikan sapu tangannya pada wanita itu. Karena itu, sebagai pria sejati kau harus selalu membawa sapu tangan kemana pun kau pergi.'
Aku menggeleng-gelengkan kepala. 'Sepertinya mama terlalu banyak menonton adegan film romantis,' pikirku saat itu dan aku tak pernah mau menuruti perintah mama untuk membawa sapu tangan.
Tapi, ternyata mama seorang wanita lembut dengan semangat pejuang keras. Ia pantang menyerah dan setiap hari rela repot menyelipkan selembar sapu tangan ke setiap saku celana yang akan kupakai. Jadi, dengan terpaksa akhirnya aku selalu membawa sapu tangan kemana pun aku pergi. Dan, tanpa kuduga ternyata sapu tangan itu akan menjadi sangat berguna hari ini.
“Terima kasih, Mama,” ucapku dengan begitu bahagia.
“Aku bukan mamamu, Bodoh!” Tiba-tiba bentakan seorang wanita membuyarkan semua ingatanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments