“Rhama, sudahlah!”ucap Mei. Semua siswa mulai berdiri dan mengumpulkan kertas ulangan. Tapi, aku tetap terus mengerjakannya. “Sebentar lagi, Mei,” ucapku.
“Tiga....”
“Aarggh, sial!” Aku tak sempat lagi menyelesaikannya. Padahal, hanya tinggal sedikit lagi. Dengan sangat kecewa akhirnya aku terpaksa membiarkan Mei mengumpulkan kertas ulanganku dan ulangannya pada Pak Kohar.
“Rhama, seharusnya kau tidak perlu melakukan semua hal tadi,” ucap Mei kemudian.
“Aku hanya ingin membantumu, Mei,” ucapku dengan begitu tulus. Namun, Mei malah segera pergi keluar kelas meninggalkanku dan aku sama sekali tak mengerti pada sikapnya.
'Apa mungkin ia masih marah karena aku menghilangkan cincinnya?' pikirku.
'Jika memang begitu, aku berjanji akan segera menemukan cincinmu, Mei,' ucapku dalam hati.
'Tapi, dimana aku bisa menemukannya? Aku sudah mencarinya di tempat dimana aku berpeluang menjatuhkannya,' bisikku dalam hati sambil memandang ke luar jendela kelas.
Lalu, tanpa sengaja tiba-tiba saja aku melihat gadis cerewet lewat di depan jendela itu. Sehingga, dalam sekejap otakku segera berpikir, 'Hohh, jangan-jangan aku menjatuhkannya di lapangan saat aku melompati tembok pagar rumah gadis cerewet itu. Atau, jangan-jangan aku malah menjatuhkannya ketika berada di dalam rumahnya, saat aku sedang bertengkar dengannya. Karena, pada saat itu kemungkinan besar cincin itu bisa keluar sakuku.'
“Hah, tidaaaakk!” jeritku histeris. 'Jika memang begitu, maka sudi tidak sudi aku harus berurusan kembali dengan gadis cerewet itu,' pikirku.
'Aku tidak mau,' ucapku dalam hati.
'Tapi... demi Mei,' pikirku begitu bimbang. Lalu, akhirnya aku memutuskan, 'Demi Mei aku akan melakukannya.' Semua akan aku lakukan dan usahakan demi Mei... apapun itu, termasuk berurusan dengan makhluk yang paling tak kusukai di dunia ini sekalipun.
'Aku akan melakukan apapun demi Mei,' tekadku dalam hati lalu segera melangkah menuju kelas 3 IPA 2.
Aku memandang pintu kelas 3 IPA 2 yang terbuka lebar. Meskipun tadi tekadku sudah begitu bulat untuk berjuang melakukan apapun demi Mei, tapi tiba-tiba saja aku menjadi ragu untuk menemui gadis cerewet itu. Oleh karena itu, akhirnya tanpa kusadari aku malah berjalan mondar-mandir berkali-kali di sepanjang koridor kelas 3 IPA 2.
Para siswi di dalam kelas 3 IPA 2 yang heran melihat tingkahku pun mulai menunjuk ke arahku dan membicarakan sesuatu.
“Hei, lihat itu Rhama!” ucap salah satu dari mereka.
“Apa yang sedang dia lakukan, ya? Sejak tadi sepertinya sudah belasan kali aku melihatnya mondar-mandir.”
“Entahlah.... Tapi, yang jelas dia itu tampan sekali,” puji yang lainnya.
“Badannya tegap sekali. Aku benar-benar menyukainya,” bisik mereka.
“Seandainya dia menyatakan cinta padaku, aku pasti akan segera menerimanya.” Mereka terus saling bersahutan membicarakan aku tanpa kusadari.
Sementara itu, gadis cerewet yang tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Bodoh,” gumamnya kemudian.
Lalu, ia melangkahkan kakinya ke luar kelas dan kebetulan aku melihatnya. Aku segera memanggilnya, “Hei, kau! Kau!”
Tapi, dia sama sekali tak menoleh. Sehingga, aku memanggilnya, “Gadis cerewet!”
Dengan spontan ia segera menoleh dan aku tersenyum geli. 'Ternyata dia merasa bahwa dirinya cerewet,' pikirku.
Sementara itu, dia segera berkata, “Berhentilah memanggilku gadis cerewet, Pria bodoh!”
“Maaf, aku tidak tahu namamu,” ucapku santai. “Lagipula sejak kemarin tidak ada label nama di seragammu. Seharusnya kau mendapat hukuman dari sekolah.”
“Heh, dasar Pria bodoh!” pekiknya kesal membuat perhatian semua siswi di dalam kelasnya tertuju pada kami berdua. “Sebenarnya ada apa mencariku?”
“Maaf,” ucapku gugup. “Aku... aku....” Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku katakan.
Aku hanya ingin menemukan cincin Mei yang mungkin tercecer di rumahnya atau di jalan menuju rumahnya. Tapi, aku tidak ingat jalan yang telah kulalui untuk menuju ke rumahnya kemarin. 'Apa yang harus aku katakan?' pikirku.
“Aku....” Aku bingung dan akhirnya aku berkata, “Hari ini aku ingin pulang bersamamu,” ucapku gugup disahuti ******* super kaget dari para siswi 3 IPA 2 yang mengintip kami berdua dari jendela.
“Bolehkah aku mampir ke rumahmu hari ini?” tanyaku ragu.
Lalu, “Haahhhh!” Para siswi yang mengintip kami berdesah histeris dan melotot tak percaya.
“Rhama ingin pulang bersamanya,” jerit mereka tak rela.
Sementara itu, gadis cerewet itu segera memelototiku dan berteriak, “Jangan pernah dekati rumahku lagi!”
“Apa??” teriak para siswi itu kompak. “Itu berarti Rhama sudah pernah ke rumahmu sebelumnya?” desak para siswi pada gadis cerewet di hadapanku.
“Rhama, katakan pada kami! Apa kau sudah pernah pulang bersamanya dan mampir ke rumahnya?” tanya mereka panik.
“Ya, kemarin kami pulang bersama dan aku mampir ke rumahnya,” jawabku santai.
“Hahhh... tidak mungkin,” ucap mereka sedih dan ada siswi yang nyaris pingsan.
“Heh, apa peduli kalian?” gumam gadis cerewet itu kesal sambil segera berjalan meninggalkanku.
“Hei, tunggu dulu!” cegahku. Tapi, ia tidak peduli. Ia semakin mempercepat langkahnya tanpa menoleh sedikitpun kepadaku dan para siswi itu bergegas mengejarnya.
“Hei, apa sebenarnya hubunganmu dengan Rhama?” tanya mereka pada gadis cerewet itu.
“Memangnya dia itu siapa? Mengapa kalian begitu peduli pada urusannya?” ucap gadis cerewet itu begitu cuek.
“Hahhh, kau tidak tahu, ya? Dia itu pria terpandai di sekolah kita. Dia selalu menjuarai berbagai macam kompetisi akademik dan dia sangat... iiihhh... tampan,” ucap salah satu dari mereka.
“Dia juga sangat kaya. Ayahnya pemilik beberapa showroom mobil di kota ini dan bisnis keluarganya tersebar di mana-mana,” cerocos mereka dan aku hanya tersenyum geli mendengar bisikan mereka.
“Intinya, dia itu adalah pria impian hampir setiap siswi di sekolah kita ini,” tambah mereka.
“Kecuali aku,” ucap gadis cerewet itu tak peduli. “Aku sama sekali tak mengidamkannya,” tegasnya membuat semua siswi itu tercengang.
“Sepertinya kau tidak normal,” gumam salah satu dari mereka dan di dalam hati aku juga segera membenarkan ucapannya. 'Gadis itu memang tidak normal, dia aneh dan menyebalkan.'
Tapi, meskipun begitu aku tetap harus berusaha menghadapinya untuk menemukan cincin Mei. Karena itu, saat jam sekolah usai aku segera menunggunya di depan gerbang. Namun, ternyata kelas 3 IPA 2 keluar agak sedikit terlambat. Sehingga, gadis cerewet itu baru tiba di gerbang saat hampir semua siswa di kelas lain sudah pulang.
“Hei, aku ingin pulang bersamamu,” ucapku segera ketika ia melihatku.
“Aku tak peduli,” ucapnya sambil segera memalingkan tatapannya.
“Aku sudah menunggumu sejak tadi di sini,” ucapku kesal.
“Hah!” Para siswi 3 IPA 2 lainnya yang juga berada di sekitar gerbang terkejut mendengar ucapanku. Mereka segera berbisik tak percaya, “Rhama menunggunya pulang sejak tadi.”
Sementara itu, gadis cerewet itu segera berkata dengan kasar, “Pria bodoh! Itu salahmu sendiri. Aku tak pernah sekalipun menyuruhmu menungguku di sini.”
“Aku tak peduli. Aku akan pulang bersamamu,” tegasku membuat tatapan semua orang terarah pada kami berdua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments