“Hah! Mama,” ucapku panik. “Bagaimana ini?” Aku segera naik ke atas tempat tidurku dan berpura-pura tidur.
“Rhama... Rhama... Rhama!” panggil mama berkali-kali. Namun, aku tetap tak menjawab panggilan mama. Berkali-kali sudah mama mencoba mengetuk pintu dan memanggilku.
“Rhama, “ ucap mama mulai panik. “Pa, cepat kemari!” teriak mama. “Bibi, cepat ambilkan kursi!”
'Hah! Apa yang ingin mama lakukan?' pikirku resah.
“Ada apa, Ma?” tanya papa.
“Rhama, Pa. Sejak tadi dia tidak menjawab panggilan mama.”
“Ini kursinya, Nyonya.” Bibi memberikan kursi pada mama.
“Untuk apa kursi ini, Ma?” tanya papa heran. Mama tidak menjawab. Ia malah segera mengangkat kursi ke depan pintu kamarku dan naik ke atasnya. Ternyata mama mengintipku dari ventilasi pintu kamar. Untung saja aku berpura-pura tidur dalam posisi menelungkup. Sehingga, mama tidak dapat melihat luka memar di wajahku.
“Ghhrokkk!” Aku pura-pura mendengkur sekeras mungkin.
Mama tersenyum melihatku. “Untunglah, ternyata Rhama hanya tidur. Sepertinya ia nyenyak sekali hingga tak mendengar panggilan mama tadi,” ucap mama sambil tersenyum malu melihat papa.
Papa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bingung melihat tingkah mama yang tadi terlihat begitu panik, tapi sekarang tiba-tiba berkata dengan santai, “Sebaiknya kita biarkan saja Rhama beristirahat. Sepertinya ia sangat kelelahan. Mama tidak tega membangunkannya.”
Aku pun sebenarnya tidak tega membuat mama panik. Tapi, aku tidak bisa berbuat apapun. Jika aku tidak berpura-pura tidur, maka mama pasti akan memaksaku makan malam di ruang makan dan mama akan melihat semua luka memar di wajahku. Aku tak mau semua itu terjadi.
Tapi, aku juga tak mau membiarkan perutku terus menjerit dan semakin mengempiss. “Kroooookkkk!” Sudah berkali-kali bunyi itu terdengar dari perutku. Aku sangat lapar. Namun, aku tidak mungkin keluar dari kamar dan mengambil makanan. Aku hanya bisa membayangkan betapa menggodanya steak lezat buatan mama.
Hmmhh, lezat sekali,” ucapku hampir meneteskan air liur.
“Khrooookkk!” perutku berbunyi lagi. Aku tak bisa menahan rasa laparku lebih lama lagi. Aku segera berburu barang yang bisa kumakan di kamarku ini.
Aku membuka lemari es mini kesayanganku, brankas makanan rahasiaku, saku-saku pakaianku, dan tasku untuk menemukan benda yang disebut makanan. Tapi, hasilnya aku bahkan tak bisa menemukan sebutir permen pun di dalam kamarku ini. Padahal, biasanya aku sangat rajin menyimpan makanan-makananringan di kamarku ini. Tapi, tentu saja aku lebih rajin menghabiskannya.
Tanpa terasa ternyata aku pun sudah menghabiskan waktu lebih dari seperempat jam hanya untuk mencari makanan yang ternyata sudah ada di hadapan mataku sejak tadi. “Telur rebus,” ucapku kegirangan. Aku pun bergegas meraih telur itu dan mengupas kulitnya hingga bersih. Lalu, aku segera menyantapnya dengan begitu nikmat sambil membayangkan steak lezat buatan mama.
“Lezat sekali.” Aku terus membayangkannya hingga steak itu terbawa ke dalam mimpiku.
Aku bermimpi sedang membuat steak di sebuah dapur restoran terkenal yang menyediakan aneka steak sebagai sajian utamanya dan aku bekerja di sana sebagai seorang asisten koki.
“Hei, cuci dagingnya hingga bersih!” Seseorang memerintahku sambil bertolak pinggang dan menjulurkan jari telunjuknya.
Aku segera menatapnya dan “Hah!” Ternyata dia gadis cerewet itu, dia menjadi master chef di restoran ini. Dan, ada sebuah cincin putih melingkar di jari telunjuknya. “Itu cincin Mei,” teriakku.
“Kembalikan! Berikan padaku!” Aku berusaha merebut cincin itu dari jarinya.
“Tidak boleh! Cincin ini tak bisa lepas dari jariku,” ucapnya berusaha mempertahankan cincin itu.
“Baiklah, jika begitu....” Aku meletakkan tangannya dengan paksa di atas pantry lalu aku segera mengambil pisau pengiris daging di dekatku dan mengayunkannya di atas jari gadis cerewet itu.
Tapi, belum sempat pisau itu menyentuh jarinya, aku merasakan ada sesuatu yang mendekati bagian belakang leherku. Aku menoleh dan ternyata sebuah kapak besar sedang diayunkan gadis cerewet itu dengan tangan kirinya menuju leherku.
“Aaaaaaa...hhhh!” Aku menjerit histeris hingga terbangun dari tidurku.
“Hah, terima kasih ya Tuhan. Untunglah hanya mimpi,” aku segera bersyukur sambil berusaha mengatur nafasku yang terengah-engah.
“Hoh, sial sekali! Mengapa dia bisa masuk ke dalam mimpiku?” pikirku sambil mengusap wajahku yang kusut.
‘Aku berharap tak akan pernah bertemu dengannya lagi selamanya baik di dunia maupun di akhirat, bahkan dalam mimpi sekalipun!’ Aku teringat pada harapanku tadi siang. Mungkin tanpa kusadari alam bawah sadarku telah merekam harapan itu dan mimpi tadi adalah salah satu dari bentuk tampilannya.
Tapi, selain menampilkan harapan itu mimpi tadi juga menampilkan sesuatu yang hampir saja terlupakan olehku.
“Cincin Mei,” pekikku tiba-tiba. Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan mengambil celana kotorku di keranjang cucian. Lalu, aku memeriksa sakunya satu per satu. Tapi, ternyata, “Hah... Tidak ada!” Cincin itu hilang.
Aku menjadi begitu panik. Aku memeriksa saku celana dan pakaianku kembali secara berulang-ulang. Aku juga mengeluarkan semua pakaian dari dalam keranjang cucian untuk memastikan cincin itu tidak tercecer di dalamnya.
Aku mencarinya di setiap sudut kamarku, di bawah meja, di dalam lemari, di atas tempat tidur. Bahkan, aku sudah membongkar semua isi lemariku dan laci hanya untuk menemukannya. Tapi, hasilnya nihil. Aku tetap tak bisa menemukan cincin itu.
Aku pun mulai berpikir keras di mana aku meletakkan cincin itu terakhir kali. Aku berusaha mengingat semua kegiatan yang telah kulakukan kemarin siang. Tapi, meletakkan cincin itu di suatu tempat sama sekali tak tercatat dalam memoriku. Seingatku aku hanya memasukkan cincin itu ke dalam saku celanaku. Lalu, aku tidak tahu lagi.
Tapi, jika cincin itu ada di dalam sakuku, mengapa sekarang cincin itu tidak ada lagi? Seharusnya cincin itu masih berada di dalam saku dan tidak mungkin bisa keluar dengan sendirinya karena tidak ada lubang di dalam sakuku, kecuali lubang masuk ke saku itu sendiri.
'Apa mungkin cincin itu tercecer di jalan saat aku dikeroyok kemarin? Karena, saat itu aku terjatuh dan mungkin saja cincin itu keluar dari lubang masuk sakuku.' Pikiran itu terlintas di otakku dan membuat mataku bergegas melirik jam wakerku.
“Hah, sudah hampir pukul lima pagi!” ucapku terkejut. Padahal, biasanya saat jam wakerku berbunyi pukul lima pagi, aku masih bersantai-santai dan malas untuk bangun. Tapi, kali ini, “Gawattt! Aku harus ke sekolah lebih awal.” Aku ingin mencari cincin Mei terlebih dulu sebelum ke sekolah.
Karena itu, aku bergegas mandi, berpakaian, dan menyiapkan buku-buku pelajaran. Setelah itu, aku mulai mengoleskan alas bedak, dempul, dan bedak setebal mungkin untuk menutupi luka memar di wajahku. Dan, hasilnya, “Sempurna.” Luka memarku sedikitpun nyaris tak terlihat. Ternyata, aku berbakat menjadi seorang make-up artist.
Tapi, aku sama sekali tak berbakat menjadi pembohong. Aku tak sanggup lagi harus menjawab semua pertanyaan mama dengan kebohongan. Karena itu, aku segera berangkat ke sekolah sebelum mama dan papa keluar dari kamar mereka. Meskipun udara masih terlalu dingin dan langit belum begitu terang, aku nekat berangkat ke sekolah demi menghindari mama.
Sementara itu, di dalam kamar mama mulai berhias dan membuka kotak make-upnya dan tercengang.
“Papaaaaaaaa, beberapa make-up mama hilang! ” teriak mama terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments