16.17 WIB. Hujan sudah reda.
Sambil berjalan menuju rumah aku mencoba menghubungi telepon rumahku.
“Selamat sore! Kediaman keluarga Harun di sini.” Secara kebetulan pembantuku yang mengangkat telepon.
“Bibi!” panggilku cepat. “Apa mama ada di rumah?” desakku.
“Tidak ada, Tuan. Nyonya sudah pergi arisan.”
“Yess!!” teriakku kegirangan seperti mendapatkan hadiah utama undian. “Terima kasih, Tuhan! Aku memang beruntung.” Aku mematikan ponsel lalu segera berlari terseok-seok karena menahan rasa sakit di sekujur badanku.
Aku tidak tahan lagi. Aku ingin sekali segera sampai di rumah sebelum mama kembali dan memergokiku dengan tampang seperti ini. “Tampang yang benar-benar hancur. Selama 17 tahun kehidupanku aku tak pernah merasa seletih, sebau, dan sedekil hari ini,” pikirku.
“Hoh, akhirnya aku pulang,” ucapku puas sekali saat tiba di depan pintu rumahku.
“Hah, Tuan!” Bibi terkejut ketika membukakan pintu untukku.
“Syutt!” Aku segera memberi isyarat agar bibi tidak bicara. Bibi pun mengangguk-anggukkan kepalanya meski masih merasa terkejut dan heran.
Aku segera masuk dan naik ke atas menuju kamarku di lantai dua sambil berkata, “Bibi, tolong siapkan air hangat dan sebutir telur rebus untukku!”
“Baik, Tuan.” Bibi segera ke dapur untuk mengerjakan yang aku minta. Sedangkan, aku bergegas menanggalkan pakaianku dan masuk ke kamar mandi. Aku membersihkan seluruh badanku dengan sangat tergesa-gesa, bahkan aku hampir terpeleset di kamar mandi karena tidak berhati-hati.
Setelah berpakaian aku segera berlari ke kamar mama yang tidak dikunci. Aku mengambil bedak dan dempul di dalam kotak perlengkapan make-up mama secara diam-diam.
'Maafkan aku, Mama. Aku hanya ingin meminjam sebentar. Besok akan aku kembalikan,' ucapku dalam hati.
“Tuan, air dan telurnya sudah siap,” panggil bibi dari bawah.
Aku memasukkan bedak dan dempul itu ke dalam sakuku lalu menutup kembali kotak make-up mama dan menyimpannya kembali ke dalam lemari dengan sangat hati-hati. Aku berharap mama tidak akan menyadarinya seperti aku yang saat ini tidak menyadari bahwa perutku sudah sangat kosong.
“Krookk!” Alarm perutku berbunyi. Aku baru tersadar sekarang sudah pukul empat sore dan aku belum makan apapun sejak pulang sekolah.
Aku bergegas ke dapur lalu membuka lemari es. “Wah, lezat sekali,” ucapku sambil mengeluarkan es krim dan puding cokelat dari dalam lemari es.
Aku segera menyantapnya dengan rakus karena terburu-buru. Akibatnya, cipratan es krim pun berhamburan di atas meja, pipi, dan sekeliling bibirku. Lalu, tiba-tiba, “Tiiin... Tinnn... Tinnn....” Bunyi klakson mobil terdengar dari arah garasi.
“Hah, mama!” ucapku spontan. Aku segera bangkit dan mengambil telur rebus. Lalu, aku menuangkan air panas ke dalam sebuah mangkuk plastik besar dan membawanya ke kamar dengan kedua tanganku.
“Anda pulang cepat hari ini, Nyonya. Apa arisannya sudah selesai?” tanya bibi ketika membukakan pintu.
“Hoh, arisan yang menyebalkan. Semua ibu mengeluh tentang kenakalan anak-anak mereka yang suka berkelahi dan ikut tawuran. Lalu, aku berkata, ‘Untung saja aku hanya punya satu orang putra dan tidak pernah berkelahi.’ Lalu, mereka mengejekku. Mereka bilang, ‘Putramu itu banci. Setiap lelaki normal pasti punya emosi dan ego tinggi yang kadang sulit dikontrol dan sewaktu-waktu bisa meledak. Jadi, tidak wajar jika putramu tidak pernah berkelahi. Sebaiknya kau awasi kelakuan putramu sebelum terlambat!’ Aku tersinggung dan tidak bisa menerima ucapan mereka. Aku sangat kesal. Jadi, aku segera pergi meninggalkan arisan,” cerocos mama sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.
Lalu, tanpa sengaja mama melihat piring dan mangkuk bekas aku makan di atas meja yang belum sempat kubereskan.
“Bi, apa Rhama sudah pulang?” tanya mama.
“Sudah, Nyonya. Sekarang tuan ada di kamarnya,” ucap bibi.
Mama memperhatikan cipratan es krim yang berceceran dimana-mana dan sebutir telur rebus yang lupa kubawa ke kamar.
“Tidak biasanya Rhama makan hingga berceceran seperti ini,” pikir mama. “Bi, untuk apa telur ini?” tanya mama.
“Tuan Rhama yang memintanya, Nyonya,” jawab bibi apa adanya.
Sehingga, mama pun segera naik ke atas menuju kamarku.
“Hah, gawattt!!” ucapku panik. Aku tak sempat lagi mengunci pintu kamarku. Aku segera bersembunyi di dalam kamar mandi dengan membawa air panas itu.
“Rhama, kau sedang apa?” Mama masuk ke kamarku.
“Aku sedang mandi, Ma,” teriakku sambil menghidupkan shower. Aku berpura-pura mandi. Padahal, aku sedang menguapkan luka memar di wajahku dengan air panas itu. Kebetulan mesin pemanas air di kamar mandiku sedang rusak. Sehingga, aku menggunakan air panas yang dimasak bibi tadi.
“Rhama, ingat kau harus menggosok seluruh bagian tubuhmu berkali-kali! Gunakan jurus ampuh menggosok badan yang sudah mama ajarkan padamu! Jangan lupa bilas tubuhmu dengan bersih agar tak ada secuilpun daki yang menempel di kulitmu!”
“Iya, Ma,” ucapku menanggapi perintah mama. Mama memang selalu berpesan seperti itu setiap hari saat aku akan mandi. Bahkan, dulu saat aku masih kecil, mama tidak pernah membiarkan aku mandi sendiri hingga umurku sembilan tahun. Mama melakukan semua itu karena mama selalu ingin melihatku terawat dan tampil sesempurna mungkin. Jadi, tidak mungkin rasanya jika saat ini aku memberitahu yang sebenarnya dan membiarkan mama melihat tampangku yang sudah sangat hancur.
“Rhama, tadi mama melihat telur rebus tertinggal di atas meja di dapur. Sekarang mama meletakkannya di dekat telepon kamarmu. Untuk apa telur ini?”
“Bukan untuk apa-apa, Ma. Aku hanya ingin memakannya,” jawabku gugup sambil berharap mama segera keluar dari kamarku.
Mama hampir keluar dari kamarku. Namun, tiba-tiba mata mama menangkap pemandangan pakaian kotorku di dalam keranjang cucian. “Rhama, seragammu jorok sekali,” ucap mama heran sambil mengangkat celana dan baju seragamku dengan begitu jijik.
“Aaahhh... Tadi aku terpeleset di jalan, Ma. Jadi, seragamku itu kotor.” Aku bertambah gugup.
“Hah! Terpeleset,” ucap mama terkejut. “ Apa kau baik-baik saja, Rhama? Apa kau keseleo?” Mama begitu panik.
“Cepat selesaikan mandimu! Sekarang juga kita ke dokter untuk memeriksa tubuh dan tulangmu.”
“Aaaahhh... Tidak perlu, Ma. Aku baik-baik saja. Buktinya aku bisa pulang ke rumah tanpa bantuan orang lain.
Mama jangan khawatir. Aku hanya perlu banyak istirahat,” ucapku berusaha meyakinkan mama.
“Apa kau yakin?”
“Aku yakin sekali, Ma. Aku baik-baik saja. Sebaiknya Mama tidak terlalu mengkhawatirkan aku. Aku perlu banyak waktu untuk beristirahat. Jika mama terus seperti ini, aku tidak akan bisa beristirahat dengan tenang.”
“Baiklah... Jika menurutmu kau baik-baik saja, mama akan membiarkanmu beristirahat,” ucap mama lalu keluar dari kamarku.
Aku pun bergegas keluar dari kamar mandi dan segera mengunci pintu kamarku. Aku tidak ingin seorang pun tahu apa yang aku lakukan saat ini. Aku memulai acara mengompres luka memarku dengan menatap wajah hancurku di cermin.
“Aaaaargghh....” Aku menggelinding-gelindingkan telur rebus di bagian wajahku yang membengkak. Karena, menurut tradisi keluargaku telur rebus ini bisa mengempiskan dan mengurangi rasa sakit pada luka memar. Jadi, tidak ada salahnya jika aku mencoba.
Namun, aku tidak bisa hanya mengandalkan kemujaraban telur rebus itu. Aku mengambil selembar sapu tanganku lalu mencelupkannya. Aku mengompres seluruh lukaku dengan air hangat menggunakan selembar sapu tanganku. Saat ini jika ada seorang jin datang padaku, maka permintaan pertamaku adalah aku ingin wajahku kembali seperti semula. Aku sangat berharap besok pagi saat aku bangun semua luka memarku telah hilang dan wajahku kembali seperti semula. Namun, saat ini keajaiban jin aladin itu tidak mungkin terjadi. Karena itu, aku terus mengompres luka-lukaku hingga berjam-jam.
Dan, saat usai Maghrib mama datang mengetuk pintu kamarku. “Rhama! Rhama! Ayo keluar dan segera makan malam! Mama sudah membuatkan steak kesukaanmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments