NovelToon NovelToon

Rhama Dan Cinta

Pesan Mama (Pria Sejati Selalu Membawa Saputangan)

Rhama menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang sudah tampak tua dan tak terawat. Ia memandangi rumah itu. Sebuah senyuman kemudian tersungging di wajahnya.

Tahun 2005 menjelang 2006....

Aku seorang Rhama, manusia biasa dari abad ke-20 –bukan tokoh sakti dalam dunia pewayangan. Namun, aku terlahir istimewa dengan penuh keberuntungan. Hidupku sangat sempurna. Aku mempunyai keluarga harmonis, harta berlimpah, kebahagiaan, kesuksesan, tubuh atletis, dan yang paling penting adalah wajah tampan tanpa silikon dan rekayasa. Intinya, semua yang diinginkan para wanita dari seorang pria ada padaku. Aku mempunyai segalanya dan bisa mendapatkan segalanya, kecuali... cinta.

Hampir setahun terakhir ini aku mengharapkan cinta seorang gadis yang tak pernah jauh dariku. Gadis itu Mei dan saat ini dia duduk tepat di sebelahku, namun di meja yang berbeda.

Dia sedang menulis. Seperti biasa dia selalu mengerjakan soal yang diberikan guru dengan serius dan aku selalu memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan hal yang paling kusukai, yakni menatapnya.

Tak secuilpun bagian dari wajahnya yang luput dari tatapanku dan tak satupun tingkahnya terlewatkan olehku. Aku selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya, mulai dari caranya membalik kertas, membaca buku, hingga caranya memegang pensil.

Lalu, ketika mulai terbentuk kerutan di dahinya, aku sudah bisa memastikan bahwa ia akan mengambil penghapus dan segera menghapus sebagian pekerjaannya hingga tak berbekas. Lalu, ia mulai menulis kembali.

Tapi, tiba-tiba, “Teeee...eeettt, teeee...eeeeetttt, teeeeee...eeeetttt!”

“Ouh, sial!” keluhku.

Inilah hal pertama yang kubenci. Saat bel sekolah berbunyi tiga kali semua orang di kelasku bergegas mengemasi buku sambil memamerkan senyum termanis mereka. Sedangkan, aku jadi lemas tak berdaya dengan mimik wajahku yang kecut.

Lalu, tanpa menghiraukanku satu per satu mereka mulai meninggalkan kelas. Mereka tak peduli padaku yang selalu merasa tidak ingin pulang. Aku ingin pelajaran terus dilanjutkan, aku tidak ingin jam sekolah usai, aku ingin tetap berada di sini bersama Mei selamanya.

Namun, sayangnya aku tak bisa menghentikan waktu dan mencegah hal ini terjadi. Bahkan, hal kedua yang kubenci pun menyusul.

“Rham, maaf! Aku tidak bisa piket sekarang. Aku harus ikut les tambahan satu jam lagi dan aku pasti telat jika piket terlebih dahulu. Tapi, aku janji... aku akan menurunkan semua bangku di kelas ini besok pagi.” Setelah berkata seperti itu tanpa menunggu izinku Ken bergegas meninggalkanku begitu saja.

Dan, seperti biasa aku hanya terdiam tanpa bisa mencegahnya. Ken memang selalu begitu. Setiap hari Kamis ia selalu menjanjikan hal yang sama padaku. Tapi, sekalipun ia tak pernah bisa menepatinya.

Lihat saja besok! Saat jari guru piket telah berada di atas tombol bel dan siap untuk menekannya, Ken baru akan tiba di sekolah. Ia memang tidak akan terlambat dan dalam catatan sejarah hidupnya ia belum pernah datang terlambat. Tapi, aku yakin dia takkan punya cukup waktu untuk menurunkan semua bangku di kelas. Jadi, dengan sangat terpaksa aku harus mengambil alih tugasnya karena tak ada pria lain dalam regu piketku.

Tapi, anehnya entah mengapa aku tak pernah mengeluh. Bahkan, andaikan bisa aku ingin terus piket setiap hari.

Padahal, saat pertama kali tahu bahwa aku diposisikan satu regu piket dengan Ken, aku berteriak histeris, “Mengapa harus akuuu...?”

Ada 13 pria dalam kelasku dan salah satunya adalah ketua kelas yang mendapat kebebasan untuk tidak piket. Jadi, masih ada 12 pria lagi yang kemudian dibagi-bagi ke dalam 6 regu piket. Sehingga, ada sepasang pria di setiap regu piket dan mengapa aku harus dipasangkan dengan Ken?

Padahal, awalnya aku sama sekali tidak seregu dengannya. Karena, jadwal piket disusun berdasarkan absen sesuai urutan inisial nama. Inisial namaku R, sedangkan inisialnya K. Nomor absen kami terpisah jauh. Sehingga, kami tidak mendapatkan piket di hari yang sama.

Ia mendapat jatah piket di hari Jumat, sedangkan aku mendapat jatah di hari Sabtu. Tapi, malangnya regu piket di hari Jumat kekurangan tenaga pria. Sedangkan, di hari Sabtu kekurangan tenaga wanita. Jadi, terpaksa salah satu dari pria dalam regu piketku harus dibarter dengan seorang wanita dari regu piket Ken. Dan, pria terpilih itu adalah aku. “Mengapa harus aku yang dihijrahkan ke regu piket Ken?” batinku saat itu.

Aku merasa seakan menjadi pria termalang di dunia saat itu. Pertama kali dalam hidupku aku merasa benar-benar tidak beruntung. Tapi, ternyata aku salah. Aku justru sedang begitu beruntung karena ternyata Mei juga satu regu piket dengan Ken. Itu berarti aku juga satu regu piket dengan Mei.

'Hahhhh, senangnya bisa piket bersama Mei,' batinku penuh kegirangan saat itu. “Aku begitu beruntung.”

Mungkin karena itulah aku tidak pernah mengeluh dan selalu ingin terus piket setiap hari. Atau, mungkin juga karena aku benar-benar tulus melakukannya. Entahlah, hingga kini aku tak begitu tahu alasan yang sesungguhnya. Tapi, yang pasti aku selalu merasa bahagia jika berada di sisi Mei.

Seperti saat ini, aku merasa sangat bahagia dan bersemangat. Karena itulah, tanpa terasa satu per satu bangku di kelasku telah kuangkat dan kuletakkan di atas meja.

Kini tugas piketku telah selesai. Aku pun menyadari diriku tak dibutuhkan lagi di sini. Dengan berat hati kupanggul  tas ranselku dan kuayunkan langkahku menuju pintu kelas.

Rasanya begitu berat untuk berpisah dengan Mei. Meski aku mencoba menenangkan hatiku, “Ini bukan perpisahan untuk selamanya.” Namun, entah mengapa hatiku tetap berat meninggalkannya. Saat berpapasan pun aku menatapnya dengan wajah kecewa.

Sementara itu, ia tak membalas tatapanku sedikitpun karena terlalu sibuk menyapu. Tiba-tiba, “Hukk, hukkk, hukk!” Mei terbatuk-batuk karena menghirup debu dan aku segera berbalik arah lalu memberikan sapu  tanganku padanya.

Meski ketiga rekan piketku yang lain menatap curiga, aku tak peduli. Aku tetap menyodorkan tanganku berharap Mei akan mengambilnya.

Cukup lama Mei menatap wajahku. Kemudian, dengan sedikit ragu ia mengambil sapu tangan itu. “Terima kasih,” ucapnya.

Aku tak bisa berkata apapun. Hanya sebuah senyuman menandakan hatiku sangat bahagia terbentuk di bibirku. Lalu, aku meneruskan langkah menuju ke luar kelas dengan perlahan. Dalam hati aku berharap bisa bersama Mei lebih lama lagi. Tapi, tak terasa ternyata kakiku telah melangkah ke luar kelas dan sekarang aku hanya bisa menatap Mei dari kaca-kaca jendela kelas.

Kulihat ia meneruskan tugas menyapunya sambil melindungi hidung mancungnya dari debu dengan menggunakan sapu tanganku. Aku merasa bahagia sekali. 'Ternyata mama benar,' pikirku dan aku segera teringat pada mama yang dulu tak pernah bosan berkata, 'Rhama bawa sapu tanganmu!'

Dan, aku selalu menjawab, 'Untuk apa, Ma? Seperti wanita saja.'

'Hei,  kau salah besar,' ucap mama segera. 'Pria sejati malah harus selalu membawa sapu tangan  kemana pun ia pergi.'

Aku terdiam karena bingung memikirkan, 'Apa hubungan pria sejati dengan membawa sapu tangan?'

Sedangkan, mama terus melanjutkan ucapannya, 'Pria sejati akan membutuhkan sapu tangan saat ia berkeringat. Saat ia melihat seorang wanita menangis, terluka, pilek, atau tersiram air, pria sejati akan memberikan sapu tangannya pada wanita itu. Karena itu, sebagai pria sejati kau harus selalu membawa sapu tangan kemana pun kau pergi.'

Aku menggeleng-gelengkan kepala. 'Sepertinya mama terlalu banyak menonton adegan film romantis,' pikirku saat itu dan aku tak pernah mau menuruti perintah mama untuk membawa sapu tangan.

Tapi, ternyata mama seorang wanita lembut dengan semangat pejuang keras. Ia pantang menyerah dan setiap hari rela repot menyelipkan selembar sapu tangan ke setiap saku celana yang akan kupakai. Jadi, dengan terpaksa akhirnya aku selalu membawa sapu  tangan kemana pun aku pergi. Dan, tanpa kuduga ternyata sapu tangan itu akan menjadi sangat berguna hari ini.

“Terima kasih, Mama,” ucapku dengan begitu bahagia.

“Aku bukan mamamu, Bodoh!” Tiba-tiba bentakan seorang wanita membuyarkan semua ingatanku.

Benar-Benar Cinta

“Hohh!” Aku begitu terkejut. Ternyata, seorang gadis dengan potongan rambut pendek berdiri tepat di hadapanku sambil memegang sebuah sapu ijuk dengan tatapan kesal.

Aku pun melirik situasi di sekitarku. Ternyata, tanpa sadar aku sudah berjalan sampai di depan kelas 3 IPA 2 yang letaknya bersebelahan dengan kelasku. Sepertinya gadis di hadapanku ini adalah salah satu murid kelas 3 IPA 2 yang juga sedang piket –menyapu teras koridor di depan kelasnya.

Aku pun kemudian berkata, “Kau pikir aku berbicara denganmu?”

“Kau pikir kau berbicara dengan siapa?” ucapnya kesal sambil menghentakkan sapu yang digenggamnya di lantai.

'Gadis ini kasar sekali,' pikirku.

“Tak ada orang lain di sini dan kau memanggilku mama,” ucapnya lagi sambil mengacung-acungkan ujung gagang sapu di tangannya ke wajahku.

“Kau benar-benar keterlaluan. Nyaris saja gagang ini mengenai hidung mancungku,” ucapku penuh kecemasan.

“Dasar bodoh!” ucapnya ketus.

“Kau cerewet sekali,” ucapku kesal.

“Apa katamu?” Emosi gadis itu semakin memuncak. “Cepat pergi dari hadapanku!” Sekali lagi ia mengacungkan gagang sapunya dengan cepat hingga

sedikit lagi mengenai ujung hidungku.

'Hoh, gadis ini benar-benar seperti monster,' pikirku cemas. “Nyaris saja gagang sapu ini menghancurkan

hidung mancung kesayanganku,” bisikku dalam hati yang berdebar sambil memelototi ujung gagang sapunya yang tak lebih dari satu sentimeter tepat berada di depan hidungku.

“Cepat pergi!” bentaknya lagi. “Apa yang kau tunggu?” Ia memelototiku dengan penuh amarah.

'Hoh, gadis ini jelek sekali,' pikirku saat melihat tampang beringasnya. 'Seperti kerbau atau banteng yang akan mengamuk.'

“Pergilah! Kau mengacaukan tugasku menyapu lantai ini, Bodoh.” Kedua matanya bertambah besar memelototiku dan berkali-kali lagi ia mengayunkan gagang sapu itu ke arah mukaku.

“Hihhhhhhh....” Aku begitu geram dan kesal. Rasanya aku ingin sekali membungkam mulutnya yang cerewet. Tapi, dia hanya seorang wanita. Aku tak mau meladeninya bertengkar. Aku lebih memilih menghela nafas panjang lalu mulai berjalan meninggalkannya.

'Lebih baik aku pergi daripada hidungku harus mengalami operasi plastik karena patah dihantam gagang sapunya,' pikirku sambil mulai melangkah.

Tapi, belum genap sepuluh langkah aku meninggalkannya, ia kembali memakiku, “Heh, dasar siput! Berjalan saja lelet seperti pengantin.”

Aku berbalik menatapnya. Lalu, ia berkata “Kau pikir aku punya cukup waktu untuk menunggumu berjalan meninggalkan teras ini? Aku harus segera membersihkan seluruh teras ini, Bodoh. Karena itu, cepatlah pergi dari sini!”

“Hiiiiiihhhh....” Aku bertambah geram dan ingin sekali mengenyahkan bibir dan mulutnya yang cerewet dari pandanganku. Tapi, untunglah aku masih sadar bahwa dia adalah seorang wanita. “Sebagai pria sejati aku tak boleh berkelahi dengan seorang wanita,” pikirku.

Karena itu, aku bergegas meninggalkannya secepat mungkin sebelum amarahku meledak. Tapi, meskipun sudah berusaha kutahan, rasa kesalku tetap  memuncak dan nyaris tak terbendung. “Dasar gadis cerewet,” gerutuku untuk melampiaskan emosi.

“Benar-benar cerewet, bahkan lebih cerewet dari nenek-nenek,” umpatku sepanjang berjalan menuju gerbang sekolah yang sudah tampak begitu sepi. Tak

ada satupun siswa lagi di sana, kecuali aku dan keempat siswa kelas IPS yang masih berkumpul di seberang jalan dengan sepeda motor mereka masing-masing.

“Huhh!” Aku menghembus nafasku dengan sedikit kesal sambil melirik angka jam digitalku. “13.52,” gumamku. Pantas saja gerbang ini sudah begitu sepi. Ternyata saat ini sudah lewat 22 menit dari waktu pulang sekolah. Semua siswa pasti sudah pulang sejak tadi dan pos satpam di dekatku pun sudah tampak kosong. Entah kemana pak satpam yang biasanya masih berjaga di sana, aku tak peduli. Karena, aku lebih peduli pada kulitku yang terancam gosong terbakar matahari.

“Panas sekali,” gerutuku sambil menatap aspal yang tampak begitu garing di hadapanku. Padahal, akhir-akhir ini sering kali turun hujan. Bahkan, semalam

hujan turun lebat sekali disertai dengan angin dan sambaran petir yang cukup dahsyat. Salah satu dampaknya yang terlihat olehku saat ini adalah ranting pohon di seberang jalan, tak jauh dari tempat keempat anak IPS itu berkumpul.

Kulihat ranting pohon itu nyaris saja lepas dari pohonnya dan tampak menggantung. 'Sepertinya karena tersambar petir saat hujan semalam,' pikirku.

Lalu, tiba-tiba tanpa kusadari seseorang telah berdiri di sebelahku. Aku menoleh dan spontan berkata, “Mei....”

Ia tersenyum padaku dan berkata, “Sejak tadi kau belum menyeberang?”

“Ohh... ya,” ucapku gugup sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.

Lalu, tiba-tiba jalan menjadi lengang. “Ayo kita menyeberang!” ajaknya lalu ia bergegas melangkahkan kakinya di  atas aspal yang begitu panas. Aku pun segera mengikutinya dan berjalan selangkah di belakangnya sambil menatap tangan kanannya yang dibiarkan menjuntai.

Aku memperhatikan tangan dan jari-jarinya yang tampak begitu bersih dan lembut. 'Aku sangat ingin menggenggamnya,' batinku. 'Apakah aku boleh

menggenggamnya saat ini?' pikirku galau sambil terus memperhatikan tangannya.

'Sejujurnya... sejak dulu aku memang sangat ingin menggenggam tangan Mei saat menyeberang jalan seperti ini,' ucapku dalam hati sambil terus berjalan

mengikutinya tanpa melepaskan pandanganku sedikit pun dari tangannya.

'Tampaknya Mei sedang menggenggam sesuatu,' pikirku. Lalu, tiba-tiba sesuatu itu terlepas dari tangannya tanpa ia sadari. Mataku pun dengan seksama mengikuti gerakan jatuh benda itu. Sesuatu berbentuk lingkaran putih menggelinding di aspal hitam dan aku segera memungutnya.

“Cincin,” gumamku dalam hati. Lalu, aku segera memanggil Mei, “Mei!”

Tapi, ternyata saat aku menoleh ke arahnya, ia sudah berada di seberang jalan dan segera duduk di atas jok motor salah satu siswa IPS.

“Mei,” gumamku tak percaya. Aku begitu terkejut melihat pemandangan yang kusaksikan saat ini.

Lalu, “Tiiiiiiiinnnn!” Klakson mobil membuatku tersadar dan aku pun bergegas berjalan ke seberang menghampiri Mei.

Lalu, Mei sambil tersenyum manis segera berkata, “Rhama, aku pulang duluan, ya!”

Aku terdiam mematung menatap Mei dan sempat melihat siswa IPS yang membonceng Mei mengedipkan matanya pada ketiga siswa IPS lainnya yang segera menganggukkan kepala mereka.

“Mei,” gumamku masih tak percaya. Aku tak percaya ternyata salah satu siswa IPS itu sejak tadi menunggu di sini untuk mengantar Mei pulang.

“Mmme...eii,” gumamku dengan bibir bergetar. 'Siapa pria itu?' pikirku.

Tapi, sebelum aku sempat bertanya, pria itu segera menjalankan motornya dan  Mei dengan tersenyum begitu manis akhirnya pergi dari hadapanku. Tampaknya ia begitu bahagia. Sedangkan, aku hanya bisa berdiri mematung sambil terus menatapnya dengan perasaan kecewa hingga ia benar-benar menghilang dari pandanganku.

“Mei,” gumamku sambil menatap cincin di tanganku. Sepertinya ia begitu bahagia saat bersama pria itu. Senyuman terakhirnya tadi masih terus terbayang olehku. Selama aku mengenal Mei aku belum pernah melihatnya tersenyum seceria itu.

'Ia begitu bahagia,' pikirku sambil nyaris menitikkan air mata. 'Aku mencintaimu, Mei,' ucapku dalam hati. 'Aku benar-benar mencintaimu.'

Tangkai Pohon

Aku begitu kecewa dan sesuatu yang begitu dahsyat terasa meruntuhkan semua harapan dan impianku selama ini. Aku tak dapat berkata apapun. Aku tertunduk kaku, menggenggam cincin itu dengan erat, dan rasanya dalam sekejap hatiku benar-benar menjadi remuk dan hancur. Hatiku terlalu perih saat ini dan air mataku nyaris jatuh membasahi wajah kecewaku. Aku sungguh berusaha kuat untuk menahannya.

Tapi, tiba-tiba, salah satu siswa IPS itu segera menarik kerah bajuku dan mengangkat wajahku dengan paksa. “Apa hubunganmu dengan Mei, hah?” bentaknya.

Aku tak dapat berkata apapun dan sedikitpun tak berniat untuk melawan perlakuan tak sopannya. “Kau tuli, ya?” bentaknya lagi.

Aku menatapnya dan ia segera berkata dengan keras, “Mengapa kau menatapku seperti itu, hah?”

Aku pun dengan spontan segera melepaskan tangannya dari kerahku dengan paksa dan mendorong tubuhnya. “Aku tak perlu menjawab pertanyaan apapun dari kalian,” ucapku kemudian sambil memasukkan cincin yang kugenggam ke dalam saku celana abu-abuku.

Lalu, dengan begitu cepat ketiga siswa IPS itu segera menghajarku habis-habisan. Aku tak bisa melawan mereka. Pukulan mereka terlalu keras. Mereka mengeroyokku dengan sadis dan aku sama sekali tak sempat membalas pukulan mereka.

'Seseorang tolonglah aku,' pintaku dalam hati saat menyadari situasi jalan yang tampak sepi. “Bukk!” kepalan tinju mereka menghantam wajahku hingga aku tersungkur di atas trotoar.

'Ya Tuhan, kumohon segera kirimkan seseorang untuk menolongku!' doaku.

“Dukkk!” Mereka menendangku sebelum aku sempat berdiri. “Dukk! Dukkk! Dukkk!” Berkali-kali mereka menendang tubuhku. Lalu, tiba-tiba aku melihat seseorang menyeberang jalan dengan begitu santai.

'Terima kasih, Tuhan,' gumamku lirih dalam hati saat melihat orang itu. 'Engkau mengirimkan malaikat penolong untukku.' Ia adalah gadis cerewet tadi. Ia melihat peristiwa pemukulan ini dengan jelas. Aku sangat berharap setidaknya ia dapat mencari orang untuk menolongku. Tapi, ternyata ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “Dasar bodoh!”

Ia sama sekali tak berniat menolongku. Padahal, aku sudah terkapar lemah di atas trotoar. 'Sungguh tidak berperasaan,' pikirku. Sementara itu, salah satu dari siswa IPS itu segera berkacak pinggang di hadapanku sambil mengarahkan kakinya ke daguku.

Aku membaca huruf demi huruf yang tertera di baju seragamnya. 'Reno Akbar... Namanya adalah Reno Akbar,' pikirku. 'Aku tak akan melupakan perbuatannya ini,' pikirku lagi.

Sedangkan, ia segera berkata sambil melotot, “Dengar! Mulai detik ini kau harus menjauhi Mei! Jangan pernah mendekatinya lagi!”

Lalu, tiba-tiba seseorang berkomentar, “Dasar bodoh, ternyata hanya karena masalah wanita.”

Reno dan kedua temannya bergegas membalikkan badan mereka ke arah datangnya suara. Ternyata, gadis cerewet itu baru saja berkomentar sambil membuka tutup botol air minum yang digenggamnya. Lalu, dengan begitu santai ia mereguk air minum di dalam botol itu layaknya sebuah iklan air minum mineral terkemuka.

"Greekk, greekk, greekk...." Dengan begitu tenang dan menikmati gadis cerewet itu mereguk air seteguk demi seteguk.

Sementara itu, kedua teman Reno segera berbisik, "Bos, sepertinya dia bisa dijadikan mangsa baru."

"Hmmmhh," Reno tersenyum sinis lalu dengan pelan mulai berjalan mendekati gadis cerewet itu.

Sementara itu, "Deg... deg... deg, deg, deg," Degup jantungku tiba-tiba saja berlarian, aku mendadak menjadi panik. 'Gawattt!' pikirku. 'Reno pasti juga akan menyakiti gadis cerewet itu,' batinku penuh kecemasan.

'Apa yang harus kulakukan?' tanyaku dalam hati. 'Apakah aku harus menolong gadis cerewet itu?'

Gadis cerewet itu sepertinya sedikitpun tak menyadari bahwa bahaya dan malapetaka sudah ada di depan mata. Denfan santai ia menutup botol minumnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Sedangkan, Reno semakin dekat untuk menghampirinya.

Degup jantungku pun semakin kencang seolah nyawaku yang sedang terancam. Aku tak bisa tinggal diam. Aku segera bangkit dan berteriak, "Hei, Gadis Cerewet! Cepat lari!"

Reno dan kedua temannya melotot tajam ke arahku. Tapi, gadis cerewet itu sama sekali tak menghiraukan teriakanku.

"Bodoh! Apa dia tidak merasa dirinya cerewet?" gerutuku.

"Hei, cepat lari!" teriakku kesal.

Tapi, semuanya terlambat. Usahaku sia-sia. Reno dan kedua temannya sudah ada di hadapan gadis cerewet itu.

"Kalian mau apa?" tanya gadis cerewet itu dengan begitu tenang.

"Berikan uangmu!" bentak Reno.

"Uang... aku tidak punya," jawabnya dengan santai dan lugu.

"Heh, ambil ponselnya!" perintah Reno pada kedua temannya.

"Hoh, uang pun aku tak punya, apalagi ponsel." Gadis cerewet itu terus menjawab ucapan Reno. Ia seakan-akan menganggap semua yang dialaminya saat ini hanya sebatas gurauan, tidak serius.

Tapi, Reno benar-benar serius dengan tindakannya. Ia segera menarik tas ransel gadis cerewet itu dengan paksa.

"Hei, jangan! Lepaskan!" Gadis cerewet itu berusaha mempertahankan tasnya.

Sedangkan, aku berusaha menghentikan kendaraan-kendaraan yang lewat agar ada orang yang bisa membantu menolongnya. Tapi, ternyata para pengendara kendaraan itu sendiri malah semakin mempercepat laju kendaraannya karena takit melihat penampilan wajahku yang sudah bonyok dan bengkak di sana-sini.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku begitu panik sambil melirik ke atas.

Dan, tiba-tiba saja aku melihat sebuah tangkai pohon berukuran cukup besar yang sedikit lagi akan patah dan jatuh ke bawah menggantung di atas kepala Reno yang sibuk berusaha merebut tas gadis cerewet itu.

Angin pun tiba-tiba berhembus kencang. Aku tersentak kaget. Jantungku seakan berhenti memompa darah, mulutku menganga seketika, dan mataku hampir terloncat keluar. Tak terbayangkan betapa tragisnya kecelakaan yang akan menimpa Reno.

Tapi, tiba-tiba, "Dushhhhhh!"

Reno terpelanting cukup jauh. Gadis cerewet itu ternyata baru saja menendang perut Reno hingga ia terjatuh di atas trotoar bersamaan dengan jatuhnya tangkai pohon itu.

Reno tercengang melihat tangkai pohon itu jatuh tepat di antara kedua kakinya yang berada dalam posisi terbuka. Ia tampak begitu ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin.

"Bos, apa kau baik-baik saja?" tanya kedua temannya begitu cemas.

"Heh, hmmh, hmmh-eh...." Reno hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa bisa berkata apapun. Sepertinya ia begitu kaget dan gugup.

Gadis cerewet itu pun kelihatan begitu gugup dan cemas. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Kau! Beraninya kau menendang bos," bentak salah satu dari kedua teman Reno.

"Hah, maaf! Aku tidak bermaksud melakukannya," ucap gadis cerewet itu.

"Apa kau bosan hidup, hah?" tanyanya sambil membantu Reno berdiri.

"Yoga, hentikan! Cukup!" perintah Reno dengan suara keras.

"Hah!" Tak kusangka secepat itu Reno akan kembali membentak orang lain. Padahal, baru beberapa detik lalu ia terdiam, lemas, dan pucat karena tercengang. Bahkan, ia tak bisa berkata apapun tadi. Tapi, kini ia terlihat begitu gagah dan siap menganiaya orang lain kembali.

Ia berjalan mendekati gadis cerewet itu.

"Hei, apa yang akan kau lakukan?" tanyaku secara spontan sambil berlari tertatih-tatih mengejar Reno. Aku sangat takut ia akan memukuli gadis cerewet itu karena ia merasa telah dipermalukan dan ingin balas dendam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!