Minggu, pukul 08.37 WIB....
Satu ‘pasukan’ pria tiba di depan rumah gadis cerewet itu dan pemimpin ‘pasukan’ itu adalah aku.
“Ayo bergerak!” Aku memberi aba-aba sehingga ‘pasukan’ pun bergerak mendekati rumah gadis cerewet itu.
Lalu, sambil terus bergerak maju kulihat ternyata gadis cerewet itu sedang berdiri menginjit di atas sebuah kursi yang ditumpuk di atas meja kayu di teras rumahnya.
'Sedang apa dia?' pikirku. “Dasar gadis aneh.”
Lalu, tiba-tiba ia pun menjadi terkejut ketika menyadari kedatangan kami dan mendadak kehilangan keseimbangan. Akibatnya, ia pun nyaris terjatuh dan entah mengapa tubuhku spontan tergerak untuk berusaha menahan agar ia tidak terjatuh.
Tapi... terlambat. “Aarggghh!” teriaknya.
Tubuhnya yang penuh dengan tulang dalam sekejap menghantam tubuh atletisku yang mempesona. Tidak hanya itu, kursi yang menjadi tempat pijakannya pun juga turut menghantam kakiku dengan keras.
“Aaakhhh! Sa...kit se-kaliiiiii....” keluhku seketika dan para pasukanku pun mendadak panik. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya mereka sambil bergegas berusaha membantuku berdiri.
Sementara itu, gadis cerewet yang telah bergegas berdiri sejak tadi tampaknya sama sekali tidak terluka dan dengan ketus berkata, “Untuk apa kau bersama orang-orang ini kemari?”
Tapi, aku tak peduli pada ucapannya karena aku lebih peduli pada kakiku yang kini tampak memar. Kursi itu tepat menghantam betisku, mengenai tulang kering di kakiku. Rasanya sakit sekali. “Ouwgghhhh!”
Tapi, gadis cerewet itu sepertinya sedikitpun tetap tidak peduli karena ia malah berkata, “Semua ini bukan salahku... Kau sendiri yang membuat dirimu terluka. Kau sudah tahu aku akan terjatuh, tapi kau malah berlari mendekatiku. Jadi, jangan salahkan aku jika tadi aku jatuh menimpa dirimu.”
“Hentikan!” ucapku keras dan pasukanku pun terkejut. “Mengapa kau tak pernah berhenti mengoceh?” Lagi-lagi kami bertengkar.
“Dasar gadis cerewet,” gumamku dan ia pun melotot begitu marah kepadaku.
“Seharusnya kau berterima kasih padaku. Karena, jika aku tidak menolongmu tadi, mungkin semua tulang di tubuhmu itu sudah patah,” ucapku kesal. “Aku tak tahan lagi denganmu dan semua kejadian akhir-akhir ini. Aku ingin segera menyelesaikan semuanya,” lanjutku. Sedangkan, gadis cerewet itu malah terbengong. Sepertinya ia tak mengerti makna ucapanku.
Kemudian, aku menghela nafas cukup panjang, “Hehhh... Sebagai pria sejati yang bertanggung jawab aku ke sini hanya untuk mengganti kaca jendelamu yang pecah. Setelah itu, mungkin aku akan pergi dan tidak akan menemuimu lagi selamanya.” Ia hanya terdiam mendengar ucapanku. Lalu, aku pun segera berkata pada ‘pasukan’ yang kubawa, “Tolong cepat pasangkan kaca ke jendela itu!” Aku menunjuk jendela yang masih berlapis tripleks.
“Baik, Tuan!” Keenam pria yang kubawa pun bergegas bergotong-royong untuk memasang kaca yang mereka bawa ke jendela itu.
Gadis cerewet itu hanya terdiam. Dalam hati ia berkata, 'Ya ampun, untuk memperbaiki satu jendela ini saja dia bawa orang sebanyak ini. Apa harus? Lebay sekali.'
Sedangkan, aku merasa heran mengapa ia terdiam. 'Mungkin dia sedikit menyesal,' pikirku sedikit ge-er saat melihat mimik wajahnya.
“Apa kakimu masih terasa sakit?” tanyanya tiba-tiba dan aku menjadi begitu terkejut. 'Ouhhh,' bisikku dalam hati. Mustahil sekali rasanya ia akan peduli pada keadaanku. Tapi, tadi ia baru saja menanyakan keadaan kakiku.
“Tentu saja masih sakit,” jawabku cepat.
“Maafkan aku,” ucapnya kemudian.
“Heh, sudahlah... Tidak ada gunanya kau meminta maaf. Sekarang aku sudah lelah berdiri. Aku ingin duduk,” ucapku.
“Duduk saja di kursi teras ini!” ucapnya cuek.
“Aku tidak mau,” ucapku cepat. “Aku ingin duduk di dalam rumahmu.” Aku sengaja berkata seperti itu agar ia memperbolehkan aku masuk ke rumahnya. Akibatnya, ia pun menatapku dengan curiga.
“Aku tidak mau duduk di sini karena mereka sedang memperbaiki jendelamu.” Aku mencari alasan. “Lihat! Mereka sibuk dan di teras ini bising sekali. Aku ingin duduk di dalam rumahmu,” ucapku lagi.
“Ya sudah, masuklah!” ucapnya kemudian dan aku segera bersorak dalam hati, 'Yes!'
Akhirnya, dengan menahan rasa sakit kakiku melangkah ke dalam rumahnya. Lalu, sebelum sempat duduk aku segera berkata, “Oh, ya... Tolong siapkan air minum untuk keenam orang yang memperbaiki jendelamu itu! Mereka pasti sangat haus.”
“Ya, baiklah, Tuan besar,” ucapnya sedikit tidak rela sambil berjalan meninggalkanku sendirian di ruang tamu untuk menuju ke dapur.
“Hohh, akhirnya dia pergi,” batinku. Aku memang sengaja menyuruhnya menyiapkan air minum agar ia pergi dari hadapanku. Sehingga, aku bisa bebas melakukan hal yang kuinginkan di ruang tamunya ini.
Aku ingin mencari cincin Mei. Karena itu, aku bergegas membungkukkan badan dan memeriksa seluruh kolong kursi untuk menemukannya sebelum gadis cerewet itu kembali.
“Hoh, dimana?” keluhku sambil merangkak untuk memeriksa kolong meja.
“Apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba suara gadis cerewet itu kembali terdengar di telingaku.
“Hahhhh!” Aku begitu terkejut dan segera berdiri. “Aku tidak melakukan apa-apa,” ucapku gugup.
Sementara itu, gadis cerewet itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, ia meletakkan air minum yang dibawanya ke atas meja di hadapanku.
“Aku hanya memungut uang recehku yang terjatuh,” ucapku kemudian.
“Mana uangnya?” tanyanya tak percaya sambil berkacak pinggang dan aku sama sekali tak bisa menunjukkannya karena aku tidak membawa uang receh sepeser pun.
“Ini ‘kan yang kau cari?” ucapnya kemudian sambil memperlihatkan sesuatu yang berada dalam genggaman tangannya. Sebuah cincin berwarna putih.
“Hahhh, benar.” Aku berteriak begitu girang. Senyumku pun mengembang begitu lebar di hadapannya.
Lalu, ia pun menyerahkan cincin itu kepadaku sambil berkata, “Baru kali ini aku melihat ekspresi senyummu.”
Aku meliriknya sedikit. Lalu, aku segera mengamati cincin yang diberikannya untuk memastikan apakah itu memang benar cincin Mei.
Warnanya putih dan berukiran huruf M. “Tidak salah lagi ini adalah cincinnya,” ucapku begitu senang. “Akhirnya aku menemukannya. Terima kasih, Tuhan.”
“Sepertinya kau senang sekali,” ucap gadis cerewet itu.
“Tentu saja,” ucapku. “Kau tidak tahu betapa pentingnya cincin ini bagiku. Aku harus segera menyerahkannya pada seseorang,” jelasku sambil terus mengamati cincin itu.
“Siapa?” tanyanya penasaran. “Siapa orang itu?”
“Hahhh, apa pedulimu?” ucapku tanpa menghiraukan perasaannya. “Ini urusanku dan aku tak mau kau ikut campur.”
Gadis cerewet itu terdiam sejenak kemudian ia berkata dengan serius, “Baik. Jika begitu setelah kau mengganti kaca jendelaku dan aku mengembalikan cincin ini, urusan di antara kita selesai. Setelah hari ini kita tidak perlu bertemu lagi selamanya.”
Aku segera menatapnya. Entah mengapa ucapannya itu terdengar sedikit lirih di telingaku.
“Anggap saja kau tak pernah mengenalku dan aku juga tak pernah mengenalmu,” ucapnya lagi.
Kemudian, aku membalas ucapannya, “Memang sebenarnya kita belum saling kenal, bukan?” Aku tersenyum kecil karena menganggap ucapannya cukup lucu. “Aku bahkan tidak tahu namamu,” lanjutku.
“Itu tidak lucu,” ucapnya.
“Baiklah... Baiklah....” ucapku kemudian. “Aku tidak ingin bertengkar denganmu di akhir pertemuan kita ini. Aku sudah begitu lelah.”
“Aku akan pergi setelah pekerjaan mereka selesai,” ucapku lagi sambil mengarahkan pandanganku pada pasukanku yang masih sibuk mengganti kaca jendela. Lalu, tiba-tiba saja pandanganku juga tertuju pada meja kayu di teras yang menjadi alas tumpukan kursi penghantam kakiku tadi. Sehingga, mendadak aku bertanya, “Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan saat aku baru datang tadi? Kulihat kau berdiri menginjit di atas tumpukan kursi dan meja itu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments