Mama pasti akan sangat cemas jika melihatku pulang dengan wajah seperti ini. Meskipun tadi mama mengatakan akan pergi arisan, tapi tetap saja ada kemungkinan mama tidak jadi pergi dan memergokiku pulang dengan wajah seperti ini.
Karena itu, selama membersihkan luka dengan alkohol aku terus berpikir keras bagaimana cara untuk menyembunyikan lukaku ini. Dan, selama itu juga gadis cerewet itu terus memperhatikanku membersihkan luka. Entah apa yang dipikirkannya, aku tidak tahu.
Lalu, aku berkata, “Hei, apa kau tidak ingin membersihkan lukamu?” tanyaku.
“Untuk apa? Aku tidak sepertimu, pria bodoh dan manja yang baru terluka sedikit saja, tapi sudah bertingkah berlebihan dan merepotkan banyak orang lain,” ucapnya ketus.
“Oh, jadi kau merasa direpotkan.” Aku tersinggung dan segera berdiri. “Baiklah, aku akan segera pergi. Tapi, pinjamkan dulu bedakmu padaku,” ucapku.
“Hah! Untuk apa? Kau ini pria atau wanita?” ucapnya dengan keras.
“Tentu saja aku ini pria. Apa kau tak bisa lihat?”
“Kau seperti wanita. Tadi memaksa meminjam cermin. Sekarang kau ingin meminjam bedak. Sekalian saja kau pinjam lipstick dan alat kosmetik lainnya,” ocehnya.
Gadis ini benar-benar cerewet. Aku sungguh malas bertengkar dengannya. Karena itu, aku sangat ingin segera pergi dari hadapannya. Aku berharap tak akan bertemu dengannya lagi selama-lamanya baik di dunia maupun di akhirat, bahkan dalam mimpi sekalipun.
“Jadi, kau ingin meminjamkannya padaku tidak?” tanyaku untuk yang terakhir.
“Tidak!” jawabnya tegas.
“Hahh, kau pelit sekali!” jeritku. “Aku hanya minta sedikit, tidak akan menghabiskannya,” ucapku memelas.
“Aku tidak punya,” ucapnya pelan.
“Apa? Kau tidak punya?” tanyaku histeris.
“Ya, aku tidak punya,” jawabnya ketus. “Aku tidak suka memakai bedak. Jadi, untuk apa aku memilikinya?”
“Ha... ha... ha... ha....” tawaku pecah seketika. “Kau ini pria atau wanita? Pantas saja wajahmu kasar seperti pria. Ha... ha... ha... ha...” Aku terus menertawakannya meskipun ia tampak begitu kesal dan tidak tahan mendengarkan tawaku.
Karena itu, ia segera pergi ke dalam dan kembali dengan sebuah bedak jenis compact powder di tangannya. “Ini, pakai dan cepat pergi dari rumahku!”
Ia menyerahkan bedak itu padaku.
“Hah, ternyata kau benar-benar pelit. Tadi kau bilang tidak punya,” ucapku sambil merebut bedak itu dari tangannya dengan sembarangan.
“Hei, hati-hati! Itu punya bibiku,” ucapnya.
“Iya, kau cerewet sekali,” ucapku sambil membuka tutup bedak itu.
“Wahh, ada cerminnya. Praktis sekali. Jadi, aku tidak perlu repot memegang cermin lagi,” ucapku kegirangan. Lalu, aku pun mulai mengoleskan bedak itu pada bagian wajahku yang berwarna biru dan membengkak dengan hati-hati. Tapi, hasilnya bekas pukulan itu masih tetap jelas terlihat. Karena itu, aku mengoleskannya lagi di luka-luka memarku. Aku berusaha menutupinya dengan bedak setebal mungkin agar bekas pukulan itu tidak terlihat.
Tapi, tiba-tiba gadis cerewet itu segera berteriak, “Hei, hentikan! Kau memakainya terlalu banyak. Ini punya bibiku.”
“Kau ini takut sekali. Aku takkan mungkin menghabiskannya,” ucapku lalu kembali mengoleskan bedak itu di wajahku.
“Hentikan! Apa kau tidak lihat wajahmu sudah tebal seperti memakai masker?” teriaknya, namun aku tak menghiraukannya. Aku terus saja mengoleskannya berkali-kali di wajahku.
“Heemhh, kembalikan padaku!” Ia mencoba merebutnya dari tanganku, tapi tidak berhasil.
“Kau ini pelit sekali,” ucapku membuatnya semakin kesal dan geram. Ia semakin berusaha merebut bedak itu dari tanganku. Tapi, aku berusaha mempertahankannya sambil berkata, “Hei, tunggu dulu! Biarkan aku memakainya sedikit lagi! Sedikit lagi saja.”
Dan, dia terus berkata, “Tidak. Berikan padaku! Cepat, berikan padaku!” Ia mencoba menarik bedak itu dari tanganku. Tapi, aku tetap tak mau melepaskannya. Sehingga, terjadi aksi perebutan seru antara kami berdua. Kami sama-sama berusaha mempertahankan bedak itu dengan sekuat tenaga hingga akhirnya ia mendorong wajahku yang masih bengkak dengan begitu kuat.
“Aaa...aahh!” teriakku kesakitan. Secara spontan aku pun segera memegang wajahku yang terasa sakit dan membiarkan bedak itu terlepas dari tanganku. Akibatnya, gadis cerewet itu terpental jatuh ke belakang dan bedak yang ada di tangannya terpelanting kuat menghantam sesuatu.
“Praannnggg!!!” Kaca jendela rumahnya pecah dalam sekejap dan berhamburan di lantai.
“Aaaa....” Aku tercengang dan menatap gadis cerewet itu dengan lemas. Ia melotot dan tampak begitu marah padaku.
Aku menjadi takut melihat wajahnya yang memerah dan matanya yang hampir terloncat keluar. Ia terlihat begitu sangar dan seperti ingin menelanku hidup-hidup. Karena itu, aku segera mengambil tasku dan keluar dari rumahnya dengan secepat kilat.
Ia mengamuk dan melemparkan kotak P3K ke arahku sambil berkata, “Pergi kau! Cepat pergi! Aku tak mau melihatmu lagi. Jangan pernah kembali lagi kemari! Awas jika kau berani datang lagi kemari!"
Semua terjadi begitu cepat sehingga aku tak sempat lagi memasang sepatu dengan benar. Akibatnya, “Aaa...kkh!” Aku terjatuh saat berusaha lari meninggalkan rumahnya.
Namun, ia tak peduli padaku. Ia segera menutup pintu rumahnya dengan begitu keras, “Bukkk!” Sehingga, “Trakkk... Trakkk... Traaakkk...!” Garis retak yang memang sudah ada di dekat pintu rumahnya menjadi semakin memanjang.
Aku bingung kini harus berbuat apa. Apakah aku harus meminta maaf dan mengganti kaca rumahnya atau aku segera pulang tanpa meminta maaf dan melupakan kejadian ini?
Tapi, akhirnya aku berpikir lebih baik aku melupakan kejadian ini. Aku tak sanggup bertemu dengannya lagi.
Aku pun segera melangkahkan kakiku menyusuri jalan yang ada di hadapanku. Aku memutuskan untuk pulang.
Tapi, setelah lebih dari setengah jam aku berjalan, aku tak kunjung sampai di jalan utama. Aku tak bisa menemukan jalan yang benar karena saat pergi tadi aku melalui jalan belakang, yakni dengan melompati tembok. Sedangkan, sekarang aku harus pulang melalui jalan depan. Aku juga tak pernah ke daerah ini sebelum nya. Jadi, aku sama sekali tak mengenal daerah ini.
Tapi, aku tetap terus menyusuri setiap jalan yang aku temui karena aku ingin segera pulang. Dan, kini aku menyusuri jalan yang ternyata membawaku kembali ke tempat semula.
"Hah, mengapa aku bisa sampai di sini kembali?" Aku melihat sekeliling. Aku bingung saat menyadari ternyata aku sedang berjalan di depan rumah gadis cerewet itu lagi.
"Tokk, tokk, tokk!" Ia memukulkan palu untuk yang terakhir kali. Lalu, ia memungut dan membereskan alat-alat yang dipakainya.
Saat ia berdiri dan membalikkan badannya kedua matanya secara tidak sengaja menangkapku. Aku segera memalingkan wajahku dan pura-pura tidak melihatnya.
"Huh, sial! Dia pasti masih sangat marah padaku," gumamku sambil terus berjalan tanpa mempedulikannya.
Tapi, tiba-tiba, "Tess... Tess... Tesss...."
"Hah! Hujan," pekikku spontan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments