“Hahh, celaka,” ucapku dalam hati. “Sepertinya Pak Sahrul tahu aku sudah membohonginya.” Ternyata, ia melihatku memasuki UKS dari ruang laboratorium yang letaknya berseberangan dengan UKS.
“Bapak sangat tidak suka pada siswa yang berbohong,” ucapnya datar.
“Maaf, Pak,” ucapku bersungguh-sungguh. “Seumur hidupku ini pertama kalinya aku dimarahi oleh guru karena berbohong,” batinku. Selama ini aku dikenal oleh para guru sebagai siswa yang benar-benar patuh, namun hari ini hanya karena mengkhawatirkan gadis cerewet itu aku rela merusak reputasiku.
“Saya benar-benar tidak akan mengulanginya,” ucapku lagi.
“Hmm ....” gumam Pak Sahrul dengan tatapan tajam ke arahku. “Kali ini kau boleh kembali mengikuti pelajaran. Tapi, lain kali jika terjadi lagi, kau akan mendapatkan hukuman.”
“Saya mengerti, Pak,” ucapku dengan lega. “Terima kasih, Pak.” Aku benar-benar merasa beruntung sekali. 'Terima kasih, Tuhan,' batinku. 'Engkau selalu melimpahkan keberuntungan padaku.'
Sementara itu, beberapa jam kemudian saat waktu istirahat tiba gadis cerewet itu malah mengeluh di kelasnya. “Hehh, aku benar-benar tidak beruntung hari ini,” ucapnya sambil membereskan semua buku-buku dan alat tulis di atas mejanya.
“Sial!” gumamnya sedikit kesal. 'Kesialan pertama pingsan di tengah lapangan. Kesialan kedua, tidak bisa mengerjakan soal ulangan Matematika yang sebenarnya tidak terlalu sulit,' pikirnya. “Aku benar-benar sial,” keluhnya hingga terdengar oleh Wicha, teman sebangkunya.
“Menurutku kau tidak sial,” ucap Wicha segera. “Kau malah begitu beruntung hari ini.”
“Apa maksudmu?” tanya gadis cerewet karena tak mengerti.
“Kau begitu beruntung hari ini. Aku benar-benar tak menyangka Rhama akan menggendongmu ke UKS,” ucap Wicha dengan begitu bersemangat. “Seharusnya kau melihat bagaimana gagahnya Rhama saat berlari menggendongmu menuju UKS tadi. Dia seperti ksatria di dalam film. Dia sangat tampan, gagah, dan perhatian. Aku benar-benar iri melihatnya menggendongmu. Seandainya aku menjadi dirimu, aku pasti akan benar-benar menikmati momen saat berada dalam pelukannya,” cerocos Wicha dan gadis cerewet itu hanya terdiam kaku karena sulit untuk mempercayai kenyataan yang baru diketahuinya.
'Ternyata Rhama yang menggendongku ke UKS,' pikirnya.
“Kau tahu tidak begitu banyak wanita di kelas ini yang berharap bisa punya kesempatan digendongnya seperti dirimu?” lanjut Wicha.
“Hohhh ... seandainya aku bisa punya kesempatan seperti dirimu, aku akan merasa benar-benar beruntung sekali,” ucap Wicha. Namun, gadis cerewet sama sekali tak mempedulikan ucapannya.
Ia malah bergegas berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke luar kelas. 'Ternyata, Rhama yang membawaku ke UKS,' ucapnya dalam hati sambil terus berjalan. Lalu, tiba-tiba ia berhenti berjalan karena melihat sosokku yang berdiri tak jauh darinya. Namun, aku tak menyadari keberadaannya.
“Mei,” panggilku pada Mei yang kebetulan lewat di hadapanku.
'Jadi, Mei yang dimaksud waktu itu adalah Mei gadis populer ini,' ucap gadis cerewet di dalam hatinya sambil mengingat ucapan Reno dulu di pinggir jalan. 'Jangan dekati Mei lagi!'
Mei adalah gadis yang sangat populer di sekolah. Ia bagaikan bunga di taman sekolah, selalu menyedot perhatian banyak orang. Sedangkan, gadis cerewet itu bagaikan rumput liar. Sangat sedikit orang yang menyadari keberadaannya. Bahkan, aku yang sudah bersekolah di sekolah ini berbulan-bulan pun tak pernah mengenalnya. Akhir-akhir ini saja aku baru tahu bahwa ada siswi seperti itu di sekolahku.
“Mei,” ucapku sambil memperlihatkan benda yang berada di dalam genggamanku.
“Hahh ....” desah Mei begitu bahagia. “Terima kasih, Rhama,” ucapnya sambil segera mengambil benda itu dari telapak tanganku.
“Kau baik sekali,” ucapnya lagi sambil memperhatikan benda itu dengan ekspresi begitu bahagia. Lalu, ia segera memasukkan benda itu ke jari manisnya.
'Itu cincin putih yang tercecer di rumahku,' pikir gadis cerewet itu ketika memperhatikan benda yang kuberikan pada Mei. 'Ternyata demi gadis ini Rhama rela berusaha mati-matian untuk menemukan cincin itu,' pikirnya.
'Aku harus memberikannya pada seseorang.' Gadis cerewet itu segera teringat pada ucapanku dulu. 'Ternyata, seseorang itu adalah Mei. Ia ingin memberikan cincin itu pada Mei,' ucapnya dalam hati. 'Ukiran huruf M itu ... ternyata adalah inisial nama Mei.'
'Aku mengerti sekarang,' batinnya sambil membalikkan badan. 'Semua demi Mei,' ucapnya dalam hati. Lalu, ia pun kembali ke kelasnya tanpa sempat mendengarkan percakapanku selanjutnya dengan Mei.
“Terima kasih, Rhama. Kau sudah mengembalikan cincin ini padaku,” ucap Mei dengan tatapan penuh kebahagiaan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak mendapatkan cincin ini kembali,” lanjutnya.
“Sepertinya cincin ini begitu penting bagimu,” ucapku sedikit gugup.
“Ya,” ucapnya. “Ini cincin pemberian seseorang yang begitu spesial bagiku. Ia memberikannya sebagai tanda pengikat hubungan kami berdua.”
“Ohh!” desahku karena terkejut.
“Aku selalu memakainya sejak ia memberikannya padaku sekitar dua tahun yang lalu,” lanjutnya. “Tapi, sekitar seminggu yang lalu kami bertengkar hebat dan aku melepaskan cincin ini dari jariku. Kemarin hubungan kami membaik dan aku bermaksud untuk memakai cincin ini kembali. Tapi, ternyata cincin ini malah tercecer di jalan saat aku menggenggamnya,” jelas Mei.
“Deg!” Hatiku terasa begitu tertusuk mendengar penjelasan Mei.
Aku membisu seketika, sedangkan Mei kembali berkata, “Terima kasih, Rhama. Aku senang sekali bisa mendapatkan cincin ini kembali.”
“Terima kasih,” ucapnya lagi sambil tersenyum dengan begitu manis, namun terasa begitu pahit di hatiku. Sehingga, sedikitpun aku tak dapat membalas senyumnya. Aku hanya diam dan berusaha tegar untuk menerima kenyataan ini.
***
Selasa pagi ....
Rasanya aku tidak ingin sekolah, aku ingin tetap berada di kamarku seharian. Aku begitu lemas, lesu, tak berdaya. Bukan karena tubuhku sakit, tapi karena hatiku yang begitu sakit. Aku terlalu kecewa, terlalu berusaha tegar untuk menerima kenyataan yang tak sanggup kuterima.
Semalaman tadi aku tak bisa tidur. Aku tak dapat memejamkan mataku setelah aku tahu semua kenyataan tentang Mei. Kenyataan bahwa sebenarnya Mei setidaknya telah dua tahun menjalin hubungan dengan seseorang dan tampaknya ia begitu mencintai orang itu. Ia sudah bersama orang itu sejak aku belum menginjakkan kaki di sekolah itu. Bahkan, saat itu aku belum bertemu dengannya, belum mengenalnya. Ia sudah terikat pada orang lain.
Kenyataan itu membuatku begitu linglung dan galau. Aku pusing dan tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan saat ini. Apakah aku tetap akan bertahan untuk mencintainya? Atau, apakah aku harus mulai belajar untuk melupakannya? Aku benar-benar bingung berada di antara dua pilihan yang bagai dilema dalam hidupku saat ini.
Sejujurnya aku benar-benar tidak ingin melupakan Mei. Aku tak dapat melupakannya begitu saja. Ia terlalu berarti untukku. Jika ada sesuatu yang ingin aku jaga seumur hidupku saat ini, sesuatu itu adalah Mei.
Namun, aku juga tidak dapat terus bertahan untuk mencintainya. Karena, aku sadar cintaku pada akhirnya hanya akan merusak hubungannya dengan orang yang dicintainya, menghancurkan kebahagiaannya. Aku tidak ingin semua itu terjadi.
'Aku ingin dia tetap bahagia, meskipun hatiku akan terluka.'
Lalu, tiba-tiba, “Tokk! Tokk! Tokk!”
“Rhama,” panggil mama dari balik pintu kamarku yang terkunci rapat.
“Rhama, ayo bangun! Kau harus berangkat ke sekolah, Nak,” ucap mama dengan lantang.
“Aku tidak ingin masuk sekolah, Ma,” ucapku tanpa beranjak dari tempat tidurku.
“Hahh!” Sepertinya mama begitu terkejut dan segera berkata, “Mengapa, Rhama? Kau aneh sekali. Biasanya kau selalu begitu bersemangat untuk pergi ke sekolah.”
'Itu karena setiap hari aku selalu ingin melihat dan bertemu dengan Mei,' batinku. Tapi, saat ini semua telah
berubah, rasanya aku tak sanggup untuk melihat Mei.
“Apa kau sakit?” tanya mama lagi segera.
“Tidak, Ma,” jawabku singkat.
“Aaahh ... dari suaramu saja mama sudah bisa memastikan sepertinya tubuhmu saat ini begitu lemas,” ucap mama dengan ekspresi sedikit panik. “Mama tahu kau pasti sedang sakit. Mama akan segera menelepon dokter dan menyuruhnya kemari untuk memeriksamu,” ucap mama.
“Mamaaa ....” ucapku sambil beranjak dari tempat tidurku dengan begitu malas. Aku menuju pintu kamarku dan membuka kuncinya.
“Krekk!” Pintu terbuka, namun aku tak menemukan sosok mama di baliknya. Mama sudah tidak ada lagi di sana.
“Hahh, kemana Mama?” pikirku.
Lalu, tiba-tiba telingaku mendengar, “Dokter, putra saya sepertinya sakit. Bisakah Anda segera datang kemari?”
Kulihat mama sedang menelepon dokter kepercayaan keluargaku.
“Astaga, Mama!” ucapku. “Aku tidak sakit.” Aku berjalan mendekati mama dan mengambil telepon di genggamannya.
“Dokter, aku tidak sakit,” ucapku. “Anda tidak perlu datang ke sini. Maaf sudah menggangu Dokter. Terima kasih,” ucapku lalu aku segera menutup telepon itu.
“Rhama, apa yang kau lakukan? Mengapa kau menghalangi mama ....”
“Mama.” Aku segera memotong ucapan mama. “Aku tidak sakit.” Mama segera meraba dahiku dan mengusap wajahku seperti memperlakukan anak usia 7 tahun.
“Tapi, mengapa kau tidak ingin sekolah, Rhama?” tanya mama dengan begitu dalam menatapku.
“Kau tidak sama seperti biasanya,” ucap mama. “Mama bisa melihatnya.”
“Mama,” ucapku. Lalu, aku berhenti bicara. Aku menggigit bibirku. 'Bagaimana aku bisa mengatakan pada mama bahwa sebenarnya aku memang sedang begitu menderita. Aku sedang patah hati,' batinku ketika membalas tatapan mama.
“Rhama, katakan pada mama, Nak,” ucap mama sambil kembali mengusap wajahku dan aku hanya terdiam lalu segera menundukkan wajahku dengan dalam.
“Ceritakan pada mama!” ucap mama lagi.
“Aku baik-baik saja, Ma,” ucapku kemudian sambil berusaha tersenyum lebar. “Mama tak usah khawatir, aku hanya merasa sedikit lelah.”
“Tidak mungkin, Rhama. Kau pasti punya masalah di sekolah. Makanya, kau tak mau sekolah,” ucap mama panik. “Biasanya kau begitu bersemangat ke sekolah. Jika memang tidak ada masalah, tak mungkin kau tidak mau sekolah. Bicaralah terus terang pada Mama!” cerocos mama.
“Mama,” ucapku menghentikan ceramah mama.
Mama menatapku begitu dalam membuatku tak tega.
"Hmmhhhh...." Aku menarik nafas panjang. “Aku akan sekolah hari ini,” ucapku karena tak ingin mama terus merasa khawatir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments