Lalu, gadis cerewet itu segera berkata, “Kau ini tuli, ya? Sampai kapan kau akan membiarkan ponselmu terus berbunyi?” Sehingga, akhirnya aku terpaksa menjawab panggilan itu.
“Rhama, kau ada dimana, Nak? Mengapa belum pulang? Mama sangat mengkhawatirkanmu. Apa kau baik-baik saja? Apa kau sudah makan? Apa mama perlu menjemputmu?” Serentetan pertanyaan demi pertanyaan terlontar dengan begitu cepat dari mulut mama. Ia sangat gelisah dan mengkhawatirkanku.
Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada mama. Sangat tidak mungkin kukatakan bahwa aku baru saja dikeroyok dan terluka. Jadi, aku terpaksa berbohong. “Ma, Mama jangan khawatir! Aku baik-baik saja. Sekarang aku dalam perjalanan menuju rumah temanku. Kami harus segera menyelesaikan tugas kelompok yang akan dikumpulkan besok pagi. Jadi, aku akan pulang telat hari ini. Mama tenang saja! Aku akan segera pulang.”
“Dimana rumah temanmu, Nak? Mama akan mengantarkan makan siang dan pakaian ganti untukmu,” ucap mama.
“Tidak perlu, Ma. Aku sudah makan. Mama tenang saja!” Sekali lagi aku berbohong.
“Tapi, Rhama....” Sebelum mama sempat melanjutkan ucapannya aku segera mematikan ponselku.
“Rhama, Rhama! Halo, Rhama!” panggil mama berkali-kali. “Hah, mengapa Rhama memutuskan pembicaraan ini?” Mama menjadi penasaran dan kembali menghubungiku lagi.
“Rhama, apa kau baik-baik saja? Mengapa kau mematikan ponselmu tadi? Jam berapa kau akan pulang? Mama akan menyuruh sopir untuk menjemputmu,” ucap mama.
“Tidak perlu, Ma. Aku akan segera pulang. Mama tenang saja! Sekarang aku tak bisa bicara terlalu lama dengan Mama karena baterai ponselku semakin lemah. Jadi, sudah ya, Ma,” ucapku lalu segera mematikan ponselku.
“Hah, sudah hampir jam setengah tiga,” ucapku histeris ketika melihat jam di ponselku.
“Hei, apa tidak ada jalan yang lebih singkat menuju rumahmu?” tanyaku pada gadis cerewet itu yang sejak tadi terus saja berjalan dengan cepat di depanku tanpa menoleh sedikitpun.
Lalu, tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Ternyata, mama.
“Ada apa lagi, Ma?” tanyaku sambil terus mengiringi gadis cerewet itu berjalan.
“Mama hanya ingin memberitahumu sepertinya mama akan pergi arisan sebentar lagi. Jadi, kau tidak perlu mencari mama nanti. O, ya mama sudah menyiapkan es krim dan puding cokelat untukmu di lemari es. Jangan lupa dimakan, ya!” ucap mama dengan begitu riang.
“Iya, Ma,” ucapku mengakhiri pembicaraan kami.
“Hah, aku berharap mama tidak akan menghubungiku lagi,” gumamku sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku.
Saat itu aku tak sadar sudah berjalan begitu jauh dan aku tak ingat jalan mana saja yang sudah kulewati. Sejak tadi aku hanya terus mengikuti gadis cerewet itu berjalan hingga akhirnya aku baru menyadari ternyata ia telah membawaku berjalan di tengah tanah kosong yang cukup luas dan tak ada jalan sama sekali di hadapan kami. Yang ada hanyalah tembok beton pembatas yang tingginya hampir dua meter.
Aku berhenti berjalan dan segera berkata, “Hei, apa kau gilla? Ini jalan buntu.”
“Ini jalan tercepat menuju rumahku,” ucapnya dengan santai.
“Tapi, bagaimana kita bisa melalui tembok ini?”tanyaku.
“Sudah, diam!” ucapnya. Lalu, ia segera berlari dan melompati tembok itu dengan begitu mudah.
“Hei, tunggu!” teriakanku mengejutkannya sehingga, “Aaaa...aahhh!” Kakinya terpeleset di atas tembok dan, “Brukk!” Ia jatuh di balik tembok pembatas itu.
“Hah, sial! Apa yang aku lakukan?” ucapku kesal. “Dia pasti akan marah besar,” pikirku. Aku begitu panik dan bingung harus berbuat apa. Tapi, aku segera memutuskan untuk menolongnya.
Aku segera berlari melompati tembok dan mendapatkannya sedang terkapar di tanah. Ia terlihat lucu sekali. Posisi dan gayanya membuat perutku geli dan tak bisa menahan tawa. Gelak tawaku pun pecah dengan begitu dahsyat.
Ia segera bangkit lalu membersihkan baju putih dan rok abu-abu panjangnya yang sudah begitu kotor terkena tanah. Sedangkan, aku masih tertawa terbahak-bahak hingga akhirnya ia menatapku dengan tajam dan membuatku terdiam.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku sambil memperhatikan luka-luka lecet di dekat sikut tangannya.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya memelototiku lalu berusaha berdiri sambil memegangi pinggulnya yang mungkin terasa nyeri karena menghantam tanah dengan begitu kuat.
Aku merasa begitu bersalah saat melihatnya seperti itu. Melihat dari tampangnya, dia pasti akan sangat marah. “Hukumlah aku! Aku memang bersalah,” ucapku. “Jika kau mau, kau boleh memukulku.” Aku segera berlutut dan memejamkan mataku. Aku berharap dia tidak akan terlalu keras memukulku karena sampai saat ini pun sekujur tubuhku masih terasa sakit akibat peristiwa pemukulan tadi.
Namun, setelah kutunggu cukup lama tak satupun anggota badanku yang terasa dipukul. Aku segera membuka mataku dan ternyata gadis cerewet itu tak ada lagi di hadapanku. Ia sudah berjalan meninggalkan aku yang hingga kini masih berlutut di tanah.
Aku pun segera bertanya, “Hei, apa kau tidak ingin membalasku?”
Ia berhenti berjalan lalu berkata, “Untuk apa? Dendam hanya akan menimbulkan penderitaan.”
Aku tercengang mendengar ucapannya. 'Apa benar dia gadis cerewet yang hampir memukul hidungku di sekolah tadi?' tanyaku dalam hati.
Aku pun segera bangkit dan menyusulnya. “Hei, apa kau lupa aku sudah membuatmu terjatuh dan menertawakanmu?” tanyaku.
“Sudah, diam!” ucapnya sambil terus berjalan melewati pohon-pohon pisang yang sedang berbuah.
Aku memperhatikan daerah di sekitarku dan ternyata saat ini kami sedang berada di pekarangan rumah seseorang. “Hei, beraninya kau mengajakku memasuki pekarangan rumah orang tanpa izin,” bisikku cemas.
Tapi, gadis cerewet itu terus saja berjalan hingga ke pekarangan depan rumah itu.
“Bagaimana jika pemilik rumah ini mengira kita pencuri,” bisikku lagi.
“Ini rumahku,” ucapnya sambil mengambil seikat kunci dari dalam tasnya.
“Hoh, jadi ini rumahmu. Mengapa kau tak mengatakannya dari tadi?” Aku begitu lega saat mengetahui rumah sederhana di hadapanku ini adalah rumahnya. Aku memperhatikan teras dan taman di depan rumahnya ini. Semuanya tampak begitu bersih dan rapi. Rumput jepang tumbuh begitu subur dan hijau seperti sebuah karpet tebal nan empuk yang terhampar begitu saja di depan rumahnya. Serumpun bambu jepang, aneka kaktus, dan bonsai tertata begitu rapi menghiasi halamannya yang tidak dipagari. Bunga-bunga mawar dan kamboja jepang yang merekah indah memberi nuansa warna yang memikat. Semuanya terlihat begitu tenang dan menyejukkan mata. Udara di sekitarku pun terasa begitu segar dan sejuk.
“Hei, ayo masuk!” ajak gadis cerewet itu.
Aku pun segera masuk dan dia membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar. Aku duduk di kursi ruang tamunya yang terbuat dari anyaman rotan. Tak ada pajangan benda-benda kristal ataupun guci-cugi antik seperti milik mama di ruangan ini. Semuanya tampak begitu sederhana dan menyenangkan, sangat berbeda dengan ruang tamu di rumahku.
Aku selalu ingat saat aku masih kecil, mama selalu berkata, “Rhama, hati-hati bermainnya! Awas, jangan sampai menyenggol kristal ibu! Jangan sentuh vas bunga itu! Jangan bermain-main di sana! Nanti kau memecahkan guci itu. Harganya mahal, itu guci peninggalan nenekmu.” Sampai saat ini pun mama masih sering berkata seperti itu padaku. Karena itu, aku merasa sangat nyaman di ruangan ini.
Tapi, tiba-tiba, “Hei, cepat obati lukamu dan pergi dari rumahku!” Gadis cerewet itu mengusirku tanpa basa-basi sambil menyerahkan sebuah kotak P3K dengan begitu kasar padaku.
Aku terdiam sejenak kemudian bertanya, “Apa kau punya cermin?”
“Untuk apa?” tanyanya dengan keras.
“Apa kau pikir aku bisa mengobati luka di wajahku tanpa melihatnya?” ucapku.
Gadis cerewet itu tampak kesal. Ia segera mengambil cermin dan memberikannya padaku.
“Hah!” jeritku sangat terkejut ketika melihat penampilan wajahku di cermin. Pantas saja semua orang ketakutan saat aku menghentikan kendaraan mereka tadi. Ternyata, luka memar di wajahku sungguh parah. Mata kiri, pelipis, rahang, dan pipiku menjadi biru dan bengkak. Untung saja hidungku tidak patah. Jika tidak, maka aku harus benar-benar menjalani operasi plastik untuk memperbaikinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments