“Aku sedang ingin mengganti bola lampu di teras,” jawabnya dengan wajah polos. “Bola lampu itu sudah tidak menyala lagi. Jadi, harus segera diganti.”
'Memang benar. Meja itu diposisikan tepat di bawah lampu teras,' batinku sambil melirik meja itu lagi. 'Gadis cerewet ini memang benar-benar sedang ingin mengganti bola lampu,' pikirku.
“Tapi,” ucapku tiba-tiba. “Mengapa kau harus melakukannya?” tanyaku. “Apa tidak ada pria yang bisa melakukannya di rumahmu ini? Itu pekerjaan pria,” ucapku.
“Aku sudah sering melakukan pekerjaan pria.” Ia berkata dengan begitu bangga.
'Hohh, pantas saja saat itu dia begitu ahli memaku tripleks di jendelanya,' pikirku. 'Dan, lihat! Tangannya kasar seperti pria.' Aku melirik permukaan kedua tangannya.
“Bagiku pria dan wanita tidak jauh berbeda,” lanjutnya. “Wanita juga bisa melakukan pekerjaan pria. Lagipula, di rumah ini tidak ada pria selain pamanku dan ia terlalu sibuk. Ia tidak akan sempat memikirkan bola lampu yang rusak, apalagi menggantinya dengan yang baru. Karena itu, aku melakukannya sendiri.”
“Jadi, kau tidak tinggal bersama ayahmu?” tanyaku sedikit heran.
“Tidak,” ucapnya pelan. Ia menggeleng. “Aku hanya tinggal bersama paman dan bibiku. Mereka tidak mempunyai anak. Jadi, aku dianggap sebagai anak oleh mereka.”
“Ohhhh!” desahku sedikit mengerti. “Tapi, aku tak pernah melihat mereka di rumahmu ini,” ucapku karena semakin penasaran.
“Mereka terlalu sibuk mengurusi toko sembako milik mereka. Jadi, mereka jarang di rumah,” jelasnya. “Biasanya mereka baru akan kembali setelah pukul sembilan malam. Tapi, jika hari Minggu seperti ini mereka tidak membuka toko sampai malam. Jadi, sore hari mereka sudah bisa pulang.”
Entah mengapa tiba-tiba aku merasa gadis cerewet di hadapanku ini benar-benar malang. 'Ia pasti begitu kesepian,' pikirku. Aku bisa merasakannya dengan melihat matanya saat berbicara padaku.
“Apa kau tidak takut sendirian di rumahmu ini pada malam hari?” tanyaku sambil terus menatap matanya.
“Aku sudah terbiasa,” jawabnya.
“Kau memang seperti pria,” ucapku kemudian.
“Apa maksudmu?” tanyanya segera.
“Ya, lihat saja buktinya! Pertama, kau tidak mempunyai bedak, kebutuhan primer bagi wanita normal. Kedua, kau tampaknya begitu ahli melakukan pekerjaan pria. Ketiga, kau tidak memiliki rasa takut seperti seorang wanita,” cerocosku. “Oh, ya... Keempat, di hari Minggu seperti saat ini sebagai wanita seharusnya kau menikmati perawatan kecantikan di salon... atau pergi belanja... atau pergi ke pesta... atau pergi jalan-jalan. Sedangkan, kau malah sibuk melakukan pekerjaan pria di rumahmu ini,” tambahku.
“Hehh, darimana kau bisa menyimpulkan bahwa seorang wanita harus pergi ke salon pada hari Minggu seperti ini?” tanyanya karena sedikit geli mendengar ucapanku.
“Aku memperhatikan mamaku, teman-temannya, para tanteku, dan sepupu-sepupuku,” jawabku segera karena tak mau ditertawakan. “Minggu pagi seperti ini biasanya mamaku pergi ke salon bersama para tanteku yang ditemani anak-anak perempuan mereka untuk mempercantik diri. Setelah itu, mereka akan pergi menghadiri pesta pernikahan dan sejenisnya.”
“Kau pria bodoh,” ejeknya karena tak sependapat dengan ucapanku.
“Hei, semua yang kukatakan itu benar,” ucapku. “Jika mamaku tidak benar-benar pergi ke salon saat ini, mungkin aku tidak akan bisa ke rumahmu sebebas ini.”
“Dengar!” ucapnya tiba-tiba. “Aku tidak sama dengan para wanita itu. Aku tidak suka ke salon,” tegasnya.
“Hohhh, pantas saja penampilanmu terlihat begitu kuno,” gumamku.
“Apa katamu?” teriaknya.
“Ya, lihat saja potongan rambutmu yang tebal ini!” Aku menunjuk rambutnya yang tampak kusut dan dibiarkan berantakan. “Model seperti ini tidak musim lagi sekarang. Seharusnya rambutmu ini sedikit ditipiskan dengan potongan layer. Jadi, wajahmu akan terlihat lebih segar dan tidak kaku seperti ini.” Aku berkata seolah-olah aku benar-benar mengerti tentang tren dan gaya rambut. Padahal, sebenarnya aku juga tak terlalu mengerti.
“Kau seperti wanita,” ejeknya.
“Hehhh, aku ini pria sejati,” bantahku. “Kau yang seperti pria.” Aku balik mengejeknya.
“Lalu, apa pedulimu?” Nada suaranya mulai meninggi. Sepertinya ia akan kembali mengoceh.
Aku tak mau lagi bertengkar dengannya. Karena itu, kali ini aku rela mengalah. “Ya sudah, aku tak peduli. Lebih baik kau menjadi dirimu sendiri,” ucapku. Lalu, aku cepat-cepat mengambil air minum di atas meja di hadapanku dan meletakkannya di atas meja teras rumah gadis cerewet itu.
“Pak!” panggilku pada keenam pria yang masing-masing tampaknya sudah mulai membereskan perlengkapan yang mereka bawa. “Minumlah terlebih dulu!” ucapku karena sepertinya mereka telah selesai mengganti kaca jendela.
“Ya, terima kasih,” ucap mereka.
Lalu, tanpa sempat menghiraukan ucapan terima kasih mereka, aku segera menumpukkan kursi penghantam kakiku di atas meja kayu dan menaikinya.
“Pria bodoh, apa yang ingin kau lakukan?” tanya gadis cerewet ketika melihat tindakanku. “Bukankah kakimu masih sakit?”
“Hahhh, biarkan aku melakukan ini,” ucapku tak peduli sambil berusaha melepaskan bola lampu yang rusak. “Cepat berikan bola lampu yang baru!”
“Ini.” Gadis cerewet itu dengan terpaksa mengulurkan bola lampu itu padaku. Lalu, aku segera memasangnya untuk menggantikan bola lampu yang rusak dengan penuh semangat. “Ternyata mudah sekali,” gumamku usai berhasil memasangnya. “Sekarang coba kau nyalakan lampunya!” pintaku pada gadis cerewet itu.
Lalu, lampu teras itu pun menyala dengan terang. “Aku berhasil,” ucapku begitu puas. “Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berhasil mengganti bola lampu yang rusak,” ucapku spontan dengan begitu bangga. “Aku senang sekali,” ucapku lantang dengan tetap berdiri di atas meja.
“Hehh, kau aneh,” ejek gadis cerewet itu. “Hanya melakukan hal kecil seperti itu saja sudah begitu bangga,” ucapnya. “Aku sudah sangat sering melakukannya.”
“Aku tak heran dan sama sekali tak terkesan karena kau memang seperti pria.” Aku kembali mengejeknya.
“Kau benar-benar menyebalkan,” ucapnya kesal.
“Hahh, kau juga benar-benar menyebalkan bagiku,” balasku sambil berusaha turun dari meja yang kunaiki. “Tapi, untunglah setelah hari ini kita tidak perlu bertemu lagi. Aku lega,” ucapku.
“Hehh... Jika begitu, cepat pergi dari rumahku!” Ia kembali mengusirku.
“Hmmhh, kau memang selalu mengusirku,” gumamku. “Tak pernah sekalipun aku pulang dari rumahmu tanpa diusir.” Aku menatapnya lalu kembali berkata, “Kau selalu mengusirku jika aku kemari. Suatu hari kau pasti akan menyesali perbuatanmu ini.”
“Tidak akan,” ucapnya segera.
“Baiklah....” Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. “Selamat tinggal... selamanya,” ucapku pelan.
“Selamanya kita tidak perlu bertemu lagi.” Ia berkata dengan tegas. “Selamat tinggal selamanya, Pria Bodoh.”
“Gadis cerewet,” ejekku. Lalu, aku segera melirik keenam pria di sekitar kami yang telah merapikan teras dan tampaknya sudah siap untuk pulang. “Ayo kita pulang!” ucapku kemudian dan akhirnya aku pun berjalan menuju mobil yang terparkir di sisi jalan.
Aku masuk ke dalam mobil dan sempat menatap gadis cerewet itu dari kejauhan. Ia tampak sedang mengangkat meja kayu di terasnya sendirian ke dalam rumah. Lalu, aku berkata dalam hatiku, 'Dia memang seperti pria.' Lalu, mobilku pun mulai berjalan meninggalkan rumah gadis cerewet itu.
Dalam hati kecilku aku berkata, 'Sungguh aneh.' Biasanya dua orang dipertemukan takdir untuk saling berteman. Tapi, kami malah bertemu untuk akhirnya berkata, “Selamat tinggal selamanya.”
Saat pertemuan terjadi orang lain akan memulai silaturahmi dan berusaha mempertahankannya, tapi kami berdua malah memutuskan untuk menghentikan silaturahmi itu. 'Mungkin kami memang dipertemukan untuk tidak menjadi teman,' pikirku. 'Tapi, lebih baik tidak menjadi teman daripada harus menjadi musuh.'
'Untunglah. Akhirnya... aku bisa bebas dari gadis cerewet itu,' pikirku lagi. Aku tidak akan mendengar ocehannya lagi, menjalani hal-hal yang menyebalkan, dan melihat wajahnya yang memuakkan. Aku sangat menanti-nantikan saat-saat seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments