Tapi, setelah sampai di hadapan gadis cerewet itu Reno ternyata malah menundukkan wajahnya dan tiba-tiba berkata, “Kau telah menyelamatkanku. Terima kasih, Dewi Penolongku!”
“Hah!” Aku, gadis cerewet itu, dan kedua temannya sangat tercengang melihat tingkahnya. Kami tak menyangka ia akan berkata seperti itu.
“Maaf...”
Belum sempat Reno menyelesaikan ucapannya, kedua temannya segera memotong, “Bos, bukankah kita sudah berjanji pantang meminta maaf pada orang lain, kecuali pada Tuhan, orang tua, dan guru kita.”
“Lupakan! Sekarang turuti perintahku! Cepat berlutut dan minta maaf padanya!” bentak Reno.
“Bos, apa kau serius?” Kedua temannya meragukan perintahnya.
“Apa kau ingin main-main denganku?” bentak Reno.
“Hah, tidak, Bos. Kami tidak berani.” Kedua teman Reno pun segera berlutut dan menundukkan badannya berkali-kali di hadapan gadis cerewet itu sambil berkata, “Maafkan kami, maafkan kami, maafkan kami....”
“Hei, kalian tidak perlu melakukan semua ini,” ucap gadis cerewet itu. “Ayo cepat berdiri!”
Kedua teman Reno tidak segera berdiri. Mereka malah saling memandang lalu berkata, “Kami pantang mematuhi perintah orang lain, kecuali perintah Bos, guru, orang tua, dan Tuhan.”
“Hei, lupakan! Mulai sekarang kalian juga harus mematuhi perintahnya. Kalian harus bersikap baik padanya dan anggap dia juga sebagai bos kalian!” ucap Reno.
“Apa?” Kedua teman Reno tercengang.
“Itu terlalu berlebihan,” ucap gadis cerewet itu.
“Tak ada yang berlebihan. Semua ini pun bahkan tak cukup untuk membalas apa yang telah kau lakukan untuk menyelamatkanku. Aku berhutang budi padamu. Jika kedua anak buahku ini tidak mau mematuhi perintahmu dan tidak bersikap baik padamu, laporkan saja padaku! Jika kau punya masalah atau ada orang yang berani mengganggumu, katakan saja padaku! Dan, jika kau memerlukan sesuatu, minta saja padaku! Jika aku sanggup aku akan memberikannya untukmu,” ucap reno bersungguh-sungguh.
“Apa kau serius?” tanya gadis cerewet itu dengan penuh kegirangan.
“Hmmh...eh.” Reno menganggukkan kepalanya.
“Jika begitu aku ingin meminta sesuatu padamu.”
'Hoh, gadis tidak tahu malu! Dasar mata duitan!' makiku dalam hati. Semudah itu dia percaya pada ucapan Reno. “Bodoh!” ucapku.
“Katakan saja! Aku akan berusaha memberikannya untukmu,” ucap Reno.
“Tapi, ini benda yang sangat berharga. Aku tidak yakin kau rela memberikannya padaku,” ucap gadis cerewet itu.
'Hoh, memangnya apa yang akan dia minta? Kapal pesiar, pesawat terbang, patung Liberty, menara Eiffel, atau tambang emas di Afrika? Gadis bodoh. Bermimpi di tengah siang seperti ini, huh,' makiku dalam hati.
“Apa yang kau inginkan? Ponsel, uang? Kau tidak punya ‘kan? Aku bisa memberikannya untukmu. Tapi, beri aku waktu, ok?” ucap Reno.
“Hoh, bukan. Aku tidak ingin semua itu. Aku hanya ingin meminta... dirinya,” ucap gadis cerewet itu sambil menunjukku.
“Hah, aku!” ucapku spontan. 'Memangnya aku barang?' pikirku.
“Heh, dia!? Apa pentingnya dia untukmu?” tanya Reno seakan mengisyaratkan ia takkan melepaskanku.
“Hmhh... Sebenarnya dia itu saudara sepupuku,” ucap gadis cerewet itu dengan santai.
“Hoh!” Aku terkejut medengar ucapannya. Dia berbohong. 'Dasar gadis tidak tahu malu! Bukan hanya cerewet, tapi ternyata juga suka berbohong. Sungguh menyebalkan,' makiku lagi dalam hati.
“Sepupu? Tapi, kalian tidak mirip.” Reno tidak percaya pada ucapannya.
“Tentu saja tidak mirip. Saudara dari kedua orang tua yang sama saja kadang tidak mirip. Apalagi, saudara dari kedua orang tua yang berbeda. Tentu saja kami tidak mirip,” ucap gadis cerewet itu dengan begitu cepat.
“Aku tak mengerti ucapanmu,” ucap Reno dengan begitu lugunya.
“Hah, sudahlah! Walaupun kujelaskan dari segi gen pun, apa kau akan mengerti?”
Reno menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengerti. Apa itu gen? Istilah di bidang IPA, ya?”
“Heh....” Gadis cerewet itu menghela nafasnya. “Jadi, kau mau memberikannya padaku tidak? Bukankah kau sudah berjanji akan berusaha memberikan apapun untukku?”
Tak pernah kusangka dalam hidupku ternyata aku akan dinegoisasikan layaknya seorang budak yang akan diperjualbelikan seperti saat ini.
“Baiklah, bawa dia pergi!” Akhirnya Reno melepaskanku.
“Hoh, terima kasih kau baik sekali,” ucap gadis cerewet itu sambil tersenyum bahagia.
Sedangkan, aku hanya bisa cemberut meratapi nasibku.
“Hei, Kakak Sepupu, ayo kita pulang!” ajak gadis cerewet itu.
Aku memelototi gadis cerewet itu lalu dengan begitu berat aku berkata, “Hoh, baiklah adik sepupuku yang baik. Mari kita pulang bersama!”
Aku pun akhirnya terpaksa mengakuinya sebagai saudara sepupuku. Sungguh menyebalkan dan sekarang aku harus berjalan mengikutinya pulang. Padahal, seharusnya aku tidak perlu berjalan lagi. Aku cukup naik bis dan turun di depan jalan rumahku. Tapi, karena Reno dan kedua temannya terus menatap kami dari belakang, terpaksa aku membuntuti gadis cerewet itu berjalan.
“Hei, Pria Bodoh! Kita harus terlihat akrab. Mereka masih memperhatikan kita. Berjalanlah di sampingku! Jika tidak, mereka akan curiga,” bisik gadis cerewet itu kesal.
Aku menoleh ke belakang. Ternyata benar, mereka masih terus menatap kami sambil membicarakan sesuatu.
“Bos, apa kau yakin mereka itu saudara sepupu?” tanya Aldo, salah satu dari kedua teman Reno.
“Aku tidak yakin. Tapi, sepertinya mereka terlihat cukup akrab,” ucap Reno.
Aku menoleh lagi ke belakang. Ternyata, mereka masih terus memperhatikan kami. Padahal, kami sudah berjalan cukup jauh.
“Hei, sampai kapan mereka akan terus memperhatikan kita?” tanyaku pada gadis cerewet itu.
“Sampai di sini,” jawabnya sambil berbelok memasuki sebuah jalan yang di kiri kanannya dipenuhi oleh barisan rumah. Aku pun juga ikut berbelok dan terus mengiringinya berjalan.
Lalu, tiba-tiba ia berhenti berjalan dan menatapku dengan tajam.
“Apa?” tanyaku heran.
“Heh, ternyata kau benar-benar bodoh, ya. Sampai kapan kau ingin terus mengikutiku seperti ini? Mereka sudah tidak memperhatikan kita lagi. Jadi, pergilah! Pulanglah ke rumahmu!” ucapnya.
“Kau mengusirku?” tanyaku. “Tega sekali kau mengusirku. Apa kau tidak lihat aku sedang terluka? Aku sudah terlanjur mengikutimu. Aku ingin mampir sebentar ke rumahmu untuk mengobati lukaku.”
“Apa? Kau pikir rumahku itu Puskesmas?” Gadis cerewet itu tampak begitu kesal.
Dan, aku dengan begitu kesal berkata, “Wanita seperti apa kau ini? Tidak berperasaan dan berhati batu. Seharusnya kau menawarkan bantuan untukku
karena setiap wanita normal pasti akan berusaha membantu mengobati jika melihat seseorang terluka.”
Gadis cerewet itu terdiam. Lalu, ia berkata, “Baiklah, demi perikemanusiaan kau boleh ikut ke rumahku. Tapi, jangan berharap aku akan mengobati lukamu!”
'Hoh, siapa yang sudi diobati gadis kasar seperti dirimu? Meski seandainya kau dokter terbaik sekalipun, aku tetap tak mau diobati olehmu.Bukan menjadi sembuh, malah lukaku akan semakin membengkak dan bertambah parah,' gerutuku dalam hati sambil terus mengiringinya berjalan.
Lalu, tiba-tiba ponselku berbunyi. “Hah, mama!” ucapku spontan ketika membaca nama penelepon di ponselku. “Gawaattt! Aku harus bicara apa?” Aku begitu panik dan ragu untuk menjawab panggilan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments